Agar tak diminta untuk ikut ke kantor lagi, Indira memutuskan untuk pergi dari rumah sejak pagi-pagi buta. Berjalan mengendap-endap dari kamarnya, membawa sebua ransel yang diisi dengan buku, laptop, botol tumbler, dan camilan. Rencananya akan pergi ke perpustakaan, lalu bertemu dengan Kiran untuk belajar bersama. Sialnya, Indira tertangkap basah. “Hei! Mau ke mana?”Langkah Indira seketika berhenti, perlahan menoleh ke belakang. Menjumpai Edgar sedang berdiri di ujung tangga dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Indira menelan ludah dengan susah payah, lalu berkata, “mau ke rumah teman, Mas. Hari ini udah janjian mau belajar bareng.”“Ini masih jam setengah enam.”“Iya, biar bisa sekalian sarapan bareng.” “Teman yang tempo hari ngajak kamu ke bar?”“Bukan!”Edgar menyipitkan mata, menatap Indira lekat-lekat. Ingin memastikan apakah yang diucapkan oleh Indira adalah sebuah kejujuran. “Kamu sengaj pergi pagi-pagi begini bukan karena mau menghindari saya, kan?” tanya Edgar.
[Indira : malam ini saya mau nginep di rumahnya Kiran]Sial. Edgar serasa ditolak mentah-mentah saat membaca pesan balasan yang dikirimkan oleh Indira. Menginap, katanya. Entah bagaimana firasat Edgar mengatakan kalau Indira ingin menghindar, sehingga mencari seribu alasan agar tak perlu terus berjumpa dan mengobrol dengan Edgar. Edgar berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya, sesekali memandang ke arah langit yang sore ini berselimut awan mendung. Sangat pekat, mungkin sebentar lagi hujan deras akan turun. Mila sampai pusing sendiri melihat atasannya mondar-mandir seperti setrika. Dari luar terlihat seperti seorang CEO muda yang sedang memikirkan proyek-proyek besar yang sedang berlangsung. Padahal, laki-laki itu sedang overthinking gara-gara Indira akan menginap di luar.“Jangan-jangan dia mau party?” gumam Edgar. Mila menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, semakin bingung melihat Edgar yang mulai bergumam sendiri. “Tapi, perempuan seperti Indira nggak mungkin berani club
Indira berkata akan menginap di rumah Kiran selama satu malam. Tapi, kenyataannya baru pulang saat akhir pekan. Tiga hari lamanya gadis itu tak kembali, bakan chat dari Edgar saja sering tak dibalas. Edgar tentu uring-uringan, beberapa kali berniat untuk menjemput Indira. Membawanya pulang ke rumah. Tapi, kesannya aneh sekali kalau Edgar memaksa ini dan itu, mengingat pertunangannya dengan Indira dilaksanakan atas dasar keterpaksaan. Mereka sama-sama tak memakai cincin, enggan mengakui status pertunangan di depan orang lain, dan tentu saja tidak saling mencintai. Benar. Edgar harusnya tak peduli. Bukankah lebih bagus kalau Indira sering menginap di luar? Sehingga mereka tidak harus makan bersama atau duduk berdua di ruang tengah.Ternyata tidak semudah itu mengontrol perasaannya. Ketika Indira baru saja pulang, yang Edgar lakukan adalah mengomel panjang lebar. “Bilangnya cuma satu malam, tapi ternyata sampai tiga hari nggak pulang,” ucap Edgar yang kini duduk di atas sofa sambil
Sejak pertengkaran dua hari silam, Indira dan Edgar belum bicara lagi. Lebih tepatnya, Indira lebih memilih untuk menghindar dan tak bersuara. Sarapan sejak pagi-pagi buta, kemudian langsung masuk ke dalam kamar. Sebisa mungkin membatasi interaksi dengan Edgar.Jujur, Edgar tak suka dengan ketegangan yang masih terasa di antara dirinya dengan Indira. Ingin mengakhiri perang dingin itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Canggung sekali kalau tiba-tiba mengajak Indira bicara seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hari ini Edgar sengaja bangun lebih awal. Mandi, memakai setelan rapi, kemudian berjalan meninggalkan kamar sambil memakai jam tangan. Setibanya di dapur, Edgar menjumpai Indira sedang berdiri di depan kitchen island. Sedang menikmati nasi dan telur ceplok sebagai menu sarapan. Indira terkejut saat Edgar tiba-tiba muncul. Masih pukul enam, harusnya Edgar baru bangun tidur dan sebentar lagi masuk ke kamar mandi. Indira lekas menghabiskan nasi di atas piringnya, kemudian meminum s
Sepulang kerja, Edgar langsung mampir ke Delon’s House, sebuah bar yang terletak di Senopati. Bersisian dengan sebuah tempat karaoke. Bar itu dikelola oleh sahabat karib Edgar yang bernama Delon. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. “Yo! Akhirnya ke sini juga,” ucap Delon ketika melihat Edgar melenggang lewat pintu kaca yang dibiarkan terbuka. Edgar melepas jasnya, kemudian menggulung lengan kemejanya. Laki-laki itu langsung duduk di depan meja bar, tertawa ketika melihat sahabat karibnya memiliki tato baru di leher. Cukup besar, sehingga sangat mencolok. “New tattoo?” tanya Edgar. Delon mengangguk, “iya, kembaran sama Agnes.”“Kenapa harus dileher?”“Daripada di pantat.” Edgar kembali tertawa, kemudian mengedarkan pandangannya. Bar masih sepi, mengingat saat ini masih pukul lima petang. Bahkan dua orang bartender yang biasa menyiapkan minuman juga baru datang. “Mau apa? Whisky or vodka?” tanya Delon. Edgar menggeleng, “no, lagi nggak mau m
Setelah menjalani periode Ujian Akhir Semester selama seminggu lamanya, akhirnya hari ini Indira bisa bernapas lega. Lepaskan segala beban yang menumpuk di pundaknya, kini hanya menunggu dosen menginput nilai. Masuk akhir pekan, Indira memilih memanfaatkan waktu untuk mencari informasi tentang paid internship. Hubungannya dengan Edgar memang sudah membaik, mereka tak lagi perang dingin atau saling menghindar. Tapi, tetap saja Indira perlu mencari kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburannya. Berbekal laptop, Indira menelusuri situs-situs resmi perusahaan yang ada di Jakarta. Mencari program paid internship. Memang ada beberapa opsi magang untuk mahasiswa, tapi sebagian besar tak dibayar. Hingga akhirnya ia menemukan lowongan internship di sebuah perusahaan farmasi sebagai staf administrasi. Gaji yang ditawarkan memang di bawah upah minimum, tapi sangat layak untuk dicoba karena lokasi kantor yang hanya berjarak tiga kilometer dari rumah. Bisa dijangkau dengan angkutan umu
Pagi ini, Indira menerima notifikasi bahwa dirinya lolos seleksi administrasi untuk program paid internship. Diundang datang ke perusahaan untuk melakukan sesi interview pada hari Selasa. Tentu saja Indira bangga. Meskipun masih ada tahap interview yang harus dilewati, persaingannya juga pasti semakin ketat. Tapi, paling tidak Indira sudah selangkah lebih dekat untuk mendapatkan pekerjaan. Indira tersenyum, ponselnya diletakkan di atas meja. Gadis itu lantas melanjutkan aktivitasnya, menyiram tanaman cabai dan tomat yang sudah tumbuh daun. Dalam beberapa hari bisa mulai dipindahkan ke pot yang lebih besar. Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore, tapi suhu permukaan masih cukup tinggi. Leher dan punggung Indira sampai dibasahi oleh keringat, padahal semestinya sore-sore begini mulai terasa sejuk. Selesai menyiram tanaman, Indira meletakkan alat semprot di dalam gudang kayu. Setelah itu, menyalakan keran di luar untuk membasuh wajahnya. Segar sekali saat terkena air. Perhatian
“Kamu belajar masak sejak kapan, Indira?” “Saya tinggal di panti asuhan, pastinya harus serba bisa, Mas. Dari kecil, saya sering bantu-bantu masak, jaga adik-adik yang masih bayi, nyuci baju, sampai ngurus taman juga. Memang harus mandiri sejak kecil, karena nggak tahu juga mau minta bantuan sama siapa. Pengurus panti jumlahnya cuma sedikit, sedangkan anak-anak yang tinggal di sana ada banyak banget.” Edgar terdiam, merasa tertampar dan malu. Dari segi usia, Indira memang jauh lebih muda dari Edgar. Tapi, gadis itu seolah bisa melakukan apa saja dan mampu bertahan di tengah situasi apa pun. “Coba dicicipi. Itu tadi Mas Edgar sendiri yang bikin bumbu ikannya,” kata Indira beberapa saat kemudian. Lamunan Edgar seketika buyar. Laki-laki itu lantas memegang sendok, mengambil sedikit ikan goreng yang telah tersaji di atas meja. Memasukkannya ke dalam mulut, perlahan mengunyah daging ikan hingga hancur. Tapi, sedetik kemudian mengambil sehelai tisu dan meludahkan makanannya. Ternyata
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk