Sore harinya.
Marvin yang kini menjemput Dinda dirumahnya, meski Dinda sudah berkata tidak mau namun Marvin tak menghiraukannya, Ia yang masih saja datang dan meminta Dinda untuk ikut dengannya hari ini."Udah berapa kali saya bilang, Pak? saya tidak mau, kenapa maksa banget sih?""Dinda, bantu saya nasib saya hari ini ada di tangan kamu, kalau kamu tidak mau membantu saya, partner saya kali ini bisa lolos.""Bukan urusan saya ya, Pak. Saya nggak ngerti yang begituan, udah deh lebih baik sekarang Bapak pergi sendiri, karena saya nggak mau ikut Bapak."Ucapan itu membuat Marvin memandangnya dengan tajam, sedikit membuatnya marah hingga kini ia meraih tangan Dinda dan membawanya begitu saja."Lepasin saya, dasar tukang maksa, lepas!"Pekikan itu tak di hiraukan oleh Marvin, ia yang terus membawa Dinda memasuki mobilnya dan melaju ke suatu tempat, Marvin lebih dulu pergi ke salon sebelum pergi menemui partnernya.MSetelah pertemuan berakhir, Dinda yang kemudian menghela nafas lega."huuff, akhirnya selesai juga. Udah kayak orang bego aja, yang cuma bisa diem," gerutu Dinda yang terdengar ditelinga Marvin.Mendengar ucapan itu Marvin pun tersenyum smirk, dan menggelengkan kepala."Meski sama, nyatanya tetap berbeda," ucap Marvin yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Membuat Dinda terbelalak atas ucapan yang didengarnya."Maksud, Bapak? Bapak bilang saya bego?" ucap Dinda dengan langkah yang terus mengejar Marvin, hingga kini memasuki mobilnya."Saya tidak bicara seperti itu, bukankah kamu sendiri yang bilang kamu bego?" jawab Marvin seraya melajukan mobilnya."Ya tapi kan ngga harus diperjelas, Pak."Tak ingin lagi berdebat Marvin yang kini terdiam kala Dinda terus menggerutu. Kini Marvin semakin mempercepat laju mobilnya hingga melewati jalan yang seharusnya ia lintasi."Loh, Pak. Harusnya kan belok, kenap
Hari demi Hari berlalu, keadaan Ginda yang masih tak ada perubahan, juga keadaan Dinda dan Marvin yang semakin hari semakin dekat.Hari ini Dinda berada di depan rumah Marvin, ia tak berkedip memperhatikan pemandangan indah di hadapannya itu, rasa takjub membuat nya melebarkan mata."Astaga jadi ini rumah Marvin? bagus banget," ucapnya terpesona.Dinda yang masih terdiam membeku, memperhatikan sesuatu yang seakan membuatnya tak dapat bergerak, sementara mobil Marvin yang kini memasuki halaman rumahnya dan membunyikan klakson mobilnya.Bim Bim!Mendengar suara itu Dinda pun terperanjak kaget, ia seketika menoleh dan menjauh memberi jalan mobil Marvin untuk masuk.Memperhatikan Marvin yang kini tampak keluar dari mobilnya, pandangan Dinda yang lagi lagi tak berkedip, rasanya apa yang ia perhatikan hari ini membuatnya terpesona."Ada apa kamu datang kemari?" tanya Marvin setelah gini berada dekat dengan Dinda.Mend
Hari demi hari berlalu, dan perasaan Dinda terhadap Marvin rasanya perasaan yang berbeda, perasaan yang semakin kuat, semakin membuatnya bimbang.Setiap kali melihat Marvin, hatinya berdebar-debar, dan setiap kali Marvin tersenyum, dia merasa dunianya berputar. Namun, dia tahu bahwa perasaannya itu salah. Marvin adalah suami Ginda, saudara kembarnya sendiri. Mencintainya adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak seharusnya dia lakukan. Dinda duduk di sudut ruangan, matanya tak berkedip memandangi Marvin yang sedang sibuk dengan Ginda disana. Dia terpesona dengan ketenangan dan kegigihan Marvin, namun sekaligus merasa resah dengan perasaannya sendiri. Di dalam hatinya, dia berusaha menyangkal perasaannya. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa perasaannya itu salah, bahwa dia tidak boleh mencintai Marvin. Namun, semakin dia berusaha menyangkal, semakin kuat perasaannya. "Ginda, maafkan aku," bisik Dinda dalam hati, menatap sos
Setelah kembali ke rumah, Ginda disambut dengan hangat oleh Sukma, ibu mertuanya. "Alhamdulillah, kamu sudah kembali, Ginda," ucap Sukma dengan senyuman, memperhatikan Ginda yang sedang berjalan dibantu oleh Marvin. "Bu, alhamdulillah," jawab Ginda sambil tersenyum. Marvin membawa Ginda masuk ke dalam kamar agar Ginda dapat beristirahat dengan nyaman. "Kamu istirahat dulu ya, jangan terlalu banyak bergerak," ucap Marvin setelah membantu Ginda berbaring di tempat tidurnya. Ginda merasakan tempat ini begitu ia rindukan. Hampir dua tahun lamanya ia meninggalkan ruangan yang nyaman ini, hanya untuk tidur di rumah sakit dengan tingkat kenyamanan yang tidak sebanding. Pandangannya masih memperhatikan sekeliling ruangan, rasa rindu begitu terlihat dalam matanya. Ginda menghela nafas lega. "Akhirnya, aku bisa kembali merasakan ruangan ini," gumam Ginda dengan suara pelan, yang terdengar oleh Marvin. "Mas, terima
"Dia.. Dia saudara kembar kamu, Nda," jawab Marvin yang membuat Ginda terbelalak.Ginda tak tahu sejak kapan ia memiliki saudara kembar? bahkan selama ini Ibunya pun tak pernah memberi tahunya, lalu kenapa sekarang saudara kembar itu hadir?"Maksudnya apa sih, Mas? saudara kembar? apa aku punya saudara kembar?" tanya Ginda tak percaya.Perlahan Marvin pun menceritakan semua yang pernah Rumi jelaskan padanya, jika Dinda adalah saudara kembar Ginda yang terpisah sejak bayi.Ginda merasa terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia merasa seperti dunianya tiba-tiba berubah dalam sekejap. Dia berusaha memproses informasi yang diberikan oleh Marvin, mencoba mengingat-ingat momen-momen masa kecilnya yang mungkin menunjukkan tanda-tanda bahwa dia memiliki seorang saudara kembar yang terpisah. Pikiran Ginda melayang kemasa lalu, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan yang samar-samar. Apakah ada momen
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Ginda mengetahui bahwa Dinda adalah saudara kembarnya. Awalnya, mereka berdua tidak saling mengenal, tetapi seiring waktu, Ginda mulai mendekatkan diri pada saudara yang baru ditemuinya ini. Mereka berdua mulai membangun hubungan yang kuat dan saling mengerti satu sama lain. Suatu hari, ketika sedang duduk bersama di teras rumah mereka, Ginda mencoba membicarakan perasaan Dinda yang terlihat berubah belakangan ini. "Ginda, aku harus mengakui ada sesuatu yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini," ujar Dinda dengan wajah yang terlihat sedikit tegang. Ginda memandang Dinda dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi, Dinda? Kamu terlihat sedikit jahat padaku belakangan ini. Apakah ada yang salah?" Dinda menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Aku hanya merasa tidak adil, Ginda. Mengapa kamu selalu bahagia sementara aku selalu menderita?" Ginda terkejut mendengar ucapan Dinda. Ia tidak pernah mendu
Hari ini, saat Ginda dan Marvin sedang duduk bersama, mereka terlihat begitu bahagia. Tawa dan canda pun mengiringi momen mereka. Namun, Dinda yang memperhatikan mereka pun merasa kesal. Baginya, mereka tampak begitu bahagia di atas penderitaannya sendiri. Dinda merasa bahwa dia harus merebut kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya. Merasa sedang diperhatikan, Ginda pun menoleh dan melihat Dinda yang sedang terdiam memperhatikan mereka berdua. "Dinda, kamu ngapain di situ?" tegur Ginda, membuat Dinda terkejut dan mendongak. Dinda tidak menyadari bahwa Ginda sudah mengetahui keberadaannya. Dalam keheningan hatinya, Dinda merenungi perasaan iri yang memenuhinya. Tanpa menjawab, Dinda bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. Kepergian Dinda membuat Ginda tidak berkedip, memperhatikan Dinda yang semakin menjauh. Sekarang, tubuh Dinda sudah tidak terlihat lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran Dinda saat itu. Namun, sat
Sore itu, Ginda mengungkapkan kepada Teddy bahwa ia akan pergi keluar kota untuk sebuah pekerjaan. Dia berpamitan kepada suaminya, Marvin, dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. "Mas, aku berangkat ya, mas nanti hati-hati, yang semangat meetingnya dan besok jangan lupa menyusulku," ucap Ginda, memandang Marvin dengan penuh harap. "Kamu juga hati-hati ya, dan jangan khawatir aku pasti akan menyusul kamu," jawab Marvin, tersenyum manis ke arah Ginda. Setelah berbincang cukup lama, seolah-olah mereka akan saling meninggalkan, Ginda pun melangkah pergi. Dia mendekati Teddy, yang sudah menunggu di halaman rumahnya sejak tadi. Marvin melambaikan tangan, mengiringi kepergian Ginda. Setelah Ginda pergi, rumah itu menjadi sepi. Marvin menghela nafas berat, merasakan kehilangan yang mendalam. Dia berjanji dalam hati bahwa dia akan segera menyusul Ginda.Sementara itu, Dinda yang sejak tadi memperhatikan Marvin dari kejauhan, kini mulai melan