Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.
Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.
Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.
Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.
Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.
Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.
Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.
“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.
Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dan meningkatkan peluang berkomunikasi yang lebih efektif.
“Hai, Kak! Ada apa? Aku Riri.” sahut Ratih. “Kakak laper? Bentar aku mintakan ke si nenek dulu ya.” tambah Ratih sambil ingin bergegas meninggalkan Mita.
“Eh, tidak! Bukan aku sudah kenyang. Kamu disini saja.” tegas Mita untuk mencegah Ratih memanggil kepribadian lain yang Ia yakini bernama Sulastri.
“Oh, oke.” Ratih urung pergi dari depan kamar.
Sesuai dengan dugaan Mita bahwa tugas berjaga akan selalu diserahkan pada Riri. Meskipun datanya minim, tapi itu yang diyakini Mita selama menyusun rencana.
Kesempatan untuk langsung berhadapan dengan Ibunya tidak disia-siakan Mita. Padahal Ia pikir akan cukup sulit untuk menarik perhatian Ibunya karena Mita tidak tau dengan siapa Ia berbicara.
"Kamu sedang apa, Ri?" tanya Mita ke Riri yang melanjutkan bermain ‘engklek’ sendirian.
“Aku disuruh jagain kakak, tapi katanya gak boleh buka pintu lagi. Jadi yaudah deh aku main aja di luar.” jawab Ratih saat loncat-loncat di atas lantai.
“Oh gitu, kakak boleh ikut main, Ri? Daripada kamu main sendirian.” rayu Mita.
“Kakak pasti bosen ya di dalam kamar? Oke boleh, sebentar ya kak.” jawab Ratih dengan nada riang.
Jawaban itu disambut bahagia oleh Mita karena Ia merasa akan bisa segera keluar dengan mudah.
"Ini kak!" Ratih kembali dengan menyelipkan sebuah kertas bergambar melalui celah di bawah pintu.
"Hah? Apa yang terjadi? Kenapa dia memberiku kertas ini? Apa jangan-jangan dia tau kalau aku ingin kabur?" pikir Mita dalam hatinya, mulutnya terbuka dan terheran, padahal Ia pikir Ratih akan mengajaknya bermain di luar dan segera membukakan pintu kamar untuknya.
"Kakak punya pensil warna kan? Ayo kita mewarnai, terus nanti siapa yang..." jelas Ratih sebelum Mita menyela pembicaraannya.
"Sebentar, bukan...bukan permainan ini. Tapi permainanmu barusan itu, Ri. Kakak ingin main permainan itu!" ucap Ratih dengan sedikit penekanan pada kalimatnya.
"Apa? Maksudnya?" tanya Ratih yang seolah tidak mengerti sama sekali tabiat Mita.
"Iya, Ri. Kakak ingin bermain bersama denganmu di luar! Bukan mainan seperti ini!" jelas Mita untuk meyakinkan Ratih.
Secara tidak sadar, Mita membuat beberapa penekanan dalam kalimat-kalimatnya. Padahal dalam buku disebutkan bahwa dilarang berdebat dengan pengidap DID saat sedang kambuh.
Hal ini akan membuatnya kacau dan kepribadiannya bisa kembali tidak stabil.
Beruntung Mita segera menyadari kesalahannya dan mengulangi penjelesannya.
"Eh maksud kakak, kakak ingin main bareng dengan Riri supaya lebih seru." ucap Mita dengan nada yang lebih tenang dan kalem.
"Tapi kakak di dalam, sedangkan aku di luar. Kita tidak bisa main bersama, Kak." tegas Riri.
"Nanti kalau kakak keluar malah aku yang dimarahi sama si nenek. Aku tidak mau kak." lanjut Riri menjelaskan posisinya.
"Nah, nanti kamu main aja di dalam kamar kakak. Biar kita bisa tenang mainnya." rayu Mita kembali untuk membujuk Ratih mau membukakan pintu.
"Oh gitu, boleh deh. Tapi kakak mau janji gak bakal lari kan?" tanya Riri untuk memastikan Mita dapat dipercaya.
"Kreekk..." suara pintu terbuka.
Mita yang semula bersimpu di atas lantai, mundur dan bangkit perlahan. Ia menengok ke atas dan mendapati Ibunya berdiri di balik pintu.
Seketika hati Mita tersayat, matanya tak dapat menyembunyikan kesedihan yang menyeruap dalam hatinya.
Ibunya terlihat begitu menyedihkan bagi Mita. Rambut Ratih terlihat acak-acakan. Bajunya compang-camping, bahkan Ia hanya menggunakan sehelai celana kolor pendek untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.
Mita berusaha keras menyembunyikan tangisannya dalam senyum tipis di bibirnya.
"Riri?" tanya Mita untuk memastikannya sekali lagi. "Ayo sini masuk!" ajak Mita ke dalam kamar.
Ratih melangkah masuk kamar dan kembali mengunci pintu dari dalam.
"Hai kak, kita mau main apa ya enaknya?" tanya Ratih dengan antusias sambil mendekati Mita.
"Sini kamu duduk di bawah aja, kita hadap-hadap an sambil main tepuk tangan." ajak Mita untuk memberi instruksi pada Ratih.
"Main tepuk tangan? Memangnya seru?" gumam Ratih mempertanyakan pilihan permainan yang dipilih Mita.
Tapi Ratih tetap memenuhi instruksi Mita karena Ia merasa tetap bisa menikmatinya.
Mereka duduk bersila di atas dilantai sambil berhadap-hadapan. Mita menyatukan kedua tangannya dan mengangkatnya menghadap Ratih, mirip orang sedang bersalaman dengan orang yang jauh lebih tua.
Seakan tau apa yang di maksud oleh Mita, dengan raut wajah bahagia dan antusias Ratih menirukan gerakan Mita. Keduanya pun memulai permainan itu.
"Mi, mi, mi, mi atas mi bawah, mi depan mi belakang..." keduanya bernyanyi bersamaan dengan gerakan yang sama pula.
Mereka berdua terlihat seperti dua orang sahabat yang sangat akrab karena gerakan dan nyanyian mereka sangat mirip.
Jika Ratih terlihat memasang wajah gembira dan riang melalui tawanya yang lepas. Berbeda dengan Mita yang sudah tidak mampu menahan tangisnya.
Air matanya seakan keluar dengan sendirinya membasahi mulutnya yang sedang tersenyum. Aneh, mulutnya sedang tersenyum bahkan sesekali tertawa, tapi matanya mengeluarkan air mata yang deras.
Permainan ini adalah permainan kesukaan Mita dan Ratih semasa Mita kecil. Keduanya biasa bermain permainan ini saat waktu senggang.
Keduanya sangat menikmati permainan sederhana ini sampai tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya.
Mita kembali terbayang wajah cantik Ibunya dengan senyum yang penuh kebahagiaan saat bermain bersamanya.
Bayangan itu silih berganti dengan apa yang ada di depan mata Mita saat ini. Sambil melanjutkan permainan itu, tangis Mita semakin menjadi dan menjadi.
Mita berhenti sejenak karna tak mampu melanjutkan permainan. Kepalanya tertunduk layu ke arah lantai, ditopang kedua tangannya yang juga sedang menapak lantai.
Ia menangis tersedu-sedu sampai ingusnya pun juga turut mengalir tidak karuan.
"Lo kakak kenapa?" tanya Ratih yang keheranan dengan prilaku Mita. Ratih yang tampak kebingungan mencoba menengok ke arah muka Mita yang masih menghadap lantai.
"Kakak kok nangis? Kakak gak suka ya main sama aku?" tatap Ratih sambil sedikit manyun karna merasa ikut bersedih.
"Tidak, bukan begitu kok, Ri. Aku senang malah bisa main bersama kamu." ucap Mita sambil mengangkat kepalanya, mengusap air mata di mata kiri dan kanan bergantian, dan menarik keras napas dari hidungnya untuk mengangkat ingusnya kembali ke dalam hidung.
Mita pun tersenyum dibaluti sedikit air mata dan mata merahnya. "Ayok main lagi." ajak Mita yang tampak sudah lebih tenang.
"Oh syukurlah." ucap Ratih sambil mengelus dada karena merasa lega karna bukan dia yang membuat Mita menangis. Ia pun kembali tersenyum dan mengiyakan ajakan Mita untuk melanjutkan permainan.
Tak terasa sudah beberapa menit mereka bermain. Seakan lupa akan rencananya, Mita sangat menikmati saat-saat bisa kembali bermain bersama Ibunya, Ratih.
Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil."Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu."Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi."Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita."Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke r
Rumah Mita memiliki dua lantai dengan beberapa ruangan yang cukup luas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Kamar tidur Mita berada di lantai kedua sedangkan kamar tidur orang tuanya terletak di lantai pertama. Hanya kamar orang tua Mita yang memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Sisanya menggunakan kamar mandi luar di masing- masing lantai. Ada sebuah kamar kecil yang dikhususkan untuk tamu yang menginap. Posisi nya terletak di dekat tangga lantai dasar. Mita dan Ratih mulai menyusuri anak tangga menuju ke lantai dasar. "Hmmm... Akhirnya paru-paru ku merasakan udara segar." Mita tarik napas dalam dan berucap dalam hati. Sudah hampir seharian sejak dia disekap dalam kamarnya yang sekarang sudah terasa lebih pengap. Namun, di sisi lain Mita mengkhawatirkan Adam dan ingin segera memastikan dimana posisi adiknya berada. Mita berjalan beriringan di belakang Ratih sembari meninjau berbagai sudut ruangan tanpa Ratih sadari dengan seksama. Diliha
Sementara itu di dalam kamar Ratih..."Kak...Kak Mita? Kakak dimana?" pribadi Riri memanggil Mita setelah selesai menghitung sampai 10. Ia mulai mencari ke sela-sela kamar, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk dimana Mita bersembunyi.Ia pun berpikir untuk mencari ke luar kamar, tapi naas pintu sudah terkunci dari luar. "Pintunya...terkunci?" Ratih mencoba membuka pintu kamar yang terkunci."Lo kok bisa terkunci?" pribadi Riri berbalik badan dengan panik. Ia menyadari keteledorannya dan ketakutan akan dimarahi akibat kesalahannya."Aduh bagaimana ini?" pribadi Riri merasa tidak punya cukup cara menemukan jalan keluar. Akhirnya terpaksa Ia memilih untuk menyerahkan kesadaran utama kepada kepribadian lain."Memang sebuah kesalahan membiarkan anak kecil itu menjaga anak-anak." gumam Ratih yang kini sudah berganti kepribadian menjadi Sulastri.Pribadi Sulastri kembali mengecek pintu, dan memastikan bahwa pintu ini benar-benar terkunci dari luar. Pribadi Sulastri mencoba memanggil Mita ag
Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita yang baru saja berhasil terbangun.Dengan hati-hati, Mita langsung berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam."Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil."Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.Adam terdiam dengan wajah penuh ketakutan dan berhiaskan tangisan kecilnya menggelengkan kepala ke arah Mita, pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Sebagai seorang kakak, Mita memutuskan untuk tetap tenang. Ia datang menghampiri a
Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian."Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu.
“Nampaknya memang sulit untuk membuat kalian bisa mengerti.” dengan tenang Ratih berujar demikian.Eskpresi kesakitan yang baru saja diperlihatkannya seakan tak pernah ada. Raut wajah, energi, serta kekuatannya kembali normal. Rupanya kesadaran Ratih kembali diambil alih oleh Sulastri.Sejenak Ratih berhenti berbicara karena memikirkan apa yang membuat kesadaran utama Ratih bisa kembali. "Kenapa bisa Ratih tiba-tiba terbangun?" gumam pribadi Sulastri heran. Ia berfikir jika kejadian seperti ini terus berulang, maka rencananya bisa saja gagal di tengah jalan.Namun, tidak ada waktu untuk menganalisa dan mengingat kembali apa yang terjadi, raga Ratih langsung beranjak dari lantai dan duduk di atas kasur Mita. Sementara Mita dan Adam tetap berada di bawah lantai saling berpelukan.“Anak seusia kalian jelas tidak mudah memahami apa yang terjadi di sekeliling kalian.” ucap pribadi Sulastri.“Meskipun begitu, cobalah untuk menurut kepada orang yang lebih tua. Sekalipun kalian benar, kebenara
Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau."Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah
Di era modern seperti sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi dalam situasi sosial. Mulai dari budaya, pola pikir, tuntutan sosial, dll.Kecepatan informasi dan teknologi dikhawatirkan dapat memicu kasus-kasus di media sosial yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.Selain itu, maraknya kasus bullying, KDRT, dan tekanan akademik membuat beberapa kasus mental illness yang melibatkan para remaja seusia Mita.Sehingga banyak sekolah modern menyisipkan pelajaran mengenai pentingnya kesehatan mental bagi remaja, termasuk di sekolah Mita.“Jenis penyakit dengan ciri-ciri yang Ibu tunjukkan sepertinya di buku ini disebut dengan DID atau Dissosiative Identity Disorder atau dalam bahasa Indonesia artinya kepribadian ganda.” gumam Mita sambil terus membaca tentang penyakit ini di dalam buku pelajaran sekolahnya.Berkat buku yang Ia baca, Ia mampu memperoleh beberapa informasi tentang berbagai penyakit kesehatan mental, seperti jenis penyakit dan asal muasalnya.Serta ada pula p
Sementara itu di dalam kamar Ratih..."Kak...Kak Mita? Kakak dimana?" pribadi Riri memanggil Mita setelah selesai menghitung sampai 10. Ia mulai mencari ke sela-sela kamar, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk dimana Mita bersembunyi.Ia pun berpikir untuk mencari ke luar kamar, tapi naas pintu sudah terkunci dari luar. "Pintunya...terkunci?" Ratih mencoba membuka pintu kamar yang terkunci."Lo kok bisa terkunci?" pribadi Riri berbalik badan dengan panik. Ia menyadari keteledorannya dan ketakutan akan dimarahi akibat kesalahannya."Aduh bagaimana ini?" pribadi Riri merasa tidak punya cukup cara menemukan jalan keluar. Akhirnya terpaksa Ia memilih untuk menyerahkan kesadaran utama kepada kepribadian lain."Memang sebuah kesalahan membiarkan anak kecil itu menjaga anak-anak." gumam Ratih yang kini sudah berganti kepribadian menjadi Sulastri.Pribadi Sulastri kembali mengecek pintu, dan memastikan bahwa pintu ini benar-benar terkunci dari luar. Pribadi Sulastri mencoba memanggil Mita ag
Rumah Mita memiliki dua lantai dengan beberapa ruangan yang cukup luas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Kamar tidur Mita berada di lantai kedua sedangkan kamar tidur orang tuanya terletak di lantai pertama. Hanya kamar orang tua Mita yang memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Sisanya menggunakan kamar mandi luar di masing- masing lantai. Ada sebuah kamar kecil yang dikhususkan untuk tamu yang menginap. Posisi nya terletak di dekat tangga lantai dasar. Mita dan Ratih mulai menyusuri anak tangga menuju ke lantai dasar. "Hmmm... Akhirnya paru-paru ku merasakan udara segar." Mita tarik napas dalam dan berucap dalam hati. Sudah hampir seharian sejak dia disekap dalam kamarnya yang sekarang sudah terasa lebih pengap. Namun, di sisi lain Mita mengkhawatirkan Adam dan ingin segera memastikan dimana posisi adiknya berada. Mita berjalan beriringan di belakang Ratih sembari meninjau berbagai sudut ruangan tanpa Ratih sadari dengan seksama. Diliha
Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil."Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu."Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi."Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita."Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke r
Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari k
Di era modern seperti sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi dalam situasi sosial. Mulai dari budaya, pola pikir, tuntutan sosial, dll.Kecepatan informasi dan teknologi dikhawatirkan dapat memicu kasus-kasus di media sosial yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.Selain itu, maraknya kasus bullying, KDRT, dan tekanan akademik membuat beberapa kasus mental illness yang melibatkan para remaja seusia Mita.Sehingga banyak sekolah modern menyisipkan pelajaran mengenai pentingnya kesehatan mental bagi remaja, termasuk di sekolah Mita.“Jenis penyakit dengan ciri-ciri yang Ibu tunjukkan sepertinya di buku ini disebut dengan DID atau Dissosiative Identity Disorder atau dalam bahasa Indonesia artinya kepribadian ganda.” gumam Mita sambil terus membaca tentang penyakit ini di dalam buku pelajaran sekolahnya.Berkat buku yang Ia baca, Ia mampu memperoleh beberapa informasi tentang berbagai penyakit kesehatan mental, seperti jenis penyakit dan asal muasalnya.Serta ada pula p
Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau."Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah
“Nampaknya memang sulit untuk membuat kalian bisa mengerti.” dengan tenang Ratih berujar demikian.Eskpresi kesakitan yang baru saja diperlihatkannya seakan tak pernah ada. Raut wajah, energi, serta kekuatannya kembali normal. Rupanya kesadaran Ratih kembali diambil alih oleh Sulastri.Sejenak Ratih berhenti berbicara karena memikirkan apa yang membuat kesadaran utama Ratih bisa kembali. "Kenapa bisa Ratih tiba-tiba terbangun?" gumam pribadi Sulastri heran. Ia berfikir jika kejadian seperti ini terus berulang, maka rencananya bisa saja gagal di tengah jalan.Namun, tidak ada waktu untuk menganalisa dan mengingat kembali apa yang terjadi, raga Ratih langsung beranjak dari lantai dan duduk di atas kasur Mita. Sementara Mita dan Adam tetap berada di bawah lantai saling berpelukan.“Anak seusia kalian jelas tidak mudah memahami apa yang terjadi di sekeliling kalian.” ucap pribadi Sulastri.“Meskipun begitu, cobalah untuk menurut kepada orang yang lebih tua. Sekalipun kalian benar, kebenara
Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian."Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu.
Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita yang baru saja berhasil terbangun.Dengan hati-hati, Mita langsung berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam."Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil."Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.Adam terdiam dengan wajah penuh ketakutan dan berhiaskan tangisan kecilnya menggelengkan kepala ke arah Mita, pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Sebagai seorang kakak, Mita memutuskan untuk tetap tenang. Ia datang menghampiri a