“Nampaknya memang sulit untuk membuat kalian bisa mengerti.” dengan tenang Ratih berujar demikian.
Eskpresi kesakitan yang baru saja diperlihatkannya seakan tak pernah ada. Raut wajah, energi, serta kekuatannya kembali normal. Rupanya kesadaran Ratih kembali diambil alih oleh Sulastri.
Sejenak Ratih berhenti berbicara karena memikirkan apa yang membuat kesadaran utama Ratih bisa kembali. "Kenapa bisa Ratih tiba-tiba terbangun?" gumam pribadi Sulastri heran. Ia berfikir jika kejadian seperti ini terus berulang, maka rencananya bisa saja gagal di tengah jalan.
Namun, tidak ada waktu untuk menganalisa dan mengingat kembali apa yang terjadi, raga Ratih langsung beranjak dari lantai dan duduk di atas kasur Mita. Sementara Mita dan Adam tetap berada di bawah lantai saling berpelukan.
“Anak seusia kalian jelas tidak mudah memahami apa yang terjadi di sekeliling kalian.” ucap pribadi Sulastri.
“Meskipun begitu, cobalah untuk menurut kepada orang yang lebih tua. Sekalipun kalian benar, kebenaran yang kalian yakini belum valid jika belum pernah kalian lalui.” nasehat pribadi Sulastri seolah sedang berbicara dengan cucunya.
“Terima saja apa yang Tuhan berikan dan jangan banyak mengeluh.” tutup pribadi Sulastri sambil perlahan beranjak dari tempat tidur.
Ratih berdiri di depan kedua anak itu, lalu menggenggam erat tangan Mita untuk melepaskan pelukannya dari Adam.
“Tidak, jangan!” seru Mita sambil terus menjauhkan tangan Ratih darinya.
“Kakak... Tolong aku, Kak!” tangisan Adam terus menerus menderu disamping kakaknya.
“Biar aku saja yang Ibu bawa, jangan Adam!” pinta Mita ke Ibunya. Tapi apalah daya kekuatan kecil mereka tidak sebanding dengan tenaga kuat Ibunya.
“Lepaskan!” seru prinadi Sulastri sambil menghempaskan tangan Mita. Mita yang kekurangan tenaga karena sudah beberapa jam tidak mendapatkan nutrisi, akhirnya terjatuh tersungkur di lantai.
“Kakak! Kakak...” Adam mengulurkan tangan ke Mita dengan harapan dapat meraih kembali tangan Mita.
Ratih dengan kasar menggenggam lengan Adam dan membawanya keluar kamar sambil membawa seporsi makanan dari atas nampan.
“Makanlah ini Mita, biar jatah adikmu ku bawa keluar untuk dimakannya nanti.” perintah Ratih sembari menutup pintu kamar dan menguncinya.
Dengan kondisi tubuh yang sangat lelah, Mita tak mampu untuk bangkit lagi. Ia masih bersujud diatas lantai menghadap pintu sambil menangisi kepergian adiknya. Pergolakan batin dan pikirannya bercampur aduk seakan memberikan perasaan yang sebelumnya belum pernah Ia rasakan.
Bahkan terfikirkan akan berada pada posisi ini pun mustahil bagi Mita sebelumnya.
Hanya berteman suara jarum jam yang berpindah dari detik ke detik, sungguh sunyi senyap kamar Mita saat ini. Kondisi tubuh dan fikirannya yang tak lagi mampu merespon apapun, beristirahat dengan sendirinya. Waktu seolah terhenti untuk memberi kesempatan sel-sel tubuh Mita untuk beregenerasi.
Setelah beberapa menit berlalu, Mita mulai membuka sedikit matanya. Terlihat raut wajah putus asa, lelah, dan berat dalam menerima hal yang sedang menimpa dirinya dan adiknya.
Bahkan untuk berbicara dengan normal pun akan terasa sulit bagi Mita yang sangat rentan sekarang.
Bukan kepanikan yang menjadi momoknya saat ini, melainkan adalah kebingungan antara apa yang selama ini Ia rasakan dan perilakunya hari ini.
“Ah, memangnya apa yang salah?” batin Mita dalam hati. “Biarkan Adam dibawa Ibu, aku tak peduli.” entah kenapa Mita mulai meragukan perasaannya.
“Sejak Adam lahir, Ibu sudah tidak pernah lagi mengajakku ke Pasar bersamanya setiap pagi. Buku cerita kesukaanku pun tak pernah Ia bacakan lagi sebelum aku tidur
Jangan kan menyuapi ku sarapan, menyapa ku waktu aku mau berangkat sekolah saja dia masih harus kuingatkan berkali-kali.” gumam Mita dalam hati nya yang juga merasakan keputusasaan.
“Aku memang sudah tidak suka dengan Adam,” lanjut batin Mita. “Aku juga masih dipaksa untuk berbagi ruangan dengan Adam, padahal usiaku hampir 16 tahun.”
Semua kekesalan Mita kepada Adam terus bermunculan. Rupanya hubungan Mita dan Adam tidak begitu harmonis karena kecemburuan Mita terhadap Adam yang lebih disayangi oleh Ibunya.
Orang tua Mita memang sangat menginginkan kehadiran seorang anak laki-laki. Namun, setelah Mita lahir, kedua orang tuanya sangat bersyukur karena Mita lahir dengan kondisi yang sehat dan sangat cantik mewarisi kecantikan Ibunya, Ratih.
Hari-hari membesarkan Mita sangatlah bahagia. Mita kecil sangat menggemaskan bahkan terkadang terlalu aktif sehingga membuat kedua orang tuanya kewalahan.
Banyak aktifitas rutin yang selalu Mita dan orang tuanya lakukan selama Mita masih balita. Seperti berbelanja ke pasar tiap pagi, memasak makanan kesukaan Mita setiap sore, dan membaca buku cerita sebelum tidur.
Namun, semua itu perlahan mulai berubah ke arah sirna. Semenjak orang tua Mita memutuskan untuk memiliki keturunan kembali.
Awal kehamilan Ratih, Mita sangat senang karena akan segera memiliki adik sebagai teman bermainnya. Ibunya pun selalu memberi afirmasi positif pada Mita untuk bisa menjadi kakak yang baik kelak. Tapi realita di masa depan tidak berjalan sepositif yang Ibunya bilang.
Akibat morning sickness yang hebat, Ratih sudah jarang pergi ke pasar dan memilih untuk memesan makanan siap saji.
Memasak pun menjadi kegiatan yang amat sangat menyiksa bagi ibu hamil. Apalagi waktu malam tiba jelas energi ibu hamil sudah terkuras di siang hari dan butuh waktu pemulihan yang lebih awal di malam hari.
Mita kecil tidak memahami hal ini, yang ada dibenaknya hanyalah kesedihan dan kekesalan kepada kedua orang tuanya.
Tapi hal itu masih dapat diatasi oleh batin dan pikiran Mita karena Ratih rajin memberikan penjelasan dan pengertian kepada Mita.
Mita pun mampu memahami dan memaklumi apa yang sedang Ibunya alami, karena dasarnya memang Mita memiliki kemampuan berpikir yang kritis dan cerdas.
Namun, ada sesuatu yang sudah tidak terbendung lagi dalam diri Mita saat adiknya, Adam, dilahirkan.
Semua kebiasaan orang tuanya sejak hamil dan sampai sekarang adalah hal baru bagi Mita. Mita tidak pernah sekalipun merasakan apa yang dia alami saat ini.
Apalagi saat Ratih mulai sibuk mengurus bayi mungilnya yang masih merah, Adam, Mita hampir tidak pernah mendapat secuil perhatian dari Ibunya.
Mulailah nalar polos Mita menyusun sebuah kesimpulan. Bahwa penyebab berubah dan menghilangnya sosok orang tua bagi Mita adalah adiknya yang baru lahir, Adam.
Sejak saat itulah Mita sedikit demi sedikit menjadi anak yang kurang menghargai pada orang tuanya, terutama Ibunya.
Adam kecil yang lugu tidak pernah mendapat perhatian serius dari kakanya. Sesekali Mita diajarkan untuk menjadi sosok kakak yang baik oleh orang tuanya, tapi hanya dijalankannya sekedar untuk menyenangkan hati orang tuanya.
Jiwa pemberontak dan pembangkan Mita juga tumbuh dan terpupuk dari peristiwa-peristiwa yang melibatkan adiknya seperti ini.
...
Sementara itu kembali ke masa kini, waktu menunjukkan pukul 3 sore di jam dinding kamar Mita.
Mita yang masih tersungkur masih belum memiliki semangat untuk meneruskan perjuangannya melarikan diri, apalagi menemukan dan menyelamatkan adiknya.
“Menyebalkan sekali!” lanjut batin Mita mengeluh.
“Selama ini aku tidak pernah merasa sekesal ini. Adam tidak pernah menjadi prioritasku, Adam hanya penganggu kesenangan bagiku. Tapi... Tapi kenapa aku merasa jika aku sangatlah jahat?”
Mita mulai menangis perlahan, dengan seiring berjalannya waktu semakin menjadi dan menjadi.
Mita menangis sejadi-jadinya dengan posisi tersungkur di atas lantai sambil memukul-mukul lantai dengan kepalan kedua tangannya.
“Huaaa...” lanjut tangisan Mita. “Iya, maaf, maaf aku baru teringat...” tiba-tiba Mita punya tenaga untuk berbicara.
Bersama itu mulai bermunculan bayangan adiknya yang seringkali melontarkan senyuman dan ajakan manis pada kakaknya.
Adam kecil suka sekali memainkan rambut kepang kuda milik Mita waktu usianya masih 8 bulan. Bahkan dengan mainan itu saja Adam mampu tertawa terbahak-bahak karena bisa memainkan rambut kakaknya.
Mita masih saja tidak menerima kehadiran adiknya dan hanya berwajah masam saat adiknya mengajaknya bermain.
Tapi entah kenapa tanpa sadar Ia tetap meladeni adiknya.
Bahkan Adam sangat suka tidur bersebelahan dengan Mita karena Adam merasa tidur bersama Ibunya.
Memang sosok Mita ini sangat mirip dengan Ibunya, Ratih. Perawakan, logat bicara, bahkan makanan kesukaan mereka pun juga sama.
Itulah kenapa mereka sangat suka pergi bersama ke pasar, memasak bahan makanannya bersama-sama dan kegiatan sehari-hari lainnya.
Suatu ketika saat Mita tengah asyik menonton televisi, tiba-tiba Adam naik ke sofa dan langsung menggaet lengan kanan kakanya.
“Adam sayang, Kak Mita,” dengan lugu dan terbata-batanya Adam berujar sambil memeluk lengan kanan Mita waktu usianya baru 3 tahun.
Tanpa disadari kedua pipinya memerah, Ia tidak menyangka akan hal itu.
Namun, ego nya berusaha menyingkirkan tangan Adam dengan tidak serius dan membiarkan Adam memeluk lengannya hingga tertidur.
Bayangan-bayangan itulah yang terus bermunculan di benak Mita setelah dia menangis sejadi-jadinya.
Mungkin karna telah hilangnya hormon kortisol yang berganti dengan endorfin sehingga pikirannya pun jadi lebih mudah mengingat hal-hal bahagia.
Ditambah lagi selama berada dalam kamar hari ini, Adam tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dari Mita.
Terlihat bahwa Adam sangat mengandalkan Mita, dan Mita baru saja menyadari hal itu.
“Betapa bodohnya kakakmu ini, Dam! Maafkan, kakak!” gumam Mita sambil menggertakan gigi atas dan bawahnya karna kesal pada dirinya sendiri.
“Tidak ada waktu berdiam diri, aku harus mencari dan menyelamatkan Adam, lalu kabur bersamanya nanti.” gertak Mita sambil dia berusaha bangkit perlahan dari lantai.
Rupanya ingatan ini memecut semangatnya untuk bisa menemukan kembali adiknya. Karena dengan kondisi Ibunya yang sekarang, Mita khawatir akan terjadi sesuatu terhadap ibu dan adiknya.
Akhirnya Mita memutuskan untuk kembali bersemangat dan menghilangkan keputusasaannya. Makanan dan minuman di atas meja makan tadi dihabiskannya hanya dalam hitungan menit. Semangkuk buah juga Ia habiskan tanpa sisa. Kini tubuhnya sudah lebih bertenaga dan siap untuk menyusun rencana pembebasan dirinya.
Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau."Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah
Di era modern seperti sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi dalam situasi sosial. Mulai dari budaya, pola pikir, tuntutan sosial, dll.Kecepatan informasi dan teknologi dikhawatirkan dapat memicu kasus-kasus di media sosial yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.Selain itu, maraknya kasus bullying, KDRT, dan tekanan akademik membuat beberapa kasus mental illness yang melibatkan para remaja seusia Mita.Sehingga banyak sekolah modern menyisipkan pelajaran mengenai pentingnya kesehatan mental bagi remaja, termasuk di sekolah Mita.“Jenis penyakit dengan ciri-ciri yang Ibu tunjukkan sepertinya di buku ini disebut dengan DID atau Dissosiative Identity Disorder atau dalam bahasa Indonesia artinya kepribadian ganda.” gumam Mita sambil terus membaca tentang penyakit ini di dalam buku pelajaran sekolahnya.Berkat buku yang Ia baca, Ia mampu memperoleh beberapa informasi tentang berbagai penyakit kesehatan mental, seperti jenis penyakit dan asal muasalnya.Serta ada pula p
Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari k
Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil."Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu."Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi."Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita."Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke r
Rumah Mita memiliki dua lantai dengan beberapa ruangan yang cukup luas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Kamar tidur Mita berada di lantai kedua sedangkan kamar tidur orang tuanya terletak di lantai pertama. Hanya kamar orang tua Mita yang memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Sisanya menggunakan kamar mandi luar di masing- masing lantai. Ada sebuah kamar kecil yang dikhususkan untuk tamu yang menginap. Posisi nya terletak di dekat tangga lantai dasar. Mita dan Ratih mulai menyusuri anak tangga menuju ke lantai dasar. "Hmmm... Akhirnya paru-paru ku merasakan udara segar." Mita tarik napas dalam dan berucap dalam hati. Sudah hampir seharian sejak dia disekap dalam kamarnya yang sekarang sudah terasa lebih pengap. Namun, di sisi lain Mita mengkhawatirkan Adam dan ingin segera memastikan dimana posisi adiknya berada. Mita berjalan beriringan di belakang Ratih sembari meninjau berbagai sudut ruangan tanpa Ratih sadari dengan seksama. Diliha
Sementara itu di dalam kamar Ratih..."Kak...Kak Mita? Kakak dimana?" pribadi Riri memanggil Mita setelah selesai menghitung sampai 10. Ia mulai mencari ke sela-sela kamar, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk dimana Mita bersembunyi.Ia pun berpikir untuk mencari ke luar kamar, tapi naas pintu sudah terkunci dari luar. "Pintunya...terkunci?" Ratih mencoba membuka pintu kamar yang terkunci."Lo kok bisa terkunci?" pribadi Riri berbalik badan dengan panik. Ia menyadari keteledorannya dan ketakutan akan dimarahi akibat kesalahannya."Aduh bagaimana ini?" pribadi Riri merasa tidak punya cukup cara menemukan jalan keluar. Akhirnya terpaksa Ia memilih untuk menyerahkan kesadaran utama kepada kepribadian lain."Memang sebuah kesalahan membiarkan anak kecil itu menjaga anak-anak." gumam Ratih yang kini sudah berganti kepribadian menjadi Sulastri.Pribadi Sulastri kembali mengecek pintu, dan memastikan bahwa pintu ini benar-benar terkunci dari luar. Pribadi Sulastri mencoba memanggil Mita ag
Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita yang baru saja berhasil terbangun.Dengan hati-hati, Mita langsung berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam."Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil."Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.Adam terdiam dengan wajah penuh ketakutan dan berhiaskan tangisan kecilnya menggelengkan kepala ke arah Mita, pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Sebagai seorang kakak, Mita memutuskan untuk tetap tenang. Ia datang menghampiri a
Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian."Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu.
Sementara itu di dalam kamar Ratih..."Kak...Kak Mita? Kakak dimana?" pribadi Riri memanggil Mita setelah selesai menghitung sampai 10. Ia mulai mencari ke sela-sela kamar, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk dimana Mita bersembunyi.Ia pun berpikir untuk mencari ke luar kamar, tapi naas pintu sudah terkunci dari luar. "Pintunya...terkunci?" Ratih mencoba membuka pintu kamar yang terkunci."Lo kok bisa terkunci?" pribadi Riri berbalik badan dengan panik. Ia menyadari keteledorannya dan ketakutan akan dimarahi akibat kesalahannya."Aduh bagaimana ini?" pribadi Riri merasa tidak punya cukup cara menemukan jalan keluar. Akhirnya terpaksa Ia memilih untuk menyerahkan kesadaran utama kepada kepribadian lain."Memang sebuah kesalahan membiarkan anak kecil itu menjaga anak-anak." gumam Ratih yang kini sudah berganti kepribadian menjadi Sulastri.Pribadi Sulastri kembali mengecek pintu, dan memastikan bahwa pintu ini benar-benar terkunci dari luar. Pribadi Sulastri mencoba memanggil Mita ag
Rumah Mita memiliki dua lantai dengan beberapa ruangan yang cukup luas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Kamar tidur Mita berada di lantai kedua sedangkan kamar tidur orang tuanya terletak di lantai pertama. Hanya kamar orang tua Mita yang memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Sisanya menggunakan kamar mandi luar di masing- masing lantai. Ada sebuah kamar kecil yang dikhususkan untuk tamu yang menginap. Posisi nya terletak di dekat tangga lantai dasar. Mita dan Ratih mulai menyusuri anak tangga menuju ke lantai dasar. "Hmmm... Akhirnya paru-paru ku merasakan udara segar." Mita tarik napas dalam dan berucap dalam hati. Sudah hampir seharian sejak dia disekap dalam kamarnya yang sekarang sudah terasa lebih pengap. Namun, di sisi lain Mita mengkhawatirkan Adam dan ingin segera memastikan dimana posisi adiknya berada. Mita berjalan beriringan di belakang Ratih sembari meninjau berbagai sudut ruangan tanpa Ratih sadari dengan seksama. Diliha
Hari Senin tanggal 9 Juli 2007, Pramita Candra Kirana pertama kali menyapa alam baru yang kita sebut sebagai dunia.Lampu indikator di pintu ruang operasi berubah warna menjadi hijau. Suster membuka pintu dengan mendorong sebuah kotak berisi seorang bayi mungil."Keluarga Ibu Ayu Ratih Senara Dewi?" , suster memanggil keluarga atas nama tersebut dengan suara lantang guna memastikan pihak keluarga mendengar.Tak berselang lama sesosok pria gagah dengan tinggi sekitar 185 cm berdiri dari barisan kursi dengan mata berbinar-binar. Sekaligus beberapa orang di sebelah kanan dan kirinya juga sontak berdiri mengikuti pria itu."Iya? Ada apa sus?" tanya pria itu harap-harap cemas. Ia tergesa-gesa menghampiri suster di mulut pintu ruang operasi."Keluarga Ibu Ratih?" tanya suster memastikan. "Iya betul. Saya Adi, Tirta Adi Wijaya. Saya suaminya." sahut pria yang ternyata suami dari Ratih dan Ayah dari Mita."Selamat pak, bayi bapak lahir dengan sehat. Tapi untuk saat ini silahkan ikut saya ke r
Sudah sekitar 15 menit berlalu sejak mulai ada suara orang dari luar kamar Mita.Dalam buku mengenai DID dijelaskan bahwa seorang dengan DID tidak menyadari jika mereka sedang kambuh.Sehingga lawan bicara tidak boleh panik dan marah, justru harus tenang dan fokus saat berhadapan dengan mereka.Itulah tekad yang sedang Mita bangun, Ia harus tenang dan fokus dalam berhadapan dengan Ibunya. Entah dengan siapapun Ia bicara nanti.Mita mendekati pintu dengan hati-hati sambil mengintip dari lubang kunci. Mita tidak mendapat penglihatan yang begitu jelas dari sudutnya saat ini.Ia menempelkan telinganya ke pintu untuk coba mendengarkan suara dari luar. Itu pun juga tidak memberinya cukup petunjuk.Akhirnya dia memutuskan untuk coba menanyakannya langsung pada Ratih di luar kamar.“Tok...Tok...Tok...Siapa diluar?” tanya Mita sambil mengetuk pintu dari dalam untuk menarik perhatian.Mita menanyakan dengan tenang dan hormat pada Ibunya tentang identitasnya sekarang. Hal ini untuk menghindari k
Di era modern seperti sekarang ini, banyak perubahan yang terjadi dalam situasi sosial. Mulai dari budaya, pola pikir, tuntutan sosial, dll.Kecepatan informasi dan teknologi dikhawatirkan dapat memicu kasus-kasus di media sosial yang dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.Selain itu, maraknya kasus bullying, KDRT, dan tekanan akademik membuat beberapa kasus mental illness yang melibatkan para remaja seusia Mita.Sehingga banyak sekolah modern menyisipkan pelajaran mengenai pentingnya kesehatan mental bagi remaja, termasuk di sekolah Mita.“Jenis penyakit dengan ciri-ciri yang Ibu tunjukkan sepertinya di buku ini disebut dengan DID atau Dissosiative Identity Disorder atau dalam bahasa Indonesia artinya kepribadian ganda.” gumam Mita sambil terus membaca tentang penyakit ini di dalam buku pelajaran sekolahnya.Berkat buku yang Ia baca, Ia mampu memperoleh beberapa informasi tentang berbagai penyakit kesehatan mental, seperti jenis penyakit dan asal muasalnya.Serta ada pula p
Matahari mulai bersiap berganti jaga dengan bulan ketika Mita dan Adam duduk di ruang keluarga, menunggu kepulangan Ibu mereka dari pasar.Adam fokus menonton kartun kesukaannya sedangkan Mita asyik membaca komik hariannya.Mita sedang merefresh moodnya setelah seharian ditempa kuis di sekolah. “Komik yang kutunggu-tunggu akhirnya rilis juga,” gelagat Mita girang sambil memeluk erat komik barunya seraya bergoyang ke kiri dan ke kanan.Tak berselang lama pintu depan terbuka, Ratih masuk dengan tangan penuh belanjaan untuk persediaan beberapa hari.Terlihat raut wajah Ratih yang memerah dan kehausan karena memang cuaca sedang terik akhir-akhir ini. Memang Ratih mengendarai mobil, tapi jenis pasar yang sering Ia kunjungi adalah pasar tradisional, karena dinilai bahannya lebih segar dengan harga yang terjangkau."Ibu pulang!" seru Adam, berlari ke arah Ratih dan memeluk kakinya. Ratih tertawa dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.Ekspresi kelelahan yang semula dominan di wajah
“Nampaknya memang sulit untuk membuat kalian bisa mengerti.” dengan tenang Ratih berujar demikian.Eskpresi kesakitan yang baru saja diperlihatkannya seakan tak pernah ada. Raut wajah, energi, serta kekuatannya kembali normal. Rupanya kesadaran Ratih kembali diambil alih oleh Sulastri.Sejenak Ratih berhenti berbicara karena memikirkan apa yang membuat kesadaran utama Ratih bisa kembali. "Kenapa bisa Ratih tiba-tiba terbangun?" gumam pribadi Sulastri heran. Ia berfikir jika kejadian seperti ini terus berulang, maka rencananya bisa saja gagal di tengah jalan.Namun, tidak ada waktu untuk menganalisa dan mengingat kembali apa yang terjadi, raga Ratih langsung beranjak dari lantai dan duduk di atas kasur Mita. Sementara Mita dan Adam tetap berada di bawah lantai saling berpelukan.“Anak seusia kalian jelas tidak mudah memahami apa yang terjadi di sekeliling kalian.” ucap pribadi Sulastri.“Meskipun begitu, cobalah untuk menurut kepada orang yang lebih tua. Sekalipun kalian benar, kebenara
Hari Minggu pukul 8:40 pagi, Mita baru keluar dari kamar mandi setelah 30 menit memastikan semua bagian tubuhnya bersih dan wangi.Mita, dengan rambut pendek bergaya wolf cut berwarna hitam, menyukai gaya pakaian yang mencerminkan kepribadiannya yang berani dan kreatif.Namun, Ibunya, Ratih, memiliki pandangan yang berbeda. Ratih selalu ingin agar putrinya berpakaian sopan dan rapi, sesuai dengan norma yang ia yakini.Sehingga sering kali keduanya berada pada posisi yang melibatkan ketegangan diantara mereka karena perbedaan prinsip.Ratih menghampiri kamar Mita yang pintunya terbuka. Mita terlihat sedang berada di depan cermin untuk mencocokan beberapa setel pakaian."Kamu mau pakai apa hari ini, Nak?" tanya Ratih sambil bersandar di gawang pintu.Mita yang sedang memegang kaos oversized hitam dengan gambar tengkorak menjawab, "Aku mau pakai ini, Bu."Ratih mengerutkan kening dan berjalan mendekati Mita. "Mita, Ibu sudah bilang berapa kali, Ibu tidak suka kamu pakai baju seperti itu.
Mita terbangun seketika dengan jantung berdebar. Suara keras dari luar kamar membuatnya memilih untuk mengakhiri tidurnya.Ia menoleh ke arah tempat tidur adiknya, Adam, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu. Ekspresi wajah Adam yang ketakutan sambil menoleh ke arah pintu, menambah kengerian di benak Mita yang baru saja berhasil terbangun.Dengan hati-hati, Mita langsung berjalan perlahan menuju pintu, sebelum Ia menyapa dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepada adiknya, Adam."Pintu ini ... terkunci?" gumamnya dengan kebingungan. Mita mencoba membuka pintu sekali lagi, tapi tetap tidak berhasil."Adam, apa yang terjadi?" tanya Mita dengan suara lirih seakan tau bahwa sesuatu yang janggal telah terjadi di luar kamarnya.Adam terdiam dengan wajah penuh ketakutan dan berhiaskan tangisan kecilnya menggelengkan kepala ke arah Mita, pertanda Ia pun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Sebagai seorang kakak, Mita memutuskan untuk tetap tenang. Ia datang menghampiri a