“Ini…?” Clare tidak melanjutkan kata-katanya, ia masih terkagum-kagum dan terpesona dengan ruangan itu.
“Sepertinya ini adalah ruang rahasia milik kakek,” Matthew memberitaukan hal tersebut kepada kedua adiknya. Raymond memperhatikan benda-benda yang terpajang di sana, pistol, peluru, busur panah dan mata panah yang juga terbuat dari perak. Clare mengusap buku yang halamannya nampak terbuka, di atas meja sang Kakek. Ia memperhatikan tulisan-tulisan kecil di halaman itu, lantas kemudian mengerutkan keningnya.“Ada apa?” tanya Raymond sembari menghampiri sang Adik, dilihatnya halaman itu dan kemudian berdiri tegak menatap Matthew.“Apakah kau sudah mengetahui tempat ini sejak lama?” ia bertanya kepada sang Kakak, nadanya terdengar sedikit gusar.“Ya, aku mengetahuinya sudah sejak kita masih remaja, Ray,” jawab Matthew dengan tenang.“Lalu apakah kau menanyakan tentang hal ini kepada kakek?” Clare ikut bertanya karena merasa penasaran. Matthew hanya menggeleng pelan, mata Raymond melotot mengetahui hal itu.“Siapa keluarga kita sebenarnya? Apakah kita keluarga pembasmi Vampire? Atau pemuja sekte sesat? Apakah kita bahkan bangsa penyihir?” Raymond mempertanyakan hal itu dengan bertubi-tubi, namun Matthew tidak menjawab pertanyaan Raymond.“Sebaiknya kita segera naik dan kau, Clare… Jangan pernah sekalipun masuk ke dalam ruangan ini lagi. Sepertinya ini adalah basement yang dirubah menjadi ruangan pribadi kakek. Terlalu berbahaya, jika kau sendirian berada di bawah sana, kau dengar aku?”Matthew justru memperingatkan Clare, dengan tatapan mata yang menghujam. Meskipun merasa berat hati, namun Clare hanya bisa mengiyakan perintah sang Kakak, mereka pun naik kembali ke atas. Matthew segera menutup kembali ruangan itu dan mengembalikan karpet ke posisi semula.“Ayo kita bawa barang-barangmu ke dalam kamar,” ujar Raymond, sembari menepuk bahu Clare. Ia tau jika sang Adik merasa kecewa, karena tidak bisa berlama-lama di bawah sana.Mereka lantas naik ke lantai dua, Raymond dan Matthew membawakan tas-tas besar milik Clare dan masuk ke kamar pertama di lantai dua. Ruangan kamar di rumah tersebut bak di dongeng-dongeng. Ranjang besar dengan tirai kelambu yang indah, lukisan pemandangan terpajang di dalam kamar itu.Jam antik tergantung di salah satu sisi ruangan, tepat di atas meja rias kuno milik mendiang sang Nenek. Clare membuka jendela kamarnya dan menghirup aroma mawar merah yang semerbak, ya, kamar itu menghadap tepat ke kebun bunga mawar, yang dirawat sang Kakek, untuk menghormati mendiang sang Nenek.“Jangan ijinkan orang lain masuk ke dalam rumah ini, kau mengerti Clare? Aku akan meminta bantuan Paman Alex, untuk mengirimkan dua orang bodyguard.” Mata Clare membesar mendengar hal itu.“Aku tidak mau! Aku tidak mau setiap gerakanku dimata-matai! Matth! Kau sendiri yang bilang, jika aku bukan anak kecil lagi dan aku berhak untuk belajar mandiri! Jadi jangan kirimkan siapapun untuk mengawasiku, atau aku akan membencimu seumur hidupku!” Tiba-tiba saja tubuh Clare tersentak, karena Matthew menarik pergelangan tangannya dengan kuat, ia menatap sang Adik lurus-lurus. Kedua mata mereka bertemu dan untuk pertama kalinya, Clare merasakan kemarahan yang tersimpan dalam diam.“Kau memang sudah dewasa, tetapi kau tetaplah seorang wanita. Suka tidak suka kau harus mendengarkan kakakmu ini. Aku tidak peduli, bahkan jika kau membenciku seumur hidupmu. Yang kulakukan ini hanyalah bentuk tanggung jawabku terhadap dirimu, jadi jangan membantah!” Clare terperanjat, ia tidak pernah melihat Matthew bersikap seserius ini sebelumnya, raut wajah Matthew menunjukkan, jika ada sesuatu yang salah. Tetapi apa itu?“Sudahlah, Matth, kau tidak perlu bersikap seserius itu…” Raymond merasa kasihan kepada Clare, yang wajahnya nampak pucat karena merasa terkejut. Matthew menghela nafasnya dan melepaskan tangan sang Adik.“Clare, kami pergi dulu untuk melakukan pekerjaan kami, jika ada sesuatu yang kau butuhkan, kau bisa meneleponku saja,” ujar Raymond sembari menepuk bahu gadis itu. Clare hanya bisa mengangguk dengan wajah yang agak muram, Raymond merasa kasihan kepada adiknya, namun ia sendiri juga tidak berani untuk melawan perintah Matthew.Apapun yang dikatakan Matthew adalah mutlak dan itu semua ia lakukan untuk melindungi mereka. Clare melambaikan tangannya, ketika mobil yang dikendarai oleh kedua kakaknya, perlahan meninggalkan pekarangan rumah itu. Clare lantas mengunci pintu rumahnya dari dalam dan kemudian masuk ke dalam perpustakaan sang Kakek, ia berdiri tepat di atas pintu masuk basement itu.“Mengapa Matth terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, ya? Ia tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya…” Clare berpikir untuk sejenak dan kemudian ia memutar tubuhnya, namun baru saja ia hendak melangkah meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras.BUKK!! BUUKK!! DUKK!! DUUK!!Clare melihat ke sana kemari dan mencari sumber suara. Suara itu pun kembali terdengar lagi dan sepertinya berasal dari ruang basement itu! Clare berjingkat dan kemudian menyibak karpet itu tanpa ragu-ragu.BUUKK!! BBUUKK!!DUKK!DUKK!Bunyi itu memang berasal dari basement, tetapi apa yang mungkin berada di sana? Tikus? Apakah tikus memiliki kemampuan untuk menggedor pintu itu dengan kuat? Clare mencoba untuk menggunakan logikanya, namun rasa penasarannya kini sudah tidak terbendung lagi. Ia pun meraih gagang besi itu dan kemudian membuka pintu basement itu.Namun Clare kemudian dikejutkan oleh sosok yang besar, yang melompat dan menindih tubuhnya di atas lantai. Seorang pria yang tubuhnya penuh dengan tanah dan serpihan debu, berada tepat di depan matanya. Rambut dan janggut lebat yang tidak terurus, sorot mata biru yang tajam dan tubuh yang kekar, Clare benar-benar tidak bisa menggambarkan, bagaimana sosok pria yang saat ini berada di depannya.“Si-Siapa kau?” Clare bertanya dengan tergagap, meskipun ia merasa sedikit takut.“Di mana ini? Tahun berapa? Pukul berapa?” pria itu justru balik menanyakan pertanyaan yang menurut Clare tidak masuk akal. Clare pun merasa kesal, karena pertanyaannya tidak dijawab, ia segera menyingkirkan tubuh pria itu, hingga si pria berguling ke sisi lain lantai perpustakaan.“Jawab dulu pertanyaanku! Siapa kau? Mengapa kau bisa berada di sini? Ini adalah rumah mendiang Kakekku! Apa yang sedang kau lakukan di basement? Setauku tadi tidak ada apa-apa di sana, mengapa kini tiba-tiba kau muncul?”Clare bertanya dengan nafas yang menderu, rasa takut dan penasarannya menjadi satu, ketika melihat sosok sang Pria, yang muncul secara tiba-tiba itu. Ia segera melongok ke dalam basement dan melihat sebuah lubang besar di dalam sana. Ia segera menutup mulutnya yang ternganga.“Kau yang menggali lubang itu?” Pria itu tidak menjawab dan hanya mengangguk. Clare kembali menganga dan kemudian menatap pria itu lekat-lekat.“Aku akan menjawab pertanyaanmu, tetapi kau harus menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Siapa kau sebenarnya?”Lagi-lagi pria itu tidak langsung menjawab, ia justru menatap ke sekelilingnya dan wajahnya nampak kebingungan. Clare merasa sedikit jengkel dan kemudian masuk ke dalam basement, ia segera melongok ke dalam lubang galian dan melihat, apakah pria itu masuk dengan menggali lubang?Ya, tentu saja, Clare bisa melihat lubang galian, yang sepertinya cukup panjang. Ia berdecak karena kesal dan segera naik kembali. Pria itu masih berdiri di sana dan melihat seisi Perpustakaan.“Apakah kau sudah mau menjawab, siapa dirimu yang sebenarnya?” Clare berkacak pinggang dan mendongakan kepalanya. Pria itu menatap Clare dengan sepasang mata birunya yang tajam.“Enzo Etienne, itu namaku.” Ia menjawab dengan singkat dan kemudian menarik sebuah buku dari rak, lalu membacanya.“Hmm, Enzo… Etienne? Kau ini, namamu bahkan kuno sekali seperti tampangmu,” Clare mengomentari pria itu.“Apa yang sedang kau lakukan di rumah Kakekku? Seberapa jauh kau menggali hingga kau bisa masuk ke dalam sini?” Clare kembali b
Clare segera menepis pikirannya.“Dia bukan pria! Dia makhluk aneh yang berasal dari lubang galian!” Clare berusaha untuk menepis pikirannya, dengan wajah yang memerah, ia melongok sebentar keluar pintu kamar sang Kakek. Kemudian ia mengamati pakaian kakeknya dan bergumam pelan.“Maaf, Kakek, tetapi aku harus meminjamkan baju ini kepadanya…” ujarnya sembari membelai kemeja peninggalan mendiang sang Kakek. Kemudian ia bergegas menuju ke kamar mandi, yang terletak di lantai satu. Ketika membuka pintu, ia merasa terkejut, ketika melihat pria itu keluar tanpa busana. Seketika wajahnya memerah dan jantungnya berdetak dengan keras. Clare segera memalingkan wajahnya, sementara tangannya meraba dinding, lalu meletakan pakaian di atas meja kecil, yang terdapat di dalam ruangan besar itu.“Ke-Kenakan bajumu! Setelah itu aku akan menggunting rambutmu dan mencukur janggutmu!” Setelah berkata dengan nada berteriak seperti itu, ia segera keluar dari dalam sana dan melesat menuju ke kamarnya. Enzo m
Memang benar gadis ini adalah keturunan keluarga Adam, tetapi mengapa seolah ia tidak mengetahui apapun tentang keberadaan kami? Ia terlihat sangat naif dan polos, juga nampak tidak berbahaya.Enzo bertanya-tanya di dalam hatinya, ia memandangi telapak tangan besarnya yang sedang menjabat jemari tangan Clare yang mungil.“Baiklah, karena kita sudah berkenalan, aku akan membereskan segala sesuatunya di sini, dan kita akan memikirkan bagaimana caranya kau akan tinggal di sini, untuk sementara waktu!”Enzo tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti apa yang dikatakan oleh Clare, ia berada di dunia yang sangat asing, dengan pemandangan dan udara yang berbeda. Ini bukanlah Bloomsburry yang ia kenal, kota ini terlihat jauh berbeda.Ketika Clare selesai merapikan tempat itu kembali, ia segera mengajak Enzo untuk masuk kembali ke dalam rumah. Clare berjalan perlahan dengan kening berkerut, ia sedang berpikir, di mana sebaiknya Enzo bersembunyi, jika kedua kakaknya kembali ke rumah ini.Di
Clare hanya menganggukkan kepalanya perlahan dengan wajah yang agak memucat, Raymond yang melihat hal itu merasa tak tega, lalu menepuk-nepuk bahu Matthew. “Sudahlah, kau akan menakutinya jika terus bersikap demikian, alih-alih jujur, dia akan menyembunyikan segala sesuatunya darimu, jika kau bersikap menyeramkan seperti ini…”Matthew masih menatap sang Adik dalam-dalam, sebelum akhirnya ia menghela nafas panjang dan kemudian mulai menyiapkan makan malam untuk mereka. Raymond mendekati Clare dan menepuk bahu sang Adik dengan lembut, “Sudah, jangan terlalu dipikirkan, bukankah kau juga tau jika Matthew memang over protective sedari dulu? Kau bisa mengadukan apa saja padaku, akan tetapi aku tidak menjamin jika aku tidak menyampaikannya kepada Matthew.”Clare melirik ke arah Raymond dan memukul dada bidang pemuda itu dengan kuat. “Intinya kau tetap ingin mengambil keuntungan dengan menjahiliku, bukan?” Raymond tertawa terbahak-bahak karena ia berhasil mengerjai Clare lagi. Ia mengekori s
BAB 1PINDAH KE RUMAH KAKEKPagi yang cerah, udara yang sejuk dan sinar matahari yang menghangatkan dunia, membuat Clare Caroline menghirup udara pagi itu dengan rakus.“Jika kau menghirup seperti itu, lebah pun akan masuk ke dalam hidungmu, Clare…” goda sang Ibu, Nyonya Audrey sembari melewati Clare.“Lebah tidak akan menyukai ingus pagiku, Ibu. Sangat lengket dan membuatnya bisa terjebak di sana selamanya,” sahut Clare sembari terus menghirup udara pagi.Sang Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, pagi ini ia sangat sibuk, karena Clare akan tinggal di rumah kakeknya, sesuai dengan wasiat sang Kakek, sebelum meninggal dunia, jika rumah itu akan diwariskan kepada Clare. Kakeknya memilih Clare sebagai pewaris rumah besar itu, karena Clare adalah satu-satunya cucu perempuan di dalam keluarga besar Hugo Adam.Clare yang baru menginjak usia dua puluh tahun, di tahun ini, akhirnya diberikan ijin untuk tinggal sendiri di sana, dengan alasan ingin hidup mandiri dan berusaha sendiri. Sungguh ala
Perjalanan dari Birmingham, di mana rumah keluarga Adam berada, menuju ke Bloomsbury, menjadi perjalanan yang cukup panjang. Setidaknya mereka harus menempuh jarak selama dua jam perjalanan, Matthew dan Raymond rela mengosongkan jadwal mereka, demi mengetahui kondisi rumah kakek mereka.“Clare…?” Raymond menegur adiknya dan memastikan jika ia masih terjaga.“Ada apa?” tanya Clare sembari menikmati pemandangan musim semi di sepanjang jalan.“Apakah kau tidak takut, jika tiba-tiba saja Kakek muncul di hadapanmu?” Raymond kembali menggoda Clare, sang Adik mendelikan matanya dan mendengus.“Trik apa lagi yang akan kau mainkan, supaya aku merasa takut dan tidak jadi tinggal di sana? Katakan saja sejujurnya, Ray, kau takut bukan jika kalah dalam taruhan denganku?” Clare balik meledek Raymond, sembari menjulurkan lidahnya.“Ck, bocah ini, tidak bisakah kau membiarkan aku menang sekali-sekali? Ayah, Ibu dan Matthew selalu membela dan membuatmu menang, meskipun seharusnya kau kalah,” Raymond m