Indira terkejut luar biasa saat merasakan ada tangan kokoh yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu menoleh ke samping, menatap Edgar yang tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Apa-apaan? Kenapa tiba-tiba memeluk?“Ed!” Ketika ada seseorang yang memanggil, Edgar langsung meminta Indira untuk berdiri di belakangnya. Dengan kata lain, Indira harus bersembunyi. “Who is she? Your sister?” tanya Mario,, seorang laki-laki yang berstatus sebagai CEO di perusahaan start-up. Tatapannya tertuju pada Indira yang berdiri di belakang Edgar. “Saudara jauh,” jawab Edgar seperlunya, sambil tetap memastikan Indira tak ke mana-mana. “Wow! Kenapa nggak pernah cerita kalau punya saudara jauh yang lumayan?” “You are married. Kenapa masih suka jelalatan setiap lihat cewek cantik?” Ucapan Edgar membuat Mario sontak tertawa. Akhirnya mundur, tak jadi merayu Indira karena pawangnya yang sangat galak. Edgar menembuskan napas, kemudian mengedarkan pandangannya. Mencari tempat yang sedikit sepi, agar ta
“Indira, kaki kamu kenapa?” Ezra langsung bersuara ketika melihat Indira sedikit pincang, meskipun masih kuat untuk berjalan dan menuruni tangga. Hanya terasa sedikit nyeri ketika melangkah, tadi malam dokter mengatakan kalau pergelangan kaki Indira hanya terkilir dan tak memerlukan perawatan intensif. “Terkilir, Mas,” jawab Indira sembari duduk di ruang makan. Pagi ini, dengan amat terpaksa Indira tak bisa membantu Bi Imah bersih-bersih dan memasak. Kehadirannya di dapur hanya akan menganggu dan merepotkan. “Tadi malam jatuh?” tanya Ezra sekali lagi. Indira menunjukkan cengiran di bibirnya, “iya, Mas. Jatuh gara-gara nggak terbiasa pakai high heels.” “Oh, berarti gara-gara Bang Edgar.” “Bukan karena Mas Edgar. Saya sendiri yang salah, karena dari awal nggak bilang kalau belum terbiasa pakai high heels.”Detik berikutnya, Edgar muncul. Langung memberi tatapan tajam ke arah Ezra yang sejak pagi sudah berusaha memojokannya. Ezra tak peduli, memilih untuk mengambil pisang dan meny
“Ndi!”Indira menoleh ketika merasa namanya dipanggil. Lalu, kedua matanya membulat dengan sempurna saat menyadari bahwa sosok yang memanggilnya adalah Valentine Atmaja. Mahasiswi paling populer di fakultas, memiliki side job sebagai content creator. Indira mengenal Valentine, sebab mereka selalu berada di kelas yang sama sejak berstatus sebagai mahasiswa baru. Tapi, gaya hidup yang berbeda jauh membuat keduanya tak pernah sekali pun berinteraksi, kecuali saat ada tugas kelompok. “Kenapa, Val?” tanya Indira sambil membenarkan letak tasnya. Valentine menatap Indira dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian tersenyum. “Kita satu kelompok kan buat tugas Audit Informasi?” “Iya, kita sekelompok.” “Tugasnya kita kerjain hari ini, yuk. Mumpung gue lagi free, soalnya besok-besok ada jadwal collab sama content creator lain.” Indira mengerjapkan mata, tak mengira kalau Valentine akan mengajaknya untuk mengerjakan tugas bersama. Selama ini, mereka lebih suka mengerjakan sendiri-sendiri
Sejak meninggalkan lounge and bar, tak banyak pembicaraan yang mengalir di antara Edgar dan Indira. Hanya alunan musik dalam volume rendah yang terdengar. Indira tak mau memulai pembicaraan, sebab ia tahu persis kalau Edgar sedang kesal. Pada dasarnya, laki-laki itu memang tak pandai menyembunyikan isi hatinya. Segala hal seolah tergambar dengan jelas dari ekspresi wajahnya. “Jelaskan,” ucap Edgar pada akhirnya, memecah keheningan. “Kenapa kamu ada di bar? Saya nggak percaya alasan kamu yang tadi. Mengerjakan tugas bisa di coffee shop atau restoran. Saya nggak pernah sekali pun lihat ada mahasiswa yang mengerjakan tugas di bar.” Indira memainkan kukunya, lalu berkata, “saya jujur, Mas. Tadi teman saya yang ngajak ke bar buat mengerjakan tugas kelompok. Katanya, kalau masih sore bar belum terlalu ramai.” “Kamu ditipu, Indira. Dasar naif. Kamu diajak ke bar karena mau dikasih minuman.” “Makanya saya langsung pergi waktu ditawarin whisky. Saya masih tahu batasan, kok.” “Bar bukan t
Hari ini Indira libur, memasuki minggu tenang karena beberapa hari lagi masuk periode UAS. Meskipun libur, Indira tetap bangun pagi untuk membantu Bi Imah membersihkan rumah. Setelah itu, pergi ke halaman belakang untuk menyirami bibit tomat dan cabainya yang mulai tumbuh daun. Beberapa hari lagi, siap dipindahkan ke pot yang lebih besar. Tadi malam Valentine menelepon Indira, mengajaknya untuk camping di Puncak selama dua malam. Katanya, untuk menyegarkan otak sebelum dipusingkan dengan serangkaian ujian. Tentu saja Indira menolaknya mentah-mentah, ia tak mau lagi hang out dengan Valentine karena khawatir akan diberi alkohol lagi. Lebih baik tetap di rumah selama masa liburnya, meskipun sebenarnya Indira juga canggung tiap kali terjebak di antara Edgar dan Ezra yang suka bertengkar. “Habis ujian, aku harus kerja part time. Daripada cuma stay di rumah selama liburan semester. Lumayan kan uangnya bisa dipakai buat penelitian skripsi,” gumam Indira sambil menyemprot bibit cabai dan
Semua staf di Bumantara Construction terkejut luar biasa ketika Edgar datang bersama Indira. Meskipun memang dikenal sebagai sosok playboy yang suka gonta-ganti kekasih, tapi tak pernah sekali pun Edgar membawa perempuan ke kantor. Indira langsung menjadi pusat perhatian, ditatap dengan sedemikian rupa oleh para staf. Hal itu tentu saja membuat Indira sedikit risih, rasanya seperti sedang diawasi oleh puluhan pasang mata. Bisa dipastikan rumor dan gosip akan mulai menyebar seperti kobaran api yang sulit dipadamkan. Indira menunduk, hanya mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Edgar tanpa banyak bicara. Mencoba untuk mengabaikan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Edgar membuka pintu ruang kerjanya, kemudian melangkah masuk. “Kamu bisa duduk di sofa,” ucap Edgar sambil menunjuk ke arah sofa. “Mungkin lebih baik saya pulang aja, Mas,” sahut Indira, mencoba untuk tetap bersikap sopan. “Saya agak kurang nyaman ada di tempat ini. Semua staf juga kelihatannya risih lihat Mas Edga
[Maya : Ed, malam ini Delon ngadain party di barnya. Mau join?]Edgar terdiam ketika membaca sebaris chat dari Maya. Aneh sekali, seolah gairahnya untuk berpesta telah menguap entah ke mana. [Edgar : sorry, malam ini ada acara]Seorang Edgar Pradana Bumantara menolak ajakan pesta adalah hal yang sangat tak wajar. Laki-laki itu sangat mencintai kebebasan, suka melepas stress dengan cara berpesta dan bercumbu mesra dengan perempuan. “Langsung pulang, Mas?” tanya Mila.“Iya, langsung pulang,” jawab Edgar sambil bangkit dari duduknya, lalu beranjak meninggalkan ruangan. Sebab Edgar ingin segera tiba di rumah, khawatir kalau Ezra mulai merayu Indira. Bagaimana pun, isi pikiran Ezra sangat sulit untuk ditebak.Indira sudah pulang sejak pukul satu siang. Meskipun Edgar berusaha mencegah dengan berbagai cara, tetap saja Indira memilih untuk pergi dari kantor menggunakan taksi. Pendiriannya kuat sekali, meskipun dari luar terlihat seperti gadis muda yang labil. Setibanya di basement, Edgar
Agar tak diminta untuk ikut ke kantor lagi, Indira memutuskan untuk pergi dari rumah sejak pagi-pagi buta. Berjalan mengendap-endap dari kamarnya, membawa sebua ransel yang diisi dengan buku, laptop, botol tumbler, dan camilan. Rencananya akan pergi ke perpustakaan, lalu bertemu dengan Kiran untuk belajar bersama. Sialnya, Indira tertangkap basah. “Hei! Mau ke mana?”Langkah Indira seketika berhenti, perlahan menoleh ke belakang. Menjumpai Edgar sedang berdiri di ujung tangga dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Indira menelan ludah dengan susah payah, lalu berkata, “mau ke rumah teman, Mas. Hari ini udah janjian mau belajar bareng.”“Ini masih jam setengah enam.”“Iya, biar bisa sekalian sarapan bareng.” “Teman yang tempo hari ngajak kamu ke bar?”“Bukan!”Edgar menyipitkan mata, menatap Indira lekat-lekat. Ingin memastikan apakah yang diucapkan oleh Indira adalah sebuah kejujuran. “Kamu sengaj pergi pagi-pagi begini bukan karena mau menghindari saya, kan?” tanya Edgar.
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk