Ara menggerutu di dalam taxi yang dinaikinya, kali ini ia berencana untuk menginap saja di hotel dari pada berdua dengan Felix di apartemen."Apaan sih, biasanya juga kalau aku marah Felix bakal bujuk, ini malah dia yang marah balik. Malesin banget!"Ara terus menggerutu sampai akhirnya ia tiba-tiba menyeletuk, "tapi dia kan lagi sakit, kira-kira bisa urus diri sendiri enggak ya?"Ara merenung, terbesit rasa khawatir dengan keadaan sang kekasih di benaknya."Bodo amatlah, dia aja sekarang kurang peduli," celetuk Ara yang masih bermonolog, supir taxi hanya menyaksikan dalam diam saat gadis itu mengeluarkan unek-uneknya.Saat sampai di tujuan, Ara membayar dan langsung turun. "Makasih," katanya dan berjalan masuk ke dalam hotel yang sebelumnya sudah ia pesan secara online.***Sementara di lain tempat, Felix menghela napas gusar. Jujur saja, saat ini ia tengah berada dalam fase bingung akan apa yang ia rasakan.Sebagai seorang pria, tentu saja Felix tak suka diperlakukan semena-mena sepe
Ara menyerahkan uang ke pengemudi taksi yang ditumpanginya dengan tergesa-gesa, kemudian dengan ekspresi panik yang sangat kentara di wajahnya, gadis itu langsung keluar dan berlari ke arah markas yang sudah kelihatan walau dari jalan raya sekali pun.Akan tetapi, belum sempat gadis itu berlari lebih jauh, ia malah menabarak sesuatu. . . tidak, bukan seusatu, tetapi seseorang. Ara tentu saja langsung meringis kesakitan, sebab tubuh orang yang ditabraknya lumayan keras."Maaf-maaf, saya lagi buru-buru. Sekali lagi maa-- . . . Loh, Felix?!" Tanpa sadar Ara menjerit.Ara tentu terkejut melihat sosok pria yang menjadi beban kekhawatirannya baik-baik saja, tidak kecelakaan seperti yang dikatakan Etthan di chat."Ara?!" Felix tak kalah terkejutnya dengan Ara, bedanya ia dengan cepat menghapus rasa terkejut di hatinya yang langsung diisi dengan perasaan lega."Are you good?" tanya Felix sambil menarik Ara ke dalam dekapannya, dipeluknya dengan erat gadis itu, bersyukur karena ia baik-baik sa
Felix Natajaya, seorang putra pengusaha terkenal yang hidupnya cuma buat foya-foya saja. Mengencani banyak wanita dan sering terlibat masalah dengan beberapa geng anak nakal di ibu kota. Setiap hari kegiatannya hanya berisi hal-hal tidak berfaedah semacam nongkrong di pinggir jalan bersama anak-anak tongkrongannya. Felix sudah lulus SMA setahun yang lalu, tetapi ia lebih memilih tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut membuat Papanya geram. Ferdinand--Papa Felix, sudah kehabisan akal untuk membimbing anaknya itu. Setiap cara yang ia coba selalu mental dan tidak mempan untuk mengancam Felix. Ferdinand pernah mengancam Felix kalau ia akan menyita semua fasilitas yang ia berikan, mulai dari kartu kredit, mobil dan motor kesayangannya, tetapi hal itu tidak berpengaruh sama sekali. Felix bahkan mengancam balik Papanya, kalau Ferdinand sampai melakukan hal tersebut, Felix akan nekat merampok. Akhirnya Ferdinand pasrah, ia tak mungkin membiarkan anak sat
Felix baru saja selesai dengan urusannya, ia tadi pergi menemui Talitha, salah seorang model yang sedang menjalin hubungan bersamanya, tetapi itu beberapa saat yang lalu, karena sekarang sudah jadi mantan sepenuhnya. Yap! Benar sekali, Felix memutuskan kekasih modelnya itu. Sudah Felix bilang kan, kalu ia sedang bosan dengan model-model centil itu. Ngomong-ngomong tentang pacar, Felix teringat obrolannya dengan Etthan tadi sore terkait aplikasi Kontrak Pacar itu. Felix mulai membuka handphone-nya dan mencari aplikasi itu kemudian ia d*wnload. Saat dilihat, aplikasi itu ternyata banyak juga peminatnya, did*wnload ribuan orang, berbintang empat dengan beribu ulasan tentang aplikasi itu. Felix makin tertarik. Setelah mend*wnload, cowok jangkung itu mulai mendaftar. Di sana dikatakan kalau mendaftar, sebaiknya jangan gunakan nama asli untuk menjaga keamanan informasi pribadi. Oke, Felix menggunakan user name DaddyF sebagai ganti namanya. Kemudian tahap selanjutnya adalah mengisi data
Kemarin setelah membawa Ara dan memperkenalkannya sebagai pacar di depan semua anak geng, Felix memutuskan untuk mengantar gadis itu pulang ke kosnya. Ara menyewa salah satu kos-kosan yang terbilang sangat sederhana, penjaga kosnya juga galak dan Felix tak suka itu. Ia dilarang bertamu sampai larut malam di sana, padahal ia tak akan melakukan apa pun dengan Ara. Ia hanya masih ingin menggoda dengan membuat kesal gadis itu.Tetapi tenang saja, setelah semalaman berpikir, Felix akhirnya punya solusi untuk masalah tersebut, yaitu dengan membelikan apartemen untuk Ara supaya ia bebas untuk mengunjunginya. Satu apartemen bukan masalah yang besar baginya. Felix mulai mendial nomor Ara, kemarin mereka bertukar nomor ponsel, pada dering ketiga, telepon dari Felix diangkat. "Halo," sapa Ara di seberang sana, suaranya terdengar serak seperti baru bangun tidur. "Baru bangun?" tanya Felix heran, pasalnya ini sudah jam sepuluh pagi, kebo sekali gadis itu. "Iya, tadi malam gadang." Jawaban dari
Setelah kemarin Felix menghabiskan waktu seharian untuk membantu Ara pindahan, mereka akhirnya memutuskan menandatangani kontrak perjanjian yang sudah direvisi.Poin-poin dalam perjanjian itu mulai berlaku dan tak boleh dilanggar, kalau dilanggar akan ada hukuman yang menanti. Felix saat ini sedang berada di markas gengnya. Tempat ini adalah apartemen Etthan mulanya, tetapi karena tak lagi dipakai, mereka mengubahnya menjadi markas. Anggota geng sering kumpul di sini. "Lo ternyata seriusan sama aplikasi itu, Lix, enggak nyangka banget, mana gercep lagi," kata Etthan pada Felix yang terlihat sibuk memegang ponselnya dan senyum-senyum sendiri. "Hm." Felix hanya bergumam sebagai jawaban, ia lebih tertarik berbalas pesan dengan Ara dari pada mengobrol dengan Etthan. "Buset, dah, yang pacaran mah dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak," ujar Etthan yang merasa diabaikan kehadirannya. "Sirik aja lo," ketus Felix. Mood-nya tiba-tiba berubah karena Ara tak bisa diajak jalan ka
Talitha mendengus kesal, ia tak suka karena ada yang mengganggu ciumannya bersama Felix, apalagi oleh seorang gadis. "Pergi!" seru Felix sekali lagi, suaranya lebih keras kali ini, tatapannya masih mengarah ke arah gadis di depannya--Ara. Talitha tersenyum senang, Felix pasti sangat menikmati ciumannya dan tak suka diganggu, makanya ia sampai semarah itu. Talitha kasihan dengan gadis yang tak ia tahu namanya itu. "Oke, aku pergi," kata Ara datar. Kalau Felix memang ingin ia pergi, maka ia akan segera pergi. Ia mulai membalikkan badannya, tetapi terhenti karena perkataan pria itu lagi. "Bukan Kamu," kata Felix cepat dan berjalan mendekap gadis itu. Bukan Ara yang ia suruh pergi, melainkan Talitha. Tatapannya memang mengarah ke Ara, tetapi ia tak bermaksud seperti itu. "Felix," raung Talitha marah melihat hal tersebut. Ia sudah senang karena mengira Felix lebih memilihnya dan mengusir gadis pengganggu itu, tetapi kenyataannya malah ia yang diusir. Awas saja nanti. "Pergi sana!" per
"Eiiittsss, jangan sentuh, jangan sentuh! Ingat, Kamu masih dalam masa hukuman, tinggal dua hari lagi," peringat gadis yang sedang asik makan di depan Felix kali ini, siapa lagi kalau bukan Ara. Felix datang dan mengunjungi Ara setiap hari ke apartemen gadis itu. Seperti hari ini, ia datang dengan membawa satu kotak pizza sebagai buah tangan. Bukannya memeluk atau mencium Felix sebagai ucapan terima kasih, Ara malahan cuma mengambil kotak pizza-nya dan menjaga jarak dari pria itu, Ia bahkan tak mau duduk terlalu dekat. Felix yang menjalani hukumannya selama lima hari ini terasa bagai di neraka. Oke, itu mungkin berlebihan, tetapi sungguh, ia dibuat tak berdaya oleh gadis manis, tetapi galak itu. Ara selalu berkeliaran di apartemen dengan celana pendek dan kaos atau kemeja kebesaran yang membuat Felix gemas setengah mati, tetapi karena hukuman sialan ini, ia tak bisa berbuat apa pun. "Kapan ini akan berakhir?" tanya Felix gusar. Ia terlihat sangat frustrasi, rasanya tak akan sanggu
Ara menyerahkan uang ke pengemudi taksi yang ditumpanginya dengan tergesa-gesa, kemudian dengan ekspresi panik yang sangat kentara di wajahnya, gadis itu langsung keluar dan berlari ke arah markas yang sudah kelihatan walau dari jalan raya sekali pun.Akan tetapi, belum sempat gadis itu berlari lebih jauh, ia malah menabarak sesuatu. . . tidak, bukan seusatu, tetapi seseorang. Ara tentu saja langsung meringis kesakitan, sebab tubuh orang yang ditabraknya lumayan keras."Maaf-maaf, saya lagi buru-buru. Sekali lagi maa-- . . . Loh, Felix?!" Tanpa sadar Ara menjerit.Ara tentu terkejut melihat sosok pria yang menjadi beban kekhawatirannya baik-baik saja, tidak kecelakaan seperti yang dikatakan Etthan di chat."Ara?!" Felix tak kalah terkejutnya dengan Ara, bedanya ia dengan cepat menghapus rasa terkejut di hatinya yang langsung diisi dengan perasaan lega."Are you good?" tanya Felix sambil menarik Ara ke dalam dekapannya, dipeluknya dengan erat gadis itu, bersyukur karena ia baik-baik sa
Ara menggerutu di dalam taxi yang dinaikinya, kali ini ia berencana untuk menginap saja di hotel dari pada berdua dengan Felix di apartemen."Apaan sih, biasanya juga kalau aku marah Felix bakal bujuk, ini malah dia yang marah balik. Malesin banget!"Ara terus menggerutu sampai akhirnya ia tiba-tiba menyeletuk, "tapi dia kan lagi sakit, kira-kira bisa urus diri sendiri enggak ya?"Ara merenung, terbesit rasa khawatir dengan keadaan sang kekasih di benaknya."Bodo amatlah, dia aja sekarang kurang peduli," celetuk Ara yang masih bermonolog, supir taxi hanya menyaksikan dalam diam saat gadis itu mengeluarkan unek-uneknya.Saat sampai di tujuan, Ara membayar dan langsung turun. "Makasih," katanya dan berjalan masuk ke dalam hotel yang sebelumnya sudah ia pesan secara online.***Sementara di lain tempat, Felix menghela napas gusar. Jujur saja, saat ini ia tengah berada dalam fase bingung akan apa yang ia rasakan.Sebagai seorang pria, tentu saja Felix tak suka diperlakukan semena-mena sepe
Ara melangkah dan mendudukkan dirinya di sisi kosong dari kasur yang tak ditempati oleh Felix."Mana yang sakit, hm?" Ara bertanya sambil mengusap pelan kening Felix yang dibanjiri keringat.Merasakan suhu tubuh pria tersebut yang lumayan hangat membuat Ara bertambah cemas."U-ugh!" Felix hanya bergumam pelan sambil sesekali masih sesenggukan, ternyata sejak masuk ke dalam kamar pria tersebut menangis saking kesalnya pada Etthan. "Jangan deket Etthan lagi, Ara," kata pria tersebut dengan lemah, membuat Ara menghela napas panjang.Huuft! Di tengah demamnya, rupanya Felix masih mengingat dengan jelas kecemburuannya beberapa saat yang lalu. Ara jadi berpikir, apakah penyebab pria itu demam adalah rasa cemburunya yang berlebihan?"Iya, Etthan juga udah aku suruh pulang, sekarang mana yang sakit, hm? Udah, dong, nangisnya," ucap Ara mengiyakan, tak ingin membuat Felix tambah cemburu dan berakhir ngambek padanya.Felix yang sakit ditambah ngambek bisa jadi hal yang sangat merepotkan."Pusin
Felix menatap Ara jengah, setelah membuatnya melakukan cabang olahraga senam lima jari alias co-li, gadis itu terlihat seolah tanpa beban, ia tetap santai sambil melihat-lihat majalah yang ada di pangkuannya."Minggu ini udah ke rumah sakit?" tanya Felix menanyakan kegiatan rutin gadis itu yang mengunjungi sang ayah setiap minggunya."Udah, makasih, ya." Ara meletakkan kembali majalah yang sedari tadi ia lihat ke meja di depannya."Hm. Kita kan, udah sepakat buat enggak bahas masalah uang lagi, lagian Kamu kan pacar aku sekarang." Felix menggumam pelan sambil berjalan menghampiri Ara dan duduk tepat di samping gadis manis tersebut."Bukan cuma masalah uang, tapi waktu, pengertian, sama kesempatannya juga, aku tahu kalau banyak buat kesalahan, hehe." Ara nyengir.Felix merotasikan bola matanya seolah kesal. "Hm, bagus kalau Kamu tahu, giimana sama masalah Rendy?" tanya pria tersebut dengan raut wajah serius."Masih sering kirim pesan spam, ganggu banget!" ketus Ara.Jujur saja, sejak ke
Ara mengelus punggung Felix lembut. Mereka sudah di apartemen lagi, setelah beberapa saat lalu pria itu mengeluh pusing lantaran bercerita tentang masa lalunya dengan sang mama.Ara tadinya sempat menawarkan untuk mencari paracetamol di apotek, tetapi Felix menolak dengan alasan ingin pulang saja."Kamu kenal Rendy di mana?" tanya Felix yang saat ini menegakkan badannya yang tadi bersandar pada Ara.Ada jeda sebentar sebelum Ara menjawab. "Di aplikasi," jawab Ara, padahal sebelumnya sudah menjelaskan, mungkin karena Felix sedang marah waktu utu, ia jadi tak fokus menyimak apa yang Ara katakan."Kamu masih main?" tanya Felix lagi, kali ini dengan alis terangkat."Iya hehe," cengir Ara sambil menatap Felix dengan rasa bersalah."Jangan main lagi, sini hp Kamu, hapus aja aplikasinya," titah Felix, pria itu juga menengadahkan tangannya, tanda meminta handphone gadis itu.Ara yang diperintah seperti itu cuma pasrah. "Nih," katanya.***"Udah lama, ya, enggak ketemu Etthan," kata Ara.Sore i
Di sinilah Felix berada sekarang, di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di ibu kota, tempat di mana Ayah Ara yang sedang koma dirawat. Setelah penjelasan yang menguras emosi dan air mata beberapa waktu yang lalu di apartemen, akhirnya Ara memutuskan untuk membawa Felix melihat Ayahnya. "Terima kasih, Dokter," kata Felix sambil tersenyum pada dokter Arya, dokter senior yang merawat Ayah Ara selama ini. Felix bangkit dari kursi yang didudukinya, diikuti oleh Ara yang berada di sampingnya. Mereka berdua keluar dari ruangan Dokter Arya, tadi Felix memang sempat memaksa untuk berbicara dengan sang dokter. Dari hasil pembicaraannya, Felix sadar mengapa Ara membutuhkan banyak sekali biaya. Ayah Ara ditempatkan di ruangan Vip dengan fasilitas yang memadai dan perawatan intensif yang membutuhkan setidaknya satu tenaga medis untuk selalu berjaga."Kita enggak boleh masuk ke ruangan Ayah, ya?" tanya Felix pada Ara yang sedari tadi hanya terdiam di sampingnya. Entah sejak kapan, Fe
"Bukannya aku udah pernah bilang? Jangan berurusan sama bajingan itu, hah! Bagian mana dari kata-kata aku yang Kamu enggak ngerti, Ara?!" Ara hanya diam dan melihat Felix dengan takut-takut. Felix langsung mengamuk begitu mereka sampai di apartemen, sasarannya tentu saja Ara. "Aku ajak ke sana Kamu enggak mau dan selalu aja ada alasan buat nolak, giliran sama dia Kamu malah mau-mau aja, ada hubungan apa Kamu sama dia?" tanya Felix masih dengan ekspresi marahnya. Wajah pria itu memerah dengan tangan terkepal kuat. Felix benar-benar emosi. "Maaf--." "Jangan cuma bisa minta maaf! Percuma minta maaf kalau akhirnya nanti diulangin lagi, gitu aja terus!" Felix geram dan memukul pintu apartemen dengan kencang. Rasa sakit yang dirasakan di buku-buku jarinya tak ia hiraukan, pria itu butuh sesuatu untuk menyalurkan emosinya yang tengah memuncak. Dari kemarin mood Felix memang sudah tak beraturan, penyebabnya banyak sekali; mulai dari Papanya yang mengajak ke berbagai pesta dengan alasan
"Pulang!"Baru beberapa saat yang lalu mata Ara bersitatap secara tak sengaja dengan Felix, pria itu sekarang sudah berada di depannya.Ara bingung, gelisah, dan takut.Bagaimana sekarang? Alasan apa lagi yang harus ia karang untuk menutupi semuanya."Wess, apaan nih bos?" Rendy yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara, ia juga menjadi tameng ketika Felix terlihat akan menyeret Ara keluar dari tempat acara."Lo kemarin-kemarin gue sabarin tapi malah jadi belagu, ya!" ketus Felix, kali ini beralih pada Rendy.Sedari tadi, Felix sudah berusaha untuk tak menghuraukan keberadaan Rendy yang selalu bisa memancing emosinya ke batas maksimal."Lo kali yang selalu belagu," kata Rendy santai, berbanding terbalik dengan keadaan Felix. "Enggak inget kelakuan banget!" sindir Rendy terlihat meremehkan."Minggir!" titah Felix tegas, ia tak ingin menanggapi bacotan Rendy di tempat ramai seperti ini, apalagi di sini juga ada Papanya.Bisa gawat kalau ia nekat baku hantam di sini."Hak lo nyuruh-nyu
Pagi ini keadaan Felix sudah lumayan baikan. "Sarapan dulu, ya," kata Ara. "Enggak mau sarapan bubur," jawab Felix. Menghela napas pelan, Ara berucap dengan lembut. "Ini enak, loh, cobain dulu, ya, biar perutnya ada isi, ... ayo." "Enggak mau, Ara," kata Felix lagi saat sesendok bubur sudah berada di depan mulutnya. Dari dulu ia memang sedikit tak suka dengan bubur. "Ya udah, kalau gitu mau sarapan apa? Biar aku masakin," kata Ara akhirnya, memilih untuk mengalah. "Nasi putih sama telur ceplok aja," kata Felix. "Oke, tunggu ya." Baru saja Ara akan bangkit, tetapi tangannya malah ditahan Felix. "Lepas dulu, aku cuma mau ngambil makanannya ke dapur," ucap Ara sambil berusaha melepaskan tangan Felix yang sekarang sudah beralih merangkul pinggangnya dengan posesif. Felix dalam keadaan baik-baik saja sudah manja dan posesif, apalagi sekarang ketika ia tengah sakit, level manja dan keposesifannya bertambah berkali-kali lipat. "Enggak usah sarapan aja, deh." Felix merengut sambil m