“Kamu belajar masak sejak kapan, Indira?” “Saya tinggal di panti asuhan, pastinya harus serba bisa, Mas. Dari kecil, saya sering bantu-bantu masak, jaga adik-adik yang masih bayi, nyuci baju, sampai ngurus taman juga. Memang harus mandiri sejak kecil, karena nggak tahu juga mau minta bantuan sama siapa. Pengurus panti jumlahnya cuma sedikit, sedangkan anak-anak yang tinggal di sana ada banyak banget.” Edgar terdiam, merasa tertampar dan malu. Dari segi usia, Indira memang jauh lebih muda dari Edgar. Tapi, gadis itu seolah bisa melakukan apa saja dan mampu bertahan di tengah situasi apa pun. “Coba dicicipi. Itu tadi Mas Edgar sendiri yang bikin bumbu ikannya,” kata Indira beberapa saat kemudian. Lamunan Edgar seketika buyar. Laki-laki itu lantas memegang sendok, mengambil sedikit ikan goreng yang telah tersaji di atas meja. Memasukkannya ke dalam mulut, perlahan mengunyah daging ikan hingga hancur. Tapi, sedetik kemudian mengambil sehelai tisu dan meludahkan makanannya. Ternyata
“Awal bulan. Saatnya belanja, Pak.” Jemari Edgar berhenti bergerak di atas keyboard. Benar, sekarang sudah masuk awal bulan. Harusnya Edgar pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian, sepatu, dan jam tangan baru. Biasanya ditemani seorang gebetan atau pacar. “Jam berapa sekarang?” tanya Edgar. “Setengah lima, Pak,” jawab Mila sambil melirik jam tangannya. “Mau pergi sekarang? Perlu saya teleponkan Maya atau Alicia untuk menemani Pak Edgar belanja?” “Nggak perlu, Mil. Saya bisa belanja sendiri.”“Sendiri? Tanpa siapa-siapa?”Edgar mengangguk dengan yakin. Mila tercenang, tak menyangka kalau atasannya yang terkenal playboy itu mau pergi ke pusat perbelanjaan seorang diri. Padahal, biasanya selalu ada perempuan yang mau menemani dengan sukarela. “Kalau kamu mau pulang duluan, silakan. Saya ngecek laporan perkembangan proyek dulu, habis itu langsung keluar,” kata Edgar. Mila menyipitkan mata, menatap Edgar dengan penuh curiga. “Pak Edgar sekarang nggak suka perempuan lagi?
Pagi ini Indira memakai kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya dipoles dengan makeup tipis agar terlihat lebih fresh. Tak lupa, gadis itu juga memakai parfum agar wangi. Jantungnya berdebar-debar, antusias sekali karena hari ini resmi bekerja sebagai intern di sebuah perusahaan farmasi. Meskipun statusnya hanya intern dengan masa kontrak tiga bulan, tetap saja Indira senang. Paling tidak, pengalaman magang selama tiga bulan itu bisa dimasukkan ke dalam curriculum vitae, sehingga dapat menjadi poin plus ketika Indira hendak mencari pekerjaan full time nantinya. Ketika memandang standing mirror, tatapan Indira terpaku pada kalung yang melingkar dengan manis di lehernya. Tangannya perlahan bergerak, mengusap bandul kalungnya dengan lembut. Lalu, menyembunyikannya di balik kemeja, agar tidak terlalu mencolok. Setelah memastikan penampilannya benar-benar rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki, barulah Indira berjalan meninggalkan kamar. Sambil membawa tas yang tel
Hari pertama bekerja, Indira diajari tentang bagaimana cara mengatur letak dokumen, membuat surat, melakukan entry data, mengatur arsip, serta menyusun jadwal meeting. Tak bisa dipukungkiri kalau Indira sedikit gugup, khawatir akan melakukan kesalahan yang membuat para seniornya marah. Untungnya, Indira mampu beradaptasi dengan cukup baik. Meskipun masih agak canggung tiap kali diminta mengerjakan sesuatu. Tepat pukul empat sore, Indira diperbolehkan untuk pulang. Besok harus berangkat sedikit lebih pagi untuk menyiapkan stok ATK. Tentu saja Indira bersedia, malah lebih bagus berangkat sejak pagi-pagi buta karena bisa menghindari Edgar dan Ezra. Indira meninggalkan ruang administrasi sambil menenteng tasnya. Langkahnya berhenti di depan lobi, hendak mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek. Tapi, tiba-tiba Edgar mengirim pesan. [Mas Edgar : jangan pulang sendiri. Saya jemput di depan kantor]Indira menghela napas, lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Tatapannya tertuju ke
Indira menyeduh secangkir kopi, kemudian berjalan menuju halaman belakang. Memandang kolam renang yang airnya terlihat tenang, permukaannya sedikit berkilau saat terkena lampu taman. Angin berembus, menerbangkan helaian-helaian rambut Indira. Gadis itu duduk di atas rerumputan, lalu menyesap kopinya yang masih sedikit panas. Ketika menengadah, yang dijumpai adalah bulan sabit. Cantik sekali saat tak tertutupi awan. Tenggelam di dalam lamunan, memikirkan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Momen-momen bahagia bisa dihitung dengan jari, sisanya merupakan pil pahit yang harus Indira telan bulat-bulat. “Kenapa duduk di sini sendirian?”Suara Edgar seketika membuyarkan lamunan Indira. Indira menoleh, menjumpai Edgar yang sudah berdiri di belakangnya sambil memegang secangkir teh hijau yang masih mengepul. “Mas Edgar? Belum tidur?” tanya Indira. Edgar terkekeh pelan, kemudian duduk di samping Indira. “Baru jam sepuluh,” gumam Edgar, tatapannya tertuju
Indira tahu kalau tak ada yang gartis di dunia ini. Tiap-tiap kebaikan yang ia terima dari orang lain, pasti ada harga yang harus dibayar. Entah itu dengan uang, tenaga, atau yang lainnya. Maksudnya, mana mungkin ada manusia yang benar-benar tulus membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun?Indira sepenuhnya menyadari bahwa Papa Danu menawarkan tempat tinggal dan makanan karena ada maksud tersembunyi. Bukan hanya semata-mata ingin membantu, tapi karena ingin menjadikan Indira sebagai menantu. Indira belum ingin menikah. Usianya baru duapuluh tahun. Statusnya masih mahasiswi. Masih memiliki banyak sekali mimpi yang ingin diraih. Ya, memang benar bahwa menikah bukanlah akhir dari segalanya. Indira tetap bisa berjuang meraih impiannya meskipun sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. Tapi, tetap saja rasanya berbeda. Ketika seorang perempuan telah menikah, maka prioritasnya akan berubah drastis. Tiap hari harus memperhatikan suami, menyiapkan makanan untuk suami, melayani s
Indira memandang kebaya berwarna putih dan kain jarik yang tergantung di depan lemari. Menjadi pengingat bahwa dirinya benar-benar akan segera melepas masa lajang, untuk menikah dengan Edgar. Indira bahkan sudah tak memiliki sisa energi untuk menangis atau meratapi nasib. Pernikahan telah diatur sedemikian rupa, bahkan saat ini ruang tengah sedang dihias dengan berbagai bunga karena besok pagi akan dijadikan sebagai tempat akad. Sekarang hari Sabtu, secara otomatis semua anggota keluarga berada di rumah. Indira bahkan enggan menginjakkan kakinya di luar kamar, karena tak mau bertemu dan mengobrol dengan siapa pun. Ia membutuhkan sedikit waktu untuk menyendiri, berusaha untuk berpikir positif di tengah situasi sulit yang menjepitnya. Haruskah Indira kabur dari rumah? Pergi sejauh-jauhnya demi membatalkan pernikahan. Tapi, pasti usahanya akan sia-sia. Papa Danu bisa dengan mudah menemukan Indira, meskipun bersembunyi di tempat yang paling terpencil sekali pun. Indira menyentuh kal
Pernikahan adalah momen yang sangat sakral. Dua manusia disatukan dalam sebuah ikatan suci, saling berjanji untuk menerima dan mengasihi sampai maut memisahkan. Tapi, pernikahan tanpa didasari oleh cinta ternyata terasa berat luar biasa. Indira termenung, menatap pantulan wajahnya pada cermin. Wajahnya sudah dirias, tubuhnya dibalut dengan kebaya dan kain batik, rambutnya berhias aksesoris. Sebentar lagi, gadis itu akan resmi melepas masa lajangnya. Indira menyentuh dadanya sendiri, kemudian mengalihkan pandangan ke arah jendela. Tak kuasa melihat penampilannya sendiri. Otaknya berkabut, penuh dengan bayang-bayang mengerikan. Bagaimana jika nantinya kehidupan Indira berubah seratus delapan puluh derajat? Bagaimana jika rasa cinta tak kunjung hadir di dalam dada, hingga tiap detik yang dihabiskan bersama Edgar terasa sangat menyiksa? Bagaimana jika suatu saat nanti Indira justru ingin menyerah dan mengakhiri segalanya? Selama beberapa saat, gadis itu memejamkan mata. Berusaha seku