Suasana dalam mobil terasa begitu canggung. Sudah sekitar lima menit lalu hanya terdengar sayup-sayup suara deru kendaraan diantara tiga orang dewasa itu.
Jena yang duduk di bangku belakang bersama Wildan hanya bisa terdiam dengan tangan yang menggenggam tongkat erat-erat. Wajahnya ia palingkan ke arah jalan meski dirinya tidak.bisa melihat bagaimana kondisi jalanan saat ini. “Malik, turunkan aku di depan sana. Kau bisa mengantar Jena pulang lebih dulu, aku akan mengurus sesuatu terlebih dulu,” kata Wildan yang sejak tadi sibuk berkutat dengan ponselnya. Malik yang bertugas mengemudi hanya mengangguk. Sesekali pria itu melirik ke arah Jena melalui spion tengah dengan wajah khawatir. Tidak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah toko dua puluh empat jam, Wildan turun dengan tergesa dan memberhentikan sebuah taksi kemudian. Mobil kembali melaju, masih tidak ada satupun diantara mereka yang berniat membuka obrolan lebih dulu. Malik menghela napas, ia tahu suasana hati Jena sedang buruk. “Kau tidak apa-apa?” Pria itu membuka suara lebih dulu. Jena diam, bahkan gadis itu sama sekali tidak merubah posisinya. “Jena…” “Berhenti pura-pura peduli padaku. Kau dan Wildan, kalian sama saja,” sahut gadis itu pada akhirnya. Lagi-lagi Malik menghela napas. Ia menengok ke arah Jena dan menghentikan kendaraannya di bahu jalan. “Jena, aku tahu mungkin saat ini kau merasa marah juga kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Tapi tolong, kali ini turuti perkataan Wildan dan cobalah untuk percaya padanya meski sekali. Apa yang kau pikirkan soal dirinya tidaklah benar, semenjak dia membawamu dari rumah bordil malam itu, ia tidak pernah berniat untuk menghancurkan hidupmu,” papar Malik tenang. “Lalu apa alasannya? Kau bisa memberitahuku? Tidak, bukan. Memangnya siapa aku sampai-sampai orang seperti Wildan berniat untuk melakukan hal ini padaku? Kita bahkan tidak saling mengenal!” Jena meremat tangannya sendiri hingga buku-buku jarinya memutih. Dalam dadanya bergemuruh rasa kesal juga marah, bukan hanya pada dua pria itu, namun juga pada dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan apapun untuk membela dirinya sendiri. “Kau tahu, semua rasa sakit yang ku alami sejak kecil. Bagaimana perlakuan kejam yang selalu ku Terima membuatku seakan mati rasa juga pupus harapan akan kebahagiaan dalam hidup. Menjadi seorang gadis buta yang dijual ke rumah bordil, apa yang lebih rendah dari itu? Tapi kau tahu, Malik. Di sana justru aku merasa sedikit bebas, sedikit bisa bernapas sampai kemudian kau dan Wildan datang menghancurkan semuanya!” Jena menjerit, mengungkapkan perasaannya dan menangis tersedu dalam mobil. Malik terdiam, ia tidak tahu harus merespon seperti apa sekarang. “Aku hanya ingin bahagia, aku hanya ingin bernapas lega seperti kalian. Tapi bahkan aku tidak bisa melakukannya meski sebentar, tolong biarkan aku bebas,” Jena berkata dengan air mata yang berderai di sekitar pipi. Tangis gadis itu terasa begitu menyakitkan, membuat Malik tanpa sadar seolah turut merasakan kesakitan yang dirasakan Jena. “Jena, aku tidak tahu kau akan mempercayai ku atau tidak. Tapi aku mengatakan hal ini dengan serius, kau bisa mempercayai ku. Mulai sekarang aku yang akan membahagiakan mu, menjadi matamu dan berusaha untuk membuatmu merasa bebas. Tapi kumohon, menurutlah pada Wildan untuk sekarang, bagaimana nasibmu dan pria itu bergantung pada dirimu juga tindakanmu sekarang. Aku berjanji, setelah semua ini berakhir, aku sendiri yang akan menghantarkan mu pada kebebasan yang kau impikan sejak dulu.” Perkataan tegas Malik mampu membuat Jena merasa sedikit lebih baik. Entah mengapa tiap apa yang dikatakan pria itu mampu membuat hati Jena merasa lebih tenang dalam waktu sekejap, berbeda ketika ia tengah bersama Wildan. “Apa aku bisa memegang janjimu?” tanya Jena lirih. Malik mengulas senyum tipis, ia bisa merasakan gadis itu mulai mempercayainya. “Ya, kau bisa.” *** Pukul tujuh malam saat makan malam. Malik tersenyum melihat Jena yang sudah siap duduk di meja makan. Gadis itu mengenakan terusan berwarna pink muda dengan rambut sepunggung yang ia gerai bebas. “Makanan sudah siap,” kata Malik sambil meletakan tumis daging juga sayur sop di atas meja. “Kau masak apa? Harum sekali,” tanya Jena penasaran. “Hanya makanan sederhana, aku terlalu lelah untuk membuat sesuatu yang rumit. Tapi lain kali kau harus mencoba masakanku yang lain,” sahutnya semangat. “Maafkan aku, harusnya aku bisa menyiapkan keperluanku sendiri, tapi aku justru merepotkan mu dan menganggu waktu istirahat mu,” kata Jena penuh penyesalan. Malik mrnghela napas, ia menyiapkan makanan di piring Jena dan meletakannya di depan gadis itu. “Sudahlah, berhentilah meminta maaf. Lagipula aku senang melakukannya, melihatmu aku jadi teringat dengan adik perempuan ku di rumah.” “Kau punya adik?” “Ya, ku rasa dia empat tahun lebih muda dariku. Jujur saja aku agak lupa,” pria itu terkekeh kemudian. “Eiii, bisa-bisanya kau melupakan adikmu sendiri. Kalau dia empat tahun lebih muda darimu, itu artinya dia dua tahun lebih muda dariku. Kalau kau tidak keberatan bisakah kau ceritakan tentang adikmu sembari makan? Maaf bukan bermaksud tidak sopan atau ingin tahu, hanya saja aku tidak suka makan dengan keadaan hening.” Malik terdiam sesaat, menimang soal jawaban atas permintaan Jena. “Tidak mau, ya? Kalau begitu, maaf…” “Namanya Manda. Dia adalah anak yang ceria dan sedikit nakal menurutku. Dia jahil dan terkadang suka seenaknya, tapi dibalik semua sikap menyebalkannya ternyata dia adalah seorang gadis yang memiliki pemikiran begitu bijak juga dewasa. Aku bahkan juga terkejut dengan hal itu.” Jena turut terkekeh mengikuti apa yang dilakukan Malik. “Sebenarnya tidak ada yang istimewa, hubungan kami juga baik-baik saja layaknya adik kakak. Dan mungkin sedikit lebih harmonis karena jujur saja aku dan Manda jarang sekali bertengkar seperti adik kakak pada umumnya. Kami saling menyayangi dan mendukung satu sama lain dalam hal apapun, ahhh aku jadi merindukannya,” lanjut Malik. “Memang dia ada di mana sekarang?” “Satu tahun lalu Manda memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Yah, anak manja itu sudah menjadi anak yang begitu mandiri sekarang. Astaga, menceritakannya membuatku ingin menangis, ayo kita makan saja.” Malik segera menyendok nasi ke dalam mulut, namun gerakan pria itu terhenti begitu mendengar perkataan Jena. “Kau kakak yang baik, ah tidak. Kau orang yang baik, siapapun gadis yang akan menjadi pendampingmu nanti, dia pasti akan sangat beruntung,” katanya lirih. Ritme kunyahan di mulut Malik seketika melambat, pria itu memperhatikan Jena lurus-lurus dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Sampai tiba-tiba. “Apa yang kalian bicarakan? Seru sekali?” Wildan datang tiba-tiba. Pria itu langsung saja mencuri sebuah kecupan di pipi kanan Jena yang hanya bisa menegang di kursi. “Bukan apa-apa,” sahut Jena cepat. Wildan mengangguk saja, pria itu mengambil tempat di sebelah si gadis, menopang kepalanya dengan sebelah tangan dan menatap Jena lurus-lurus dari arah samping. “Besok, kita akan bertemu keluarga besarku.” “Apa?!” Bukan, itu bukan Jena yang berteriak. Melainkan Malik. Pria itu bahkan berdiri dengan ekspresi terkejut bukan main. “Malik, ada apa?” tanya Jena merasa heran. “Tidak, tidak ada.” Pria itu kembali duduk. Suasana menjadi hening kemudian, namun yang tidak Jena sadari dalam keheningan itu baik Malik maupun Wildan tengah saling beradu tatap seolah tengah menyampaikan sesuatu lewat sorot mata satu sama lain.Pukul sepuluh malam setelah Wildan mengantarkan Jena ke dalam kamarnya. Pria itu menutup pintu dan tersenyum miring begitu mendapati Malik yang sudah berdiri tidak jauh darinya.Ia mendekati pria itu dengan dua tangan yang tersilang di depan dada.“Ada apa?” Tanyanya santai.“Ikut aku,” kata Malik berjalan pergi yang diikuti Wildan di belakangnya.Dua pria dewasa itu berdiri di luar rumah, Malik terlihat gelisah sementara Wildan terlihat biasa saja.“Apa maksudnya dengan memperkenalkan Jena kepada keluarga? Kau gila?!” Sentak Malik keras.Wildan hanya menyenderkan tubuhnya di pagar, ia sama sekali terlihat tidak terlalu peduli dengan ucapan Malik yang sedang memperingatkannya soal apa yang mungkin saja terjadi jika dirinya benar-benar mengenalkan Jena kepada keluarga.“Memangnya kenapa? Bukankah setelah menikah denganku, Jena juga menjadi bagian dari keluarga Aditama?” Tidak ada keraguan sedikitpun dari ucapan Wildan. Pria itu terdengar begitu percaya diri dengan setiap perkataan yan
Gadis yang dipanggil dengan nama Nesa itu tersenyum ke arah Wildan.“Hai, Wildan,” Sapanya lembut.Tidak ada reaksi dari si pria, ia justru mengeratkan genggamannya pada tangan Jena yang hanya bisa diam kebingungan.“Astaga, Nesa, sayangku. Kau datang tepat waktu,” hambur Tante Lestari memeluk Nesa.Wanita itu sempat melirik sekilas ke arah Jena sebelum menuntun Nesa untuk duduk diantara dirinya dan sang Nenek.“Kau datang tepat waktu, sayang. Kami mengundangmu ke mari untuk membahas perjodohanmu dengan Wildan,” ucap Tante Lestari lagi.Wildan melotot, ia menatap geram ke arah sang tante yang sepertinya tidak memedulikan hal itu. Sebelah tangannya yang bebas mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.“Tante, bukankah baru saja ku kenalkan Jena sebagai istriku. Lalu apa maksudnya dengan perjodohan? Apa tante sudah tidak waras?” ucap Wildan tanpa segan.Tante Lestari terlihat geram, baru saja wanita itu hendak menyahut, suara Nesa lebih dulu terdengar.“Istri? Kau sudah menikah, Wildan?
Gedung tinggi menjulang dengan beragam penjagaan ketat itu terlihat begitu megah. Suasana keras dengan diiringi musik yang terus mengalun, mengiringi tiap gerakan para tamu yang tengah asyik berjoget di lantai dansa.Tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah, seorang pria berkepala pelontos dengan badan besar segera beranjak dan membuka pintu.Sepatu kulit mahal berwarna hitam tampak mengkilat. Disusul kemudian sang empunya membenahi tampilan jas hitam mahal yang melekat pada tubuh tinggi tegap itu.Rambut hitam legam yang ditata model coma kian menambah kesan tampan rupawan pada wajahnya. Rahang yang tegas, sorot mata tajam yang seakan bisa membunuh siapa saja hanya dengan sekali tatap.Langkahnya tegas, seorang wanita dengan dress merah panjang itu menyambut si pria dengan ramah. Lipstik merah yang menyapu bibirnya terlihat begitu kontras dengan wajahnya yang terlihat begitu putih akibat sapuan foundation.“Selamat malam, Tuan. Selamat datang di tempat kami. Saya merasa begitu t
Wildan benar-benar menepati ucapannya. Ia membayar sejumlah besar uang kepada Nyonya pemilik rumah bordil demi bisa membawa Jena pulang bersamanya.Dengan langkah pelan, Pria itu menuntun si gadis berjalan menuju sebuah mobil mewah yang sudah terparkir apik di depan bangunan.Seorang pria berbadan tegap dengan kulit tan sudah menunggu keduanya. Ia dengan sigap segera membuka pintu bagian penumpang dan membantu Jena untuk naik ke dalam mobil.Gadis itu sejak tadi hanya diam. Dadanya bergemuruh, degub jantung yang terdengar sama seperti langkah kaki kuda saat berada di lapangan pacu. Begitu cepat dan tidak terkendali.Tangannya yang berada dalam genggaman erat Wildan terasa berkeringat, pun dengan dahinya yang sudah ditumbuhi keringat sebesar biji jagung, membuat si pria yang duduk di sebelahnya kembali terkekeh dengan suara lirih.Tanpa mengenal kata canggung, malu ataupun risih. Wildan mengangkat sebelah tangannya, mengelap dahi Jena dengan lembut, menyapu keringat dingin gadis itu.G
Pagi menjelang layaknya roller coaster. Sinar matahari mulai mengintip dari celah gorden berwarna putih bersamaan dengan terbukanya pintu kayu itu.Wildan terdiam melihat Malik yang masih setia menemani Jena. Keduanya terlelap dengan Malik yang terduduk di samping ranjang dengan dua tangan yang terlilit di atas perut.Perhatian Wildan kembali teralih pada Jena. Pria itu mendekat, duduk di sisi ranjang yang lain dan memperhatikan gadisnya lekat-lekat.Tangan besarnya terangkat, menghapus jejak air mata di sudut mata gadis itu dengan ibu jadinya.“Eungh.”Terdengar leguhan tidak nyaman dari Jena. Gadis itu mulai membuka mata, sedikit menggeliat dan tanpa sadar hal itu membuat sedikit sudut bibir Wildan terangkat.“Malik?”Suara gadis itu serak. Ia meraba ke arah samping dan menggengam tangan Wildan yang Ia kira sebagai Malik.“Kau masih di sini? Terima kasih sudah menenangkan ku dan menemaniku semalam,” katanya lembut.Wildan tidak bereaksi apa-apa, Ia hanya menatap manik mata Jena yang
Dua hari berlalu dengan normal. Keseharian Jena masih sering ditemani Malik, terkadang Wildan juga menghabiskan waktu bersama gadis itu di sela-sela kesibukannya.Namun entah mengapa, Jena merasa lebih nyaman saat bersama dengan Malik. Selain karena pria itu lebih bisa mengerti dirinya, sikap Malik juga tidak semesum Wildan yang suka tiba-tiba mencuri ciuman di bibirnya ataupun mengigit telinganya tanpa permisi.Pagi ini suasana terlalu damai daripada biasanya. Dengan bantuan tongkat yang diberikan Wildan, Jena melangkah keluar kamar dengan hati-hati.Sesekali gadis itu memanggil nama Malik, berharap pria itu ada di sekitarnya. Namun sayang, suasana pagi itu benar-benar hening, seperti tidak ada orang lain selain dirinya.“Kemana mereka?” gumam Jena lirih.“Mencariku?” bisikkan lirih dengan suara berat itu membuat Jena terperanjat.Hampir saja ia melayangkan tongkat yang dipegangnya ke sembarang arah, sebelum dengan gesit Wildan menahan tangannya.“Santai, cantik. Ini aku, calon suami
Gadis yang dipanggil dengan nama Nesa itu tersenyum ke arah Wildan.“Hai, Wildan,” Sapanya lembut.Tidak ada reaksi dari si pria, ia justru mengeratkan genggamannya pada tangan Jena yang hanya bisa diam kebingungan.“Astaga, Nesa, sayangku. Kau datang tepat waktu,” hambur Tante Lestari memeluk Nesa.Wanita itu sempat melirik sekilas ke arah Jena sebelum menuntun Nesa untuk duduk diantara dirinya dan sang Nenek.“Kau datang tepat waktu, sayang. Kami mengundangmu ke mari untuk membahas perjodohanmu dengan Wildan,” ucap Tante Lestari lagi.Wildan melotot, ia menatap geram ke arah sang tante yang sepertinya tidak memedulikan hal itu. Sebelah tangannya yang bebas mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.“Tante, bukankah baru saja ku kenalkan Jena sebagai istriku. Lalu apa maksudnya dengan perjodohan? Apa tante sudah tidak waras?” ucap Wildan tanpa segan.Tante Lestari terlihat geram, baru saja wanita itu hendak menyahut, suara Nesa lebih dulu terdengar.“Istri? Kau sudah menikah, Wildan?
Pukul sepuluh malam setelah Wildan mengantarkan Jena ke dalam kamarnya. Pria itu menutup pintu dan tersenyum miring begitu mendapati Malik yang sudah berdiri tidak jauh darinya.Ia mendekati pria itu dengan dua tangan yang tersilang di depan dada.“Ada apa?” Tanyanya santai.“Ikut aku,” kata Malik berjalan pergi yang diikuti Wildan di belakangnya.Dua pria dewasa itu berdiri di luar rumah, Malik terlihat gelisah sementara Wildan terlihat biasa saja.“Apa maksudnya dengan memperkenalkan Jena kepada keluarga? Kau gila?!” Sentak Malik keras.Wildan hanya menyenderkan tubuhnya di pagar, ia sama sekali terlihat tidak terlalu peduli dengan ucapan Malik yang sedang memperingatkannya soal apa yang mungkin saja terjadi jika dirinya benar-benar mengenalkan Jena kepada keluarga.“Memangnya kenapa? Bukankah setelah menikah denganku, Jena juga menjadi bagian dari keluarga Aditama?” Tidak ada keraguan sedikitpun dari ucapan Wildan. Pria itu terdengar begitu percaya diri dengan setiap perkataan yan
Suasana dalam mobil terasa begitu canggung. Sudah sekitar lima menit lalu hanya terdengar sayup-sayup suara deru kendaraan diantara tiga orang dewasa itu.Jena yang duduk di bangku belakang bersama Wildan hanya bisa terdiam dengan tangan yang menggenggam tongkat erat-erat. Wajahnya ia palingkan ke arah jalan meski dirinya tidak.bisa melihat bagaimana kondisi jalanan saat ini.“Malik, turunkan aku di depan sana. Kau bisa mengantar Jena pulang lebih dulu, aku akan mengurus sesuatu terlebih dulu,” kata Wildan yang sejak tadi sibuk berkutat dengan ponselnya.Malik yang bertugas mengemudi hanya mengangguk. Sesekali pria itu melirik ke arah Jena melalui spion tengah dengan wajah khawatir.Tidak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah toko dua puluh empat jam, Wildan turun dengan tergesa dan memberhentikan sebuah taksi kemudian.Mobil kembali melaju, masih tidak ada satupun diantara mereka yang berniat membuka obrolan lebih dulu. Malik menghela napas, ia tahu suasana hati Jena sedang bu
Dua hari berlalu dengan normal. Keseharian Jena masih sering ditemani Malik, terkadang Wildan juga menghabiskan waktu bersama gadis itu di sela-sela kesibukannya.Namun entah mengapa, Jena merasa lebih nyaman saat bersama dengan Malik. Selain karena pria itu lebih bisa mengerti dirinya, sikap Malik juga tidak semesum Wildan yang suka tiba-tiba mencuri ciuman di bibirnya ataupun mengigit telinganya tanpa permisi.Pagi ini suasana terlalu damai daripada biasanya. Dengan bantuan tongkat yang diberikan Wildan, Jena melangkah keluar kamar dengan hati-hati.Sesekali gadis itu memanggil nama Malik, berharap pria itu ada di sekitarnya. Namun sayang, suasana pagi itu benar-benar hening, seperti tidak ada orang lain selain dirinya.“Kemana mereka?” gumam Jena lirih.“Mencariku?” bisikkan lirih dengan suara berat itu membuat Jena terperanjat.Hampir saja ia melayangkan tongkat yang dipegangnya ke sembarang arah, sebelum dengan gesit Wildan menahan tangannya.“Santai, cantik. Ini aku, calon suami
Pagi menjelang layaknya roller coaster. Sinar matahari mulai mengintip dari celah gorden berwarna putih bersamaan dengan terbukanya pintu kayu itu.Wildan terdiam melihat Malik yang masih setia menemani Jena. Keduanya terlelap dengan Malik yang terduduk di samping ranjang dengan dua tangan yang terlilit di atas perut.Perhatian Wildan kembali teralih pada Jena. Pria itu mendekat, duduk di sisi ranjang yang lain dan memperhatikan gadisnya lekat-lekat.Tangan besarnya terangkat, menghapus jejak air mata di sudut mata gadis itu dengan ibu jadinya.“Eungh.”Terdengar leguhan tidak nyaman dari Jena. Gadis itu mulai membuka mata, sedikit menggeliat dan tanpa sadar hal itu membuat sedikit sudut bibir Wildan terangkat.“Malik?”Suara gadis itu serak. Ia meraba ke arah samping dan menggengam tangan Wildan yang Ia kira sebagai Malik.“Kau masih di sini? Terima kasih sudah menenangkan ku dan menemaniku semalam,” katanya lembut.Wildan tidak bereaksi apa-apa, Ia hanya menatap manik mata Jena yang
Wildan benar-benar menepati ucapannya. Ia membayar sejumlah besar uang kepada Nyonya pemilik rumah bordil demi bisa membawa Jena pulang bersamanya.Dengan langkah pelan, Pria itu menuntun si gadis berjalan menuju sebuah mobil mewah yang sudah terparkir apik di depan bangunan.Seorang pria berbadan tegap dengan kulit tan sudah menunggu keduanya. Ia dengan sigap segera membuka pintu bagian penumpang dan membantu Jena untuk naik ke dalam mobil.Gadis itu sejak tadi hanya diam. Dadanya bergemuruh, degub jantung yang terdengar sama seperti langkah kaki kuda saat berada di lapangan pacu. Begitu cepat dan tidak terkendali.Tangannya yang berada dalam genggaman erat Wildan terasa berkeringat, pun dengan dahinya yang sudah ditumbuhi keringat sebesar biji jagung, membuat si pria yang duduk di sebelahnya kembali terkekeh dengan suara lirih.Tanpa mengenal kata canggung, malu ataupun risih. Wildan mengangkat sebelah tangannya, mengelap dahi Jena dengan lembut, menyapu keringat dingin gadis itu.G
Gedung tinggi menjulang dengan beragam penjagaan ketat itu terlihat begitu megah. Suasana keras dengan diiringi musik yang terus mengalun, mengiringi tiap gerakan para tamu yang tengah asyik berjoget di lantai dansa.Tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah, seorang pria berkepala pelontos dengan badan besar segera beranjak dan membuka pintu.Sepatu kulit mahal berwarna hitam tampak mengkilat. Disusul kemudian sang empunya membenahi tampilan jas hitam mahal yang melekat pada tubuh tinggi tegap itu.Rambut hitam legam yang ditata model coma kian menambah kesan tampan rupawan pada wajahnya. Rahang yang tegas, sorot mata tajam yang seakan bisa membunuh siapa saja hanya dengan sekali tatap.Langkahnya tegas, seorang wanita dengan dress merah panjang itu menyambut si pria dengan ramah. Lipstik merah yang menyapu bibirnya terlihat begitu kontras dengan wajahnya yang terlihat begitu putih akibat sapuan foundation.“Selamat malam, Tuan. Selamat datang di tempat kami. Saya merasa begitu t