“Rachel?”Panggilan Debora membuat perhatian Rachel tertuju pada wanita anggun yang berdiri di depan pintu.“Tante,” Rachel tersenyum lalu segera melangkah untuk menghampiri Debora.Rachel meraih tangan Debora dan menciumnya dengan santun.“Terima kasih sudah mengantar Jonathan ke rumah. Tadi pagi, padahal mama udah suruh Jonathan untuk ijin, tapi dia ngotot pengen sekolah. Mungkin karena rindu sama kamu.”“Mama!” suara Jonathan terdengar dari dalam. Membuat Rachel ikut melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Debora tersenyum sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan.“Putra mama malu, ayo kita masuk ke dalam dulu!” Debora meraih tangan calon menantunya lalu menuntunnya masuk ke dalam rumah.Kini Rachel berada di tempat makan dengan meja luas memanjang. Terlihat mewah dengan warna putih mendominasi.Di atas meja sudah terhidang menu lengkap. Bermacam hidangan cepat saji, lengkap dengan potongan buah dan berbagai macam minuman dingin dalam pitcher kaca.Jonathan mengambil satu poto
Sosok berbadan tinggi tegap yang melotot ke arahnya dengan raut wajah terkejut. Menjadi sangat nyata tatkala lampu kamar mandi dihidupkan.“Elu? Ngapain lu di kamar gue?” tanya Jonathan dengan wajah mengerut bingung.Perlahan Rachel membuka kelopak matanya, garis bibirnya melengkung.“Gue..” Rachel menoleh ke samping kanan kiri untuk mencari alasan. “Gue mau cuci muka, ya cuci muka. Lu keluar dulu, Jo!” Rachel mendorong tubuh jangkung Jonathan. Namun pemuda itu seakan tidak ingin beranjak dari sana.Rachel kembali mendongakkan kepala, menatap wajah Jonathan yang terlihat lebih bercahaya. Bahkan bibir pemuda itu sudah tidak sepucat tadi.Tangan Jonathan terulur mencengkram tangan Rachel yang masih berada di dadanya. Ada gelenyar aneh merambat ke relung hati Rachel.“Lu yang keluar! Ini kamar gue, tempat pribadi gue! Lu gak berhak masuk sini!” ujar Jonathan dengan tatapan tajam. Rachel segera menarik tangannya. Menundukkan pandangan dan meraih gagang pintu untuk keluar.Dia tidak bisa
Jonathan merutuki ucapan ibunya dalam hati. Kenapa juga sang ibu datang di waktu yang tidak tepat?Kini Jonathan dibuat bingung untuk menjawab pertanyaan Jessi.“Bukan, maksud mami, Rachel kucing peliharaan mami,” ralat Jonathan sembari melirik ke Debora, mengisyaratkan untuk tidak banyak bertanya.Jessi bernafas lega, “gue kira Rachel si Cupu. Lagian kok bisa nama kucing sama dengan nama manusia.”Debora memang memelihara seekor kucing Scottish Fold putih, namun kucing itu berjenis kelamin laki-laki. Memiliki nama Pablo, bukan Rachel.Jonathan masih menatap pada Debora yang masih merasa tidak terima putranya mengubah nama kucingnya. Apalagi mengganti nama dengan nama calon menantunya. Tentu Debora tidak akan terima, namun tatapan putranya memaksa Debora untuk diam.Tepat saat itu, kucing ras dengan warna putih menyeluruh, memasuki ruang tamu dari arah luar pintu.“Hay Rachel!” seru Jessi memanggil kucing yang dia kira bernama Rachel.Kucing tak melirik sedikitpun ke arah Jessi, justr
“Hati-hati nanti jatuh!” celetuk Jo saat mereka menuruni anak tangga.Rachel masih terdiam sembari menundukkan pandangan, hingga langkah mereka sampai di lantai bawah.“Mbak, dimana mami?” tanya Jo pada salah satu asisten rumah tangga yang melintas.“Nyonya sedang di kamarnya, tuan Jo.”Jo berpikir sejenak, tangannya masih menggenggam tangan Rachel. Meskipun gadis itu berusaha keras untuk melepaskan, namun Jo tak mengindahkan. Justru menggenggam lebih erat.“Mbak, kalau nanti mami nyariin, bilang ke mami kalau aku mau anter Rachel pulang,” ucap Jo menitip pesan. Lalu segera melanjutkan langkah keluar dari rumahnya.“Lepasin deh Jo, sakit!” cetus Rachel berusaha menarik tangannya. Hingga langkah mereka tiba di samping motor, Jonathan baru melepaskan genggamannya.Jo mengambil helm dan memberikannya pada Rachel yang langsung diterima meski dengan gerakan kasar, karena hati Rachel yang masih merasa kesal.Pintu gerbang dibuka lebih lebar, Jo segera memutar posisi motornya. Namun hingga b
Rachel segera mengganti nama kontak Jonathan dengan si Tengil. Sesuai dengan panggilannya pada pemuda itu.[Enak aja, kerjain sendiri!] balas Rachel disertai emoticon marah.Jonathan selalu saja membuat suasana hatinya rusak. Meminta bantuan dengan ucapan tidak beretika, tentunya membuat Rachel geram.Rachel kembali fokus membaca buku pelajaran. Namun kembali ponselnya berbunyi. Kali ini si Tengil melakukan panggilan.Kembali Rachel mendesah kesal karena merasa kesibukannya teralihkan. Berusaha mengabaikan dering telepon yang memekakkan telinga hingga pikirannya tak mampu berkonsentrasi penuh.“Dasar pengganggu!” gerutu Rachel lalu menolak panggilan.Kali ini dia mengaktifkan mode silent. Lalu segera melanjutkan kegiatannya yang tertunda.Hingga waktu berjalan cepat, Rachel kembali melirik ke arah jam yang berada di atas meja belajarnya. Sudah pukul sembilan malam, tak terasa sudah dua jam berlalu.Rachel merapikan jadwal pelajaran yang akan dia bawa besok. Lalu segera mematikan lampu
Rachel segera memberikan helm pada bapak ojek, lalu melangkah menjauh. Namun Jonathan mengejarnya.“Hay lu mau pulang atau ke sekolah bareng gue?” sentak Jo sembari menarik satu kepangan Rachel. Membuat Rachel meringis dan bergerak mundur.“Sakit Jo, jangan tarik rambut gue!” hardik Rachel gusar. Menepis tangan Jonathan dari rambutnya.“Lu ngapain ninggalin gue tadi?” Jo kini berdiri di depan Rachel, berusaha menghalangi langkahnya.“Gue gak mau kena sial! Tiap bareng lu selalu aja gue kena sial!” jawab Rachel ketus. Lalu memutar tubuhnya dan mulai melangkah cepat ke arah sekolah.Meski tak mungkin untuk mengejar waktu yang sangat mendesak, namun gara-gara Jonathan membuat Rachel kehilangan akal. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki ke sekolah.Melangkah terburu-buru di sepanjang trotoar, sambil sesekali melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya.“Duh, sial gue bakal telat nih,” ucapnya bermonolog. Saat langkahnya mulai menjauh, Rachel kembali menoleh ke belakang
Beberapa menit berkendara, akhirnya mereka berhenti di sebuah butik mewah yang berada di kawasan elit pusat perbelanjaan.Dimana berjajar bangunan mewah yang menyediakan berbagai perlengkapan fashion bagi kalangan menengah ke atas.Jonathan memarkirkan motornya secara asal, di samping mobil mewah yang berjejer di pelataran butik yang terlihat ramai pengunjung. Rachel tak melihat keberadaan satu motor pun di sana, kecuali motor milik Jonathan. Meskipun bukan motor murah, namun Rachel merasa canggung berada di tempat asing tersebut.“Jo, ini kita dimana?” tanya Rachel penasaran. Ingin rasanya meminta Jonathan untuk mengantarnya pulang. Setidaknya di rumah lebih aman, dibanding di luar. Apalagi bersama dengan pemuda tengil ini.“Lu gak lihat, tuh baca tulisannya!” balas Jonathan sembari menunjuk ke arah atas. Dimana terpampang nama butik di atas bangunan.“Polma Boutique,” ucap Rachel membaca tulisan yang tertera di atas bangunan.“Nah lu bisa lihat, ngapain nanya?” ujar Jonathan ketus.
“Hey Cupu, biasain dong lihatnya. Lu kira gue hantu?” sentak Jonathan, membuat Rachel terkesiap dan segera membuang pandangannya ke samping.“Jo, kayaknya gue gak perlu ganti baju segala deh. Gue pakai ini aja,” ucap Rachel terlihat kikuk, hendak mengutarakan alasan, namun tatapan pegawai wanita itu membuatnya tidak nyaman.Satu alis Jo terangkat, “serius?” ujarnya seraya berjalan mendekati Rachel.Rachel melirik sejenak ke arah pegawai wanita itu, lalu berjinjit mengarahkan bibirnya ke depan telinga Jonathan.“Harga baju di sini mahal, uang gue gak cukup,” bisik Rachel. Meskipun malu mengatakannya, namun dia harus jujur. Sebelum mereka nantinya diusir dari toko karena tidak bisa membayar.“Astaga! Lu tinggal ambil saja baju mana yang lu suka. Santai aja, ini toko milik mami. Kita bebas ambil!” jelas Jonathan.Rachel terkesiap mendengar penjelasan Jonathan. Dia tak mengira jika Polma Debora adalah nama panjang maminya Jonathan.Karena Rachel masih terbengong, akhirnya Jonathan yang be
Bu Lastri? Ada hal apa yang membuat wali kelasnya itu menelpon? Jonathan tampak berpikir, menoleh ke arah Rachel seakan meminta pendapat.“Angkat aja, Jo! Siapa tahu ada hal penting!” saran Rachel.Akhirnya Jonathan menerima panggilan itu.“Halo, selamat pagi Bu? Ada apa?” tanya Jonathan setelah panggilan terhubung.Dia pun tampak serius mendengar ucapan orang dari seberang sana. Tatapannya masih tertuju pada Rachel yang wajahnya tampak penasaran, karena Jonathan sengaja tak mengaktifkan mode loudspeaker.“Apa Ibu sudah tanya padanya, tentang alasan mengapa ponsel Rachel ada di tasnya?” ucap Jonathan dengan raut wajah serius.Dia kembali terdiam, mendengar penuturan guru wali kelasnya. Sementara itu, Rachel sedikit terkejut kala mendengar ucapan Jonathan. Benarkah ponsel miliknya sudah ditemukan?Ingin bertanya karena penasaran, siapa orang yang sudah mengambil ponselnya. Namun urung Rachel lakukan, takut mengganggu pembicaraan Jonathan dengan Bu Lastri.“Tolong Bu, jangan percaya sam
Pandangan Jonathan mengikuti langkah Rachel, salah satu alisnya terangkat.“Mau kemana, Beb?” panggil Jonathan sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil.“Lu mau ganti baju, kan? Mending gue tunggu di luar,” jawab Rachel tanpa berani memandang ke belakang. Tangan kanannya masih mencengkram handle pintu.“Tunggu aja di dalam, ngapain di luar?”“Jo, mana lu taruh cardlock?” tanya Rachel tak mengindahkan ucapan Jonathan.“Tuh, di samping pintu.” Jonathan melempar handuk basahnya ke atas meja. Lalu melangkah ke arah pintu.Tanpa menunggu lama, Rachel segera meraih kartu persegi itu dan hendak membuka pintu. Namun kembali ditahan oleh tangan Jonathan.“Mau kemana? Tungguin gue! Nanti kita turun barengan. Gue takut lu hilang lagi,” ucap Jonathan.“Ta-tapi Jo, lu telanjang..”“Gue bisa ganti di kamar mandi. Udah, lu tungguin gue di sini aja!” Jonathan menutup kembali pintu yang sudah setengah terbuka. Lalu mengambil kartu dari tangan Rachel, mengembalikan ke tempat semula.Rachel
Kring!Suara ponsel Jonathan berdering, membuat keduanya berpaling menatap ke sumber suara.“Pasti papa yang nelpon,” tebak Rachel sembari mendorong dada Jonathan yang menghalanginya.Dia pun segera melangkah untuk memeriksa. Namun sebelum tiba di tempat, suara ponsel berhenti.Rachel melirik pada layar ponsel yang masih menyala. Terlihat panggilan tak terjawab dari nenek Maria.“Papa Jacob?” tanya Jonathan yang sudah berdiri di belakang Rachel. Memanjangkan lehernya untuk melihat ke arah ponsel melalui pundak kiri Rachel. Akan tetapi layar ponsel sudah berubah gelap.Jonathan mengulurkan tangan kanannya, sengaja membuat posisi Rachel terhimpit.“Ih.. ngapain deket-deket sih Jo? Jauhin dikit!” ucap Rachel ketus sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Awas aja, nanti gue bakal bikin lu gak bisa jauh dari gue!” balas Jonathan. Setelah meraih ponselnya, gadis itu sengaja mendorong tubuhnya ke belakang.“Coba aja kalau bisa!” tantang Rachel yang kini sudah berhasil lolos dari
Mata Rachel terbelalak mendengar ucapan Jonathan yang sangat frontal. Sontak dia memalingkan wajahnya hingga terlepas dari tangan Jonathan.“Dasar mesum!” ucapnya ketus.“Tapi lu suka, kan?” goda Jonathan sembari mengulum senyum.“Ih.. gue gak suka sama cowok mesum ya!” balas Rachel dengan bibir mengerucut.Garis bibir Jonathan semakin melengkung, melihat pada wajah Rachel yang semakin hari terlihat cantik dan menggemaskan.Dia masih tak menyangka, jika akan memiliki perasaan sayang pada gadis berkacamata tebal, yang pernah dijadikan bahan ejekan. Namun justru sekarang Jonathan yang tergila-gila.Tatapan Jonathan beralih pada tangan Rachel yang masih berada dalam genggamannya. Meskipun bibir Rachel mengucap tidak suka, namun gadis itu tak menolak perlakuannya. Sungguh menggemaskan bukan?“Chel..” panggil Jonathan dengan suara lembut.Rachel hanya menggerakkan netranya ke samping tanpa mengubah arah pandangnya.“Dua hari lagi, hari spesial buat gue. Nanti gue mau ngajak lu jalan-jalan
Rachel terkesiap, pipinya semakin merona merah ketika pandangannya bertemu dengan tatapan lembut Jonathan. Tatapan yang membuatnya hanyut dalam perasaan nyaman, hingga rasanya enggan untuk berpaling.Kedua tangannya berada di depan dada Jonathan, menjadi satu-satunya penghalang agar dadanya tidak terlalu menempel di dada pemuda itu.Jonathan sengaja mengunci tubuh Rachel dengan menahan punggung Rachel menggunakan satu tangannya, sementara tangan yang lain menahan tubuh mereka agar tidak jatuh ke belakang.Tak ada kata-kata terucap, namun Rachel bisa merasakan getaran di dada Jonathan yang sama dengan miliknya.Detik waktu seakan berhenti, kala Jonathan semakin mencondongkan wajahnya ke depan. Rachel pun memejamkan mata dengan nafas tertahan.Cup!Bibir Jonathan mendarat di permukaan pipi Rachel, sontak membuat kelopak mata Rachel kembali terbuka perlahan.“Selamat malam! Selamat tidur, sayang.” Suara Jonathan terdengar sangat lembut, hembusan nafasnya pun menggelitik pipi Rachel. Tang
Tak hanya dadanya yang berdegup kencang, pergerakan Rachel pun sontak terhenti. Malu rasanya ketika tindakannya diketahui oleh pemuda itu. Hingga rasanya Rachel tak ingin bertatap muka dengan Jonathan. Mendadak tenggorokannya terasa kering, Rachel berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. Terdengar olehnya, langkah Jonathan yang semakin mendekat. “Laper?” Suara Jonathan terdengar sangat dekat. Langkah pemuda itu terhenti di belakang Rachel. Berdiri dengan posisi membungkuk. Rachel pun mengangguk perlahan sebagai jawaban. Tangan Jonathan bergerak dari kedua sisi tubuh Rachel, membuka bungkusan kotak styrofoam yang masih tertutup. Jika dilihat, mungkin posisi Jonathan seperti tengah memeluk Rachel dari belakang. Jantung Rachel mendadak tidak aman. Dalam jarak sedekat ini, tentu Rachel bisa mencium aroma maskulin yang menguar dari tubuh pemuda itu. Apalagi nafas Jonathan yang berbau mint, sungguh membuat tangannya berkeringat karena rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Setelah tanga
Setelah berpamitan pada para petugas di kantor polisi, Jonathan pun kembali memesan taksi online.Tujuannya kini mencari penginapan untuk mereka bermalam, tentunya seperti yang Jonathan katakan sebelumnya. Penginapan yang letaknya tak jauh dari bandara, agar papa Rachel mudah mencari mereka.Selama di perjalanan, Jonathan membuka aplikasi untuk pemesanan kamar. Namun saat tengah mencari, ponselnya justru kehabisan daya. Seharian ini Jonathan memang tak mengisi daya pada ponselnya.“Mas, di depan bandaranya. Ini tujuannya kemana?” tanya sang sopir taksi sembari melirik ke arah belakang lewat kaca spion di atasnya.“Pak, tolong antarkan saya ke hotel atau penginapan yang dekat-dekat sini,” jawab Jonathan.“Hotel yang gimana ya, mas? Hotel biasa atau yang bagus?”“Sedapatnya aja pak, yang penting bukan hotel angker,” kelakar Jonathan disertai senyum simpul.Supir taksi ikut tersenyum lalu mengangguk paham. Akhirnya dia mengantarkan penumpangnya ke salah satu hotel kelas menengah.Setelah
Detik-detik terasa begitu lambat, Jonathan tak sabar ingin segera bertemu dengan Rachel. Bisa dia bayangkan, bagaimana ketakutannya Rachel saat dirinya tersesat di tempat asing. Mungkin saja gadis itu kini sedang menangis karena ketakutan, apalagi hari sudah cukup larut.Berulang kali Jonathan menghirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk menahan gejolak emosi yang terus menyeruak di dalam dada.“Pak, masih jauh?” tanya Jonathan pada supir taksi.“Tidak mas, mungkin sepuluh menit lagi.”Ponsel Jonathan kembali berdering. Kini terlihat nama papa Jacob di layar.“Halo, om?”“Jo, dimana kamu? Sudah bertemu Rachel?” tanya pria dari seberang telepon.“Sebentar lagi Jo sampai, Om. Ini masih dalam perjalanan. Mungkin sekitar sepuluh menit lagi sampai.”“Jo, tolong hubungi papa jika sudah ketemu Rachel.”Panggilan pun berakhir, Jonathan kembali menyimpan ponselnya. Melirik ke arah tas ransel milik Rachel di sebelahnya.Tangannya terulur mengambil tas itu untuk diletakkan di atas paha. Jarinya be
Sebuah truk dengan muatan bahan bangunan terlihat dari kejauhan, Rachel melambaikan kedua tangan untuk mengisyaratkan pengemudi truk agar berhenti. Berharap mendapatkan pertolongan dari orang itu. Dan sesuai harapan, truk berwarna kuning itu berhenti. Rachel segera berjalan menghampiri. Sang supir truk mengeluarkan kepalanya lewat jendela. “Ada apa, dik? Ada yang bisa bapak bantu?” teriak sang supir truk berusia empat puluhan dengan wajah mengerut. Melihat gadis seusia putrinya berjalan sendirian di jalanan sepi, membuat rasa iba muncul dalam hatinya. Rachel mendongakkan kepala ke atas. “Pak tolong saya, saya tersesat. Bisakah bapak mengantar saya?” “Dimana rumahnya dik?” tanya pak supir sembari melihat ke sekeliling. Tak ada satu orangpun terlihat di sepanjang jalan yang sudah gelap. “Rumah saya jauh pak, saya bukan orang sini. Tadinya saya sedang ikut kegiatan study tour. Tapi entah apa yang membuat saya tersesat, saya masih mengingatnya.” Melihat wajah gadis yang memelas itu,