"Aku tidak menyangka kalau Kakak seperti itu!" Natasya keluar meninggalkan Sean.
Sampai pagi hari dimana Natasya keluar rumah untuk kuliah, Jhoni sudah berdiri di depan pintu. Anak buah itu menunduk memberi hormat padanya."Selamat pagi, Nona." Saat itu juga dia teringat semalam dia meninggalkan Sean di ruang belakang."Kakak, Kakak masih di dalam?" Jhoni mengikuti di belakang Natasya berjalan. "Kak, astaga. Kau masih di sini?"Sean menenggelamkan kepalanya di atas meja yang terbuat dari keramik. "Mari, Tuan. Biar saya bantu." Jhoni memapahnya masuk ke dalam.Sambil berjalan Sean terus saja bicara ngawur sambil memejamkan matanya. "Untuk apa kau membantuku! Aku sudah bosan hidup, lebih baik kau biarkan saja aku mati."Direbahkan lah tubuh lusuh itu di atas tempat tidur, Natasya menyelimuti Sean dengan selimut tebal.Hari-hari Sean habiskan untuk menyiksa dirinya sendiri, hanya minuman keras yang menjadi temannya saat iLucas membelalakkan matanya kala mendengar suara Jhoni yang terdengar cemas. "Tuan, tolong aku! Aku dan Nona Natasya di kejar oleh komplotan entah siapa ini, aku tidak tau!" Pasalnya Jhoni baru melihat komplotan yang mengejarnya kini. Decitan gas tangan dan rem mobil terdengar seperti sedang manufer di jalan raya, terlebih saat Lucas mendengar teriakan dari Natasya. Dor! Dor! "Argh!" Gadis itu menunduk saat komplotan itu menghujani dengan peluru, satu tangan Jhoni membalas tembakan serangan itu, sementara satu tangannya menyetir zig zag. Tapi banyaknya mereka membuat Jhoni tak bisa menangkis dari segala serangan. "Jhoni, kau katakan dimana sekarang?" Lucas pun ikut cemas. Namun Jhoni yang sedang fokus menembak saat itu tak membalas pertanyaan Lucas. "Ah, Shit!" "Gordon, Dolgo!" teriaknya dari dalam. Kedua anak buah itu berlari mendekat. "Ada apa, Tuan?"
"Teman anda mengalami koma." Gordon menyeringai menyayangkan itu.Andai saja dia tidak terlambat datang mungkin kondisi Jhoni tidak separah itu."Apa, Dok. Koma?" Natasya menggeleng tak percaya. Padahal dua jam yang lalu dia masih mengobrol dengan Jhoni di dalam mobil. Kala anak buah itu menjemputnya di kampus."Benar, Nona. Jhoni mengalami koma, kita berdoa saja semoga dia cepat sadar dari komanya.""Kalau begitu saya permisi dulu."Lucas datang tergesa-gesa, Dolgo yang memberi kabar saat mereka sampai di rumah sakit. "Bagaimana kondisi Jhoni, hah?" Tapi Gordon hanya diam yang membuat dia kembali bertanya. "Hei, kenapa kalian diam! Apa yang terjadi dengan Jhoni?" Terpaksa Lucas bicara cukup keras agar mereka menjawab."Jhoni ..., Jhoni mengalami koma, Tuan.""Astag!" Lucas mengusap wajahnya kasar. Kenapa semuanya terlihat kacau.Dia lalu masuk ke dalam dan mendapati Jhoni yang terbaring di atas berank
Naura hanya minta seperangkat alat sholat dan uang senilai tanggal, bulan dan tahun jadian mereka."Aku pergi dulu.""Kau mau kemana?" Tapi Sean tak menjawab pertanyaan Lucas. Pria gagah itu berlalu pergi.Saat dia masih di dalam mobil, dari kejauhan Sean memicingkan matanya melihat seseorang mengenakan jaket hitam dengan penutup kepala mengendap menaiki dinding dan masuk ke dalam halaman rumah.Perlahan Sean turun dari mobil dan berjalan pelan mengikutinya dari belakang. Orang tersebut terlihat memasang kuda-kuda hendak melemparkan sesuatu dan ternyata ...Hap!Guprak!Prang!Sean melihat dengan mata kepala sendiri saat orang tersebut melemparkan batu mengenai jendela kacanya yang kini pecah."Fuck Shit!"Orang tersebut seketika menoleh pada sumber yang bersuara di belakangnya. Tubuhnya gemetar kala melihat sang ketua berdiri dengan tatapan kesal."Brengsek kau!"Tap!
"Aarrgghh!" Burung-burung ikut berterbangan kala mendengar teriakan dari dalam gudang begitu membahana."Sial! Jadi Nino tertangkap? Dia pasti sudah membuka mulutnya," ujar Misca di dalam kantornya.Sekretaris dia mendapat informasi kalau orang suruhannya tertangkap oleh Sean yang tak lain adalah Nino, orang yang baru saja Gordon dan Dolgo beri pelajaran.Mengetahui orang suruhannya tertangkap membuat nyalinya mendadak ciut, walau dia dapat dukungan dari Daddy-nya."Sekarang cari di mana dia! Bawa dia kembali baik dalam keadaan hidup atau mati.""Baik, Nyonya."Malam hari anak buah The Samurai King mengendap masuk ke markas Alexander dan melihat Nino dalam keadaan babak belur penuh luka terduduk lemah.Dia membuka mata memarnya kala mendengar seseorang bersuara. "Sst, sst." Nino tau kalau yang datang adalah temannya."Jein, tolong aku!"Sekuat mungkin dia menegakkan tubuhnya. Temannya itu mendekat dan m
Semua bernafas lega saat langkah kaki itu ternyata dokter Santiago yang datang. Dia yang tidak mengetahui kalau Jhoni sudah sadar merasa terkejut saat masuk dan melihat anak buah itu duduk."Jhoni, saudara kau Jhoni sudah sadar? Astaga, ini mukjizat yang luar biasa," ujarnya senang."Betul, Dok. Lihat, temanku sudah sembuh. Dan sebentar lagi kita bakal kumpul bersama." Dolgo tak mau kalah."Baiklah kalau begitu biar aku memeriksanya." Semuanya sontak mundur saat dokter kawakan itu hendak memeriksa.Dokter Santiago menempelkan stetoskop di dada dan menyoroti mata Jhoni dengan senternya. "Bagaimana, Dok. Apa Jhoni baik-baik saja?" Sean yang sedari tadi hanya diam kini mual bersuara."Puji Tuhan, kondisi saudara Jhoni baik-baik saja. Selamat, saya turut senang melihatnya.""Jadi kapan Jhoni bisa pulang?"Dokter Santiago terlihat berfikir sejenak. "Satu atau dua hari lagi Jhoni boleh pulang, tapi sekarang di harus banyak ber
Dekorasi bernuansa putih dengan bunga warna warni indah menghiasi kediaman pak Danu kala hari pernikahan itu datang. Banyak orang berlalu lalang turut menyaksikan acara tersebut. Canda tawa menggema dari setiap sudut ruangan kecil di rumah yang sederhana itu.Naura terlihat cantik terbalut gaun putih menjuntai lengkap dengan cadar putih berbahan brokat, wanita muslimah itu duduk di depan cermin di dalam kamarnya bersama kedua perias."Cantik sekali pengantin wanitanya," ujar sang perias memuji. "Mbak Naura pasti cemas yah, menunggu mempelai laki-laki datang?""Iya nih, aku deg degan banget." Naura menjawabnya."Wajar, Mbak. Aku juga dulu begitu," sarkas si perias yang sudah lama menikah."Bagaimana kalau kita menunggu di depan?" Naura mengangguk mau. Si perias membawakan buntut dari bajunya yang menjuntai ke belakang.Mereka menunggu kedatangan Adnan di depan rumah."Sudah, kau pasti kuat." Natasya menepuk pund
Semua orang berteriak kala melihat mobil yang Adnan tumpangi mengalami oleng. Jalannya tak tentu arah bahkan hampir menabrak pengendara lain. Sopir berusaha mancal pedal rem tapi sepertinya rem itu tidak berfungsi."Pak, Pak! Awas mobil di depan." Adnan berteriak. Pak sopir membanting setir dan menabrak sebuah jembatan besar. Guprak!"Astaghfirullah hal adzim." Semuanya sontak berteriak. Jembatan remuk sebagian sementara kap mobil terlihat membuka mengeluarkan kepulangan asap dari dalam mesin.Semua orang berbondong-bondong mendekat untuk menolongnya. Bu Mima kembali histeris kala melihat Adnan memejamkan matanya dengan banyak darah merah kontras dengan bajunya yang putih."Adnan! Adnan bangun, Nak. Tolong!" Beberapa warga mendekat dan membawanya ke rumah sakit.* * *"Begitulah ceritanya, Nak. Ibu tidak tau kalau akhirnya bakal seperti ini." Naura menangis mendengar cerita dari bu Mima.Natasya mendekat dan m
"Kau sudah pulang?""Hem," jawab Natasya singkat. Dia duduk di samping Sean yang pulang lebih dulu dari rumah Naura."Kak, kau tau tidak. Calon suami Naura meninggal.""Meninggal dunia?" Sean terkejut."Iya, meninggal, Kak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Naura saat ini, dia pasti sangat sedih kehilangan orang yang di sayang.""Ehem." Ludah Sean serasa menyangkut di tenggorokan kala Natasya mengatakan kehilangan orang yang tersayang. Apa dia tidak memikirkan perasaannya terhadap gadis itu? "Lalu apa dia sudah dimakamkan?" "Aku baru saja pulang dari pemakaman. Malam ini aku minta izin untuk menginap di sana, Kak. Naura sedang membutuhkanku saat ini."Sean pun tau kalau Naura sedang hancur saat ini, ingin rasanya dia meluncur ke sana untuk menenangkan, akan tetapi hal itu tidak mungkin karena Sean tidak ingin dikatakan seperti memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.Seharunya Sean senang mendengar