"Dia.. Dia saudara kembar kamu, Nda," jawab Marvin yang membuat Ginda terbelalak.
Ginda tak tahu sejak kapan ia memiliki saudara kembar? bahkan selama ini Ibunya pun tak pernah memberi tahunya, lalu kenapa sekarang saudara kembar itu hadir?"Maksudnya apa sih, Mas? saudara kembar? apa aku punya saudara kembar?" tanya Ginda tak percaya.Perlahan Marvin pun menceritakan semua yang pernah Rumi jelaskan padanya, jika Dinda adalah saudara kembar Ginda yang terpisah sejak bayi.Ginda merasa terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia merasa seperti dunianya tiba-tiba berubah dalam sekejap.Dia berusaha memproses informasi yang diberikan oleh Marvin, mencoba mengingat-ingat momen-momen masa kecilnya yang mungkin menunjukkan tanda-tanda bahwa dia memiliki seorang saudara kembar yang terpisah.Pikiran Ginda melayang kemasa lalu, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan yang samar-samar. Apakah ada momenHari-hari berlalu dengan cepat setelah Ginda mengetahui bahwa Dinda adalah saudara kembarnya. Awalnya, mereka berdua tidak saling mengenal, tetapi seiring waktu, Ginda mulai mendekatkan diri pada saudara yang baru ditemuinya ini. Mereka berdua mulai membangun hubungan yang kuat dan saling mengerti satu sama lain. Suatu hari, ketika sedang duduk bersama di teras rumah mereka, Ginda mencoba membicarakan perasaan Dinda yang terlihat berubah belakangan ini. "Ginda, aku harus mengakui ada sesuatu yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini," ujar Dinda dengan wajah yang terlihat sedikit tegang. Ginda memandang Dinda dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi, Dinda? Kamu terlihat sedikit jahat padaku belakangan ini. Apakah ada yang salah?" Dinda menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Aku hanya merasa tidak adil, Ginda. Mengapa kamu selalu bahagia sementara aku selalu menderita?" Ginda terkejut mendengar ucapan Dinda. Ia tidak pernah mendu
Hari ini, saat Ginda dan Marvin sedang duduk bersama, mereka terlihat begitu bahagia. Tawa dan canda pun mengiringi momen mereka. Namun, Dinda yang memperhatikan mereka pun merasa kesal. Baginya, mereka tampak begitu bahagia di atas penderitaannya sendiri. Dinda merasa bahwa dia harus merebut kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya. Merasa sedang diperhatikan, Ginda pun menoleh dan melihat Dinda yang sedang terdiam memperhatikan mereka berdua. "Dinda, kamu ngapain di situ?" tegur Ginda, membuat Dinda terkejut dan mendongak. Dinda tidak menyadari bahwa Ginda sudah mengetahui keberadaannya. Dalam keheningan hatinya, Dinda merenungi perasaan iri yang memenuhinya. Tanpa menjawab, Dinda bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. Kepergian Dinda membuat Ginda tidak berkedip, memperhatikan Dinda yang semakin menjauh. Sekarang, tubuh Dinda sudah tidak terlihat lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran Dinda saat itu. Namun, sat
Sore itu, Ginda mengungkapkan kepada Teddy bahwa ia akan pergi keluar kota untuk sebuah pekerjaan. Dia berpamitan kepada suaminya, Marvin, dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. "Mas, aku berangkat ya, mas nanti hati-hati, yang semangat meetingnya dan besok jangan lupa menyusulku," ucap Ginda, memandang Marvin dengan penuh harap. "Kamu juga hati-hati ya, dan jangan khawatir aku pasti akan menyusul kamu," jawab Marvin, tersenyum manis ke arah Ginda. Setelah berbincang cukup lama, seolah-olah mereka akan saling meninggalkan, Ginda pun melangkah pergi. Dia mendekati Teddy, yang sudah menunggu di halaman rumahnya sejak tadi. Marvin melambaikan tangan, mengiringi kepergian Ginda. Setelah Ginda pergi, rumah itu menjadi sepi. Marvin menghela nafas berat, merasakan kehilangan yang mendalam. Dia berjanji dalam hati bahwa dia akan segera menyusul Ginda.Sementara itu, Dinda yang sejak tadi memperhatikan Marvin dari kejauhan, kini mulai melan
Setelah meeting yang melelahkan, akhirnya Marvin dapat menarik nafas lega. Beban hari ini telah terangkat dari bahunya. Dia merasa seolah-olah semua urusannya hari ini telah terselesaikan dengan baik. "Terimakasih, Dinda. Sudah mau membantu saya," ucap Marvin, matanya menatap Dinda dengan penuh penghargaan. Dinda, yang sedang merapikan dokumen-dokumen meeting, menoleh dan tersenyum. "Sama-sama, Marvin. Saya senang bisa membantumu," jawabnya, lalu kembali ke pekerjaannya. Namun, suasana tenang itu segera terganggu oleh suara dering ponsel Marvin. Dia dengan cepat merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Nama 'Ginda' berkedip di layar ponselnya, membuat senyum tulus muncul di wajah Marvin. "Iya, sayang," ucap Marvin, menjawab panggilan itu. Dinda, yang sedang duduk di sebelah Marvin, seketika merasa kesal. Dia memalingkan wajahnya, merasa tidak nyaman dengan panggilan sayang Marvin kepada Ginda. Dia merasa seolah-olah ada sesuat
Keesokan harinya, seperti janji Marvin yang akan menyusul Dania yang sedang pergi bersama Indra. Dania telah mengirimkan lokasi saat ini kepada Marvin. Dengan cepat, Marvin pun melaju, rasa tak sabar menggema di dalam hatinya. Ia ingin segera bertemu dengan sang istri tercinta. "Tunggu aku, Dania. Aku akan menyusulmu sekarang," gumam Marvin pada diri sendiri. Dengan terus fokus mengemudikannya, Marvin melaju dengan kecepatan sedang, hatinya berbunga-bunga, penuh dengan harapan dan kegembiraan. Namun, tak ada yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam sekejap, kebahagiaan itu berubah menjadi teror. "Astafirullah, yaampun. Aaaaaaa... "Tanpa diduga, terjadi kecelakaan. Lantaran sebuah truk melaju tanpa kendali membuat Marvin kehilangan keseimbangan, dan mobil pun tergelincir dari jalur dan terjun bebas ke jurang. Semua terjadi begitu cepat, hingga Marvin hampir tidak memiliki waktu untuk bereaksi. Kecelakaan
Sesampainya di lokasi dimana Marvin dikabarkan kecelakaan, Ginda menangis histeris. Ia memanggil-manggil nama Marvin dengan harapan bahwa suaminya akan mendengar dan merespon. "Mas Marvin! Mas Marvin!" teriak Ginda dengan suara parau. Ia berharap bahwa suaminya masih hidup dan dapat mendengar teriakannya. Namun, pemandangan mobil terbakar di depannya itu membuatnya tak dapat berdiri tegak. Tubuhnya seketika lunglai, bagai tak bertulang. Ia merasa seolah-olah semua kekuatannya telah hilang. Melihat kehancuran yang terjadi di hati Ginda, Teddy merasa hatinya juga hancur. Ia tahu betapa mendalam rasa sakit dan kehilangan yang dirasakan Ginda. Teddy berusaha untuk menenangkan Ginda, meski ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang dapat benar-benar menghibur Ginda saat ini. "Ginda, aku tahu ini sangat sulit untukmu. Tapi kamu harus tetap kuat. Marvin pasti ingin kamu kuat," ucap Teddy dengan suara lembut. Teddy mencoba memberikan sedikit ke
Setelah cukup lama dalam keadaan tidak sadarkan diri, kini akhirnya Ginda membuka matanya perlahan, setelah Ia membuka mata, seketika ingatannya kembali teringat akan Marvin yang sampai saat ini masih belum ditemukan. "Mas Marvin mana? Mas Marvin ke mana? "Tanya Ginda histeris pada Teddy yang sejak tadi menunggunya."Ginda, tenanglah! Tim SAR sedang berusaha mencari Marvin. Kamu tidak perlu khawatir dan cemas seperti ini. Yang kamu perlu lakukan sekarang adalah mendoakan Marvin agar baik-baik saja," jawab Teddy sambil memperhatikan wajah Ginda dengan seksama. Ginda menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. "Tapi Teddy, kenapa Mas Marvin belum juga ditemukan? Aku sangat khawatir. Apa yang bisa aku lakukan selain menunggu dan berdoa?"Perlahan Teddy pun menghampiri Ginda, menatap wajah Ginda dengan pandangan sayunya. "Aku tahu ini sulit bagimu, Ginda. Tetapi kita harus tetap kuat dan berharap yang terbaik. Saat ini polisi dan
Hari demi hari berlalu, seperti ombak yang tak henti-hentinya menghempas pantai. Ginda, seorang wanita berhati lembut, menatap jendela kamarnya yang menghadap ke jalan raya. Matanya yang semula berbinar, kini tampak sayu. Ia merindukan Marvin, suaminya yang juga belum ditemukan pasca kecelakaan yang telah terjadi. "Mas Marvin, sudah lima bulan kamu pergi, kamu kemana Mas? kenapa belum juga kembali? " gumam Ginda sambil memegang foto mereka berdua. "Aku masih menunggumu disini, Mas. Ibu dan Inggit juga masih menunggumu, meskipun tak ada kabar darimu, aku selalu berharap agar kamu segera kembali." Dalam diam, Ginda berbicara pada Marvin yang tak ada di sana. Dia merindukan suara Marvin, senyumnya, dan kehangatan pelukannya. Setiap hari adalah penantian, dan setiap malam adalah harapan bahwa esok hari Marvin akan kembali. "Apa kamu tahu, Mas?" Ginda berbicara pada foto Marvin, "Aku merindukanmu. Aku merindukan kita. Aku merindukan segal