"Axel tidak datang saat Massimo memanggilnya. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan kita lakukan padanya," jelas Andrius, mendengus keras. "Aku mendapat informasi kalau dia terakhir kali terlihat di Rainelle, dekat dengan kawasan kumuh tempat para berandal itu berkumpul. Kebetulan sekali, bukan?""Aku curiga dia kembali berhubungan dengan Ymar dan berniat ikut dengannya," ucap Damian. Ia mengetukkan jarinya ke meja, merasa jengkel karena rencananya tidak berjalan sesuai rencana.Sungguh bodoh karena ia tidak memperhatikan hal ini dari dulu. Ia jarang berbicara dengan Axel, tetapi ia yakin pria itu sama keparatnya dengan Ymar."Aku juga berpikir begitu." Andrius menghela napas dan menatap Damian. "Sekarang apa yang akan kau lakukan? Haruskah aku mengeksekusinya sendiri?"Damian menghela napas kasar dan memijat batang hidungnya. Belum selesai permasalahan Ymar, sekarang Axel juga ikut-ikutan menambah beban organisasi.Selama beberapa hari setelah sidang pembebasan Bella, Damian memili
"Tapi namanya—" "Dia menggunakan nama lamanya—Van Dominica," sela Martinez. "Meskipun sekarang, orang-orang lebih mengenal nama aslinya yaitu Van Dominguez." Damian hanya bisa mengangguk, benar-benar tercengang sampai ia tidak bisa mengatakan apa pun. Matanya bergerak menelusuri identitas dan foto Van Dominguez. Itu adalah berkas pengajuan untuk menjadi anggota dari Serpenquila. "Tahun 1995, seorang pria dengan penampilan yang menyedihkan datang ke markas kita, memohon untuk menjadi bagian dari Serpenquila," jelas Martinez, menghela napas panjang. Tatapannya tampak menerawang jauh. "Tapi dia ditolak dengan keji karena tidak memiliki kemampuan yang mumpuni, dia bahkan gagal dalam ujian tahap pertama. Sebagian anggota mengolok-oloknya, bahkan ada dua-tiga orang yang memberikan pukulan bertubi-tubi di wajahnya." "Itu sangat kacau." Damian tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Van saat itu. Sekarang jelas alasan kenapa Van bekerja sama dengan Fabrizio untuk menghancurkan Serpenq
"Pesta ganja?""Ya, pesta ganja di kasino milikku, Tuan Damian. Aku dengar kau menyukai anggur tua, jadi aku juga telah menyiapkan hal itu. Datanglah besok, pestanya dimulai pukul enam sore.""Yah, baiklah," sahut Damian setelah beberapa saat. Evren secara pribadi mengundangnya untuk pergi ke pestanya, katanya itu adalah pesta kecil-kecilan untuk mempererat hubungan sesama 'rekan kerja'. Damian tidak memiliki pilihan selain menerima undangannya, meskipun sejujurnya ia tidak suka dengan pesta ganja."Baiklah, aku menunggumu kedatanganmu.""Ya," ucap Damian sebelum menutup telepon. Ia meletakkannya di atas meja, lalu beranjak untuk menutup gorden. Malam semakin larut, beberapa menit lagi tepat tengah malam.Setelah merapikan semua berkas, Damian mengeluarkan vodka dan ganja yang ia ambil di markas. Ia meletakkan semuanya di atas meja, lalu membuka laci, mencari-cari kertas penggulung untuk membungkus daun ganja keringnya menjadi sebatang rokok.Bella telah tidur ketika Damian keluar dar
Damian merasa menyesal telah mengajak Bella untuk ikut ke pesta ganja. Efek ganja membuatnya bicara tanpa saringan. Sekarang saat otaknya berfungsi dengan baik, ia sibuk merutuki dirinya sendiri.Pesta ganja tidak seperti pesta lain yang penuh dengan kue dan minuman. Kau tidak bisa mengharapkan suasana bahagia dan hangat yang diselenggarakan di mansion-mansion mewah. Pesta itu dipenuhi bajingan yang sibuk sakau dan mabuk-mabukan.Damian mengusap wajahnya dengan hela napas frustrasi. Ia mondar-mandir di depan kamar dan menatap ke arah pintu. Pintu berayun terbuka dan Damian berdiri kaku saat Bella muncul dibaliknya.Dia sangat cantik, pikirnya. Tidak, tapi luar biasa menawan.Damian merasa terbakar, hanya dengan memikirkan berapa banyak pria yang akan melirik kekasihnya. Sial. Seharusnya ia tidak pernah menghisap ganja.Tetapi terlambat untuk menyesal sekarang. Bella terlanjur bersiap dan tampak antusias dengan perjalanan keduanya. Jika Damian menyuruhnya untuk tinggal di rumah, sement
"Perkenalkan ini calon istriku, Bella," kata Damian saat tujuh pria itu melirik dengan penasaran. Mereka mengangguk sopan dan Bella membalas dengan gestur yang sama. Damian memperkenalkan satu per satu nama mereka, menjelaskan bahwa mereka semua adalah keluarga rekan bisnisnya—Evren. "Senang bertemu dengan kalian semua," sahut Bella dengan suara pelan. "Senang bertemu denganmu, Nona," balas mereka nyaris bersamaan. Mereka sangat sopan, pikir Bella. Jauh berbanding terbalik dengan penampilan mereka yang terlihat seperti komunitas punk jalanan. Memang benar seseorang tidak bisa dinilai dari penampilannya saja. Mereka lantas berpamitan pada Damian dan berbaur dengan para tamu. Damian meraih botol anggurnya dan menyesapnya sedikit. "Kau pasti terkejut dengan penampilan dan kesopanan mereka yang berbanding terbalik," gumamnya, tersenyum tipis. "Ya, itu cukup mengejutkan. Tapi mereka terlihat baik." "Hm, tidak juga. Mereka sebenarnya hanya mematuhi peraturan." Bella mengeryit. "Perat
“Tuan Van, Ymar cukup kompeten untuk bergabung dengan kita, bukan?” Van menoleh dan menatap Lester sejenak, kemudian kembali menikmati minumannya. Untuk beberapa saat, dia hanya bungkam sambil menatap pemandangan di luar jendela. “Kompeten saja tidak cukup untukku,” kata Van dengan hela napas malas. Ia menyilangkan kaki dan menyandarkan kepalanya ke belakang. “Aku berharap dia memiliki sedikit informasi tentang Serpenquila, tapi ternyata dia tidak tahu apa pun.” “Dia bukan anggota inti, jadi dia hanya tahu cangkangnya saja. Lagi pula...” Lester menggantung kalimatnya dan mengambil tempat duduk di sofa depan Van. “... bukankah rencana kita sudah matang? Kita tidak perlu lagi mengorek-orek informasi mengenai Serpenquila.” “Hm, tetap saja aku ingin sesuatu yang berharga,” gumam Van. Mata abu-abunya menatap lurus ke arah Lester, cukup lama, sampai pria itu mulai merasa tidak nyaman di tempatnya. Intimidasi halus seperti itu adalah favorit Van. Lawan bicaranya bahkan sudah mengkerut
Damian bergegas memasuki markas dan melepas mantelnya. Ia meregangkan tubuhnya sejenak, merasa agak kurang enak badan pagi ini. Mungkin karena ia minum terlalu banyak alkohol. Semalam, setelah kembali dari pesta Evren, ia kembali meminum anggur saat makan malam. Bella sudah memberi peringatan, tetapi Damian benar-benar berpikir bahwa tubuhnya akan mendukungnya. Ia baru menyesal sekarang. Padahal, ia berniat untuk mengunjungi orang tuanya sore nanti. Damian menghela napas dan meletakkan pistolnya di atas meja. Sebuah map plastik tergeletak di sana. Ia membukanya dan melihat bahwa itu adalah informasi terbaru mengenai organisasi Uncamord. Markas mereka ada di Charleston—tidak mengejutkan mengingat Charleston adalah kota di mana perbudakan merajalela dan bisnis mereka berkembang di sana. Semua jenis budak ada di sana dan para gangster menjadikannya sebagai tempat berkumpul. Bisa dibilang, Charleston adalah pusat kejahatan di Qirginia Barat. Damian menyimpan berkas itu di laci, te
Damian kembali ke rumah dengan perasaan muram. Suasana hatinya jadi buruk karena bertemu dengan asisten Paman Velvet dan bagaimana dia menuduh Bella.Setelah pemutusan kontrak keduanya, ia tidak menyangka bahwa pria itu masih memiliki keberanian untuk menampakkan anggotanya. Selama ini, Serpenquila terus memasok senjata ke organisasi mereka. Tetapi setelah rencana pembunuhan yang Velvet lakukan, Damian tidak sudi untuk bekerja sama lagi. Seharusnya mereka bersyukur karena Damian tidak menuntut balas.Ia mendorong pintu terbuka dan menatap sekeliling rumah yang kosong. Ia lantas berjalan ke dapur, otomatis tersenyum melihat Bella tampak fokus saat memindahkan adonan kue yang telah matang. Senyum mengembang di bibir ranum gadis itu.Hanya dengan melihatnya seperti ini, Damian sudah merasa bahagia. Rasa lelah dan suasana hatinya yang buruk menghilang dalam sekejap. Damian bersandar di ambang pintu dan menatap lama, sampai akhirnya Bella mendongak.“Kenapa hanya berdiri di sana?” tanyanya
Ya Tuhan.Apa yang selama ini telah terjadi pada Bella sampai dia tidak yakin eksistensi Damian sebagai sesuatu yang nyata?Air mata Damian tumpah, tangisnya mengencang dan wajah Bella berubah menjadi sendu.“Damian... jangan... menangis,” ucap Bella susah payah. Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi nihil. Ia tidak memiliki secuil pun tenaga untuk mengelap air mata di wajah Damian. Hatinya hancur melihat Damian yang selalu terlihat kuat, kini rapuh layaknya kaca.“Aku nyata, Sayang. Aku di sini, aku di sini untuk menyelamatkanmu. Aku minta maaf karena tidak bisa datang lebih cepat.” Damian terisak lebih keras dan menciumi wajah Bella. Bibirnya bergetar. “Bertahanlah Sayangku, kita akan ke rumah sakit. Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang akan menyakitimu.”Rasanya seperti mimpi.Bella menatap wajah Damian, tetapi sulit. Pandangannya terkadang jelas, terkadang buram. Setiap kali ia mencoba membuka matanya lebih lebar, rasanya ada paku yang menusuk-nusuk matanya. Ia ingin men
“Wajahmu tertembak?”Martinez buru-buru mendekat melihat Damian yang muncul di lorong. Dia terus memegangi rahang kanannya yang telah dibalut kain secara asal-asalan. Tangannya berlumuran darah.“Ya, peluru Van. Kukira... kukira lidahku terpotong.” Damian meringis. Rasa sakitnya membuat wajahnya seolah akan terbelah. Ia tidak bisa berbicara tanpa denyutan nyeri yang mengikuti di belakang. “Tapi ternyata masih utuh. Tidak apa-apa, bukan organ vital. Bagaimana dengan yang lain? Apa masih ada yang tersisa?”Martinez menghela napas. “Semuanya sudah dibereskan. Tinggal Ymar dan Lester. Ymar pasti masih berada di rumah ini, dan Andrius sedang mencarinya. Soal Lester, kita akan menemukannya nanti,” jelasnya dengan suara serak. Ia kelelahan, pakaiannya compang-camping terkena tembakan, dan lorong itu tidak memiliki penghangat yang memadai. “Aku akan meminta para anggota untuk membersihkan rumah ini. Yang lain sudah berpencar untuk memeriksa semua ruangan. Bagaimana dengan Van?”“Sudah tewas.
“Sial, sensornya bagus juga. Di mana dia mendapatkannya?”“Bukan saatnya untuk menanyakan itu, brengsek,” dengus Tyson pada Bogdan yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang sensor yang Van gunakan di rumahnya.Setelah melumpuhkan dua penjaga yang berjaga di gerbang depan, Damian, Tyson, dan Bogdan menunggu aba-aba dari Martinez dan Andrius. Beberapa menit telah berlalu, tetapi tidak ada tanda apa pun yang terlihat. Damian berdiri dengan cemas, sudah tidak sanggup menahan diri lebih lama untuk menemukan gadisnya.Ia bersumpah akan membunuh mereka semua, jika ia sampai menemukan Bella dalam keadaan yang tidak ia inginkan.“Ck, kenapa lama sekali?” Bogdan menatap bingung. “Apa sebaiknya aku menyusul?”Damian hendak membantah ketika suara tembakan menggelegar mendadak terdengar. Mereka tersentak dan menatap ke dalam rumah Van.“Sepertinya mereka telah ketahuan. Ayo.” Damian membuka pengaman pistolnya dan bergegas berlari menuju pintu depan. Tyson segera mengikuti di belakang, sementar
Bella termangu menatap tembok pucat di hadapannya. Beberapa hari telah berlalu sejak Lester datang menemuinya waktu itu. Tetapi, ia tidak bisa berhenti memikirkan ucapannya. Ibunya ada di sini. Di rumah ini. Di tempat yang sama dengannya. Apakah itu mungkin? Entah Lester bicara jujur atau hanya mengatakan kebohongan semata, pikiran itu terus menghantuinya. Ia merindukan ibunya. Setiap malam, ia memimpikan sebuah tangan ringkih yang membelai kepalanya dengan lembut. Senandung yang terlontar dari bibir wanita itu terasa sangat nyata, sampai-sampai Bella kira ia tidak sedang bermimpi. Apakah ini semua hanya pengaruh obat-obatan? Mereka menyuntiknya setiap hari, nyaris tidak membiarkannnya untuk bergerak seinci pun dari tempat tidurnya. Bella terus bertanya-tanya apakah ia akan mati di sini? Tubuhnya lemas, nyeri, dan pucat seperti mayat. Matanya bahkan terasa sulit untuk dibuka lebar-lebar. Ia tidak bisa mengangkat tangannya, apalagi menggerakan kakinya. Mungkin, berat bada
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d