Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.
Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.
Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.
Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.
Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian.
"Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.
Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."
Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu. Itu tidak pantas untuk anak perempuan."
Mita menarik nafas panjang, mencoba menahan emosinya. "Bu, ini cuma baju. Aku suka, dan ini nyaman. Lagipula, aku tidak melihat ada yang salah dengan ini."
"Tapi Ibu lihat ini salah, Nak! Ini tidak sopan dan tidak cocok untuk usiamu. Kamu harus berpakaian yang lebih baik, seperti ini!" kata Ratih sambil mengeluarkan blus krem dan kulot hitam dari dalam lemari.
Mita menggelengkan kepala. "Bu, kenapa aku harus pakai baju yang Ibu pilih? Ini tubuhku, ini gaya aku. Aku ingin jadi diriku sendiri, bukan orang lain."
Ratih juga menarik napas panjang, mencoba meredam amarahnya. "Mita, Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Ibu tidak ingin kamu dinilai buruk oleh orang lain. Ibu tahu lebih banyak tentang dunia ini daripada kamu!"
"Bu, aku juga tahu banyak hal! Aku tahu apa yang aku suka dan apa yang membuat aku nyaman. Aku nggak mau hidup dengan selalu mengikuti apa kata orang lain," balas Mita dengan tegas sambil mendesak Ratih ke arah pintu dan menutup pintu dengan cukup keras.
...
Rentetan peristiwa Minggu lalu tiba-tiba terbesit di benak Mita saat Ia memangku kepala adiknya yang mulai tertidur kelelahan.
Itu adalah perselisihan terakhir Mita dengan Ibunya sebelum tragedi hari ini terjadi.
Mereka berdua memang seringkali berselisih paham. Gaya mengasuh Ratih yang cenderung konvensional tidak cocok dengan prinsip hidup anaknya yang milenial.
Adam menyela lamunan Mita, “Kak, aku lapar.” rintih Adam yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. “Kak...Kak Mita?” tambah Adam karena kakak nya terus melamun dengan tatapan kosong.
“Eh iya, kenapa Dam?” Mita terkejut dan akhirnya tersadar dari lamunan bayangan peristiwa masa lalunya oleh sedikit guncangan dari Adam. “Adam laper, kita belum makan sejak pagi tadi.” keluh Adam pada Mita berharap kakaknya punya solusi.
Tapi apalah daya memang mereka tidak dibekali apapun dalam kejadian kali ini. Sehingga bahkan makanan pun tak mereka miliki.
“Maaf, Dam. Tapi kakak juga tidak tau harus makan apa?” jawab Mita dengan sesal karena tidak bisa membantu adiknya.
“Oh ya, ini kakak ada minuman yang kemarin lupa kakak kembalikan ke dapur.” Mita teringat ada sisa minuman di tumbler yang lupa Ia kembalikan ke dapur kemarin sore.
“Sebentar ya kakak ambil tas dulu.” pamit Mita sambil menyingkirkan perlahan kepala adam dari paha nya.
“Ini Dam, habiskan! Sementara bisa untuk mengganjal perutmu.” seru Mita pada adiknya yang kelaparan.
“Tapi ini tinggal sedikit kak, memang tidak apa-apa?” Adam khawatir kakaknya juga sedang membutuhkan air minum.
“Tidak masalah Dam, kakak masih kuat.” ucap Mita bohong demi adiknya. “Baiklah, terima kasih Kak Mita.” balas Adam dengan girang dan semangat.
“Glek...glek...glek... Aaahhh.” suara tegukan Adam yang sangat keras menandakan dahaganya sudah terpuaskan. Mita menelan ludah sambil tersenyum setengah kepada adiknya.
“Tok...tok...tok...” tiba-tiba terdengar suara pintu kamar di ketok oleh seseorang.
Keduanya terkejut dan menatap ke arah pintu bersamaan. Adam yang masih menggenggam tumbler tak sengaja menjatuhkannya di lantai.
Tangan kecilnya tidak mampu menahan tumbler saking kagetnya. Mita juga dengan reflek langsung menarik dan memeluk Adam kembali.
Dari balik pintu muncul sosok Ratih membawa sebuah nampan berisi dua porsi makanan, minuman, dan satu mangkuk irisan mangga.
“Maaf terlambat, si nenek baru selesai membuatnya.” kata Ratih sambil menaruhnya pelan di meja belajar Mita.
“Sebenarnya aku tak tahu kenapa harus melakukan ini,” ucap Ratih kepada kedua anak itu. “Si nenek bilang ini demi kebaikan kalian berdua, tapi kenapa harus dikunci di kamar juga ya?”
Mita dan Adam hanya bisa terdiam ketakutan di bawah lantai. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar karena kali ini mereka dibuat bingung kembali dengan perilaku Ibunya.
“Terkadang memang bentuk kasih sayang itu tidak selalu harus dengan kelembutan. Sedikit paksaan dan gertakan akan membuat orang lain mengerti.” nasehat Ratih saat Ia mulai mengambil gagang sapu di balik tembok kamar Mita dan Adam.
“Orang tua memang punya gayanya sendiri dalam mendidik anak. Anak muda jaman sekarang mana paham.” tegas Ratih.
Ratih melanjutkan nasehatnya sambil terus menyapu seisi kamar sekaligus mengganti sprei kasur kedua anak itu.
Keberanian Mita perlahan kembali muncul saat melihat perilaku Ibunya yang lebih lembut sekarang. Dia berpikir Ibunya yang sekarang sudah bisa diajak bicara dengan baik.
“Ibu? Ini Mita, Bu. Ini Adam.” ucap Mita lembut dengan sedikit getaran saat memanggil Ibunya. “Kenapa Ibu seperti ini? Ada apa, Bu?” tambah Mita untuk memastikan bahwa dia benar-benar bicara dengan Ibunya.
“Iya aku tau kamu Mita, anak pertama Ratih, dan kamu Adam kan? Anak kedua Ratih.” sahut Ratih saat Ia selesai mengganti sprei kasur Adam.
“Kami tau kalian sejak kalian bayi, si nenek yang paling suka sama kalian berdua.” lanjut Ratih.
“Tapi aku Dimas, bukan Ratih. Ratih sedang tidur. Jadi aku yang bantu dia bereskan kamar kalian.” jawab Ratih sambil lanjut mengepel lantai.
Mendengar jawaban Ratih, Mita sudah menduga jika Ratih bukanlah Ratih.
Ratih biasanya memanggil seorang asisten rumah tangga harian yang membantu membereskan pekerjaan rumah termasuk membersihkan kamar anak-anaknya.
Setelah tiga kali melihat perubahan kepribadian Ratih, Mita pun mulai terbiasa dengan keanehan ini. Mita mulai bisa mengelola ketakutannya demi mendapatkan sebuah informasi.
“Mas, atau Pak?” tanya Mita kepada Ratih untuk memastikan kali ini dia benar dalam menyebutkan nama. “Mas lah, hahaha, aku tidak setua nenek itu. Apa kau tak lihat seberapa gagahnya aku?” jawab Ratih dengan memamerkan otot di lengan kanannya yang sedang memegang gagang pel.
“Pekerjaan berat seperti ini hanya aku yang mampu kerjakan.” tambah Ratih dengan semangat.
“Baiklah, Mas. Saya mau tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan Ibu kami?” tanya Ratih langsung ke inti masalah karena tidak mau kehilangan kesempatan.
“Ratih sedang tidur sekarang. Entah kenapa kali ini dia terlihat begitu lemah.” jawab Ratih yang sedang jongkok mengepel bawah meja.
“Biasanya kami keluar atas izin dia, tapi entah kenapa kali ini si nenek...” tiba-tiba jawabannya terhenti.
“Hey! siapa yang melakukan ini?” bisik Ratih sambil mendekati kedua anak itu.
Ia memegang pundak Mita dengan cukup keras sambil memasang wajah panik. Seolah Ia menghindari seseorang untuk mengetahui apa yang Ia temukan.
“Kalian jangan lakukan ini lagi ya, sekarang akan kuperbaiki dulu gembok jendela ini.” rupanya Ratih menemukan kondisi pengait gembok yang rusak akibat upaya kedua anak itu melarikan diri tadi.
“Kalau sampai si nenek tau, entah apa yang akan terjadi pada kalian.” sambil terus berbisik.
Tanpa menyelesaikan pekerjaannya mengepel laintai, Ratih bergegas menutup pintu kamar dan pergi mengambil perkakas tukang di gudang bawah.
Tidak ada waktu melanjutkan rencana Mita melarikan diri karena selang beberapa menit Ratih sudah kembali membawa perkakas tukang lengkap dengan beberapa bilah balok kayu untuk menutup jendela lebih rapat lagi.
Mita yang semula memiliki cukup keberanian untuk mengulik informasi dari Ratih, kembali menunjukkan tanda-tanda keputusasaan. Ia ingin sekuat tenaga menahan tangis agar adiknya tidak ikut panik.
Kini entah dengan cara apa lagi Ia dan adiknya bisa mendapat kesempatan untuk kabur dari sana.
Ditengah kebisingan suara palu saat perbaikan jendela, suara si kecil Adam memecah suasana.
“Ibu, Adam minta tolong boleh?” ucap Adam yang tiba-tiba berani mengeluarkan suara.
Bocah berusia 7 tahun itu hanya ingin Ibunya hadir saat Ia membutuhkannya. Tidak terbesit hipotesis kompleks mengenai apa yang menimpa mereka.
Yang Adam tau adalah Ibunya ada di depannya saat ini.
Waktu Adam berusia 3 tahun, saat dia mulai lancar melafalkan kalimat-kalimat kompleks, Ibunya pernah berpesan. “Adam sekarang sudah besar, kalau mau apa-apa harus bisa minta dengan jelas ya,” ucap Ratih pada Adam sambil memandikannya.
Adam selalu menatap mata Ibunya saat Ibunya mulai berbicara. Bahkan kedekatan ini sudah terjalin sejak Adam baru berusia beberapa bulan.
Ketika Ibunya berbicara demikian saat mandi, Adam pun langsung mengerti bahwa ini adalah nasehat yang penting.
Meskipun saat mandi Adam sangat suka memainkan mainan mobil hot wheels model lamborghini warna merah miliknya.
“He’em, Bu.” jawab Adam dengan wajah berseri seakan mengisyaratkan kepatuhan pada apa pun yang Ibunya katakan.
“Nanti kalau Adam butuh bantuan Ibu, Adam bilang gini ya ‘Ibu, Adam minta tolong boleh?’ Pasti Ibu akan selalu siaga bantuin Adam.” pesan Ratih pada Adam.
“Ayo coba ulangi yang Ibu pesan barusan, kalau Adam butuh Ibu, Adam bilang gimana?” seru Ratih demi memastikan anaknya mencerna pesan dengan baik dan tepat.
“Ibu, Adam minta tolong boleh? Hihihi. Gitu ya, Bu?” jawab Adam dengan wajah imut layaknya balita sehat seusianya.
“Nah, pintar anak Ibu, sini peluk sini peluk.” Begitulah kehangatan keduanya di setiap momen dalam kehidupan sehari-hari.
Sekarang kapanpun dan dimanapun mereka berdua berada, kalimat itu lah yang selalu dilontarkan Adam saat membutuhkan bantuan Ibunya. Seolah-olah kalimat tersebut sudah setara mantra untuk mengeluarkan sihir terkuat.
Sementara itu ketika seisi kamar mendengar suara Adam, Ratih pun terhenti, palu yang Ia pegang tidak lagi menumbuk paku-paku itu. Dengan pupil yang melebar, Ratih menoleh ke kanan dan ke kiri seolah seperti seorang yang baru siuman setelah pingsan. Ratih pun menoleh ke bawah.
“Adam, Mita!?” teriak Ratih. “Ibu?” tanya Adam sambil menangis kencang tapi lega. “Kalian tidak apa-apa, Nak?” tanya Ratih sambil mengelap keringat di wajah anak-anaknya. “Ibu...” hanya itu kata yang bisa diucapkan oleh kedua anak itu sambil menangis memeluk ibu mereka.
“Aaarrghh...”
Ratih berteriak kesakitan sambil bersimpuh memegangi kepalanya. Teriakan itu menggambarkan betapa sakitnya penderitaan yang dialami Ratih.
Mita tidak rela melihat Ibunya yang nampak sangat kesakitan. Air liur yang menetes dari mulut Ratih, serta jambakan Ratih pada rambutnya sendiri, membuat Mita ikut menangis sejadi-jadinya.
“Ibu kenapa, Bu? Bu! Ibu!” usaha Mita untuk menenangkan Ibunya.
Secara tiba-tiba Ratih berhenti berteriak. Mita pun senang, tapi seketika senyuman leganya berubah menjadi ekspresi terkejut dan takut.
Perlahan Ratih melepaskan kepalanya dan bangkit dengan tenang. Tatapannya tajam dan tenang seperti sebelumnya. Disinilah Mita menyadari bahwa lagi-lagi Ratih bukanlah seorang Ratih.
“Nampaknya memang sulit untuk membuat kalian bisa mengerti.” dengan tenang Ratih berujar demikian.Eskpresi kesakitan yang baru saja diperlihatkannya seakan tak pernah ada. Raut wajah, energi, serta kekuatannya kembali normal. Rupanya kesadaran Ratih kembali diambil alih oleh Sulastri.Sejenak Ratih berhenti berbicara karena memikirkan apa yang membuat kesadaran utama Ratih bisa kembali. "Kenapa bisa Ratih tiba-tiba terbangun?" gumam pribadi Sulastri heran. Ia berfikir jika kejadian seperti ini terus berulang, maka rencananya bisa saja gagal di tengah jalan.Namun, tidak ada waktu untuk menganalisa dan mengingat kembali apa yang terjadi, raga Ratih langsung beranjak dari lantai dan duduk di atas kasur Mita. Sementara Mita dan Adam tetap berada di bawah lantai saling berpelukan.“Anak seusia kalian jelas tidak mudah memahami apa yang terjadi di sekeliling kalian.” ucap pribadi Sulastri.“Meskipun begitu, cobalah untuk menurut kepada orang yang lebih tua. Sekalipun kalian benar, kebenara
Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau."Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah
Di era modern seperti sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi dalam situasi sosial. Mulai dari budaya, pola pikir, tuntutan sosial, dll.Kecepatan informasi dan teknologi dikhawatirkan dapat memicu kasus-kasus di media sosial yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.Selain itu, maraknya kasus bullying, KDRT, dan tekanan akademik membuat beberapa kasus mental illness yang melibatkan para remaja seusia Mita.Sehingga banyak sekolah modern menyisipkan pelajaran mengenai pentingnya kesehatan mental bagi remaja, termasuk di sekolah Mita.“Jenis penyakit dengan ciri-ciri yang Ibu tunjukkan sepertinya di buku ini disebut dengan DID atau Dissosiative Identity Disorder atau dalam bahasa Indonesia artinya kepribadian ganda.” gumam Mita sambil terus membaca tentang penyakit ini di dalam buku pelajaran sekolahnya.Berkat buku yang Ia baca, Ia mampu memperoleh beberapa informasi tentang berbagai penyakit kesehatan mental, seperti jenis penyakit dan asal muasalnya.Serta ada pula p
Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari k
Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil."Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu."Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi."Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita."Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke r
Rumah Mita memiliki dua lantai dengan beberapa ruangan yang cukup luas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Kamar tidur Mita berada di lantai kedua sedangkan kamar tidur orang tuanya terletak di lantai pertama. Hanya kamar orang tua Mita yang memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Sisanya menggunakan kamar mandi luar di masing- masing lantai. Ada sebuah kamar kecil yang dikhususkan untuk tamu yang menginap. Posisi nya terletak di dekat tangga lantai dasar. Mita dan Ratih mulai menyusuri anak tangga menuju ke lantai dasar. "Hmmm... Akhirnya paru-paru ku merasakan udara segar." Mita tarik napas dalam dan berucap dalam hati. Sudah hampir seharian sejak dia disekap dalam kamarnya yang sekarang sudah terasa lebih pengap. Namun, di sisi lain Mita mengkhawatirkan Adam dan ingin segera memastikan dimana posisi adiknya berada. Mita berjalan beriringan di belakang Ratih sembari meninjau berbagai sudut ruangan tanpa Ratih sadari dengan seksama. Diliha
Sementara itu di dalam kamar Ratih..."Kak...Kak Mita? Kakak dimana?" pribadi Riri memanggil Mita setelah selesai menghitung sampai 10. Ia mulai mencari ke sela-sela kamar, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk dimana Mita bersembunyi.Ia pun berpikir untuk mencari ke luar kamar, tapi naas pintu sudah terkunci dari luar. "Pintunya...terkunci?" Ratih mencoba membuka pintu kamar yang terkunci."Lo kok bisa terkunci?" pribadi Riri berbalik badan dengan panik. Ia menyadari keteledorannya dan ketakutan akan dimarahi akibat kesalahannya."Aduh bagaimana ini?" pribadi Riri merasa tidak punya cukup cara menemukan jalan keluar. Akhirnya terpaksa Ia memilih untuk menyerahkan kesadaran utama kepada kepribadian lain."Memang sebuah kesalahan membiarkan anak kecil itu menjaga anak-anak." gumam Ratih yang kini sudah berganti kepribadian menjadi Sulastri.Pribadi Sulastri kembali mengecek pintu, dan memastikan bahwa pintu ini benar-benar terkunci dari luar. Pribadi Sulastri mencoba memanggil Mita ag
Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita yang baru saja berhasil terbangun.Dengan hati-hati, Mita langsung berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam."Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil."Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.Adam terdiam dengan wajah penuh ketakutan dan berhiaskan tangisan kecilnya menggelengkan kepala ke arah Mita, pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Sebagai seorang kakak, Mita memutuskan untuk tetap tenang. Ia datang menghampiri a
Sementara itu di dalam kamar Ratih..."Kak...Kak Mita? Kakak dimana?" pribadi Riri memanggil Mita setelah selesai menghitung sampai 10. Ia mulai mencari ke sela-sela kamar, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk dimana Mita bersembunyi.Ia pun berpikir untuk mencari ke luar kamar, tapi naas pintu sudah terkunci dari luar. "Pintunya...terkunci?" Ratih mencoba membuka pintu kamar yang terkunci."Lo kok bisa terkunci?" pribadi Riri berbalik badan dengan panik. Ia menyadari keteledorannya dan ketakutan akan dimarahi akibat kesalahannya."Aduh bagaimana ini?" pribadi Riri merasa tidak punya cukup cara menemukan jalan keluar. Akhirnya terpaksa Ia memilih untuk menyerahkan kesadaran utama kepada kepribadian lain."Memang sebuah kesalahan membiarkan anak kecil itu menjaga anak-anak." gumam Ratih yang kini sudah berganti kepribadian menjadi Sulastri.Pribadi Sulastri kembali mengecek pintu, dan memastikan bahwa pintu ini benar-benar terkunci dari luar. Pribadi Sulastri mencoba memanggil Mita ag
Rumah Mita memiliki dua lantai dengan beberapa ruangan yang cukup luas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Kamar tidur Mita berada di lantai kedua sedangkan kamar tidur orang tuanya terletak di lantai pertama. Hanya kamar orang tua Mita yang memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Sisanya menggunakan kamar mandi luar di masing- masing lantai. Ada sebuah kamar kecil yang dikhususkan untuk tamu yang menginap. Posisi nya terletak di dekat tangga lantai dasar. Mita dan Ratih mulai menyusuri anak tangga menuju ke lantai dasar. "Hmmm... Akhirnya paru-paru ku merasakan udara segar." Mita tarik napas dalam dan berucap dalam hati. Sudah hampir seharian sejak dia disekap dalam kamarnya yang sekarang sudah terasa lebih pengap. Namun, di sisi lain Mita mengkhawatirkan Adam dan ingin segera memastikan dimana posisi adiknya berada. Mita berjalan beriringan di belakang Ratih sembari meninjau berbagai sudut ruangan tanpa Ratih sadari dengan seksama. Diliha
Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil."Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu."Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi."Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita."Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke r
Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari k
Di era modern seperti sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi dalam situasi sosial. Mulai dari budaya, pola pikir, tuntutan sosial, dll.Kecepatan informasi dan teknologi dikhawatirkan dapat memicu kasus-kasus di media sosial yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.Selain itu, maraknya kasus bullying, KDRT, dan tekanan akademik membuat beberapa kasus mental illness yang melibatkan para remaja seusia Mita.Sehingga banyak sekolah modern menyisipkan pelajaran mengenai pentingnya kesehatan mental bagi remaja, termasuk di sekolah Mita.“Jenis penyakit dengan ciri-ciri yang Ibu tunjukkan sepertinya di buku ini disebut dengan DID atau Dissosiative Identity Disorder atau dalam bahasa Indonesia artinya kepribadian ganda.” gumam Mita sambil terus membaca tentang penyakit ini di dalam buku pelajaran sekolahnya.Berkat buku yang Ia baca, Ia mampu memperoleh beberapa informasi tentang berbagai penyakit kesehatan mental, seperti jenis penyakit dan asal muasalnya.Serta ada pula p
Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau."Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah
“Nampaknya memang sulit untuk membuat kalian bisa mengerti.” dengan tenang Ratih berujar demikian.Eskpresi kesakitan yang baru saja diperlihatkannya seakan tak pernah ada. Raut wajah, energi, serta kekuatannya kembali normal. Rupanya kesadaran Ratih kembali diambil alih oleh Sulastri.Sejenak Ratih berhenti berbicara karena memikirkan apa yang membuat kesadaran utama Ratih bisa kembali. "Kenapa bisa Ratih tiba-tiba terbangun?" gumam pribadi Sulastri heran. Ia berfikir jika kejadian seperti ini terus berulang, maka rencananya bisa saja gagal di tengah jalan.Namun, tidak ada waktu untuk menganalisa dan mengingat kembali apa yang terjadi, raga Ratih langsung beranjak dari lantai dan duduk di atas kasur Mita. Sementara Mita dan Adam tetap berada di bawah lantai saling berpelukan.“Anak seusia kalian jelas tidak mudah memahami apa yang terjadi di sekeliling kalian.” ucap pribadi Sulastri.“Meskipun begitu, cobalah untuk menurut kepada orang yang lebih tua. Sekalipun kalian benar, kebenara
Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian."Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu.
Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita yang baru saja berhasil terbangun.Dengan hati-hati, Mita langsung berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam."Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil."Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.Adam terdiam dengan wajah penuh ketakutan dan berhiaskan tangisan kecilnya menggelengkan kepala ke arah Mita, pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Sebagai seorang kakak, Mita memutuskan untuk tetap tenang. Ia datang menghampiri a