Mahen terjaga lebih awal dari biasanya, bahkan sebelum sinar matahari menembus tirai tebal di kamarnya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun suasana hati Mahen sudah penuh kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan. Malam sebelumnya, setelah telepon dari inspektur, ia merasa semakin terjerat oleh konspirasi yang belum ia pahami sepenuhnya. Seseorang menginginkan kehancurannya. Itu jelas. Tapi siapa?Dia bangkit dari ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkan Arleta yang masih tertidur. Wajah istrinya tampak damai dalam tidur, meski Mahen tahu jauh di dalam hatinya, Arleta pun merasakan kegelisahan yang sama. Mereka baru saja membeli rumah ini, sebuah tempat yang seharusnya menjadi pelarian dari kesibukan dan tekanan hidup di kota, sebuah tempat di mana mereka bisa membangun kehidupan yang lebih tenang dan penuh kebahagiaan. Tapi kenyataan tak selalu berjalan sesuai harapan.Mahen berjalan menuju ruang kerjanya. Di atas meja, terhampar beberapa dokumen yang ia tinggalkan semalam. L
Pintu depan terbuka dengan suara yang memecah keheningan, membuat jantung Mahen berdegup kencang. Dia berusaha merasakan tubuhnya menegang, Mahen mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai menyergap. Mahen memutar otak, mencari cara terbaik untuk melindungi Arleta. Sementara langkah kaki di luar semakin mendekat, detik-detik itu terasa memanjang tanpa akhir. Mahen menarik nafas dalam, matanya tidak lepas dari pintu yang kini terbuka lebar. Dari kegelapan di luar, muncul siluet seseorang. Sosok itu berjalan masuk kedalam rumah, langkah kakinya terdengar jelas di setiap langkahnya. Di bawah redup cahaya ruang tamu, Mahen akhirnya dapat melihat wajah pria yang berdiri di ambang pintu. “Aditya.” Mahen setengah berbisik, setengah berteriak. Rasa keterkejutannya bercampur dengan kemarahan yang selama ini terpendam. Pria itu tersenyum miring, ekspresinya tenang. Namun, penuh sinisme. “Mahen lama tidak bertemu, ku pikiran sudah waktunya kita selesaikan yang tertunda.” Mahen berdiri d
Mahen duduk di sofa ruang tamunya yang sunyi, memandangi bekas jejak darah di lantai yang kini sudah dibersihkan oleh petugas. Suara jam dinding berdetak perlahan, seolah-olah menghitung setiap detik yang berlalu dalam beban batin yang semakin menumpuk. Malam itu seharusnya berakhir dengan keheningan yang damai. Malam di mana dia dan Arleta bisa memulai hidup baru di rumah mereka yang indah. Tapi kenyataannya, hidup mereka baru saja berubah drastis dalam satu malam yang penuh ketegangan.Aditya, pria yang pernah menjadi sahabat dan mitranya dalam bisnis, kini tergeletak dalam liang kubur, membawa dendam yang tidak pernah sempat mereka selesaikan. Polisi sudah menyelesaikan olah TKP, dan Mahen tahu bahwa Aditya telah menciptakan kehancuran ini untuk membalas luka lama yang pria itu pendam. Namun, dibalik semua tragedi ini, Mahen merasakan ada sesuatu yang lebih besar.Sesuatu yang belum terungkap. Mengapa Aditya bertindak begitu nekat? Apakah semua ini hanyalah puncak gunung es dari d
Mahen melangkah perlahan di koridor kantor polisi, pikirannya terombang-ambing antara fakta yang baru diketahuinya dan ketidakpastian yang menunggu di luar. Udara pagi yang sejuk sempat memberi ketenangan singkat, namun dalam dirinya badai terus mengamuk. Setiap detail percakapan dengan Raka terus mengisi pikirannya, memunculkan pertanyaan demi pertanyaan yang tak mudah dijawab.Ganesha Corporation. Nama itu terus berputar dalam benaknya seperti mantra kelam yang tak bisa dihindari. Perusahaan yang selama ini beroperasi di bawah radar, namun kini menjadi pusat dari kekacauan yang menimpa hidupnya. Mengapa Ganesha Corporation tertarik pada bisnis mereka? Mengapa mereka memilih Aditya sebagai pion dalam permainan ini? Apakah ini sekadar bisnis, atau ada sesuatu yang lebih pribadi?Langkah Mahen terhenti di depan rumahnya. Arleta sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya yang biasanya teduh kini dihiasi kerutan halus yang tak bisa disembunyikan. Ada kecemasan yang tergantung di matanya, s
Pagi datang dengan cahaya suram, seolah-olah langit turut merasakan beban yang menghantui Mahen. Kabut tipis menggantung di udara, memberi kesan bahwa dunia di sekitarnya terbungkus misteri yang siap meledak kapan saja. Setelah malam panjang yang nyaris tanpa tidur, Mahen memutuskan untuk melangkah lebih jauh dalam penyelidikannya. Hatinya sudah bulat, tak mungkin hanya mengandalkan polisi yang mungkin terhalang oleh birokrasi atau tekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat. Semakin dalam dia terlibat, semakin dia sadar bahwa pertempuran ini bukan hanya tentang bisnis, melainkan tentang kehidupan dan prinsip yang dia pegang.Mahen berangkat menuju salah satu lokasi gudang yang masih selamat dari kebakaran, dengan harapan menemukan petunjuk baru. Gudang itu berada di pinggir kota, jauh dari hiruk-pikuk keramaian, sebuah tempat yang dulu memberikan kenyamanan bagi Mahen karena posisinya yang strategis namun tersembunyi. Namun kini, tempat itu justru memancarkan aura sunyi yang menakutkan,
Langit mendung masih menggantung ketika Mahen meninggalkan gudang, petunjuk yang dia dapatkan pagi itu terasa seperti pintu kecil yang terbuka ke dalam labirin yang jauh lebih besar dan gelap. Langkahnya cepat dan mantap. Namun, dibalik ketenangannya, pikirannya berputar seperti badai. Nota pembayaran misterius yang tercatat atas nama Aditya, tapi berhubungan dengan Ganesha Corporation, semakin mengukuhkan dugaannya bahwa kebakaran dan penghancuran bisnisnya bukan sekadar dendam pribadi. Ini adalah pertempuran dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari Aditya sendiri.Mahen mengemudi menuju rumah dengan keheningan yang membebani, pandangannya lurus ke jalan yang berkelok. Sesekali tatapannya beralih ke cermin spion, mengamati jalanan di belakangnya dengan cemas, perasaan bahwa ia sedang diawasi semakin nyata. Namun, tidak ada mobil yang mencurigakan. Hanya ketenangan kota yang tampak sepi di pagi itu. Namun bagi Mahen, ketenangan itu penuh dengan ancaman yang tak terlihat.Sesampa
Mahen meninggalkan kantor polisi dengan Bas di sisinya, langkah-langkah mereka bergema di koridor yang sepi. Pikirannya terpusat pada satu nama, Alexander. Setiap kali nama itu terlintas, perasaan marah dan dendam menggelegak di dadanya. Bukan hanya soal bisnis yang dihancurkan atau kebakaran yang direncanakan, tapi ini lebih dalam. Alexander tidak hanya mencoba menghancurkan Mahen secara finansial, dia ingin menghancurkan hidupnya, mengambil apa yang paling penting dalam hidup Mahen, keluarganya."Alexander adalah kuncinya," kata Bas, suara berat pria itu mengusik keheningan. “Kita sudah punya titik terang, Tuan Mahen. Tapi, langkah selanjutnya akan sangat berbahaya. Dia tahu kita sedang memburu jejaknya."Mahen mendesah pelan, memijit pelipisnya yang berdenyut. "Aku tahu, Bas. Dan itu yang membuatku semakin yakin. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Kita tidak punya pilihan lain selain terus maju."Bas mengangguk, tak ada keraguan di wajahnya. Sejak awal, dia adalah orang yang
Malam di pelabuhan telah berlalu, tapi suasana tegang itu belum memudar dari benak Mahen. Perburuan mereka terhadap Alexander hanya memberikan sepotong kecil dari teka-teki besar yang belum terselesaikan. Meski pria itu telah ditangkap, perasaan bahwa ada kekuatan yang lebih besar masih bersembunyi di balik kegelapan terus menghantui Mahen. Ganesha Corporation masih di luar sana, merancang sesuatu yang lebih berbahaya.Pagi itu, Mahen duduk di ruang kerjanya, memandangi catatan yang berserakan di mejanya. Tumpukan dokumen, laporan, dan catatan dari polisi seolah menatapnya dengan ancaman yang tak tersuarakan. Di tengah lautan informasi itu, ada satu nama yang kini menghantui setiap langkah penyelidikannya, Indra Jaya Trading. Perusahaan cangkang itu mungkin tampak kecil, tapi dibalik dindingnya tersembunyi kekuatan yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan.Mahen meraih secangkir kopi yang sudah mendingin di meja, menghela nafas panjang. Malam yang tidak tenang dan pikiran yang t
Mahesa berdiri di pinggir jurang, memandang ke kejauhan, ke arah dunia yang terbentang luas. Dunia yang telah dia selamatkan, namun kini terasa jauh berbeda, seolah-olah seberkas cahaya dan bayangan bercampur dalam dirinya. Kekuatan Pohon Kehidupan yang telah mengalir di tubuhnya selama ini berpadu dengan kekuatan Bayangan Abadi, warisan dari leluhur yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dia merasakan dua sisi yang bertarung dalam dirinya, cahaya yang membawa kehidupan dan bayangan yang membawa kegelapan. Seiring dengan berjalannya waktu, Mahesa menyadari bahwa dirinya kini bukan hanya seorang manusia biasa, tetapi juga penjaga antara dua dunia: dunia yang terang dan dunia yang gelap. Pohon Kehidupan, yang telah lama menjadi pusat keseimbangan di dunia ini, kini memiliki tugas baru, menjaga keseimbangan antara keduanya. Namun, tidak ada yang pernah mempersiapkan Mahesa untuk peran yang lebih besar daripada yang dia bayangkan. Kekuatan yang ada padanya bukan hanya milik dirinya, tet
Langit di atas Pohon Kehidupan mulai berubah, berlapis warna keemasan yang memancar seperti aurora. Namun, ada ketegangan yang merayap di udara, menciptakan rasa genting yang tidak bisa dijelaskan. Arleta dan Mahen berdiri di depan pohon itu, memandangi sesuatu yang baru saja mereka temukan—sebuah artefak kuno berbentuk orb kristal yang bersinar lembut.Nyai Sekar, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah. “Ini adalah Artefak Kebangkitan,” katanya dengan nada berat. “Ia memiliki kekuatan untuk membawa kembali roh yang terikat dengan Pohon Kehidupan ke dunia nyata. Tetapi ada harga yang harus dibayar.”Arleta menatap artefak itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Apa harganya, Nyai?”Nyai Sekar menggeleng perlahan. “Membawa kembali satu jiwa akan mengganggu keseimbangan dunia. Kegelapan akan mendapat jalan untuk merasuki dunia ini, lebih kuat dari sebelumnya.”Mahen mengepalkan tangan, menatap artefak itu dengan mata penuh tekad. “Dia adalah anak kami. Jika ada kesempatan u
Pohon Kehidupan berdiri megah di tengah hutan lebat, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan daunnya bersinar lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan. Namun, sejak pengorbanan Mahesa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran Bayangan Abadi, ada perubahan yang sulit diabaikan. Pohon itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, dan bunga-bunga liar bermekaran di sekitar akarnya dengan warna-warna cerah yang tidak biasa.Arleta duduk di akar pohon, tangannya memegang kelopak bunga biru yang baru saja ia petik. “Mahen,” panggilnya, suaranya lembut tapi penuh kerinduan. “Aku merasa seperti dia masih di sini.”Mahen, yang berdiri tidak jauh darinya, memandang istrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan cinta. “Aku juga merasakannya,” jawabnya. “Semua ini... keanehan yang terjadi sejak Mahesa pergi, seolah-olah dia masih berusaha berbicara kepada kita.”Malam itu, saat mereka tidur di rumah sederhana yang mereka bangun tak jauh dari Pohon Kehidupan, Arleta bermimpi. Dalam mimpi
Langit masih dihiasi semburat jingga saat Mahesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa ringan, namun hati dan pikirannya penuh dengan beban keputusan yang harus diambil. Pohon Kehidupan berdiri di depannya, memancarkan cahaya lembut, seperti sebuah lentera yang tetap menyala di tengah malam tergelap.Suara lembut Nyai Sekar memecah keheningan. "Mahesa, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, perjalanan ini belum selesai."Mahesa menatap Nyai Sekar dengan mata penuh tekad. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungi dunia ini, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya."Nyai Sekar tersenyum tipis, tetapi kesedihan tampak di matanya. "Terkadang, melindungi berarti memilih untuk hidup dan bertahan, bukan mengorbankan segalanya. Kau harus belajar bahwa harapan tidak hanya berasal dari pengorbanan, tapi juga dari keberlanjutan perjuangan."Mahesa terdiam, hatinya bimbang. Ia tahu betul bahwa Bayangan Abadi masih menunggu untuk dihancurkan, namun pertanyaan
Arleta dan Mahen berdiri di tengah reruntuhan jembatan yang baru saja mereka lewati. Suasana sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kepulan debu dan kilauan cahaya samar dari Pohon Kehidupan yang kini mulai meredup. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Mahen,” kata Arleta, suaranya pecah di tengah isak tertahan. “Mahesa adalah alasan kita ada di sini.” Mahen menggenggam tangan Arleta erat, matanya menatap jauh ke arah tempat Mahesa dan Lirya menghilang. “Kita akan menemukannya. Aku janji. Tapi kita harus tetap fokus. Lirya semakin kuat, dan waktu kita tidak banyak.” Di depan mereka, sebuah jalan setapak yang penuh dengan akar bercahaya mulai terbuka, seolah Pohon Kehidupan memberi mereka petunjuk. Tanpa ragu, mereka melangkah maju, meski tubuh mereka masih terasa lemah akibat serangan terakhir Lirya. Semakin jauh mereka berjalan, suasana berubah semakin mencekam. Cahaya yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi redup, hampir seperti nyala lilin yang hampir p
Mahen dan Arleta berdiri di depan gerbang besar yang bercahaya redup. Angin dingin menerpa wajah mereka, membawa bisikan halus seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap di dalam. Di balik pintu itu adalah dunia yang tidak mereka kenal, namun takdir telah membawa mereka ke sini.Arleta menggenggam tangan Mahen erat, tatapannya penuh dengan keteguhan meskipun hatinya berdebar hebat. “Kita harus lakukan ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”Mahen menatap istrinya, mencium keningnya lembut. “Apa pun yang terjadi, kita akan melawan bersama.”Panji berdiri di belakang mereka, wajahnya serius. “Gerbang ini akan membawa kalian ke inti Pohon Kehidupan. Tapi ingat, ujian yang menanti di dalamnya akan menguji cinta, kepercayaan, dan keberanian kalian. Jangan pernah terpisah, karena itulah kelemahan terbesar kalian.”Keduanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke gerbang.Begitu mereka melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya lembut berwarna em
“Mahesa...” bisik Arleta, langkahnya terhenti saat menatap putranya. Air mata mengalir deras di wajahnya. Wajah Mahesa, yang dulu ceria dan penuh cinta, kini tampak dingin dan tak berjiwa.Namun, apa yang lebih menusuk hatinya adalah tatapan kosong itu, tatapan yang tak lagi mengenalinya.“Pergi,” suara Mahesa dingin dan berat, seperti bukan berasal dari dirinya. “Kalian tidak diinginkan di sini.”Mahen mencoba melangkah maju meski tubuhnya lunglai. “Mahesa, ini ayahmu. Ini ibumu yang selalu mencintaimu. Kami melakukan segalanya untuk membawamu kembali.”Mahesa tidak bergeming. Tangannya terangkat, dan seketika gelombang energi menghantam Mahen hingga terhempas ke tanah.“Mahen!” jerit Arleta, berlari ke arah suaminya. Ia berlutut, memeluk tubuh Mahen yang terguncang akibat serangan itu.Mahen menatap Arleta, mencoba berbicara meski suaranya serak. “Dia... dia bukan lagi anak kita. Ada sesuatu yang menguasainya.”Tawa sinis menggema di ruangan itu. Lirya muncul dari balik bayangan, me
Hari-hari setelah serangan Lirya berlalu dengan perlahan. Pohon Kehidupan masih berdiri tegak, meskipun aura yang dipancarkannya mulai melemah. Mahen dan Arleta semakin waspada, menyadari bahwa kekuatan gelap bisa menyerang kapan saja.Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mahesa tidak lagi memberikan tanda. Cahaya pohon itu semakin redup, seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang semakin jauh.“Sekar, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahen suatu malam, ketika mereka duduk di ruang kerja.Sekar menghela napas panjang. “Aku takut... Mahesa mungkin tidak lagi berada di dunia antara. Jika itu benar, maka dia mungkin sudah ditarik ke inti Pohon Kehidupan. Itu adalah tempat di mana roh-roh dipersiapkan untuk dilahirkan kembali.”“Lahir kembali?” bisik Arleta, hatinya mencelos.Sekar mengangguk. “Ya, itu berarti dia akan dilahirkan di dunia yang berbeda, tanpa ingatan tentang kalian. Kalian hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelamatkannya sebelum itu terjadi.”Di tengah kebingungan
Keluarga Mahen kembali ke rumah mereka dengan hati yang berat. Kehilangan Mahesa seperti luka yang terus menganga, meskipun harapan dari Pohon Kehidupan mereka genggam erat.Arleta duduk di ruang tamu, memandangi foto Mahesa yang tergantung di dinding. Wajah kecil itu, dengan senyum polosnya, kini menjadi kenangan yang menghantui. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tetap diam.Mahen berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya malam. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah dunia luar tak peduli pada rasa sakit yang kini melanda keluarganya.“Mahen,” suara Arleta bergetar, memecah keheningan. “Kau yakin... dia akan kembali?”Mahen menoleh, matanya merah oleh kelelahan dan emosi yang tertahan. Pria itu berjalan mendekati istrinya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan Arleta.“Kita harus percaya, Arleta. Mahesa berkata dia akan kembali, dan aku yakin dia akan menepati janjinya,” katanya dengan suara tegas, meski di baliknya ada ketakutan yang tak terucap.Namun, kepercayaa