Matahari pagi mulai menampakkan dirinya menyinari dunia yang penuh sandiwara.Dua pria berjalan keluar dari ruang bawah tanah dengan senyum kemenangan. Tidak sia-sia mereka begadang semalaman demi mendapatkan sebuah informasi, dan terbayar sudah semua lelah mereka.“Aku harap, tuan tidak akan syok jika mengetahui ini nanti,” ucap Bas pada Jo ketika mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah utama.Jo menganggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Bas.“Ya, kau benar. Dan, kita harus bergerak cepat untuk menangkapnya. Sebelum musuh mengendus rencana kita,” sahut Jo, yang mendapat anggukan pula oleh Bas.Setelah itu keduanya diam selama perjalanan, hanyut dalam pemikiran mereka masing-masing. Mereka masih syok dengan apa yang mereka ketahui fakta beberapa jam lalu.“Tuan, ampun!” teriak Mila. Kala tubuh wanita itu di bentang di sebuah tiang dengan kaki dan tangan yang direntangkan. Yang lebih mengerikannya lagi, wanita itu di telanjangi, sebuah dildo dengan ukuran
“Wah. Ini goreng pisang kamu ya sayang? Em..wanginya enak banget,” ucap Mahen mengalihkan pembicaraan. “Kamu mau? Biar aku ambilkan,” tanya Arleta yang di angguki langsung oleh Mahen.Arleta pun mengambil satu potong pisang goreng dari atas piring, lalu menyuapi suaminya. Huft..Bas dapat bernafas lega, akhirnya Arleta melupakan pertanyaan konyol itu. Lagipula salah dia sendiri sudah tahu tidak suka main game, malah pake alasan itu pula. Hadeh!Akhirnya mereka menikmati kopi bersama, Arleta sudah menawari mereka untuk sarapan tapi Bas dan Jo menolak dengan Alasan belum lapar. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, Bas dan Jo berpamitan. Mata mereka sudah semakin berat minta untuk di istirahatkan.“Tuan, nona. Kami pamit ada urusan sebentar,” pamit Bas.“Hati-hati di jalan kalian.” Mahen yang menyahuti, sebelum istrinya kembali melontarkan pertanyaan. Kasian dua pria dihadapannya ini.Keduanya mengangguk, Lalu melangkah meninggalkan Mahen dan Arleta di halaman belakang. Hari ini
Satu bulan berlalu,Mahen di bantu Bas dan juga Jo telah banyak mengumpulkan bukti-bukti, dari semua bukti tersebut mengarah pada satu nama yaitu Melani.Melani adalah sahabat dekat Sonya, mereka telah menjalin hubungan persahabatan sejak di bangku sekolah menengah atas. Sampai, mereka menikah dan memiliki anak, hubungan persahabatan itu masih terjalin dengan baik.Fakta baru ini membuat Mahen cukup terkejut. Bukan karena Mahen tidak tahu. Tapi, yang Mahen tahu mereka berteman karena ada dalam satu grup arisan ibu-ibu sosialita. Namun, ada yang lebih mengejutkan lagi dari pada itu. Yang ternyata, Melani adalah mantan kekasih dari mendiang papanya Mahen. Hari ini, Mahen di temani Bas menuju kantor polisi untuk menyerahkan semua bukti yang didapatkannya. Setelah itu, Mahen menyerahkan semua pada pihak kepolisian. “Segera saya akan melakukan penangkapan, anda tinggal menunggu kabar saja Tuan Mahen,” ucap komandan polisi yang menangani kasus Sonya. Kasus ini sebetulnya tidaklah ditut
“Aku tidak menyangka, Tante tega melakukan ini pada mamaku, apa salahnya?” Mahen bertanya dengan penuh penekanan. Terlihat dari raut wajah pria itu yang penuh kekecewaan. Ternyata yang melenyapkan ibunya adalah orang terdekatnya selama ini.Ya. Orang yang telah melenyapkan Sonya adalah Sahabat baiknya yaitu Melani yang merupakan ibu dari Serly.“Karena dia telah mengambil semua dariku! Mulai dari pria yang aku cintai hingga putri kesayanganku yang kalian jebloskan kedalam penjara!” serunya. Tidak ada nada kekecewaan atau takut sedikitpun yang ditunjukkan oleh Melani. Yang ada wanita itu malah menunjukan sikap yang menantang Mahen.Mahen menggeleng tidak percaya apa yang didengarnya. Padahal Selama ini yang dia tahu, Melani cukup baik kepada keluarganya. Ternyata itu hanyalah topeng untuk menutupi semua dendamnya selama ini.“Apa dengan melakukan ini Tante puas?” Mahen kembali bertanya. Berharap jawabannya kali ini tidak mengecewakan dirinya.“Tidak! Aku akan puas jika kalian semua m
Pukul sembilan Mahen dan Arleta baru berangkat, itupun di iringi dengan omelan Arleta yang kesal karena suaminya begitu santai, padahal semalam pria itu yang mengajaknya sampai maksa-maksa. Lalu sekarang? Ck! Dasar menyebalkan.“Sudah dong sayang, jangan cemberut terus, aku minta maaf,” ucap Mahen tanpa menoleh pada sang istri yang masih cemberut. Pria itu terlihat fokus pada jalanan di hadapannya.“Hem …” Hanya jawaban sependek itu yang keluar dari mulut Arleta.Mahen menghembuskan nafas kasar.‘Susah juga, ngerayu perempuan yang sedang marah.’ batin Mahen.Pria itu berpikir keras, bagaimana caranya agar suasana hati istrinya kembali ceria. Salahnya memang, tapi ya sudahlah. Akhirnya setengah perjalanan mereka lewati dengan saling diam.Bulan madu macam apa ini?“Kenapa berhenti di sini?” Arleta bertanya dengan melirik jalanan sekitar. Seketika traumanya kembali datang, wanita itu menjadi cemas dan ketakutan.“Mahendra kau mau apa!” teriak Arleta diiringi isak tangis wanita itu.“
Mahen menghela napas panjang sambil memandang sekitar. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Kepercayaan adalah modal terbesar dalam bisnisnya, lebih dari uang atau aset apapun. Dia tidak bisa membiarkan kebakaran ini merusak reputasi yang telah susah payah dibangunnya. Ketika pandangannya terhenti pada Bas, dia teringat akan sebuah fakta yang mungkin belum sempat dia telusuri lebih jauh."Bas," panggil Mahen perlahan, masih menatap berkas yang ia terima sebelumnya."Ya, Tuan," Bas mendekat, menunduk dengan hormat."Apakah ada hal yang mencurigakan sebelum kejadian ini? Apakah ada yang melapor tentang sesuatu yang tidak biasa?" Mahen bertanya, nada suaranya mengandung keraguan dan kecemasan.Bas menggeleng pelan. "Tidak ada, Tuan. Semua berjalan seperti biasa. Para pekerja sudah mematuhi protokol keamanan, dan peralatan juga dicek secara rutin. Kebakaran ini terjadi begitu tiba-tiba."Mahen tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, tetapi dia tahu tidak akan ada gunanya mendesak leb
Mahen terjaga lebih awal dari biasanya, bahkan sebelum sinar matahari menembus tirai tebal di kamarnya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun suasana hati Mahen sudah penuh kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan. Malam sebelumnya, setelah telepon dari inspektur, ia merasa semakin terjerat oleh konspirasi yang belum ia pahami sepenuhnya. Seseorang menginginkan kehancurannya. Itu jelas. Tapi siapa?Dia bangkit dari ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkan Arleta yang masih tertidur. Wajah istrinya tampak damai dalam tidur, meski Mahen tahu jauh di dalam hatinya, Arleta pun merasakan kegelisahan yang sama. Mereka baru saja membeli rumah ini, sebuah tempat yang seharusnya menjadi pelarian dari kesibukan dan tekanan hidup di kota, sebuah tempat di mana mereka bisa membangun kehidupan yang lebih tenang dan penuh kebahagiaan. Tapi kenyataan tak selalu berjalan sesuai harapan.Mahen berjalan menuju ruang kerjanya. Di atas meja, terhampar beberapa dokumen yang ia tinggalkan semalam. L
Pintu depan terbuka dengan suara yang memecah keheningan, membuat jantung Mahen berdegup kencang. Dia berusaha merasakan tubuhnya menegang, Mahen mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai menyergap. Mahen memutar otak, mencari cara terbaik untuk melindungi Arleta. Sementara langkah kaki di luar semakin mendekat, detik-detik itu terasa memanjang tanpa akhir. Mahen menarik nafas dalam, matanya tidak lepas dari pintu yang kini terbuka lebar. Dari kegelapan di luar, muncul siluet seseorang. Sosok itu berjalan masuk kedalam rumah, langkah kakinya terdengar jelas di setiap langkahnya. Di bawah redup cahaya ruang tamu, Mahen akhirnya dapat melihat wajah pria yang berdiri di ambang pintu. “Aditya.” Mahen setengah berbisik, setengah berteriak. Rasa keterkejutannya bercampur dengan kemarahan yang selama ini terpendam. Pria itu tersenyum miring, ekspresinya tenang. Namun, penuh sinisme. “Mahen lama tidak bertemu, ku pikiran sudah waktunya kita selesaikan yang tertunda.” Mahen berdiri d