BAB 1
PINDAH KE RUMAH KAKEKPagi yang cerah, udara yang sejuk dan sinar matahari yang menghangatkan dunia, membuat Clare Caroline menghirup udara pagi itu dengan rakus.“Jika kau menghirup seperti itu, lebah pun akan masuk ke dalam hidungmu, Clare…” goda sang Ibu, Nyonya Audrey sembari melewati Clare.“Lebah tidak akan menyukai ingus pagiku, Ibu. Sangat lengket dan membuatnya bisa terjebak di sana selamanya,” sahut Clare sembari terus menghirup udara pagi.Sang Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, pagi ini ia sangat sibuk, karena Clare akan tinggal di rumah kakeknya, sesuai dengan wasiat sang Kakek, sebelum meninggal dunia, jika rumah itu akan diwariskan kepada Clare. Kakeknya memilih Clare sebagai pewaris rumah besar itu, karena Clare adalah satu-satunya cucu perempuan di dalam keluarga besar Hugo Adam.Clare yang baru menginjak usia dua puluh tahun, di tahun ini, akhirnya diberikan ijin untuk tinggal sendiri di sana, dengan alasan ingin hidup mandiri dan berusaha sendiri. Sungguh alasan yang agak aneh untuk sang Ibu, mengingat Clare adalah anak bungsu di dalam keluarga mereka.Kedua kakak lelakinya, Matthew Adam dan Raymond Adam, justru masih tinggal bersama dengan mereka. Matthew bekerja sebagai seorang dokter bedah di Rumah Sakit milik sang Ayah, Bence Adam, sedangkan Raymond memiliki sebuah Café dan menjadi seorang pebisnis di bidang Kuliner. Clare sendiri sedang melanjutkan studynya di University College London (UCL), ia memilih untuk masuk ke Falkutas Sejarah, karena ia sangat tertarik dengan sejarah Eropa dan dunia.“Apakah kau tidak akan kesulitan nantinya, jika kau tinggal sendirian?” tanya Nyonya Audrey, ia ingin memastikan, jika putrinya tidak asal-asalan, untuk tinggal seorang diri. Clare merenggangkan tubuhnya dan kemudian menatap ibunya dengan penuh keyakinan.“Tidak, aku pasti bisa melakukannya, aku bukan Matthew ataupun Raymond, yang masih tinggal bersama dengan kalian dan menjadi bayi,” jawab Clare sembari meledek kedua kakaknya.“Lihat siapa yang berbicara! Jika kau sampai kembali ke rumah kurang dari satu bulan, awas saja! Aku akan menjarah semua koleksi komikmu!” pekik Raymond dari balik jendela. Clare memutar tubuhnya dan berkacak pinggang.“Bagaimana jika aku bisa tinggal di sana lebih dari satu bulan?” ia bertanya kepada sang Kakak dengan hidung yang mendongak ke atas.“Aku akan mengakui kehebatanmu dan aku akan lari keliling komplek, hanya dengan pakaian dalam saja!” jawab Raymond dengan wajah yakin. Clare menyeringai dan membuat Raymond merasakan firasat buruk, apakah ia akan kalah dalam taruhan ini?“Clare! Apakah kau tidak akan bersiap-siap?” terdengar suara Matthew dari dalam rumah.Clare segera berlari masuk ke dalam rumah dan melihat kakak tertuanya itu, sedang mengenakan kemeja, gadis itu selalu mengagumi Matthew yang memiliki tubuh ideal, tingginya sekitar seratus delapan puluh sembilan sentimeter, dengan otot-otot tubuh yang menawan. Wajahnya sangat menawan dengan hidung mancung, tatapan yang setajam elang dan bibir yang nampak sensual. Namun Clare juga merasa kesal, karena Matthew, ia nyaris tak bisa pergi ke sekolah dengan tenang dulunya, semua teman perempuannya, selalu meminta untuk bertemu dengan sang Kakak, dan itu sangat merepotkan!“Ada apa, Clare? Kau tidak akan mengenakan mantelmu?” tanya Matthew sembari mengancing kemeja biru mudanya.“Aku akan segera mengambilnya,” Clare melengos, karena kakaknya tidak tersenyum sedikitpun kepadanya.Awas saja jika sampai ia memacari temanku! Clare berteriak di dalam hatinya, ia berlari menaiki tangga rumah, dengan langkah yang berisik, sehingga Bence Adam, sang Ayah, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang Putri.“Maafkan aku karena harus merepotkanmu, Matthew, aku sedang ada pertemuan pagi ini. Tolong antarkan Clare ke rumah kakekmu, karena tempat itu tidak jauh dari Universitas tempat ia kuliah, makanya aku meloloskan permintaannya untuk tinggal di sana.Tetapi, aku ingin kau dan Raymond, menginap di sana setiap akhir pekan. Bagaimanapun juga, Clare masih terlalu muda, untuk hidup seorang diri di sana, kita tidak akan tau apakah ia akan mendapatkan gangguan dari orang lain, terutama dari seorang pria.”Tuan Bence menekan kata seorang pria, sembari menyeruput kopi miliknya dan melirik Matthew. Pemuda itu tidak menjawab, seperti biasa, ia memang tipikal orang yang tidak banyak bicara, namun melaksanakan kewajibannya. Clare menatap pantulan dirinya di depan cermin dan tersenyum. Rambut panjangnya yang ikal kecoklatan, ia ikat ke atas, dengan segera ia mengenakan mantelnya dan kemudian berlari menuruni tangga.“Clare, jangan berlari-lari di dalam rumah, bagaimana jika rumah ini roboh karena hentakan kakimu?” Raymond kembali mengejeknya dan ikut menuruni tangga rumah itu. Clare mendengus dan kemudian menghampiri Matthew, yang terlihat sudah siap untuk mengantarkannya, pergi ke rumah sang Kakek. Ayah dan Ibunya juga sudah berdiri di depan rumah, Tuan Bence terlihat tenang, sementara sang Istri terlihat cemas, karena ini untuk pertama kalinya, sang Putri pergi meninggalkan rumah.“Kau yakin tidak apa-apa?” tanya Nyonya Audrey sembari menggenggam jemari Clare, gadis itu tersenyum dan kemudian memeluk ibunya.“Jaraknya tidak terlalu jauh dari Universitas, kalian juga tidak perlu repot untuk mengantar jemputku. Matthew memiliki banyak pekerjaan, demikian pula dengan kalian, aku tidak ingin merepotkan kalian, Ibu,” ujar Clare dengan nada yang riang. Nyonya Audrey melepaskan pelukannya dan kemudian giliran Tuan Bence yang memeluk Clare.“Kau akan baik-baik saja, karena kau adalah gadis yang mandiri, aku berani bertaruh akan hal itu,” ujarnya dengan yakin sembari menepuk bahu sang Putri.“Tetapi ingat!” ia melepaskan pelukannya dan memandang Clare dengan mata kecilnya.“Kau tidak boleh membawa pria masuk ke dalam rumahmu! Kau masih terlalu kecil untuk hal itu! Kau juga harus waspada pada orang asing, jangan biarkan mereka masuk, jika terjadi sesuatu, segera hubungi Matthew dan Raymond!Apakah kau mengerti?” Clare menutup matanya, air ludah sang Ayah menerpa wajahnya, setiap kali ayahnya menasehati dirinya.“Bence! Sudahlah! Kau sudah ‘menghujani’nya!” Nyonya Audrey segera menarik lengan Clare dan mengajaknya masuk ke dalam mobil, Matthew dan Raymond sudah menunggunya di dalam.“Terkadang aku tidak percaya, jika ayahmu memiliki sebuah Rumah Sakit,” Nyonya Audrey mengomel dan membukakan pintu mobil. Clare segera masuk dan duduk di bangku belakang.“Matthew, Raymond, pastikan adik kalian selamat sampai di sana, dan kirimi aku pesan,” ujar sang Ibu dengan tegas.“Baik, Nyonya!” Raymond menjawab sang Ibu dan kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.“Clare, ingat pesan ayahmu dan jangan lupa untuk mengabari Ibu setiap hari. Kau mengerti?” Clare menganggukan kepalanya perlahan, pagi ini ia sudah cukup mendapatkan ceramah dan nasehat yang sama! Nyonya Audrey lantas mengecup kening putrinya dan kemudian menutup pintu mobil. Matthew menoleh dan menatap Clare dengan matanya, yang sebiru lautan.“Baiklah, kita berangkat sekarang.”Perjalanan dari Birmingham, di mana rumah keluarga Adam berada, menuju ke Bloomsbury, menjadi perjalanan yang cukup panjang. Setidaknya mereka harus menempuh jarak selama dua jam perjalanan, Matthew dan Raymond rela mengosongkan jadwal mereka, demi mengetahui kondisi rumah kakek mereka.“Clare…?” Raymond menegur adiknya dan memastikan jika ia masih terjaga.“Ada apa?” tanya Clare sembari menikmati pemandangan musim semi di sepanjang jalan.“Apakah kau tidak takut, jika tiba-tiba saja Kakek muncul di hadapanmu?” Raymond kembali menggoda Clare, sang Adik mendelikan matanya dan mendengus.“Trik apa lagi yang akan kau mainkan, supaya aku merasa takut dan tidak jadi tinggal di sana? Katakan saja sejujurnya, Ray, kau takut bukan jika kalah dalam taruhan denganku?” Clare balik meledek Raymond, sembari menjulurkan lidahnya.“Ck, bocah ini, tidak bisakah kau membiarkan aku menang sekali-sekali? Ayah, Ibu dan Matthew selalu membela dan membuatmu menang, meskipun seharusnya kau kalah,” Raymond m
“Ini…?” Clare tidak melanjutkan kata-katanya, ia masih terkagum-kagum dan terpesona dengan ruangan itu.“Sepertinya ini adalah ruang rahasia milik kakek,” Matthew memberitaukan hal tersebut kepada kedua adiknya. Raymond memperhatikan benda-benda yang terpajang di sana, pistol, peluru, busur panah dan mata panah yang juga terbuat dari perak. Clare mengusap buku yang halamannya nampak terbuka, di atas meja sang Kakek. Ia memperhatikan tulisan-tulisan kecil di halaman itu, lantas kemudian mengerutkan keningnya.“Ada apa?” tanya Raymond sembari menghampiri sang Adik, dilihatnya halaman itu dan kemudian berdiri tegak menatap Matthew.“Apakah kau sudah mengetahui tempat ini sejak lama?” ia bertanya kepada sang Kakak, nadanya terdengar sedikit gusar.“Ya, aku mengetahuinya sudah sejak kita masih remaja, Ray,” jawab Matthew dengan tenang.“Lalu apakah kau menanyakan tentang hal ini kepada kakek?” Clare ikut bertanya karena merasa penasaran. Matthew hanya menggeleng pelan, mata Raymond melotot
Lagi-lagi pria itu tidak langsung menjawab, ia justru menatap ke sekelilingnya dan wajahnya nampak kebingungan. Clare merasa sedikit jengkel dan kemudian masuk ke dalam basement, ia segera melongok ke dalam lubang galian dan melihat, apakah pria itu masuk dengan menggali lubang?Ya, tentu saja, Clare bisa melihat lubang galian, yang sepertinya cukup panjang. Ia berdecak karena kesal dan segera naik kembali. Pria itu masih berdiri di sana dan melihat seisi Perpustakaan.“Apakah kau sudah mau menjawab, siapa dirimu yang sebenarnya?” Clare berkacak pinggang dan mendongakan kepalanya. Pria itu menatap Clare dengan sepasang mata birunya yang tajam.“Enzo Etienne, itu namaku.” Ia menjawab dengan singkat dan kemudian menarik sebuah buku dari rak, lalu membacanya.“Hmm, Enzo… Etienne? Kau ini, namamu bahkan kuno sekali seperti tampangmu,” Clare mengomentari pria itu.“Apa yang sedang kau lakukan di rumah Kakekku? Seberapa jauh kau menggali hingga kau bisa masuk ke dalam sini?” Clare kembali b
Clare segera menepis pikirannya.“Dia bukan pria! Dia makhluk aneh yang berasal dari lubang galian!” Clare berusaha untuk menepis pikirannya, dengan wajah yang memerah, ia melongok sebentar keluar pintu kamar sang Kakek. Kemudian ia mengamati pakaian kakeknya dan bergumam pelan.“Maaf, Kakek, tetapi aku harus meminjamkan baju ini kepadanya…” ujarnya sembari membelai kemeja peninggalan mendiang sang Kakek. Kemudian ia bergegas menuju ke kamar mandi, yang terletak di lantai satu. Ketika membuka pintu, ia merasa terkejut, ketika melihat pria itu keluar tanpa busana. Seketika wajahnya memerah dan jantungnya berdetak dengan keras. Clare segera memalingkan wajahnya, sementara tangannya meraba dinding, lalu meletakan pakaian di atas meja kecil, yang terdapat di dalam ruangan besar itu.“Ke-Kenakan bajumu! Setelah itu aku akan menggunting rambutmu dan mencukur janggutmu!” Setelah berkata dengan nada berteriak seperti itu, ia segera keluar dari dalam sana dan melesat menuju ke kamarnya. Enzo m
Memang benar gadis ini adalah keturunan keluarga Adam, tetapi mengapa seolah ia tidak mengetahui apapun tentang keberadaan kami? Ia terlihat sangat naif dan polos, juga nampak tidak berbahaya.Enzo bertanya-tanya di dalam hatinya, ia memandangi telapak tangan besarnya yang sedang menjabat jemari tangan Clare yang mungil.“Baiklah, karena kita sudah berkenalan, aku akan membereskan segala sesuatunya di sini, dan kita akan memikirkan bagaimana caranya kau akan tinggal di sini, untuk sementara waktu!”Enzo tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti apa yang dikatakan oleh Clare, ia berada di dunia yang sangat asing, dengan pemandangan dan udara yang berbeda. Ini bukanlah Bloomsburry yang ia kenal, kota ini terlihat jauh berbeda.Ketika Clare selesai merapikan tempat itu kembali, ia segera mengajak Enzo untuk masuk kembali ke dalam rumah. Clare berjalan perlahan dengan kening berkerut, ia sedang berpikir, di mana sebaiknya Enzo bersembunyi, jika kedua kakaknya kembali ke rumah ini.Di
Clare hanya menganggukkan kepalanya perlahan dengan wajah yang agak memucat, Raymond yang melihat hal itu merasa tak tega, lalu menepuk-nepuk bahu Matthew. “Sudahlah, kau akan menakutinya jika terus bersikap demikian, alih-alih jujur, dia akan menyembunyikan segala sesuatunya darimu, jika kau bersikap menyeramkan seperti ini…”Matthew masih menatap sang Adik dalam-dalam, sebelum akhirnya ia menghela nafas panjang dan kemudian mulai menyiapkan makan malam untuk mereka. Raymond mendekati Clare dan menepuk bahu sang Adik dengan lembut, “Sudah, jangan terlalu dipikirkan, bukankah kau juga tau jika Matthew memang over protective sedari dulu? Kau bisa mengadukan apa saja padaku, akan tetapi aku tidak menjamin jika aku tidak menyampaikannya kepada Matthew.”Clare melirik ke arah Raymond dan memukul dada bidang pemuda itu dengan kuat. “Intinya kau tetap ingin mengambil keuntungan dengan menjahiliku, bukan?” Raymond tertawa terbahak-bahak karena ia berhasil mengerjai Clare lagi. Ia mengekori s