Indira berkata akan menginap di rumah Kiran selama satu malam. Tapi, kenyataannya baru pulang saat akhir pekan. Tiga hari lamanya gadis itu tak kembali, bakan chat dari Edgar saja sering tak dibalas. Edgar tentu uring-uringan, beberapa kali berniat untuk menjemput Indira. Membawanya pulang ke rumah. Tapi, kesannya aneh sekali kalau Edgar memaksa ini dan itu, mengingat pertunangannya dengan Indira dilaksanakan atas dasar keterpaksaan. Mereka sama-sama tak memakai cincin, enggan mengakui status pertunangan di depan orang lain, dan tentu saja tidak saling mencintai. Benar. Edgar harusnya tak peduli. Bukankah lebih bagus kalau Indira sering menginap di luar? Sehingga mereka tidak harus makan bersama atau duduk berdua di ruang tengah.Ternyata tidak semudah itu mengontrol perasaannya. Ketika Indira baru saja pulang, yang Edgar lakukan adalah mengomel panjang lebar. “Bilangnya cuma satu malam, tapi ternyata sampai tiga hari nggak pulang,” ucap Edgar yang kini duduk di atas sofa sambil
Sejak pertengkaran dua hari silam, Indira dan Edgar belum bicara lagi. Lebih tepatnya, Indira lebih memilih untuk menghindar dan tak bersuara. Sarapan sejak pagi-pagi buta, kemudian langsung masuk ke dalam kamar. Sebisa mungkin membatasi interaksi dengan Edgar.Jujur, Edgar tak suka dengan ketegangan yang masih terasa di antara dirinya dengan Indira. Ingin mengakhiri perang dingin itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Canggung sekali kalau tiba-tiba mengajak Indira bicara seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hari ini Edgar sengaja bangun lebih awal. Mandi, memakai setelan rapi, kemudian berjalan meninggalkan kamar sambil memakai jam tangan. Setibanya di dapur, Edgar menjumpai Indira sedang berdiri di depan kitchen island. Sedang menikmati nasi dan telur ceplok sebagai menu sarapan. Indira terkejut saat Edgar tiba-tiba muncul. Masih pukul enam, harusnya Edgar baru bangun tidur dan sebentar lagi masuk ke kamar mandi. Indira lekas menghabiskan nasi di atas piringnya, kemudian meminum s
Sepulang kerja, Edgar langsung mampir ke Delon’s House, sebuah bar yang terletak di Senopati. Bersisian dengan sebuah tempat karaoke. Bar itu dikelola oleh sahabat karib Edgar yang bernama Delon. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. “Yo! Akhirnya ke sini juga,” ucap Delon ketika melihat Edgar melenggang lewat pintu kaca yang dibiarkan terbuka. Edgar melepas jasnya, kemudian menggulung lengan kemejanya. Laki-laki itu langsung duduk di depan meja bar, tertawa ketika melihat sahabat karibnya memiliki tato baru di leher. Cukup besar, sehingga sangat mencolok. “New tattoo?” tanya Edgar. Delon mengangguk, “iya, kembaran sama Agnes.”“Kenapa harus dileher?”“Daripada di pantat.” Edgar kembali tertawa, kemudian mengedarkan pandangannya. Bar masih sepi, mengingat saat ini masih pukul lima petang. Bahkan dua orang bartender yang biasa menyiapkan minuman juga baru datang. “Mau apa? Whisky or vodka?” tanya Delon. Edgar menggeleng, “no, lagi nggak mau m
Setelah menjalani periode Ujian Akhir Semester selama seminggu lamanya, akhirnya hari ini Indira bisa bernapas lega. Lepaskan segala beban yang menumpuk di pundaknya, kini hanya menunggu dosen menginput nilai. Masuk akhir pekan, Indira memilih memanfaatkan waktu untuk mencari informasi tentang paid internship. Hubungannya dengan Edgar memang sudah membaik, mereka tak lagi perang dingin atau saling menghindar. Tapi, tetap saja Indira perlu mencari kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburannya. Berbekal laptop, Indira menelusuri situs-situs resmi perusahaan yang ada di Jakarta. Mencari program paid internship. Memang ada beberapa opsi magang untuk mahasiswa, tapi sebagian besar tak dibayar. Hingga akhirnya ia menemukan lowongan internship di sebuah perusahaan farmasi sebagai staf administrasi. Gaji yang ditawarkan memang di bawah upah minimum, tapi sangat layak untuk dicoba karena lokasi kantor yang hanya berjarak tiga kilometer dari rumah. Bisa dijangkau dengan angkutan umu
Pagi ini, Indira menerima notifikasi bahwa dirinya lolos seleksi administrasi untuk program paid internship. Diundang datang ke perusahaan untuk melakukan sesi interview pada hari Selasa. Tentu saja Indira bangga. Meskipun masih ada tahap interview yang harus dilewati, persaingannya juga pasti semakin ketat. Tapi, paling tidak Indira sudah selangkah lebih dekat untuk mendapatkan pekerjaan. Indira tersenyum, ponselnya diletakkan di atas meja. Gadis itu lantas melanjutkan aktivitasnya, menyiram tanaman cabai dan tomat yang sudah tumbuh daun. Dalam beberapa hari bisa mulai dipindahkan ke pot yang lebih besar. Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore, tapi suhu permukaan masih cukup tinggi. Leher dan punggung Indira sampai dibasahi oleh keringat, padahal semestinya sore-sore begini mulai terasa sejuk. Selesai menyiram tanaman, Indira meletakkan alat semprot di dalam gudang kayu. Setelah itu, menyalakan keran di luar untuk membasuh wajahnya. Segar sekali saat terkena air. Perhatian
“Kamu belajar masak sejak kapan, Indira?” “Saya tinggal di panti asuhan, pastinya harus serba bisa, Mas. Dari kecil, saya sering bantu-bantu masak, jaga adik-adik yang masih bayi, nyuci baju, sampai ngurus taman juga. Memang harus mandiri sejak kecil, karena nggak tahu juga mau minta bantuan sama siapa. Pengurus panti jumlahnya cuma sedikit, sedangkan anak-anak yang tinggal di sana ada banyak banget.” Edgar terdiam, merasa tertampar dan malu. Dari segi usia, Indira memang jauh lebih muda dari Edgar. Tapi, gadis itu seolah bisa melakukan apa saja dan mampu bertahan di tengah situasi apa pun. “Coba dicicipi. Itu tadi Mas Edgar sendiri yang bikin bumbu ikannya,” kata Indira beberapa saat kemudian. Lamunan Edgar seketika buyar. Laki-laki itu lantas memegang sendok, mengambil sedikit ikan goreng yang telah tersaji di atas meja. Memasukkannya ke dalam mulut, perlahan mengunyah daging ikan hingga hancur. Tapi, sedetik kemudian mengambil sehelai tisu dan meludahkan makanannya. Ternyata
“Awal bulan. Saatnya belanja, Pak.” Jemari Edgar berhenti bergerak di atas keyboard. Benar, sekarang sudah masuk awal bulan. Harusnya Edgar pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian, sepatu, dan jam tangan baru. Biasanya ditemani seorang gebetan atau pacar. “Jam berapa sekarang?” tanya Edgar. “Setengah lima, Pak,” jawab Mila sambil melirik jam tangannya. “Mau pergi sekarang? Perlu saya teleponkan Maya atau Alicia untuk menemani Pak Edgar belanja?” “Nggak perlu, Mil. Saya bisa belanja sendiri.”“Sendiri? Tanpa siapa-siapa?”Edgar mengangguk dengan yakin. Mila tercenang, tak menyangka kalau atasannya yang terkenal playboy itu mau pergi ke pusat perbelanjaan seorang diri. Padahal, biasanya selalu ada perempuan yang mau menemani dengan sukarela. “Kalau kamu mau pulang duluan, silakan. Saya ngecek laporan perkembangan proyek dulu, habis itu langsung keluar,” kata Edgar. Mila menyipitkan mata, menatap Edgar dengan penuh curiga. “Pak Edgar sekarang nggak suka perempuan lagi?
Pagi ini Indira memakai kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya dipoles dengan makeup tipis agar terlihat lebih fresh. Tak lupa, gadis itu juga memakai parfum agar wangi. Jantungnya berdebar-debar, antusias sekali karena hari ini resmi bekerja sebagai intern di sebuah perusahaan farmasi. Meskipun statusnya hanya intern dengan masa kontrak tiga bulan, tetap saja Indira senang. Paling tidak, pengalaman magang selama tiga bulan itu bisa dimasukkan ke dalam curriculum vitae, sehingga dapat menjadi poin plus ketika Indira hendak mencari pekerjaan full time nantinya. Ketika memandang standing mirror, tatapan Indira terpaku pada kalung yang melingkar dengan manis di lehernya. Tangannya perlahan bergerak, mengusap bandul kalungnya dengan lembut. Lalu, menyembunyikannya di balik kemeja, agar tidak terlalu mencolok. Setelah memastikan penampilannya benar-benar rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki, barulah Indira berjalan meninggalkan kamar. Sambil membawa tas yang tel