“Mau kemana Jo?” tanya Theo penasaran melihat wajah kebingungan temannya itu.“Bentar, gue tadi ke sini bareng cewek,” jelas Jonathan sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.“Cewek lu? Jessi maksud lu? Tuh dia ada di dalam.” “Bukan! Rachel, gue kesini barengan Rachel.” Jonathan pun segera melangkah untuk mencari keberadaan Rachel yang tiba-tiba menghilang.“Si Cupu? Serius lu, Jo?” Raut wajah Theo terkejut mendengar jawaban Jonathan. Sungguh di luar dari dugaannya. Selama ini dia mengira temannya itu memacari teman sekelasnya, Jessi. Bukan Rachel, si gadis Cupu.Jonathan tetap melangkah, mengabaikan pertanyaan Theo. Rachel adalah tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin dia bisa kehilangan Rachel hanya dalam waktu sekejap.Jonathan membelah kerumunan, mengabaikan sapaan teman-temannya. Untung saja para tamu memakai baju dress code berwarna hitam, tentu tidak akan mempersulit pencariannya. Karena hanya Rachel yang mengenakan baju putih.Pencariannya berakhir di parkiran. Dari amba
Dari kejauhan Jonathan bisa melihat kedua gadis yang tengah beradu mulut. Entah masalah apa yang membuat mereka bertengkar, Jo ingin segera mengakhirinya agar tidak menjadi bahan tontonan.“Jessi!! Apa-apaan sih lu!!” sentak Jonathan yang kini sudah berdiri di depan mereka. Melihat Jessi yang tengah menarik rambut Rachel hingga wajah gadis itu mendongak. Tangan kanan Rachel masih mencengkram tangan Jessi yang tadinya hendak menamparnya. Sementara tangan kirinya berusaha menggapai tangan Jessi yang mencengkeram erat rambutnya.Jessi terkesiap lalu segera melepaskan tangannya dari rambut Rachel.“Jo, ngapain sih elu bawa si Cupu ke sini? Dia selalu nyari masalah!” ucap Jessi mendahului, sebelum Rachel mengadu ke Jonathan.Rachel hanya terdiam, tak berniat untuk membela diri. Dia segera beranjak dari tempatnya, mencari keberadaan ponsel yang dilempar oleh Jessi tadi. Setelah menemukannya, Rachel pun melangkah cepat menuju pintu gerbang dengan hati yang masih memanas.Melihat Rachel yang
Tangan Rachel terayun ke depan, dengan sigap Jonathan menangkapnya sebelum tangan Rachel mendarat di pipinya.“Gue cuma bercanda lagi, serius amat sih!” ucapnya sembari mengerlingkan satu matanya.Wajah Rachel memerah seperti kepiting rebus. Godaan Jonathan begitu frontal, membuatnya kembali mengingat akan kejadian tidak sengaja saat Jonathan menyentuh dadanya.“Dasar mesum! Cowok tengil!” gerutu Rachel dengan bibir mengerucut.Namun akhirnya dia pun keluar dari mobil. Jaket Jonathan yang berukuran besar, membungkus tubuh atasnya. Bahkan panjang jaket itu hampir sama dengan panjang dress yang Rachel kenakan.Jonathan memimpin langkah mereka menuju salah satu pedagang makanan yang menyediakan beraneka ragam jenis masakan.“Lu mau makan apa?” tanya Jonathan sebelum dirinya memesan makanan.Rachel melihat pada menu yang ditempel di sisi etalase kaca. Dan menyebutkan satu menu yang memang jarang dia makan.“Mie pangsit.”Jonathan segera mengucapkan pesanannya pada pedagang makanan. Lalu b
Kini mereka sudah berada di dalam mobil. Rachel sengaja membuang pandangannya ke arah jendela untuk menghindari tatapan Jonathan. “Ngambek? Gitu aja ngambek, gue cuma bercanda kali,” ucap Jonathan. Namun Rachel masih bergeming tak menjawab. Jonathan segera menyalakan mesin mobil. Saat hendak memasangkan sabuk pengaman di tubuh Rachel, gadis itu menolak dan memilih untuk memasangnya sendiri. Mobil pun melaju. Keduanya sama-sama terdiam selama di perjalanan. Hingga tiba di rumah, Rachel tak juga mengucapkan sepatah katapun meskipun Jonathan terus mengajaknya berbicara. “Mau masuk dulu mas Jonathan?” sapa Prasetyo ketika Jo keluar dari mobilnya. Niatnya untuk mengantar Rachel hingga ke dalam rumah pun dia urungkan. “Kayaknya enggak, Pak. Saya sampai sini saja. Om Jacob di rumah?” “Tuan dan nyonya baru saja pergi. Apa mas Jonathan mau menunggu di dalam?” tanya satpam itu lagi. Jo menggeleng, “tidak pak, mungkin lain kali. Saya mau langsung pulang.” “Lagi marahan ya mas sama
Garis bibir Rachel melengkung, membaca isi pesan itu. Siapa lagi jika bukan Jonathan pengirimnya?Nenek Maria yang sedari tadi merasa penasaran, ikut melirik untuk membaca isi pesan itu.Namun beliau tampak kesusahan membaca tulisan yang terlihat amburadul itu. Belum sempat nenek membaca seluruh isi pesan, Rachel sudah menutup kertas itu dan menyimpannya.“Ponselmu rusak? Siapa nama pengirimnya, Chel? Apa dia menuliskan namanya?” tanya nenek Maria yang baru sempat membaca kalimat pertama.Rachel mengangguk lalu menjawab, “ponsel Rachel tak sengaja jatuh kemarin, nek.”“Kok bisa? Terus, siapa yang mengirim ponsel baru itu?” ucap nenek Maria mengulangi pertanyaannya.“Jonathan,” jawab Rachel singkat.“Benarkah? Wah memang calon suamimu itu orang yang baik dan bertanggung jawab. Apa Jonathan yang merusak ponselmu?”Rachel menggeleng, “bukan dia, tapi temannya.”“Sekarang hubungi tunanganmu itu, dan ajak dia makan siang bersama,” perintah nenek Maria. “Tapi nek..” Rachel masih mencoba un
“Hai Tante apa kabar?” tanya Jessi mengulas senyum ramah.Debora yang sudah mengenal Jessi, membalas sapaan teman putranya itu dengan senyum tipis.“Baik, kok tumben kamu ke sini?”“Aku mau bertemu Jonathan. Jo nya ada, Tan?” tanya Jessi seraya menatap sinis ke arah Rachel. Namun Rachel sengaja membuang mukanya.“Jo sedang tidak di rumah,” jawab Debora, lalu dia kembali menatap pada Rachel. “Apa kamu datang bersamanya?”Rachel menggeleng pelan sebagai jawaban.“Kebetulan aja Tante kita datang barengan. Kemana Jonathan, Tan?” sahut Jessi sok ramah. Dia bahkan sengaja menyenggol lengan Rachel agar gadis Cupu itu sedikit menyingkir.Rachel hanya mampu diam tak membalas, tentu dia tahu sikap Jessi disengaja. Namun Rachel tahu posisinya saat ini. Dengan adanya mama Jonathan, Rachel harus bersabar untuk tidak terpancing amarah karena sikap Jessi yang seenaknya.“Tadi Jo bilang sih ke bengkel mau benerin motor. Sudah dari tadi sih, cuma lebih baik kamu pulang. Takutnya Jonathan lama,” jelas
Jessi tampak bahagia melihat kehadiran pemuda yang dinanti-nanti. Berbeda dengan Rachel yang terlihat sedikit panik. Andai saja mempunyai kekuatan menghilang, tentu Rachel memilih menghilang dari rumah ini. Sayangnya dia tak memilikinya dan hanya bisa menyesali niatnya untuk datang ke rumah Jonathan. Harusnya dia mengikuti saran neneknya. Lebih baik Jo sendiri yang datang ke rumahnya, sehingga dia tidak mungkin terjebak dalam situasi ini. “Jo, akhirnya lu datang juga. Gue hubungi lu dari kemarin malam, lu gak jawab sama sekali. Makanya gue ke sini, nyariin lu langsung. Dan mami ngajak gue makan siang bareng,” ucap Jessi dengan rasa bangga. Jessi beranjak dari kursi, lalu menarik tangan Jonathan untuk duduk di sampingnya. Jo hanya pasrah, namun tatapannya tertuju pada Rachel. Gadis berkacamata itu sengaja menghindari kontak mata dengannya. Makan dengan lahap seakan mengabaikan kehadiran Jonathan di sana. Sementara itu, Debora memandang putranya dengan tajam. Andai dia tak ingat ak
“Tan, kita kok ke sini? Bukankah tadi Tante bilang mau beli..”“Ya setelah dari sini, kita akan cari buah tangan untuk nenekmu.”Debora melangkah dengan anggun menghampiri meja resepsionis.“Perawatan untuk dua orang, dan saya minta karyawan yang terbaik dari salon ini,” ucap Debora pada petugas resepsionis.“Baik nyonya Lesham, kami akan melakukannya seperti permintaan anda,” sambut petugas itu dengan sangat ramah.Mereka pun diantarkan ke sebuah ruangan khusus tamu VIP. Beberapa karyawan telah menunggu dan tak kalah ramah menyambut kedatangan tamu langganan yang selalu menggelontorkan banyak uang setiap berada di tempat itu.“Mungkin nanti ke depannya mami akan sering mengajakmu perawatan di sini. Sebagai perempuan kita harus bisa merawat diri, Rachel. Nanti juga kamu akan terbiasa. Sering-seringlah main ke rumah mami,” ucap Debora sembari menikmati pijatan dari salah satu therapist.Rachel yang juga sedang melakukan treatment body message pun terlihat sangat nyaman. Seumur hidupnya
Mendengar namanya dipanggil, Rachel pun menghentikan langkah dan melihat ke sumber suara.Terlihat sahabatnya Mila yang berdiri tak jauh, tengah melangkah ke arah mereka.“Mila?” Raut wajah Rachel berbinar ketika melihat sahabat yang sudah berhari-hari tak bertemu.“Chel, gue seneng deh akhirnya bisa lihat elu!” Mila memeluk Rachel dengan perasaan senang. Lalu tatapannya tertuju pada pemuda yang berdiri di belakang Rachel.“Jo? Apa kab.. loh tangan lu kenapa?” tanya Mila yang terkejut melihat kondisi tangan kanan Jonathan yang tergantung.“Hey Mil, apa kabar? Sendirian aja?” sambut Jonathan dengan senyum merekah. Dia bahkan tak menjawab pertanyaan Mila.“Gue baik. Kalian gimana? Udah lama gue gak denger kabar kalian, dan Jo tangan lu kok bisa..”“Gue jatuh dari motor, Mil. Tapi tenang aja kondisinya gak parah kok!” pungkas Jonathan menenangkan. Lalu melihat ke sekeliling Mila, “eh mana si Ray, lu gak bareng dia?”Kini wajah Mila berubah sendu ketika mendengar nama Rayjendra.“Dimana s
“Ish.. gak usah kali Jo pake dijelasin segala kita mau nikah. Kan malu!” gerutu Rachel saat mereka keluar dari ruang terapi dan sedang berada di apotik, menunggu obat yang diresepkan. “Loh, harus dong Chel! Masak iya kamu nikah tapi calon suamimu cacat gini.” “Hush.. jangan bilang gitu! Kamu gak cacat, tapi sedang kurang baik. Dalam waktu dekat juga pasti sembuh tangannya,” balas Rachel dengan tatapan tak suka. Jonathan menghela nafas panjang. “Dengan kondisi tangan gue seperti ini, kira-kira masih bisa gak ya gue main basket?” gumam Jonathan dengan tatapan menerawang. Rachel berpaling menatap ke samping. Terlihat raut wajah Jonathan yang muram dengan pandangan kosong. Diraihnya tangan Jonathan, lalu menautkan dengan tangannya. “Gue yakin lu bisa sembuh, dan tangan lu akan kembali kayak dulu!” tegas Rachel untuk menyemangati. Mendadak suasana hening, Jo tak lagi berucap. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rachel merasa iba melihat raut wajah Jo yang murung. Walau bagaimanapun
Rachel yang tak mendengar ocehan Jonathan lagi, sontak melihat ke arah pemuda di sisinya.“Jo, kenapa lu?” tanyanya, namun diabaikan oleh pemuda itu. Membuatnya tambah bertanya-tanya saat melihat wajah Jonathan yang berubah serius.Rachel penasaran dengan apa yang dilihat pemuda itu. Sehingga Rachel mengikuti arah pandang Jonathan.Terjawab sudah rasa penasaran Rachel, ketika pandangannya menangkap sosok Bara dan Jessi.Ketika dirasa genggaman tangan Jonathan yang semakin menguat di tangan kanannya, Rachel pun mengulurkan tangan kirinya untuk mengusap lembut lengan pemuda itu.“Jo, kita tunggu di sana,” ucap Rachel sembari menuntun langkah mereka menjauh dari pintu masuk. Dia tahu Jessi, Bara dan Pak Jeremy akan melewati jalan itu nantinya.Jonathan mengikuti kemana Rachel membawanya. Duduk menjauh di depan pos sekuriti.Sementara itu Nicholas yang baru saja menyelesaikan panggilan, hendak menghampiri putranya untuk pamit kerja. Namun justru dirinya berpapasan dengan Jeremy. Pria yang
Setelah memastikan kekasihnya masuk ke dalam rumah serta berpamitan pada semua keluarga Rachel, Jonathan pun segera keluar dari gerbang. Menghampiri supir yang sudah berdiri menunggu di sisi mobil. Selama melangkah, mata Jonathan terus mengawasi keberadaan mobil Bara. Hingga akhirnya terlihat jendela mobil terbuka dan wajah Bara pun terlihat. Jonathan membalas tatapan sinis dari pemuda yang menjadi musuh bebuyutannya selama ini. “Silahkan tuan Jonathan,” ucap supir yang telah membukakan pintu depan. “Tunggu dulu, pak! Saya masih ada sedikit urusan,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Bara. Terlihat pemuda itu membuka pintu mobil, lalu keluar dengan senyum misteriusnya. Melangkah menghampiri Jonathan yang sudah mengetahui keberadaannya. “Hay, kawan lama! Apa kabar?” sapa Bara seraya mengulurkan tangannya ke arah Jonathan. Namun Jo hanya memandang tangan Bara yang terulur. Tak ada niat untuk menyambutnya. Lalu kembali menatap wajah Bara. “Gak usah basa-basi! Ada keperlua
“Wah enak masakanmu, Rachel!” puji Nicholas saat tengah menikmati makan malam dengan sup ayam buatan Rachel. “Tuh kan, apa gue bilang. Masakan lu memang terbaik,” timpal Jonathan sembari menunjukkan jempol tangannya ke depan. Rachel tersenyum senang mendengar pujian dari calon mertuanya. “Syukurlah, kalau om menyukai masakan saya,” ucap Rachel seraya menundukkan pandangan. “Sering-seringlah main ke sini, biar hubungan kalian semakin dekat. Mulai bulan depan kita sudah harus mulai mempersiapkan rencana pernikahan untuk kalian,” tutur Debora yang ikut mencicipi sup ayam buatan Rachel. Rachel menelan ludah, tak menyangka jika pernikahannya dengan Jonathan sudah dekat. Hanya tinggal beberapa bulan lagi setelah pengumuman kelulusan. “Nanti bilang aja kalau mau sini, aku yang jemput kamu!” ujar Jonathan menimpali ucapan maminya. “Idih, tangan kamu aja masih sakit. Gimana mau jemput, Jo?” balas Rachel dengan suara setengah berbisik, agar orang tua Jonathan tak mendengar. “Bisalah! La
“Luna? Ngapain lu ke sini?” tanya Jonathan dengan raut wajah bingung. “Aku mau jenguk kamu. Tadinya sempet ketemu sama mami, dia bilang kamu sedang sakit di rumah.” Aluna melangkah semakin dekat. Tanpa basa-basi segera duduk di kursi samping Jonathan, kursi bekas Rachel duduk tadi. “Astaga, dasar mami!” gerutu Jonathan dengan suara kecil. Kehadiran Aluna yang tak diharapkan itu tentu mengganggu momen romantisnya dengan Rachel. Jonathan melirik ke arah Rachel, tepat saat gadis itu melihat ke arahnya. Namun tak lama Rachel pun melanjutkan langkahnya memasuki dapur. Jonathan menghela nafas kesal. Kesal pada Aluna yang selalu datang mengganggu. Padahal gadis itu tahu jika sekarang Jonathan sudah memiliki kekasih, calon istri. “Kok bisa sih Jo, sampai seperti ini? Kamu jatuh? Dimana jatuh?” Aluna mencecarnya dengan pertanyaan. Namun Jonathan sudah terlanjur malas menjawab, dan tak ingin membuat kekasihnya salah paham. “Lun, gue udah baikan kok. Ada pacar gue yang ngerawat. Jadi mendi
Jonathan kembali duduk di tepi ranjang, meraih air dalam gelas yang masih tersisa setengah. Setelah menuntaskan dahaga, Jonathan berniat untuk menghubungi Rachel. Memastikan keberadaan kekasihnya itu. Namun kembali Jo dibuat bingung karena ponselnya masih terbawa oleh maminya. Jonathan melenguh frustasi. Tanpa ponsel dia tak bisa menghubungi Rachel, tetapi bukankah dia bisa menelpon lewat telepon rumah? Jonathan bergegas melangkah keluar kamar. Dengan langkah buru-buru menuruni anak tangga, menuju ruang keluarga dimana telepon rumah berada di sana. Setelah melihat pada buku telepon dan menekan nomor telepon rumah Rachel, Jonathan pun menunggu hingga panggilan terhubung. “Jonathan? Udah bangun?” Terdengar suara gadis yang sedari tadi dia cari. Sontak Jonathan menoleh ke belakang. Jo terkesiap, matanya melebar. Namun detik berikutnya senyum menghiasi bibirnya. “Halo, selamat sore!” Terdengar suara nenek Maria dari seberang telepon. “Halo nek, apa kabar?” jawab Jonathan tanpa menga
Bola mata Rachel melebar untuk beberapa saat. Otaknya menyuruh untuk menjauh, namun hatinya meminta untuk tak menjauh. Rachel memejamkan mata dan mulai menikmati kehangatan yang mulai menjalar di hatinya. Sebuah ciuman ringan, hanya pertemuan dua bibir namun begitu membekas dalam hati Jonathan. Baru kali ini dia tak melihat penolakan Rachel. Namun suara ketukan pintu mengalihkan atensi mereka. Secepatnya Rachel mendorong dada Jonathan menjauh. Nafasnya tampak terengah-engah, wajahnya merah padam. “M-mungkin mbak. Gue bukain pintu dulu,” ucap Rachel terbata, lalu segera beranjak melangkah ke arah pintu. Jonathan tersenyum penuh kemenangan. Menjilat bibir bawahnya, dimana rasa manis dengan aroma buah ceri tersisa di sana. Setelah menerima peralatan makan juga segelas air putih dari asisten yang mengantar, Rachel melangkah ke arah meja. Membuka satu persatu rantang, lalu memindahkan sebagian makanan ke atas piring. Debaran di dadanya tak kunjung berhenti, meskipun Rachel berusaha m
Perlahan Rachel memutar kepalanya ke belakang. “L-lu udah bangun? Tadinya gue mau nunggu di bawah,” jawab Rachel gugup. Jonathan beranjak dari posisinya, namun wajahnya tampak meringis. Mulutnya mendesis kesakitan. “Ssshhhh… duhhhh!” Rachel terkesiap, bergegas menghampiri Jonathan yang tampak kesakitan. “Masih sakit Jo? Pelan-pelan!” ucap Rachel sembari membantu Jonathan untuk duduk. Tangan kanannya melingkari pundak pemuda itu, sementara yang kiri menggenggam erat pergelangan tangan Jo yang tak tertutup gips. “Sakit banget, Chel! Shhhh…” balas Jonathan dengan wajah meringis. “Hati-hati! Lu duduk aja, biar gue bantu!” Rachel mengambil satu bantal dan meletakkannya di punggung Jo. Lalu membantu pemuda itu untuk duduk bersandar. “Thank you, udah mau datang ke sini. Lu udah makan?” tanya Jonathan dengan suara lembut. Wajahnya tampak berseri-seri. Padahal baru beberapa detik lalu terlihat kesakitan, namun sudah berubah dalam waktu cepat. “Udah. Tadi habis masak gue langsung makan