[Lix, Lo udah putus sama Ara?]
Felix yang baru sampai di rumahnya langsung membaca pesan yang dikirim Etthan. Pesan tersebut membuat dahi Felix berkerut dalam, ia tentu saja bingung, kenapa Etthan bisa menanyakan hal tersebut, padahal Felix tak ada masalah apa-apa dengan Ara, mereka baik-baik saja.Akhirnya, setelah cukup lama terdiam dan larut dalam pikirannya, Felix memutuskan untuk membalas pesan dari sahabatnya itu.[Enggak, emangnya kenapa, sih?]Tak sampai tiga menit, balasan dari Etthan segera datang.[Tadi gue ketemu Ara di jalan dan anterin dia pulang. Kata dia, Lo bukan pacarnya lagi.]Balasan tersebut membuat Felix tambah bingung, berbagai macam pertanyaan tentang kenapa Ara bisa dihantar pulang oleh Etthan merasuki pikiran Felix sekarang."Tunggu dulu ...," gumam Felix seperti tengah mencoba mengingat sesuatu."Sialan!" Felix mengumpat keras saat mengingat kalau dirinya meninggalkan Ara sendiri di mall, padahal ia sudah berjanji untuk menjemput gadis itu.Felix yang panik segera menyambar kunci motornya dan melangkah tergesa ke arah garasi. Tujuannya kali ini adalah langsung ke Apartemen gadis itu, seperti kata Etthan di pesan tadi kalau pria tersebut sudah menghantar Ara pulang.'Sial, Ara pasti marah sekarang,' batin Felix kesal pada dirinya sendiri.Saking sibuk dan serunya mengobrol dengan Angelita, Felix sampai melupakan 'kucing galaknya' dan ia harus bersiap-siap menghadapi ledakan kemarahan kali ini.***"Ara sayang, ayo keluar," bujuk Felix dengan suara lirihnya.Sudah sejak lima menit yang lalu Felix tiba di Apartemen Ara dan mendapati keadaan di sini gelap gulita dan sunyi.Seperti dugaan Felix di awal, Ara pasti marah. Gadis itu bahkan mengunci dirinya sendiri di dalam kamar sekarang."Ara," panggil Felix lagi, perasaan pria tinggi itu campur aduk sekarang, Felix kesal dan marah pada dirinya sendiri, baru hari ini ia terbebas dari hukumannya, sekarang malah sudah berulah lagi.Felix menyerah, sepertinya memang gadis itu perlu waktu sendiri, yang harus ia lakukan sekarang adalah menunggu kapan kiranya gadis itu mau keluar.Berbaring di sofa adalah pilihan yang tepat bagi Felix saat ini.***Entah sudah berapa lama Felix berbaring sampai akhirnya ia tertidur. Mungkin pria itu terlalu lelah memikirkan bagaimana cara untuk membujuk Ara yang sedang ngambek.Suara berisik dari dapur membangunkan Felix dari tidurnya, pria itu mengerang pelan kala merasa tidur nyenyaknya terganggu."Ara!" seru Felix begitu sadar dan mengingat di mana dirinya berada sekarang.Saat melihat ke arah dapur, Felix melihat Ara tengah memasak sesuatu di sana. Pria itu bangkit dan menghampiri gadis itu segera."Ara sayang," panggil Felix lembut.Ara yang dipanggil tak menoleh dan memberikan respons apa pun, gadis itu hanya terus fokus dengan masakan yang sedang dibuatnya."Masak apa?" tanya Felix, ia tahu kalau Ara ngambek dan tak ingin merespons apa pun ucapannya.Masih diam, Ara sepertinya sudah membulatkan tekad untuk menghiraukan Felix."Maaf." Felix bergumam pelan sambil mencoba memeluk gadis itu dari belakang. Ara berontak tentu saja, tetapi tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya."Maaf," lirih Felix lagi.Ara masih tetap berontak, tetapi tetap tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. Gadis itu bungkam."Aku lupa, maaf." Felix berkata pelan..Satu isakan lolos dari Ari berhasil membuat Felix panik bukan main, kesalahannya kali ini lumayan fatal sampai membuat gadis ini menangis."Sayang, hei, Ara ...." Felix memutar tubuh gadis didekapannya supaya menghadap ke arahnya.'Air mata sialan!' rutuk Ara dalam hati, ia sangat membenci saat-saat di mana ia terlihat begitu lemah seperti sekarang."Jangan nangis, maaf," kata Felix lirih, ia sungguh menyesal dan merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh karena meninggalkan Ara sendirian di mall, untung saja semua belanjaan sudah ia bayar, kalau belum pasti ia akan tambah merasa bersalah.Ara mulai mengusap air matanya, gadis itu masih tetap bungkam."Ara?" panggil Felix lagi, kali ini sambil memegang kedua pipi gadis di depannya, sehingga kedua mata mereka bertemu."Maaf," ulang Felix untuk ke sekian kalinya. Ia tak akan menyerah sampai mendapat kata maaf dari Ara.Bungkam, Ara hanya balas menatap Felix tajam."Aku janji enggak akan ulangin lagi," kata Felix sungguh-sungguh.Ara masih bungkam, teguh dengan pendirian awalnya mendiamkan Felix."Hei ...." Felix sungguh kehilangan semua kata-katanya, ia lebih baik melihat Ara mengamuk daripada mendiamkannya seperti ini."Oke, Kamu mungkin butuh waktu buat maafin aku lagi, aku terima apa pun hukumannya asal jangan akhiri kontrak kita ...," kata Felix, "aku tunggu di sana," lanjutnya sambil berjalan menuju sofa dan berbaring lagi di sana.Sepertinya ia juga lumayam lelah.***Satu jam, dua jam, bahkan sampai malam harinya, Ara masih bungkam. Gadis itu tak melarang Felix melakukan apa pun, ia hanya akan berontak jika disentuh, akan tetapi masih tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya.Felix seolah tak kasat mata di hadapan Ara, pria itu diabaikan seratus persen."Aku lebih suka Kamu marah-marah dibanding diam kayak gini," keluh Felix.Sungguh, dari lada menghadapi Ara yang seperti ini, Felix lebih memilih berhadapan dengan Ara yang galak, ceria dan menggemaskan.Masih tetap bungkam, Ara hanya lanjut memakan camilannya dan tak memedulikan Felix.Di tengah keheningan yang melanda tersebut, ponsel Ara berbunyi dan langsung diangkat oleh gadis itu."Halo," sapanya pada seseorang di seberang sana.Felix diam menyimak dan mengamati, pria itu senang akhirnya Ara mau berbicara walaupun bukan kepadanya."Jadi, kok, di halte yang kemarin, ya," kata Ara lagi.Felix penasaran, dengan siapa Ara berjanji untuk bertemu."Oke, aku pasti datang, dong, enggak akan telat." Ara menjawab lagi."Siapa?" tanya Felix tak bisa lagi menahan rasa penasarannya, jangan bilang kalau Ara berjanji bertemu dengan pengguna aplikasi Kontrak Pacar lagi. Oke, Felix mulai panik sekarang."Bye, sampai besok."Panggilan Ara dan seseorang itu berakhir dengan pertanyaan Felix yang masih menggantung."Ara!" Felix sedikit menaikkan intonasi suaranya kali ini. Pria itu benar-benar frustrasi sekarang."Apa?!" jawab Ara, gadis itu juga ikutan nyolot saat bertanya."Yang tadi itu siapa?" tanya Felix, kali ini nada suaranya seperti biasa."Kenapa emangnya?" tanya Ara balik."Jawab aja siapa?!""Kenapa Kamu mesti peduli?""Karena aku pacar Kamu.""Iya, tapi cuma pacar kontrak doang, makanya aku enggak ada spesialnya sama sekali, Kamu bahkan sampai lupa dan tinggalin aku sendiri di mall," jawab Ara acuh tak acuh."Jangan bilang kalau Kamu mau ketemu sama orang dari aplikasi itu." Felix berkata geram. Perkataan yang sama sekali tak nyambung dengan ucapan Ara sebelumnya."Kalau iya, kenapa?" tantang Ara."Emggak boleh!" teriak Felix spontan."Suka-suka aku, dong, kok Kamu yang sewot," kata Ara. Dalam hati, gadis itu sudah tertawa senang karena berhasil membuat Felix seperti sekarang."Syukurin, siapa suruh ninggalin aku, makan noh cemburu buta," batin Ara."Pokoknya Kamu enggak boleh pergi besok!" tegas Felix."Dih, sok ngatur, Kamu janjian aja sana sama malaikat Kamu itu, enggak usah urusin aku!" ketus Ara."Angel bukan malaikat ...," ralat Felix."Bodo amat, mau dia malaikat, angel atau lucifer sekalian, enggak urus!" kata Ara masih ketus setiap mendengar nama Angel, apalagi jika Felix terlihat peduli pada gadis malaikat itu. Ugh, Ara sebal!Lihat, sekarang sebenarnya siapa yang cemburu buta.Mendengar jawaban Ara, Felix memutuskan menginap dan menjaga supaya gadis itu tak pergi besok.[Than, besok gue enggak dateng kumpul sama anak-anak, ada urusan, Lo gantiin gue dah.]Satu mandat terkirim melalui pesan untuk Etthan.[Enggak bisa, Lix, gue udah janjian mau ketemu sama Ara besok.]Hah, jadi yang tadi itu Etthan?"Kamu mau ketemu sama Etthan?" tanya Felix, ia sangat penasaran, tadi ia sempat menanyakan hal serupa pada Etthan tetapi tak dijawab.'Sungguh sialan!' Felix diam-diam mengumpat sahabatnya yang dengan tega membuatnya merasa penasaran, awas saja nanti. "Enggak tahu!" jawab Ara, gadis itu masih sedikit ketus saat menjawab, rupanya acara marah-marah hari ini belum berakhir. "Kok gitu, sih?" tanya Felix lagi, sungguh ia mulai kesal sekarang, ia hanya ingin tahu saja, kenapa Ara membuatnya sangat sulit. Hening, Ara kembali bungkam dan mengabaikan Felix. "Pokoknya Kamu enggak boleh ketemu Etthan!" kata Felix tegas.Mendengar kalau Ara akan menemui sahabat karibnya itu membuat Felix sedikit khawatir, alasan kekhawatirannya juga tak jelas, intinya Felix tak ingin mereka bertemu, itu saja. "Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih?" tanya Ara ikutan kesal.Siapa yang tak kesal kalau hidupnya diatur-atur seperti itu. Ini pertama kalinya ia merasa kewalahan menghadapi partner-nya sejak terjun ke
"Felix, udah dong tidurnya." Ara mulai mengeluh, pasalnya sejak kepulangan mereka dari markas, pria itu langsung menagih janjinya. Sudah satu jam lebih Ara mengusap kepala yang ada di pahanya dan sekarang ia merasa kram, kepala Felix cukup berat ternyata. "Hmm, nanti dulu ini nyaman," jawab Felix masih memejamkan matanya, ia juga menahan pinggang Ara yang ingin bangkit dengan memeluknya erat sekali. "Manja banget, sih," gerutu Ara kesal. Felix ini menurut Ara hanya luarnya saja yang terlihat sangar, padahal dalamnya sangat manja. Siapa yang menduga kalau pria yang ditakuti dan dijadikan bos di gengnya adalah sosok yang manja dan moody-an seperti ini. "Ponsel Kamu dari tadi bunyi terus, tuh," kata Ara lagi. Memang benar, sejak Felix meletakkan ponsel itu di atas meja, benda tersebut terus berbunyi, ada saja notifikasi yang masuk, entah itu panggilan maupun SMS. Akan tetapi, alih-alih terganggu, Felix justru masih nyaman dengan tidurnya. "Angkat dulu sana, siapa tahu penting!" per
"Pinter ya Kamu sekarang, Felix, udah jarang pulang, sekalinya pulang bikin Papa darah tinggi lagi." Kalimat itulah yang menjadi sambutan ketika Ara dan Felix baru tiba di rumah pria itu. "Papa enggak asyik, baru juga nyampe udah diomelin," kata Felix dengan ekspresi kesal.Awalnya tadi, Felix ingin menunjukkan kedekatannya dengan sang Papa pada Ara, tetapi hal tersebut langsung sirna saat serangkaian omelan menyambutnya di depan pintu. "Ck! Kamu ini--." Kalimat Ferdinand terpotong oleh seruan Felix. "Eiitss, ceramahnya nanti aja, lihat nih, Felix bawa siapa?" Ara yang sedari tadi diam itu akhirnya tersenyum canggung ketika Ferdinand menatapnya dengan penasaran. "Pagi, Om, saya Ara," sapa Ara dengan ragu-ragu. Ia sedikit takut, kesan pertama yang Ara tangkap dari Papa Felix adalah galak. "Anak siapa yang Kamu bawa ini, Felix? Awas aja kalau Kamu buat masalah lagi, Papa kirim beneran kamu ke pondok pesantren." Ferdinand berucap sambil menatap tajam pada putranya, ia bahkan tak m
"Jauhi gadis itu dan mulai pendekatan dengan salah satu anak dari teman Papa." Kata-kata tersebut langsung menyambut Felix ketika ia baru saja duduk di depan Papanya. Sesuai keinginan pria paruh baya itu, mereka memang perlu berbicara, akan tetapi, Felix sedikit tak menyangka kalau Ferdinand akan membicarakan hal itu dan mulai ikut campur urusan percintaannya, biasanya sang Papa tak begini. "Papa sehat?” Alih-alih menanggapi dengan serius perkataan Ferdinand, ia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. " Sehat, kenapa?" tanya Ferdinand balik. "Kirain Papa lagi demam, omongan Papa ngelantur," jawab Felix santai. Mendengar jawaban Felix membuat Ferdinand menghela napas keras. "Papa serius, Felix!" "Tapi kenapa? Biasanya Papa enggak pernah ikut campur urusan kayak gini. Toh, Felix juga enggak bikin masalah, kan!" Akhirnya Felix mengutarakan rasa penasarannya. "Enggak bikin masalah dari mana? Ini apa?" tanya Ferdinand jengkel mengeluarkan kertas berisi catatan pengeluaran Felix sel
Ara sedang dilanda kebingungan saat ini, pasalnya ia sangat butuh uang lagi, tetapi setelah mendengar kalau Felix kemarin dimarahi oleh Papanya karena terlalu boros, Ara jadi sungkan untuk meminta pada pria itu. Ia juga malu kalau terlalu sering meminta uang, apalagi nominal yang dimintanya jelas tak sedikit. "Gimana, ya?" Ara bergumam pada dirinya sendiri. Saat ini, Ara tengah sendiri di apartemen karena Felix belum mengunjunginya sama sekali. Pria itu hanya memberinya kabar lewat pesan saja tadi pagi, selepasnya tak ada apa-apa lagi, biasanya Felix akan mengacau di pagi buta, bahkan sebelum Ara benar-benar bangun dari tidurnya. Setelah lama bergulat dengan pikirannya, akhirnya Ara mendapatkan satu ide yang menurutnya bisa menyelamatkannya dari kondisi terdesak saat ini, walaupun ide tersebut sedikit berisiko pada kelangsungan hubungan kontraknya dengan Felix. "Bodo amatlah, asal jangan sampai ketahuan aja," gumam Ara sambil berjalan ke arah meja di mana ponselnya terletak. Ara m
Sekitar jam sepuluh pagi, Felix sudah berada di apartemen Ara guna mengunjungi gadis itu. Setelah mereka terikat kontrak, hidup Felix memang tak pernah jauh-jauh dari Ara, seolah-olah gadis itulah pusat hidupnya. Akan tetapi, alih-alih menemukan Ara yang sedang beraktivitas seperti biasanya, Felix malah menemukan apartemen dalam keadaan kosong, ketika masuk tadi, hanya kesunyian saja yang menyambutnya. Setelah yakin kalau Ara memang tak ada di apartemen, Felix akhirnya memutuskan untuk menelepon gadis itu. Satu panggilan nyambung, tetapi ak dijawab. Felix masih bisa sabar, ia mencoba sekali lagi dan masih tak dijawab juga oleh gadis itu. [Kamu di mana?] Satu pesan terkirim pada Ara, jangankan pesan, sudah jelas-jelas kalau tadi teleponnya saja tak diangkat. "Ke mana, sih?" tanya Felix pada dirinya sendiri, ia kesal ketika Ara menghilang begitu saja tanpa memberinya kabar terlebih dahulu, padahal Felix sendiri selalu menyempatkan dirinya untuk mengabari gadis itu ketika tak sempat
"SIALAN!" Satu bentakan keluar dari bibir Felix untuk Ara. Bukan karena Felix marah pada gadis itu, bukan itu. Hanya saja, Felix dilanda rasa cemas dan takut. Seharian, Felix menunggu Ara pulang dan seharian juga ia diliputi perasaan takut kehilangan yang sangat besar. Felix kalut, ia takut sekali. Takut kalau Ara pergi meninggalkannya, takut kalau Ara kabur dan memutus kontrak mereka. Kemudian tadi, ketika melihat Ara pulang dan berdiri di depannya, berada dalam jangkauannya dan dalam keadaan baik-baik saja membuat Felix dihantam rasa lega yang luar biasa. Tetapi sayang, rasa lega itu tak bisa ia ekspresikan dengan baik, justru raut kesal dan marah yang ia tunjukkan. "Masuk kamar sana!" perintah Felix.Untuk saat ini, sepertinya mereka memang tak perlu bicara, lebih baik menunggu besok ketika mereka berdua sudah bisa berpikir lebih jernih. Setelah mendengar perintah itu, Ara menurut dengan segera. "Good night, Felix.." Sebelum pergi, Ara berkata sesuatu yang membuat Felix sedi
Bukankah keadaan sekarang terlalu berlebihan, sudah seminggu sejak kejadian Ara mengabaikan telepon Felix dan pria itu masih marah sampai sekarang. Ara bahkan tak habis pikir, Felix yang biasanya selalu menempelinya kini berubah cuek, yang lebih parah lagi, pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Angel. Angel, nama itu membuat Ara muak akhir-akhir ini. Alasannya karena wanita itu selalu saja mengikuti Felix, bahkan Angel sudah berani berkunjung ke apartemen mereka, tentu saja Ara kesal dengan hal itu. Sebelumnya ia tak pernah seperti ini, biasanya ia selalu acuh tak acuh dengan pacar kontraknya yang lain, ia tak terlalu peduli kalau partner-nya membawa wanita lain, asalkan bayarannya tetap lancar dan tak melanggar kontrak, itu sudah cukup baginya. Akan tetapi, sekarang berbeda dan Ara mulai menyadari satu hal, ia mulai terlihat seperti gadis cemburuan yang tak suka kekasihnya bersama wanita lain. Ara tertegun sejenak dengan pemikirannya barusan. Ini tak bisa terus dibiar
Ara menyerahkan uang ke pengemudi taksi yang ditumpanginya dengan tergesa-gesa, kemudian dengan ekspresi panik yang sangat kentara di wajahnya, gadis itu langsung keluar dan berlari ke arah markas yang sudah kelihatan walau dari jalan raya sekali pun.Akan tetapi, belum sempat gadis itu berlari lebih jauh, ia malah menabarak sesuatu. . . tidak, bukan seusatu, tetapi seseorang. Ara tentu saja langsung meringis kesakitan, sebab tubuh orang yang ditabraknya lumayan keras."Maaf-maaf, saya lagi buru-buru. Sekali lagi maa-- . . . Loh, Felix?!" Tanpa sadar Ara menjerit.Ara tentu terkejut melihat sosok pria yang menjadi beban kekhawatirannya baik-baik saja, tidak kecelakaan seperti yang dikatakan Etthan di chat."Ara?!" Felix tak kalah terkejutnya dengan Ara, bedanya ia dengan cepat menghapus rasa terkejut di hatinya yang langsung diisi dengan perasaan lega."Are you good?" tanya Felix sambil menarik Ara ke dalam dekapannya, dipeluknya dengan erat gadis itu, bersyukur karena ia baik-baik sa
Ara menggerutu di dalam taxi yang dinaikinya, kali ini ia berencana untuk menginap saja di hotel dari pada berdua dengan Felix di apartemen."Apaan sih, biasanya juga kalau aku marah Felix bakal bujuk, ini malah dia yang marah balik. Malesin banget!"Ara terus menggerutu sampai akhirnya ia tiba-tiba menyeletuk, "tapi dia kan lagi sakit, kira-kira bisa urus diri sendiri enggak ya?"Ara merenung, terbesit rasa khawatir dengan keadaan sang kekasih di benaknya."Bodo amatlah, dia aja sekarang kurang peduli," celetuk Ara yang masih bermonolog, supir taxi hanya menyaksikan dalam diam saat gadis itu mengeluarkan unek-uneknya.Saat sampai di tujuan, Ara membayar dan langsung turun. "Makasih," katanya dan berjalan masuk ke dalam hotel yang sebelumnya sudah ia pesan secara online.***Sementara di lain tempat, Felix menghela napas gusar. Jujur saja, saat ini ia tengah berada dalam fase bingung akan apa yang ia rasakan.Sebagai seorang pria, tentu saja Felix tak suka diperlakukan semena-mena sepe
Ara melangkah dan mendudukkan dirinya di sisi kosong dari kasur yang tak ditempati oleh Felix."Mana yang sakit, hm?" Ara bertanya sambil mengusap pelan kening Felix yang dibanjiri keringat.Merasakan suhu tubuh pria tersebut yang lumayan hangat membuat Ara bertambah cemas."U-ugh!" Felix hanya bergumam pelan sambil sesekali masih sesenggukan, ternyata sejak masuk ke dalam kamar pria tersebut menangis saking kesalnya pada Etthan. "Jangan deket Etthan lagi, Ara," kata pria tersebut dengan lemah, membuat Ara menghela napas panjang.Huuft! Di tengah demamnya, rupanya Felix masih mengingat dengan jelas kecemburuannya beberapa saat yang lalu. Ara jadi berpikir, apakah penyebab pria itu demam adalah rasa cemburunya yang berlebihan?"Iya, Etthan juga udah aku suruh pulang, sekarang mana yang sakit, hm? Udah, dong, nangisnya," ucap Ara mengiyakan, tak ingin membuat Felix tambah cemburu dan berakhir ngambek padanya.Felix yang sakit ditambah ngambek bisa jadi hal yang sangat merepotkan."Pusin
Felix menatap Ara jengah, setelah membuatnya melakukan cabang olahraga senam lima jari alias co-li, gadis itu terlihat seolah tanpa beban, ia tetap santai sambil melihat-lihat majalah yang ada di pangkuannya."Minggu ini udah ke rumah sakit?" tanya Felix menanyakan kegiatan rutin gadis itu yang mengunjungi sang ayah setiap minggunya."Udah, makasih, ya." Ara meletakkan kembali majalah yang sedari tadi ia lihat ke meja di depannya."Hm. Kita kan, udah sepakat buat enggak bahas masalah uang lagi, lagian Kamu kan pacar aku sekarang." Felix menggumam pelan sambil berjalan menghampiri Ara dan duduk tepat di samping gadis manis tersebut."Bukan cuma masalah uang, tapi waktu, pengertian, sama kesempatannya juga, aku tahu kalau banyak buat kesalahan, hehe." Ara nyengir.Felix merotasikan bola matanya seolah kesal. "Hm, bagus kalau Kamu tahu, giimana sama masalah Rendy?" tanya pria tersebut dengan raut wajah serius."Masih sering kirim pesan spam, ganggu banget!" ketus Ara.Jujur saja, sejak ke
Ara mengelus punggung Felix lembut. Mereka sudah di apartemen lagi, setelah beberapa saat lalu pria itu mengeluh pusing lantaran bercerita tentang masa lalunya dengan sang mama.Ara tadinya sempat menawarkan untuk mencari paracetamol di apotek, tetapi Felix menolak dengan alasan ingin pulang saja."Kamu kenal Rendy di mana?" tanya Felix yang saat ini menegakkan badannya yang tadi bersandar pada Ara.Ada jeda sebentar sebelum Ara menjawab. "Di aplikasi," jawab Ara, padahal sebelumnya sudah menjelaskan, mungkin karena Felix sedang marah waktu utu, ia jadi tak fokus menyimak apa yang Ara katakan."Kamu masih main?" tanya Felix lagi, kali ini dengan alis terangkat."Iya hehe," cengir Ara sambil menatap Felix dengan rasa bersalah."Jangan main lagi, sini hp Kamu, hapus aja aplikasinya," titah Felix, pria itu juga menengadahkan tangannya, tanda meminta handphone gadis itu.Ara yang diperintah seperti itu cuma pasrah. "Nih," katanya.***"Udah lama, ya, enggak ketemu Etthan," kata Ara.Sore i
Di sinilah Felix berada sekarang, di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di ibu kota, tempat di mana Ayah Ara yang sedang koma dirawat. Setelah penjelasan yang menguras emosi dan air mata beberapa waktu yang lalu di apartemen, akhirnya Ara memutuskan untuk membawa Felix melihat Ayahnya. "Terima kasih, Dokter," kata Felix sambil tersenyum pada dokter Arya, dokter senior yang merawat Ayah Ara selama ini. Felix bangkit dari kursi yang didudukinya, diikuti oleh Ara yang berada di sampingnya. Mereka berdua keluar dari ruangan Dokter Arya, tadi Felix memang sempat memaksa untuk berbicara dengan sang dokter. Dari hasil pembicaraannya, Felix sadar mengapa Ara membutuhkan banyak sekali biaya. Ayah Ara ditempatkan di ruangan Vip dengan fasilitas yang memadai dan perawatan intensif yang membutuhkan setidaknya satu tenaga medis untuk selalu berjaga."Kita enggak boleh masuk ke ruangan Ayah, ya?" tanya Felix pada Ara yang sedari tadi hanya terdiam di sampingnya. Entah sejak kapan, Fe
"Bukannya aku udah pernah bilang? Jangan berurusan sama bajingan itu, hah! Bagian mana dari kata-kata aku yang Kamu enggak ngerti, Ara?!" Ara hanya diam dan melihat Felix dengan takut-takut. Felix langsung mengamuk begitu mereka sampai di apartemen, sasarannya tentu saja Ara. "Aku ajak ke sana Kamu enggak mau dan selalu aja ada alasan buat nolak, giliran sama dia Kamu malah mau-mau aja, ada hubungan apa Kamu sama dia?" tanya Felix masih dengan ekspresi marahnya. Wajah pria itu memerah dengan tangan terkepal kuat. Felix benar-benar emosi. "Maaf--." "Jangan cuma bisa minta maaf! Percuma minta maaf kalau akhirnya nanti diulangin lagi, gitu aja terus!" Felix geram dan memukul pintu apartemen dengan kencang. Rasa sakit yang dirasakan di buku-buku jarinya tak ia hiraukan, pria itu butuh sesuatu untuk menyalurkan emosinya yang tengah memuncak. Dari kemarin mood Felix memang sudah tak beraturan, penyebabnya banyak sekali; mulai dari Papanya yang mengajak ke berbagai pesta dengan alasan
"Pulang!"Baru beberapa saat yang lalu mata Ara bersitatap secara tak sengaja dengan Felix, pria itu sekarang sudah berada di depannya.Ara bingung, gelisah, dan takut.Bagaimana sekarang? Alasan apa lagi yang harus ia karang untuk menutupi semuanya."Wess, apaan nih bos?" Rendy yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara, ia juga menjadi tameng ketika Felix terlihat akan menyeret Ara keluar dari tempat acara."Lo kemarin-kemarin gue sabarin tapi malah jadi belagu, ya!" ketus Felix, kali ini beralih pada Rendy.Sedari tadi, Felix sudah berusaha untuk tak menghuraukan keberadaan Rendy yang selalu bisa memancing emosinya ke batas maksimal."Lo kali yang selalu belagu," kata Rendy santai, berbanding terbalik dengan keadaan Felix. "Enggak inget kelakuan banget!" sindir Rendy terlihat meremehkan."Minggir!" titah Felix tegas, ia tak ingin menanggapi bacotan Rendy di tempat ramai seperti ini, apalagi di sini juga ada Papanya.Bisa gawat kalau ia nekat baku hantam di sini."Hak lo nyuruh-nyu
Pagi ini keadaan Felix sudah lumayan baikan. "Sarapan dulu, ya," kata Ara. "Enggak mau sarapan bubur," jawab Felix. Menghela napas pelan, Ara berucap dengan lembut. "Ini enak, loh, cobain dulu, ya, biar perutnya ada isi, ... ayo." "Enggak mau, Ara," kata Felix lagi saat sesendok bubur sudah berada di depan mulutnya. Dari dulu ia memang sedikit tak suka dengan bubur. "Ya udah, kalau gitu mau sarapan apa? Biar aku masakin," kata Ara akhirnya, memilih untuk mengalah. "Nasi putih sama telur ceplok aja," kata Felix. "Oke, tunggu ya." Baru saja Ara akan bangkit, tetapi tangannya malah ditahan Felix. "Lepas dulu, aku cuma mau ngambil makanannya ke dapur," ucap Ara sambil berusaha melepaskan tangan Felix yang sekarang sudah beralih merangkul pinggangnya dengan posesif. Felix dalam keadaan baik-baik saja sudah manja dan posesif, apalagi sekarang ketika ia tengah sakit, level manja dan keposesifannya bertambah berkali-kali lipat. "Enggak usah sarapan aja, deh." Felix merengut sambil m