“Wah. Ini goreng pisang kamu ya sayang? Em..wanginya enak banget,” ucap Mahen mengalihkan pembicaraan. “Kamu mau? Biar aku ambilkan,” tanya Arleta yang di angguki langsung oleh Mahen.Arleta pun mengambil satu potong pisang goreng dari atas piring, lalu menyuapi suaminya. Huft..Bas dapat bernafas lega, akhirnya Arleta melupakan pertanyaan konyol itu. Lagipula salah dia sendiri sudah tahu tidak suka main game, malah pake alasan itu pula. Hadeh!Akhirnya mereka menikmati kopi bersama, Arleta sudah menawari mereka untuk sarapan tapi Bas dan Jo menolak dengan Alasan belum lapar. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, Bas dan Jo berpamitan. Mata mereka sudah semakin berat minta untuk di istirahatkan.“Tuan, nona. Kami pamit ada urusan sebentar,” pamit Bas.“Hati-hati di jalan kalian.” Mahen yang menyahuti, sebelum istrinya kembali melontarkan pertanyaan. Kasian dua pria dihadapannya ini.Keduanya mengangguk, Lalu melangkah meninggalkan Mahen dan Arleta di halaman belakang. Hari ini
Satu bulan berlalu,Mahen di bantu Bas dan juga Jo telah banyak mengumpulkan bukti-bukti, dari semua bukti tersebut mengarah pada satu nama yaitu Melani.Melani adalah sahabat dekat Sonya, mereka telah menjalin hubungan persahabatan sejak di bangku sekolah menengah atas. Sampai, mereka menikah dan memiliki anak, hubungan persahabatan itu masih terjalin dengan baik.Fakta baru ini membuat Mahen cukup terkejut. Bukan karena Mahen tidak tahu. Tapi, yang Mahen tahu mereka berteman karena ada dalam satu grup arisan ibu-ibu sosialita. Namun, ada yang lebih mengejutkan lagi dari pada itu. Yang ternyata, Melani adalah mantan kekasih dari mendiang papanya Mahen. Hari ini, Mahen di temani Bas menuju kantor polisi untuk menyerahkan semua bukti yang didapatkannya. Setelah itu, Mahen menyerahkan semua pada pihak kepolisian. “Segera saya akan melakukan penangkapan, anda tinggal menunggu kabar saja Tuan Mahen,” ucap komandan polisi yang menangani kasus Sonya. Kasus ini sebetulnya tidaklah ditut
“Aku tidak menyangka, Tante tega melakukan ini pada mamaku, apa salahnya?” Mahen bertanya dengan penuh penekanan. Terlihat dari raut wajah pria itu yang penuh kekecewaan. Ternyata yang melenyapkan ibunya adalah orang terdekatnya selama ini.Ya. Orang yang telah melenyapkan Sonya adalah Sahabat baiknya yaitu Melani yang merupakan ibu dari Serly.“Karena dia telah mengambil semua dariku! Mulai dari pria yang aku cintai hingga putri kesayanganku yang kalian jebloskan kedalam penjara!” serunya. Tidak ada nada kekecewaan atau takut sedikitpun yang ditunjukkan oleh Melani. Yang ada wanita itu malah menunjukan sikap yang menantang Mahen.Mahen menggeleng tidak percaya apa yang didengarnya. Padahal Selama ini yang dia tahu, Melani cukup baik kepada keluarganya. Ternyata itu hanyalah topeng untuk menutupi semua dendamnya selama ini.“Apa dengan melakukan ini Tante puas?” Mahen kembali bertanya. Berharap jawabannya kali ini tidak mengecewakan dirinya.“Tidak! Aku akan puas jika kalian semua m
Pukul sembilan Mahen dan Arleta baru berangkat, itupun di iringi dengan omelan Arleta yang kesal karena suaminya begitu santai, padahal semalam pria itu yang mengajaknya sampai maksa-maksa. Lalu sekarang? Ck! Dasar menyebalkan.“Sudah dong sayang, jangan cemberut terus, aku minta maaf,” ucap Mahen tanpa menoleh pada sang istri yang masih cemberut. Pria itu terlihat fokus pada jalanan di hadapannya.“Hem …” Hanya jawaban sependek itu yang keluar dari mulut Arleta.Mahen menghembuskan nafas kasar.‘Susah juga, ngerayu perempuan yang sedang marah.’ batin Mahen.Pria itu berpikir keras, bagaimana caranya agar suasana hati istrinya kembali ceria. Salahnya memang, tapi ya sudahlah. Akhirnya setengah perjalanan mereka lewati dengan saling diam.Bulan madu macam apa ini?“Kenapa berhenti di sini?” Arleta bertanya dengan melirik jalanan sekitar. Seketika traumanya kembali datang, wanita itu menjadi cemas dan ketakutan.“Mahendra kau mau apa!” teriak Arleta diiringi isak tangis wanita itu.“
Mahen menghela napas panjang sambil memandang sekitar. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Kepercayaan adalah modal terbesar dalam bisnisnya, lebih dari uang atau aset apapun. Dia tidak bisa membiarkan kebakaran ini merusak reputasi yang telah susah payah dibangunnya. Ketika pandangannya terhenti pada Bas, dia teringat akan sebuah fakta yang mungkin belum sempat dia telusuri lebih jauh."Bas," panggil Mahen perlahan, masih menatap berkas yang ia terima sebelumnya."Ya, Tuan," Bas mendekat, menunduk dengan hormat."Apakah ada hal yang mencurigakan sebelum kejadian ini? Apakah ada yang melapor tentang sesuatu yang tidak biasa?" Mahen bertanya, nada suaranya mengandung keraguan dan kecemasan.Bas menggeleng pelan. "Tidak ada, Tuan. Semua berjalan seperti biasa. Para pekerja sudah mematuhi protokol keamanan, dan peralatan juga dicek secara rutin. Kebakaran ini terjadi begitu tiba-tiba."Mahen tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, tetapi dia tahu tidak akan ada gunanya mendesak leb
Mahen terjaga lebih awal dari biasanya, bahkan sebelum sinar matahari menembus tirai tebal di kamarnya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun suasana hati Mahen sudah penuh kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan. Malam sebelumnya, setelah telepon dari inspektur, ia merasa semakin terjerat oleh konspirasi yang belum ia pahami sepenuhnya. Seseorang menginginkan kehancurannya. Itu jelas. Tapi siapa?Dia bangkit dari ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkan Arleta yang masih tertidur. Wajah istrinya tampak damai dalam tidur, meski Mahen tahu jauh di dalam hatinya, Arleta pun merasakan kegelisahan yang sama. Mereka baru saja membeli rumah ini, sebuah tempat yang seharusnya menjadi pelarian dari kesibukan dan tekanan hidup di kota, sebuah tempat di mana mereka bisa membangun kehidupan yang lebih tenang dan penuh kebahagiaan. Tapi kenyataan tak selalu berjalan sesuai harapan.Mahen berjalan menuju ruang kerjanya. Di atas meja, terhampar beberapa dokumen yang ia tinggalkan semalam. L
Pintu depan terbuka dengan suara yang memecah keheningan, membuat jantung Mahen berdegup kencang. Dia berusaha merasakan tubuhnya menegang, Mahen mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai menyergap. Mahen memutar otak, mencari cara terbaik untuk melindungi Arleta. Sementara langkah kaki di luar semakin mendekat, detik-detik itu terasa memanjang tanpa akhir. Mahen menarik nafas dalam, matanya tidak lepas dari pintu yang kini terbuka lebar. Dari kegelapan di luar, muncul siluet seseorang. Sosok itu berjalan masuk kedalam rumah, langkah kakinya terdengar jelas di setiap langkahnya. Di bawah redup cahaya ruang tamu, Mahen akhirnya dapat melihat wajah pria yang berdiri di ambang pintu. “Aditya.” Mahen setengah berbisik, setengah berteriak. Rasa keterkejutannya bercampur dengan kemarahan yang selama ini terpendam. Pria itu tersenyum miring, ekspresinya tenang. Namun, penuh sinisme. “Mahen lama tidak bertemu, ku pikiran sudah waktunya kita selesaikan yang tertunda.” Mahen berdiri d
Mahen duduk di sofa ruang tamunya yang sunyi, memandangi bekas jejak darah di lantai yang kini sudah dibersihkan oleh petugas. Suara jam dinding berdetak perlahan, seolah-olah menghitung setiap detik yang berlalu dalam beban batin yang semakin menumpuk. Malam itu seharusnya berakhir dengan keheningan yang damai. Malam di mana dia dan Arleta bisa memulai hidup baru di rumah mereka yang indah. Tapi kenyataannya, hidup mereka baru saja berubah drastis dalam satu malam yang penuh ketegangan.Aditya, pria yang pernah menjadi sahabat dan mitranya dalam bisnis, kini tergeletak dalam liang kubur, membawa dendam yang tidak pernah sempat mereka selesaikan. Polisi sudah menyelesaikan olah TKP, dan Mahen tahu bahwa Aditya telah menciptakan kehancuran ini untuk membalas luka lama yang pria itu pendam. Namun, dibalik semua tragedi ini, Mahen merasakan ada sesuatu yang lebih besar.Sesuatu yang belum terungkap. Mengapa Aditya bertindak begitu nekat? Apakah semua ini hanyalah puncak gunung es dari d
Saat cahaya perlahan memudar, Mahen dan Arleta mendapati diri mereka berada di tengah-tengah sebuah padang hijau yang begitu luas. Langitnya berwarna ungu lembut dengan bintang-bintang yang bersinar terang, jauh lebih banyak daripada yang pernah mereka lihat di dunia nyata.Di sekeliling mereka, anak-anak bermain riang, tertawa, dan berlari-lari tanpa beban. Di antara mereka, Mahesa berdiri bersama Reza, tampak bahagia seperti tak ada yang salah.“Mahesa!” panggil Arleta dengan suara penuh kerinduan. Wanita itu berlari ke arah putranya, memeluk tubuh kecil itu dengan erat.Mahesa memeluk ibunya dengan senyuman. “Bunda, aku kangen. Tapi Bunda nggak usah khawatir. Aku baik-baik saja di sini.”Mahen menyusul mereka dengan langkah cepat. “Apa yang terjadi di sini, Mahesa? Dimana kita? Dan siapa mereka semua?”Reza maju selangkah, wajahnya serius meskipun masih dihiasi senyuman ramah. “Kalian berada di dunia antara, tempat kami tinggal sejak panti asuhan kami terbakar bertahun-tahun lalu
Malam itu, rumah Mahen dan Arleta diselimuti keheningan yang mencekam. Setelah membawa Mahesa ke rumah sakit, mereka berdua duduk di ruang tunggu, menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan. Tidak ada kabar pasti dari dokter selain bahwa Mahesa berada dalam kondisi koma. Tidak ada penjelasan medis yang memadai, seolah-olah tubuh kecilnya telah menyerah tanpa alasan yang jelas.Arleta menunduk, air mata jatuh tanpa henti. “Mahen, kenapa semua ini terjadi pada Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi di taman itu?”Mahen memeluk Arleta erat, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya pun dipenuhi kegelisahan. “Aku nggak tahu, Leta. Tapi aku janji, kita akan menemukan jawabannya. Mahesa pasti kembali pada kita.”Namun, di dalam hatinya, Mahen tahu bahwa janji itu mungkin sulit ditepati. Surat yang ditemukan di bantal Mahesa terus mengganggu pikirannya. Apa maksud Mahesa akan kembali setelah membantu mereka? Siapa mereka? Dan mengapa semua petunjuk selalu berpusat pada pohon besar di
Taman di belakang rumah Mahen dan Arleta kini menjadi tempat favorit keluarga mereka. Pohon besar itu tidak hanya menjadi saksi tumbuh kembang Mahesa, tetapi juga menyimpan misteri yang seolah tak habis digali. Layang-layang yang terbang tinggi sering menjadi simbol kebebasan bagi Mahesa, namun juga mengingatkan Mahen dan Arleta pada kehadiran Reza, sosok misterius yang menjadi bagian dari cerita keluarga mereka.Namun, kehidupan yang tampaknya tenang ini mulai terusik kembali saat kejadian aneh terjadi.Suatu pagi, Mahesa yang baru selesai bermain di taman berlari masuk ke rumah dengan wajah ceria. Dia membawa sesuatu di tangannya, selembar surat yang tampak usang, ditemukan di dekat akar pohon besar.“Ayah, Bunda! Lihat ini, aku nemu surat lagi!”Mahen segera mengambil surat itu dan membukanya. Tulisan tangan di surat itu sama seperti yang ditemukan sebelumnya di dalam kotak kayu, membuat mereka merasa merinding."Untuk Mahen dan Arleta,Jangan takut pada apa yang belum kalian p
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma