"Eiiittsss, jangan sentuh, jangan sentuh! Ingat, Kamu masih dalam masa hukuman, tinggal dua hari lagi," peringat gadis yang sedang asik makan di depan Felix kali ini, siapa lagi kalau bukan Ara.
Felix datang dan mengunjungi Ara setiap hari ke apartemen gadis itu. Seperti hari ini, ia datang dengan membawa satu kotak pizza sebagai buah tangan.Bukannya memeluk atau mencium Felix sebagai ucapan terima kasih, Ara malahan cuma mengambil kotak pizza-nya dan menjaga jarak dari pria itu, Ia bahkan tak mau duduk terlalu dekat.Felix yang menjalani hukumannya selama lima hari ini terasa bagai di neraka. Oke, itu mungkin berlebihan, tetapi sungguh, ia dibuat tak berdaya oleh gadis manis, tetapi galak itu.Ara selalu berkeliaran di apartemen dengan celana pendek dan kaos atau kemeja kebesaran yang membuat Felix gemas setengah mati, tetapi karena hukuman sialan ini, ia tak bisa berbuat apa pun."Kapan ini akan berakhir?" tanya Felix gusar. Ia terlihat sangat frustrasi, rasanya tak akan sanggup menjalani hukumannya lagi walaupun hanya tersisa dua hari."Tinggal dua hari lagi," jawab Ara santai, ia sangat menikmati masa-masa di mana Felix sedang menjalani hukumannya. Walaupun tak bisa menyentuhnya sama sekali, pria itu tak pernah absen membawakan berbagai macam makanan untuknya.Kemarin pria jangkung itu datang sambil membawa beberapa kotak es krim, kemarinnya lagi dia datang membawa nasi uduk yang enak sekali, Ara yang memang dasarnya suka makan dan suka barang gratisan tentu saja menerima semuanya dengan hati senang."Apa enggak ada keringanan?" tanya Felix. Ia benar-banar putus asa kali ini, kalau tahu akan begini akhirnya, ia tak akan mau dicium oleh Talitha, diajak bertemu saja mungkin ia tak akan setuju."Enggak!" tolak Ara tegas.Felix selalu mengeluhkan hal yang sama setiap harinya, tetapi kali ini lebih parah. Pria itu bahkan sudah mengantukkan kepalanya ke meja beberapa kali. 'Sepertinya itu gejala awal akibat terlalu merindukanku,' batin Ara senang."Gimana kalau aku nyogok pakai pizza terenak di kota?" tanya Felix mencoba peruntungannya."Enggak!" tolak Ara tegas, ia tak mau disogok hanya dengan sekotak pizza, walaupun kedengarannya sangat menggiurkan, kalau ditambah barang lain mungkin akan Ara pertimbangkan. Eeh?!"Ditambah tiga kotak es krim tiap hari, porsi besar," tawar Felix lagi. Pria itu tahu kalau gadis di depannya sangat suka makan, pizza sekotak saja dihabiskan sendiri. Herannya, Ara tetap tak gendut sama sekali, hanya sedikit berisi di beberapa bagian dan Felix menyukai hal itu."Masih enggak mau," jawab Ara santai."Ditambah Marshmellow lima bungkus." Felix juga tahu kalau Ara suka makanan manis.Ara masih menggeleng, penawaran Felix memang cukup menarik, tetapi belum mampu membuatnya tergiur dan goyah."Kalau begitu shopping mall sore ini, sepuasnya." Ini penawaran terakhir Felix, ia sudah tak bisa memikirkan tawaran lain lagi.Ara diam dan terlihat berpikir, sudah lama sekali ia ingin berbelanja dan jalan-jalan ke mall, ia tak mungkin menolaknya, kan?"Oke, setuju."Begitu mendengar hal tersebut, Felix langsung bangkit dan menghampiri gadis itu, ia bahkan sudah memeluknya dengan sangat erat."Akhirnya," gumam Felix, ia bahkan sudah menyelusupkan kepalanya ke ceruk leher gadis itu dan mulai menghirup wangi khas yang ia rindukan selama ini. Ara tercium seperti aroma stroberi yang sangat manis.Tak puas sampai di situ, Felix berdiri dan menggendong tubuh Ara, ia menghempaskan tubuh keduanya di sofa kemudian memeluk gadis itu erat."Aaa, lepaskan aku," teriak Ara kesal. Felix benar-benar maniak dan seenaknya. "Fuaah! Aku enggak bisa napas, sialan!" raung Ara kesal sambil memukul dada pria yang tengah memeluknya seperti orang kesetanan ini.Felix yang mengerti akhirnya mengubah posisi mereka, Ara berbaring di atas tubuhnya sekarang, napas gadis itu tak stabil, ia terengah. Felix terkekeh pelan. "Maaf, hehe."Ara bangkit dan duduk di atas perut Felix, raut wajahnya terlihat cemberut. "Kalau aku kehabisan napas dan mati gimana?" tanyanya memasang tampang galak.Felix tersenyum gemas, ia mencubit keras kedua pipi Ara."Aaw! Sakit," kata Ara, cubitan Felix sama sekali tak main-main. Terasa sangat panas di kedua pipinya, ia tak bercanda, matanya mulai berkaca-kaca dan siap menangis.Felix yang melihat hal itu langsung panik, ia tak bermaksud menyakiti gadis ini, tetapi rasa gemas membuatnya melakukan hal tersebut."Jangan nangis, oke, aku minta maaf, apa masih sakit?" tanya Felix sambil mengusap pelan kedua pipi Ara yang terlihat memerah."Sakit," adu Ara."Aku harus apa supaya rasa sakitnya hilang?""Ayo ke mall sekarang!""Eh?""Ayo," kata Ara. Ia sudah tak sabar untuk bermain di mall dan belanja tentu saja. Ingat! Ara suka sekali dengan barang gratisan."Nanti sore aja, aku masih belum puas meluk Kamu," kata Felix dan memeluk gadis itu lagi."Aku mau sekarang, ayo!" seru Ara. Ia bahkan sudah merengek seperti anak kecil dan mulai memukul dada pria di bawahnya saat ini."Nanti aja, oke?" Felix masih kuekeh dengan rencana awalnya, ia masih ingin berduaan dengan Ara sekarang, setelah lima hari, inilah hari yang selama ini Felix tunggu.Ara mulai cemberut, ia menjatuhkan kepalanya pelan dan menelusupkannya ke leher Felix. Baiklah, jika Felix tak dapat diajak dengan cara baik-baik, Ara akan mengeluarkan jurus andalannya kalau begitu.Ara mulai meniup pelan leher cowok jangkung di bawahnya saat ini, ia bahkan sudah mulai mengecup kecil. Awalnya Felix tak menunjukkan reaksi apa pun, tetapi ketika Ara mulai mengecup jakunnya, pria itu terkesiap pelan dan mendesis.Felix mulai mendorong kepala Ara menjauh dari lehernya. "Aku sensitif di bagian itu. Jadi, jangan-jangan coba," peringat Felix, bisa gawat nanti kalau ia tergoda."Aku enggak percaya, awas, aku belum selesai." Ara berucap tegas.Ara kembali menelusupkan kepalanya ke leher Felix dan mulai mengecup jakun yang kata pria itu sebagai titik sensitif.Felix melotot ngeri, saat ini Ara terlihat seperti iblis kecil penggoda di matanya."Ungh!" Satu lenguhan keluar dari bibir Felix. Ia benar-benar sensitif di bagian sana dan sekarang Ara menyerangnya dengan semangat di titik itu.Ara masih terus melakukan sesuai dengan keinginan hatinya."U-udah, ugh, ayo ke--, ugh, hentikan dulu!" perintah Felix.Ara menurut kali ini. Ia tersenyum ketika melihat tanda merah yang muncul di leher Felix."Aku kalah, oke. Kita ke mall sekarang, tapi biarkan aku beberapa menit di kamar mandi dulu." Felix berucap pelan sambil meringis, bagian bawah tubuhnya sudah sangat keras dan terasa ngilu. Ara benar-benar menguji batas pertahanannya."Oke!""Yeay!" Ara berseru senang ketika ia sudah sampai di salah satu mall terbesar di Jakarta. Melihat hal itu, Felix yang berada di sebelah gadis itu hanya memasang senyum kecil saja. Di matanya sekarang, Ara seperti bocah umur sepuluh tahun yang baru pertama kali diajak ke luar oleh Ibunya. "Jangan jauh-jauh, nanti ilang!" perintah Felix, ia takut kalau Ara akan tersesat nantinya karena gadis itu terlalu antusias memerhatikan sekitar dan tak menghiraukan keberadaan Felix. "Aku bukan anak kecil!" Ara merengut kesal mendengar perkataan Felix yang seolah-olah mengatakan ia bisa hilang kapan saja di tempat ini. "Tingkah Kamu kayak anak kecil," kata Felix santai. Ara menghentakkan kakinya kecil, ia tambah kesal dengan perkataan Felix barusan. "Ish!" seru Ara. "Nanti kalau ilang beneran, nangis," ucap Felix, ia gemas dengan tingkah gadis di sampingnya ini. Katanya bukan anak kecil, tetapi lihat sekarang, Ara memasang tampang cemberut sambil memegang ujung baju Felix. 'Sangat menggemaska
[Lix, Lo udah putus sama Ara?] Felix yang baru sampai di rumahnya langsung membaca pesan yang dikirim Etthan. Pesan tersebut membuat dahi Felix berkerut dalam, ia tentu saja bingung, kenapa Etthan bisa menanyakan hal tersebut, padahal Felix tak ada masalah apa-apa dengan Ara, mereka baik-baik saja. Akhirnya, setelah cukup lama terdiam dan larut dalam pikirannya, Felix memutuskan untuk membalas pesan dari sahabatnya itu. [Enggak, emangnya kenapa, sih?] Tak sampai tiga menit, balasan dari Etthan segera datang. [Tadi gue ketemu Ara di jalan dan anterin dia pulang. Kata dia, Lo bukan pacarnya lagi.] Balasan tersebut membuat Felix tambah bingung, berbagai macam pertanyaan tentang kenapa Ara bisa dihantar pulang oleh Etthan merasuki pikiran Felix sekarang. "Tunggu dulu ...," gumam Felix seperti tengah mencoba mengingat sesuatu. "Sialan!" Felix mengumpat keras saat mengingat kalau dirinya meninggalkan Ara sendiri di mall, padahal ia sudah berjanji untuk menjemput gadis itu. Felix yan
"Kamu mau ketemu sama Etthan?" tanya Felix, ia sangat penasaran, tadi ia sempat menanyakan hal serupa pada Etthan tetapi tak dijawab.'Sungguh sialan!' Felix diam-diam mengumpat sahabatnya yang dengan tega membuatnya merasa penasaran, awas saja nanti. "Enggak tahu!" jawab Ara, gadis itu masih sedikit ketus saat menjawab, rupanya acara marah-marah hari ini belum berakhir. "Kok gitu, sih?" tanya Felix lagi, sungguh ia mulai kesal sekarang, ia hanya ingin tahu saja, kenapa Ara membuatnya sangat sulit. Hening, Ara kembali bungkam dan mengabaikan Felix. "Pokoknya Kamu enggak boleh ketemu Etthan!" kata Felix tegas.Mendengar kalau Ara akan menemui sahabat karibnya itu membuat Felix sedikit khawatir, alasan kekhawatirannya juga tak jelas, intinya Felix tak ingin mereka bertemu, itu saja. "Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih?" tanya Ara ikutan kesal.Siapa yang tak kesal kalau hidupnya diatur-atur seperti itu. Ini pertama kalinya ia merasa kewalahan menghadapi partner-nya sejak terjun ke
"Felix, udah dong tidurnya." Ara mulai mengeluh, pasalnya sejak kepulangan mereka dari markas, pria itu langsung menagih janjinya. Sudah satu jam lebih Ara mengusap kepala yang ada di pahanya dan sekarang ia merasa kram, kepala Felix cukup berat ternyata. "Hmm, nanti dulu ini nyaman," jawab Felix masih memejamkan matanya, ia juga menahan pinggang Ara yang ingin bangkit dengan memeluknya erat sekali. "Manja banget, sih," gerutu Ara kesal. Felix ini menurut Ara hanya luarnya saja yang terlihat sangar, padahal dalamnya sangat manja. Siapa yang menduga kalau pria yang ditakuti dan dijadikan bos di gengnya adalah sosok yang manja dan moody-an seperti ini. "Ponsel Kamu dari tadi bunyi terus, tuh," kata Ara lagi. Memang benar, sejak Felix meletakkan ponsel itu di atas meja, benda tersebut terus berbunyi, ada saja notifikasi yang masuk, entah itu panggilan maupun SMS. Akan tetapi, alih-alih terganggu, Felix justru masih nyaman dengan tidurnya. "Angkat dulu sana, siapa tahu penting!" per
"Pinter ya Kamu sekarang, Felix, udah jarang pulang, sekalinya pulang bikin Papa darah tinggi lagi." Kalimat itulah yang menjadi sambutan ketika Ara dan Felix baru tiba di rumah pria itu. "Papa enggak asyik, baru juga nyampe udah diomelin," kata Felix dengan ekspresi kesal.Awalnya tadi, Felix ingin menunjukkan kedekatannya dengan sang Papa pada Ara, tetapi hal tersebut langsung sirna saat serangkaian omelan menyambutnya di depan pintu. "Ck! Kamu ini--." Kalimat Ferdinand terpotong oleh seruan Felix. "Eiitss, ceramahnya nanti aja, lihat nih, Felix bawa siapa?" Ara yang sedari tadi diam itu akhirnya tersenyum canggung ketika Ferdinand menatapnya dengan penasaran. "Pagi, Om, saya Ara," sapa Ara dengan ragu-ragu. Ia sedikit takut, kesan pertama yang Ara tangkap dari Papa Felix adalah galak. "Anak siapa yang Kamu bawa ini, Felix? Awas aja kalau Kamu buat masalah lagi, Papa kirim beneran kamu ke pondok pesantren." Ferdinand berucap sambil menatap tajam pada putranya, ia bahkan tak m
"Jauhi gadis itu dan mulai pendekatan dengan salah satu anak dari teman Papa." Kata-kata tersebut langsung menyambut Felix ketika ia baru saja duduk di depan Papanya. Sesuai keinginan pria paruh baya itu, mereka memang perlu berbicara, akan tetapi, Felix sedikit tak menyangka kalau Ferdinand akan membicarakan hal itu dan mulai ikut campur urusan percintaannya, biasanya sang Papa tak begini. "Papa sehat?” Alih-alih menanggapi dengan serius perkataan Ferdinand, ia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. " Sehat, kenapa?" tanya Ferdinand balik. "Kirain Papa lagi demam, omongan Papa ngelantur," jawab Felix santai. Mendengar jawaban Felix membuat Ferdinand menghela napas keras. "Papa serius, Felix!" "Tapi kenapa? Biasanya Papa enggak pernah ikut campur urusan kayak gini. Toh, Felix juga enggak bikin masalah, kan!" Akhirnya Felix mengutarakan rasa penasarannya. "Enggak bikin masalah dari mana? Ini apa?" tanya Ferdinand jengkel mengeluarkan kertas berisi catatan pengeluaran Felix sel
Ara sedang dilanda kebingungan saat ini, pasalnya ia sangat butuh uang lagi, tetapi setelah mendengar kalau Felix kemarin dimarahi oleh Papanya karena terlalu boros, Ara jadi sungkan untuk meminta pada pria itu. Ia juga malu kalau terlalu sering meminta uang, apalagi nominal yang dimintanya jelas tak sedikit. "Gimana, ya?" Ara bergumam pada dirinya sendiri. Saat ini, Ara tengah sendiri di apartemen karena Felix belum mengunjunginya sama sekali. Pria itu hanya memberinya kabar lewat pesan saja tadi pagi, selepasnya tak ada apa-apa lagi, biasanya Felix akan mengacau di pagi buta, bahkan sebelum Ara benar-benar bangun dari tidurnya. Setelah lama bergulat dengan pikirannya, akhirnya Ara mendapatkan satu ide yang menurutnya bisa menyelamatkannya dari kondisi terdesak saat ini, walaupun ide tersebut sedikit berisiko pada kelangsungan hubungan kontraknya dengan Felix. "Bodo amatlah, asal jangan sampai ketahuan aja," gumam Ara sambil berjalan ke arah meja di mana ponselnya terletak. Ara m
Sekitar jam sepuluh pagi, Felix sudah berada di apartemen Ara guna mengunjungi gadis itu. Setelah mereka terikat kontrak, hidup Felix memang tak pernah jauh-jauh dari Ara, seolah-olah gadis itulah pusat hidupnya. Akan tetapi, alih-alih menemukan Ara yang sedang beraktivitas seperti biasanya, Felix malah menemukan apartemen dalam keadaan kosong, ketika masuk tadi, hanya kesunyian saja yang menyambutnya. Setelah yakin kalau Ara memang tak ada di apartemen, Felix akhirnya memutuskan untuk menelepon gadis itu. Satu panggilan nyambung, tetapi ak dijawab. Felix masih bisa sabar, ia mencoba sekali lagi dan masih tak dijawab juga oleh gadis itu. [Kamu di mana?] Satu pesan terkirim pada Ara, jangankan pesan, sudah jelas-jelas kalau tadi teleponnya saja tak diangkat. "Ke mana, sih?" tanya Felix pada dirinya sendiri, ia kesal ketika Ara menghilang begitu saja tanpa memberinya kabar terlebih dahulu, padahal Felix sendiri selalu menyempatkan dirinya untuk mengabari gadis itu ketika tak sempat
Ara menyerahkan uang ke pengemudi taksi yang ditumpanginya dengan tergesa-gesa, kemudian dengan ekspresi panik yang sangat kentara di wajahnya, gadis itu langsung keluar dan berlari ke arah markas yang sudah kelihatan walau dari jalan raya sekali pun.Akan tetapi, belum sempat gadis itu berlari lebih jauh, ia malah menabarak sesuatu. . . tidak, bukan seusatu, tetapi seseorang. Ara tentu saja langsung meringis kesakitan, sebab tubuh orang yang ditabraknya lumayan keras."Maaf-maaf, saya lagi buru-buru. Sekali lagi maa-- . . . Loh, Felix?!" Tanpa sadar Ara menjerit.Ara tentu terkejut melihat sosok pria yang menjadi beban kekhawatirannya baik-baik saja, tidak kecelakaan seperti yang dikatakan Etthan di chat."Ara?!" Felix tak kalah terkejutnya dengan Ara, bedanya ia dengan cepat menghapus rasa terkejut di hatinya yang langsung diisi dengan perasaan lega."Are you good?" tanya Felix sambil menarik Ara ke dalam dekapannya, dipeluknya dengan erat gadis itu, bersyukur karena ia baik-baik sa
Ara menggerutu di dalam taxi yang dinaikinya, kali ini ia berencana untuk menginap saja di hotel dari pada berdua dengan Felix di apartemen."Apaan sih, biasanya juga kalau aku marah Felix bakal bujuk, ini malah dia yang marah balik. Malesin banget!"Ara terus menggerutu sampai akhirnya ia tiba-tiba menyeletuk, "tapi dia kan lagi sakit, kira-kira bisa urus diri sendiri enggak ya?"Ara merenung, terbesit rasa khawatir dengan keadaan sang kekasih di benaknya."Bodo amatlah, dia aja sekarang kurang peduli," celetuk Ara yang masih bermonolog, supir taxi hanya menyaksikan dalam diam saat gadis itu mengeluarkan unek-uneknya.Saat sampai di tujuan, Ara membayar dan langsung turun. "Makasih," katanya dan berjalan masuk ke dalam hotel yang sebelumnya sudah ia pesan secara online.***Sementara di lain tempat, Felix menghela napas gusar. Jujur saja, saat ini ia tengah berada dalam fase bingung akan apa yang ia rasakan.Sebagai seorang pria, tentu saja Felix tak suka diperlakukan semena-mena sepe
Ara melangkah dan mendudukkan dirinya di sisi kosong dari kasur yang tak ditempati oleh Felix."Mana yang sakit, hm?" Ara bertanya sambil mengusap pelan kening Felix yang dibanjiri keringat.Merasakan suhu tubuh pria tersebut yang lumayan hangat membuat Ara bertambah cemas."U-ugh!" Felix hanya bergumam pelan sambil sesekali masih sesenggukan, ternyata sejak masuk ke dalam kamar pria tersebut menangis saking kesalnya pada Etthan. "Jangan deket Etthan lagi, Ara," kata pria tersebut dengan lemah, membuat Ara menghela napas panjang.Huuft! Di tengah demamnya, rupanya Felix masih mengingat dengan jelas kecemburuannya beberapa saat yang lalu. Ara jadi berpikir, apakah penyebab pria itu demam adalah rasa cemburunya yang berlebihan?"Iya, Etthan juga udah aku suruh pulang, sekarang mana yang sakit, hm? Udah, dong, nangisnya," ucap Ara mengiyakan, tak ingin membuat Felix tambah cemburu dan berakhir ngambek padanya.Felix yang sakit ditambah ngambek bisa jadi hal yang sangat merepotkan."Pusin
Felix menatap Ara jengah, setelah membuatnya melakukan cabang olahraga senam lima jari alias co-li, gadis itu terlihat seolah tanpa beban, ia tetap santai sambil melihat-lihat majalah yang ada di pangkuannya."Minggu ini udah ke rumah sakit?" tanya Felix menanyakan kegiatan rutin gadis itu yang mengunjungi sang ayah setiap minggunya."Udah, makasih, ya." Ara meletakkan kembali majalah yang sedari tadi ia lihat ke meja di depannya."Hm. Kita kan, udah sepakat buat enggak bahas masalah uang lagi, lagian Kamu kan pacar aku sekarang." Felix menggumam pelan sambil berjalan menghampiri Ara dan duduk tepat di samping gadis manis tersebut."Bukan cuma masalah uang, tapi waktu, pengertian, sama kesempatannya juga, aku tahu kalau banyak buat kesalahan, hehe." Ara nyengir.Felix merotasikan bola matanya seolah kesal. "Hm, bagus kalau Kamu tahu, giimana sama masalah Rendy?" tanya pria tersebut dengan raut wajah serius."Masih sering kirim pesan spam, ganggu banget!" ketus Ara.Jujur saja, sejak ke
Ara mengelus punggung Felix lembut. Mereka sudah di apartemen lagi, setelah beberapa saat lalu pria itu mengeluh pusing lantaran bercerita tentang masa lalunya dengan sang mama.Ara tadinya sempat menawarkan untuk mencari paracetamol di apotek, tetapi Felix menolak dengan alasan ingin pulang saja."Kamu kenal Rendy di mana?" tanya Felix yang saat ini menegakkan badannya yang tadi bersandar pada Ara.Ada jeda sebentar sebelum Ara menjawab. "Di aplikasi," jawab Ara, padahal sebelumnya sudah menjelaskan, mungkin karena Felix sedang marah waktu utu, ia jadi tak fokus menyimak apa yang Ara katakan."Kamu masih main?" tanya Felix lagi, kali ini dengan alis terangkat."Iya hehe," cengir Ara sambil menatap Felix dengan rasa bersalah."Jangan main lagi, sini hp Kamu, hapus aja aplikasinya," titah Felix, pria itu juga menengadahkan tangannya, tanda meminta handphone gadis itu.Ara yang diperintah seperti itu cuma pasrah. "Nih," katanya.***"Udah lama, ya, enggak ketemu Etthan," kata Ara.Sore i
Di sinilah Felix berada sekarang, di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di ibu kota, tempat di mana Ayah Ara yang sedang koma dirawat. Setelah penjelasan yang menguras emosi dan air mata beberapa waktu yang lalu di apartemen, akhirnya Ara memutuskan untuk membawa Felix melihat Ayahnya. "Terima kasih, Dokter," kata Felix sambil tersenyum pada dokter Arya, dokter senior yang merawat Ayah Ara selama ini. Felix bangkit dari kursi yang didudukinya, diikuti oleh Ara yang berada di sampingnya. Mereka berdua keluar dari ruangan Dokter Arya, tadi Felix memang sempat memaksa untuk berbicara dengan sang dokter. Dari hasil pembicaraannya, Felix sadar mengapa Ara membutuhkan banyak sekali biaya. Ayah Ara ditempatkan di ruangan Vip dengan fasilitas yang memadai dan perawatan intensif yang membutuhkan setidaknya satu tenaga medis untuk selalu berjaga."Kita enggak boleh masuk ke ruangan Ayah, ya?" tanya Felix pada Ara yang sedari tadi hanya terdiam di sampingnya. Entah sejak kapan, Fe
"Bukannya aku udah pernah bilang? Jangan berurusan sama bajingan itu, hah! Bagian mana dari kata-kata aku yang Kamu enggak ngerti, Ara?!" Ara hanya diam dan melihat Felix dengan takut-takut. Felix langsung mengamuk begitu mereka sampai di apartemen, sasarannya tentu saja Ara. "Aku ajak ke sana Kamu enggak mau dan selalu aja ada alasan buat nolak, giliran sama dia Kamu malah mau-mau aja, ada hubungan apa Kamu sama dia?" tanya Felix masih dengan ekspresi marahnya. Wajah pria itu memerah dengan tangan terkepal kuat. Felix benar-benar emosi. "Maaf--." "Jangan cuma bisa minta maaf! Percuma minta maaf kalau akhirnya nanti diulangin lagi, gitu aja terus!" Felix geram dan memukul pintu apartemen dengan kencang. Rasa sakit yang dirasakan di buku-buku jarinya tak ia hiraukan, pria itu butuh sesuatu untuk menyalurkan emosinya yang tengah memuncak. Dari kemarin mood Felix memang sudah tak beraturan, penyebabnya banyak sekali; mulai dari Papanya yang mengajak ke berbagai pesta dengan alasan
"Pulang!"Baru beberapa saat yang lalu mata Ara bersitatap secara tak sengaja dengan Felix, pria itu sekarang sudah berada di depannya.Ara bingung, gelisah, dan takut.Bagaimana sekarang? Alasan apa lagi yang harus ia karang untuk menutupi semuanya."Wess, apaan nih bos?" Rendy yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara, ia juga menjadi tameng ketika Felix terlihat akan menyeret Ara keluar dari tempat acara."Lo kemarin-kemarin gue sabarin tapi malah jadi belagu, ya!" ketus Felix, kali ini beralih pada Rendy.Sedari tadi, Felix sudah berusaha untuk tak menghuraukan keberadaan Rendy yang selalu bisa memancing emosinya ke batas maksimal."Lo kali yang selalu belagu," kata Rendy santai, berbanding terbalik dengan keadaan Felix. "Enggak inget kelakuan banget!" sindir Rendy terlihat meremehkan."Minggir!" titah Felix tegas, ia tak ingin menanggapi bacotan Rendy di tempat ramai seperti ini, apalagi di sini juga ada Papanya.Bisa gawat kalau ia nekat baku hantam di sini."Hak lo nyuruh-nyu
Pagi ini keadaan Felix sudah lumayan baikan. "Sarapan dulu, ya," kata Ara. "Enggak mau sarapan bubur," jawab Felix. Menghela napas pelan, Ara berucap dengan lembut. "Ini enak, loh, cobain dulu, ya, biar perutnya ada isi, ... ayo." "Enggak mau, Ara," kata Felix lagi saat sesendok bubur sudah berada di depan mulutnya. Dari dulu ia memang sedikit tak suka dengan bubur. "Ya udah, kalau gitu mau sarapan apa? Biar aku masakin," kata Ara akhirnya, memilih untuk mengalah. "Nasi putih sama telur ceplok aja," kata Felix. "Oke, tunggu ya." Baru saja Ara akan bangkit, tetapi tangannya malah ditahan Felix. "Lepas dulu, aku cuma mau ngambil makanannya ke dapur," ucap Ara sambil berusaha melepaskan tangan Felix yang sekarang sudah beralih merangkul pinggangnya dengan posesif. Felix dalam keadaan baik-baik saja sudah manja dan posesif, apalagi sekarang ketika ia tengah sakit, level manja dan keposesifannya bertambah berkali-kali lipat. "Enggak usah sarapan aja, deh." Felix merengut sambil m