Setelah kepergian Rumi Dinda yang tak ingin kembali kehilangan Ginda, kini langkahnya perlahan memasuki ruangan dimana Ginda berada.
Masih dengan peralatan medis yang membantu Ginda bertahan hidup, entahlah harus sampai kapan Ginda terbaring seperti ini? bagai hidup segan mati tak mau.Dinda memperhatikan wajah saudara kembarnya itu dengan pilu, perasaannya tak karuan sedih dan kecewa bercampur menjadi satu."Kenapa nasibmu sebaik ini? kamu disayang oleh Ibu dan Ayah, dan sekarang kamu juga memiliki seorang suami dan Ibu mertua yang sempurna, kenapa cuma kamu yang bernasib baik sementara aku tidak?" gumam Dinda tak berkedip memperhatikan wajah wanita berhijab yang sedang terpejam itu.Dinda merasa dunia tak adil untuknya, selama ini ia yang harus hidup terlantar dan menjadi pengamen jalanan, sementara Ginda yang dapat hidup enak bersama Marvin.Entahlah apa yang dipikirkan Dinda saat ini, mengapa ia iri dengan takdir hidup saudara kembarnSore harinya.Marvin yang kini menjemput Dinda dirumahnya, meski Dinda sudah berkata tidak mau namun Marvin tak menghiraukannya, Ia yang masih saja datang dan meminta Dinda untuk ikut dengannya hari ini."Udah berapa kali saya bilang, Pak? saya tidak mau, kenapa maksa banget sih?""Dinda, bantu saya nasib saya hari ini ada di tangan kamu, kalau kamu tidak mau membantu saya, partner saya kali ini bisa lolos.""Bukan urusan saya ya, Pak. Saya nggak ngerti yang begituan, udah deh lebih baik sekarang Bapak pergi sendiri, karena saya nggak mau ikut Bapak."Ucapan itu membuat Marvin memandangnya dengan tajam, sedikit membuatnya marah hingga kini ia meraih tangan Dinda dan membawanya begitu saja."Lepasin saya, dasar tukang maksa, lepas!"Pekikan itu tak di hiraukan oleh Marvin, ia yang terus membawa Dinda memasuki mobilnya dan melaju ke suatu tempat, Marvin lebih dulu pergi ke salon sebelum pergi menemui partnernya.M
Setelah pertemuan berakhir, Dinda yang kemudian menghela nafas lega."huuff, akhirnya selesai juga. Udah kayak orang bego aja, yang cuma bisa diem," gerutu Dinda yang terdengar ditelinga Marvin.Mendengar ucapan itu Marvin pun tersenyum smirk, dan menggelengkan kepala."Meski sama, nyatanya tetap berbeda," ucap Marvin yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Membuat Dinda terbelalak atas ucapan yang didengarnya."Maksud, Bapak? Bapak bilang saya bego?" ucap Dinda dengan langkah yang terus mengejar Marvin, hingga kini memasuki mobilnya."Saya tidak bicara seperti itu, bukankah kamu sendiri yang bilang kamu bego?" jawab Marvin seraya melajukan mobilnya."Ya tapi kan ngga harus diperjelas, Pak."Tak ingin lagi berdebat Marvin yang kini terdiam kala Dinda terus menggerutu. Kini Marvin semakin mempercepat laju mobilnya hingga melewati jalan yang seharusnya ia lintasi."Loh, Pak. Harusnya kan belok, kenap
Hari demi Hari berlalu, keadaan Ginda yang masih tak ada perubahan, juga keadaan Dinda dan Marvin yang semakin hari semakin dekat.Hari ini Dinda berada di depan rumah Marvin, ia tak berkedip memperhatikan pemandangan indah di hadapannya itu, rasa takjub membuat nya melebarkan mata."Astaga jadi ini rumah Marvin? bagus banget," ucapnya terpesona.Dinda yang masih terdiam membeku, memperhatikan sesuatu yang seakan membuatnya tak dapat bergerak, sementara mobil Marvin yang kini memasuki halaman rumahnya dan membunyikan klakson mobilnya.Bim Bim!Mendengar suara itu Dinda pun terperanjak kaget, ia seketika menoleh dan menjauh memberi jalan mobil Marvin untuk masuk.Memperhatikan Marvin yang kini tampak keluar dari mobilnya, pandangan Dinda yang lagi lagi tak berkedip, rasanya apa yang ia perhatikan hari ini membuatnya terpesona."Ada apa kamu datang kemari?" tanya Marvin setelah gini berada dekat dengan Dinda.Mend
Hari demi hari berlalu, dan perasaan Dinda terhadap Marvin rasanya perasaan yang berbeda, perasaan yang semakin kuat, semakin membuatnya bimbang.Setiap kali melihat Marvin, hatinya berdebar-debar, dan setiap kali Marvin tersenyum, dia merasa dunianya berputar. Namun, dia tahu bahwa perasaannya itu salah. Marvin adalah suami Ginda, saudara kembarnya sendiri. Mencintainya adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak seharusnya dia lakukan. Dinda duduk di sudut ruangan, matanya tak berkedip memandangi Marvin yang sedang sibuk dengan Ginda disana. Dia terpesona dengan ketenangan dan kegigihan Marvin, namun sekaligus merasa resah dengan perasaannya sendiri. Di dalam hatinya, dia berusaha menyangkal perasaannya. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa perasaannya itu salah, bahwa dia tidak boleh mencintai Marvin. Namun, semakin dia berusaha menyangkal, semakin kuat perasaannya. "Ginda, maafkan aku," bisik Dinda dalam hati, menatap sos
Setelah kembali ke rumah, Ginda disambut dengan hangat oleh Sukma, ibu mertuanya. "Alhamdulillah, kamu sudah kembali, Ginda," ucap Sukma dengan senyuman, memperhatikan Ginda yang sedang berjalan dibantu oleh Marvin. "Bu, alhamdulillah," jawab Ginda sambil tersenyum. Marvin membawa Ginda masuk ke dalam kamar agar Ginda dapat beristirahat dengan nyaman. "Kamu istirahat dulu ya, jangan terlalu banyak bergerak," ucap Marvin setelah membantu Ginda berbaring di tempat tidurnya. Ginda merasakan tempat ini begitu ia rindukan. Hampir dua tahun lamanya ia meninggalkan ruangan yang nyaman ini, hanya untuk tidur di rumah sakit dengan tingkat kenyamanan yang tidak sebanding. Pandangannya masih memperhatikan sekeliling ruangan, rasa rindu begitu terlihat dalam matanya. Ginda menghela nafas lega. "Akhirnya, aku bisa kembali merasakan ruangan ini," gumam Ginda dengan suara pelan, yang terdengar oleh Marvin. "Mas, terima
"Dia.. Dia saudara kembar kamu, Nda," jawab Marvin yang membuat Ginda terbelalak.Ginda tak tahu sejak kapan ia memiliki saudara kembar? bahkan selama ini Ibunya pun tak pernah memberi tahunya, lalu kenapa sekarang saudara kembar itu hadir?"Maksudnya apa sih, Mas? saudara kembar? apa aku punya saudara kembar?" tanya Ginda tak percaya.Perlahan Marvin pun menceritakan semua yang pernah Rumi jelaskan padanya, jika Dinda adalah saudara kembar Ginda yang terpisah sejak bayi.Ginda merasa terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia merasa seperti dunianya tiba-tiba berubah dalam sekejap. Dia berusaha memproses informasi yang diberikan oleh Marvin, mencoba mengingat-ingat momen-momen masa kecilnya yang mungkin menunjukkan tanda-tanda bahwa dia memiliki seorang saudara kembar yang terpisah. Pikiran Ginda melayang kemasa lalu, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan yang samar-samar. Apakah ada momen
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Ginda mengetahui bahwa Dinda adalah saudara kembarnya. Awalnya, mereka berdua tidak saling mengenal, tetapi seiring waktu, Ginda mulai mendekatkan diri pada saudara yang baru ditemuinya ini. Mereka berdua mulai membangun hubungan yang kuat dan saling mengerti satu sama lain. Suatu hari, ketika sedang duduk bersama di teras rumah mereka, Ginda mencoba membicarakan perasaan Dinda yang terlihat berubah belakangan ini. "Ginda, aku harus mengakui ada sesuatu yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini," ujar Dinda dengan wajah yang terlihat sedikit tegang. Ginda memandang Dinda dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi, Dinda? Kamu terlihat sedikit jahat padaku belakangan ini. Apakah ada yang salah?" Dinda menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Aku hanya merasa tidak adil, Ginda. Mengapa kamu selalu bahagia sementara aku selalu menderita?" Ginda terkejut mendengar ucapan Dinda. Ia tidak pernah mendu
Hari ini, saat Ginda dan Marvin sedang duduk bersama, mereka terlihat begitu bahagia. Tawa dan canda pun mengiringi momen mereka. Namun, Dinda yang memperhatikan mereka pun merasa kesal. Baginya, mereka tampak begitu bahagia di atas penderitaannya sendiri. Dinda merasa bahwa dia harus merebut kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya. Merasa sedang diperhatikan, Ginda pun menoleh dan melihat Dinda yang sedang terdiam memperhatikan mereka berdua. "Dinda, kamu ngapain di situ?" tegur Ginda, membuat Dinda terkejut dan mendongak. Dinda tidak menyadari bahwa Ginda sudah mengetahui keberadaannya. Dalam keheningan hatinya, Dinda merenungi perasaan iri yang memenuhinya. Tanpa menjawab, Dinda bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. Kepergian Dinda membuat Ginda tidak berkedip, memperhatikan Dinda yang semakin menjauh. Sekarang, tubuh Dinda sudah tidak terlihat lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran Dinda saat itu. Namun, sat
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man