Kematian Owen mengubah segalanya. Jasmine dan Zion merasakan kekosongan yang dalam. Sebagai adik, Zion merasa terpanggil untuk menjaga Desya, seperti janji yang pernah ia buat kepada Owen. Namun, Jasmine, istri Zion, mulai merasakan sesuatu yang lain di antara hubungan suaminya dengan Desya.
Suatu sore, Zion pulang dari kantor dan mendengar suara isakan lirih dari kamar Desya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Zion ragu sejenak, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mendekat dan mengintip. Di dalam kamar, Desya duduk di tepi tempat tidur, memandang bingkai foto Owen. Matanya sembab dan air mata mengalir deras di pipinya. Zion merasa tersentuh. "Kasihan sekali Kak Desya, dia benar-benar kehilangan Kak Owen, bagaimana bisa aku telah berkata yang buruk tentangnya," gumamnya dalam hati. Tanpa disadari, Desya sebenarnya memang tahu Zion sedang mengintip, dan semua ini hanya akting belaka. Desya ingin Zion merasa iba dan tergerak hatinya. "Kak Desya...," Zion memanggil lembut dari pintu. Desya terkejut atau setidaknya berpura-pura terkejut. "Zion... Kamu di sini?" suaranya serak, seakan menahan tangis yang mendalam. Zion masuk perlahan dan mendekat. "Aku dengar kamu menangis... Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu." Desya menggeleng, lalu kembali menatap foto Owen. "Aku cuma... kangen sama Owen. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Zion. Semuanya terasa kosong sejak dia pergi. Aku benar-benar kehilangan dirinya, aku bahkan tidak bisa melampiaskan rasa rinduku padanya," Tangannya meraih tisu, pura-pura menghapus air mata yang tak pernah benar-benar ada. Zion duduk di sampingnya, menatap Desya penuh simpati. "Aku mengerti, Kak Desya. Owen... dia kakak yang luar biasa, dan aku tahu dia sangat mencintaimu." Desya terisak lagi. "Tapi dia sudah tidak ada di sini, Zion. Aku merasa kehilangan... Kehilangan perhatiannya, kasih sayangnya. Aku benar-benar merasa sendirian sekarang." Zion diam sejenak, merasa hatinya berat mendengar keluhan Desya. "Kamu tidak sendirian, Kak Desya. Aku ada di sini. Owen telah memberikan amanat dirimu dan anak yang kamu kandung padaku. Aku pasti akan menjagamu, seperti yang dia minta." "Benarkah? Aku harap kamu tidak lupa akan semua janji itu, Zion. "Tidak sama sekali, aku pastikan kau mendapatkan semua yang akan kamu butuhkan." Desya menatap Zion, dan senyuman kecil mulai muncul di sudut bibirnya. Dia tahu bahwa usahanya mulai membuahkan hasil. "Terima kasih, Zion. Kamu telah baik padaku. Aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu yang mendukungku." Zion tersenyum tipis, meski hatinya berdebar. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada." Setelah beberapa saat, Desya menghela napas panjang dan berbisik pelan. "Besok aku ada jadwal cek kandungan. Kamu bisa menemaniku?" Zion terdiam. Ada rasa canggung yang langsung muncul. Ini bukan tugasnya sebagai adik ipar, melainkan tugas seorang suami. Tapi, dengan Owen yang sudah tiada, siapa lagi yang bisa Desya andalkan? Ingatan tentang amanat Owen menghantui pikirannya. "Aku... seharusnya Jasmine yang menemani, mungkin," Zion mencoba memberi tawaran alternatif lain. Namun, Desya cepat-cepat menolak. "Aku lebih merasa nyaman dan aman kalau kamu yang menemaniku, Zion. Aku tidak mau merepotkan Jasmine, dia sudah cukup membantu kita semua di rumah ini. Lagipula, kamu kan yang tahu lebih banyak tentang Owen dan aku." Nada suara Desya penuh kelembutan yang disengaja. Zion menghela napas. "Baiklah. Aku yang akan menemanimu." Desya tersenyum puas. "Terima kasih, Zion. Kamu benar-benar seperti Owen. Selalu ada untukku." Malam harinya, Zion mencoba menceritakan hal ini kepada Jasmine. Di ruang tamu, setelah semua penghuni rumah mereka sudah tidur, Zion duduk di sebelah Jasmine yang sedang membaca buku. "Sayang," Zion memulai dengan suara ragu. Jasmine menoleh. "Besok aku harus menemani Kak Desya untuk cek kandungan." Jasmine menurunkan bukunya dan menatap suaminya dengan ekspresi tenang. "Menemani Kak Desya? Kenapa tidak aku saja yang menemani dia?" "Kak Desya minta aku yang menemani. Dia bilang... dia merasa lebih nyaman dan aman denganku," Zion mencoba mencari kata-kata yang tepat. Jasmine terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku mengerti, Zion. Kamu merasa bertanggung jawab, kan?" Zion mengangguk. "Iya, Jasmine. Ini semua karena janji yang aku buat dengan Kak Owen. Aku tidak bisa membiarkan Desya merasa sendirian. Dia terlihat sangat menyedihkan akhir-akhir ini, dia merasa seorang diri." Jasmine tersenyum tipis, meski ada perasaan aneh di dalam hatinya. "Aku paham, Zion. Aku tidak akan menghalangi. Jika kamu merasa harus melakukannya, aku akan mendukungmu," ucap Jasmine. "Terima kasih, sayang. Aku janji, aku akan tetap selalu memperhatikanmu, sayang," Zion merasa lega. Jasmine hanya mengangguk, meski di dalam hatinya ada perasaan cemburu yang mulai tumbuh. Namun, ia menepisnya dengan berpikir bahwa Zion hanya menjalankan amanat kakaknya. Keesokan harinya, Zion dan Desya pergi ke dokter kandungan. Di dalam perjalanan, suasana canggung terasa. Zion mencoba fokus pada jalan, sementara Desya beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. "Terima kasih, Zion. Kamu benar-benar mengerti aku, kamu memang hebat dan sangat baik sekali," ucap Desya tiba-tiba, memecah keheningan. "Tentu saja, Kak Desya. Aku tahu ini berat buat kamu," Zion tersenyum kecil sambil fokus mengemudi. "Kamu baik sekali. Rasanya seperti Owen masih ada di sini lewat dirimu," Desya menatap Zion dengan mata berkaca-kaca. Zion terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Dia hanya mengangguk pelan. Sesampainya di sana, pemeriksaan berjalan lancar. Desya dan bayinya sehat. Saat mereka keluar dari rumah sakit, tiba-tiba Desya menggandeng tangan Zion. Zion terkejut, tapi ia tak langsung menarik tangannya. Ingatan tentang Owen kembali menguasai pikirannya. “Ini bukan apa-apa,” pikirnya dalam hati. "Zion, bisa tolong antarkan aku ke supermarket? Aku mau membeli sesuatu untuk bayiku," pinta Desya. "Ya, baiklah." Saat sampai di rumah, Jasmine menyambut mereka dengan senyum hangat, meski di dalam hatinya ada perasaan tidak nyaman. Hatinya mencelos, melihat tangan suaminya digandeng oleh Desya. Tapi ia berusaha tenang, meski ada rasa khawatir yang tak bisa disangkal. "Bagaimana hasil pemeriksaannya? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Jasmine dengan suara lembut. "Ya, tentu saja semuanya baik. Kak Desya dan bayinya sangat sehat," jawab Zion. "Terima kasih sudah mengerti, Jasmine. Zion sangat membantu hari ini. Dan dokter juga bilang, aku tidak boleh stress dan keadaanku harus baik-baik saja, tolong kamu pahami ya," Desya menatap Jasmine dan tersenyum manis. "Tentu saja, Kak Desya. Zion memang orang yang sangat perhatian, dan aku juga mengerti itu untuk kebaikan janinmu," Jasmine hanya tersenyum kecil. Setelah itu, Desya kembali ke kamarnya, sementara Zion dan Jasmine duduk di ruang tamu. Suasana antara mereka hening sejenak. "Aku tahu kamu merasa harus menjaga Kak Desya. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melupakan kita. Kamu sudah punya istri, dan istrimu ada di sini," kata Jasmine pelan, memecah keheningan. "Maksudmu?" Zion terkejut mendengar kata-kata Jasmine. "Aku percaya kamu, Zion. Tapi aku harap kamu juga bisa menjaga perasaanku. Jangan sampai hubungan kita terganggu karena... tanggung jawab ini," Jasmine tersenyum, tapi matanya terlihat sayu. Zion terdiam. Dia merasa bersalah, meski ia tak tahu kenapa. "Maafkan aku, sayang. Aku tidak pernah berniat membuat kamu merasa seperti ini." Jasmine mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku juga ingin kamu ingat, bahwa kita juga penting. Aku dan pernikahan kita." Zion menggenggam tangan Jasmine. "Aku janji, aku akan selalu ada untuk kamu. Dan tidak ada yang akan mengubah itu." "Terima kasih, Zion. Itu saja yang aku minta," Jasmine tersenyum lembut. Namun, jauh di dalam hati Jasmine, perasaan cemburu dan khawatir tak bisa sepenuhnya hilang. Ia tahu bahwa tanggung jawab Zion kepada Desya adalah hal yang serius, tapi ia berharap perasaan Zion tak berubah seiring waktu. Esoknya di dapur, Zion dengan penuh perhatian mempersiapkan susu dan roti bakar seperti yang diminta oleh Desya. Jasmine, yang baru saja selesai membereskan kamar mereka, melihat Zion sibuk dan mendekat ke dapur. Hatinya sedikit terusik saat melihat Desya duduk santai di meja dapur, sementara Zion sibuk memenuhi permintaannya. “Zion, kamu butuh bantuan tidak? Aku bisa bantu bikin rotinya,” tanya Jasmine sambil mendekat. Desya cepat-cepat menolak dengan suara lembut tapi tegas. “Oh, tidak perlu, Jasmine. Ini ngidam dari bayinya, jadi yang harus buat itu Zion. Bayi ini maunya papa Zion yang buat, bukan orang lain,” kata Desya sambil tersenyum kecil, tangannya mengelus perutnya dengan manja. "Papa?" Tanya Jasmine terkejut. "Oh,iya. Papa Zion, karena anak ini nantinya akan memanggil Zion dengan sebutan, Papa. Anak ini akan terlahir menjadi anaknya Zion juga, dia anak yatim, Jasmine," jawab Desya penuh penekanan. Jasmine terdiam sejenak, menatap Desya yang tampak begitu puas dengan situasinya. Kemudian Jasmine beralih melihat Zion. "Tapi Zion juga tidak terbiasa membuat roti bakar. Kamu tahu dia jarang masak, kak Desya." Desya tidak kehilangan senyumannya. "Tidak masalah, Zion kan bisa lihat caranya di YouTube. Sekarang kan zaman sudah sangat modern. Lagi pula, aku yakin Zion pasti bisa belajar dengan cepat,” katanya dengan nada tenang, tapi jelas sekali kalau ia ingin Jasmine tidak terlibat. Zion merasa suasana sedikit tegang, lalu mencoba melerai. "Tenang saja, sayang. Aku sambil belajar juga kok, ini tidak terlalu sulit. Lagipula, tidak ada salahnya aku membuat roti bakar sekali-sekali,” katanya sambil tersenyum, berusaha menenangkan istrinya. “Iya, benar kan, Jasmine? Zion juga harus punya pengalaman baru, seperti belajar masak. Aku yakin nanti Zion akan jago buat roti bakar,” Desya tersenyum lebar mendengar Zion. "Tapi Zion biasanya tidak memasak. Aku hanya khawatir kalau hasilnya tidak sesuai harapanmu, Kak Desya," Jasmine menarik napas dalam, menahan perasaannya yang mulai memanas. Desya tertawa kecil, seolah tidak terganggu sama sekali. “Jangan khawatir, Jasmine. Aku tidak pilih-pilih. Selama yang membuat itu Zion, pasti enak. Ngidam itu tidak boleh ditolak, loh.” Zion mengangguk setuju, walau mulai merasakan ketegangan di antara kedua wanita itu. “Ini, rotinya sudah hampir selesai,” katanya, mencoba mengalihkan perhatian mereka dari percakapan yang semakin tidak nyaman. “Wah, aku tidak sabar deh mau coba hasil buatan papa Zion.” Desya segera bertepuk tangan dengan gembira. Jasmine hanya diam, memperhatikan bagaimana Desya terlihat begitu senang dengan perhatian Zion. Dalam hatinya, ia mulai merasa tersisih. Namun, ia tidak ingin membuat suasana semakin tidak nyaman, jadi ia hanya tersenyum tipis dan mengalah. “Baiklah, jika kamu suka, Kak Desya. Yang penting kamu dan bayinya sehat.” Zion meletakkan piring berisi roti bakar di depan Desya, yang langsung menatapnya dengan penuh antusias. “Ini dia, roti bakar spesial dari papa Zion,” katanya, bercanda sambil menyiapkan gelas susu. Desya mengambil sepotong roti dan mencicipinya. “Hmm, ini enak sekali, Zion! Terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat, calon papa yang baik untuk masa depan,” katanya dengan nada manis. Jasmine memaksakan senyum, merasa semakin tersisih, tapi tetap berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman itu. “Kalau begitu, aku tinggal kalian di sini, ya. Zion, jika sudah selesai, jangan lupa istirahat. Kamu pasti capek setelah seharian bekerja.” Zion menoleh ke Jasmine, merasa sedikit bersalah karena tahu istrinya mulai merasa tidak nyaman. "Iya, sayang, aku tidak akan lama. Setelah ini langsung beres.” Desya hanya tersenyum sambil menikmati roti bakarnya, seolah tidak menyadari perasaan Jasmine yang mulai terluka. “Zion, kamu harus sering-sering buat makanan seperti ini. Aku jadi ketagihan.” Jasmine berjalan meninggalkan dapur, menahan perasaan cemburu yang makin menumpuk. Zion memang hanya menjalankan tanggung jawabnya pada Desya dan anak Owen, tapi situasi ini perlahan-lahan membuat Jasmine merasa seperti orang luar di rumahnya sendiri.Jasmine duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sudah berhari-hari ia merasakan Zion semakin menjauh. Suaminya yang dulu penuh perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Jasmine tahu ada sesuatu yang salah, namun setiap kali ia mencoba mendekat, Zion malah makin menjauh."Zion, apa kamu mau makan malam di rumah, malam ini?" tanya Jasmine dengan suara pelan, mencoba terdengar ceria.Zion yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, hanya mengangguk tanpa menatapnya."Sepertinya tidak. Mungkin aku ada urusan di luar," jawab Zion tanpa nada.Jasmine menelan ludah, merasa hampa."Aku merasa kita jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Kamu sibuk sekali. Bisakah, kamu meluangkan waktu sebentar saja untukku, kita perlu bicara?""Aku punya banyak pekerjaan, Jasmine. Jika kamu mau sesuatu, to the point saja," Zion mendengus pelan. Jasmine mendekat, mencoba mengambil tangan Zion."Bukan soal hal yang lain, Zion. Kamu... kamu seperti me
"Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan."Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar.Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat."Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!"Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya."Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba.Zion tertawa sin
Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka.Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka."Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu."Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini."Desya tertawa sinis."Jasmine? Kamu masi
Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha
Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Zion duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya berat oleh banyak pikiran yang berlomba-lomba menuntut perhatian. Ia tidak bisa melupakan tuduhan yang dilemparkan Desya kepada Jasmine, tuduhan yang sepertinya tak masuk akal namun terus berputar di benaknya. Jasmine istrinya selalu bersikeras bahwa semuanya adalah fitnah, upaya kejam untuk menjatuhkannya.Malam itu, pikirannya mulai mengembara kembali ke saat di mana pengacara Jasmine mengungkapkan bukti rahasia dalam persidangan. Bukti itu tampaknya mengganggu Desya, membuat wanita itu gelisah di ruang sidang."Apakah mungkin kak Desya yang telah melakukan semua ini?" gumam Zion pelan, hampir tidak percaya pada kata-katanya sendiri."Tapi bagaimana mungkin? Secara, dia sangat kehilangan orang-orang yang sangat dia harapkan untuk kedepannya. Apakah Jasmine yang mengada-ada?" Zion tampak frustasi dengan segenap pikirannya.Di tengah kebingungannya, suara Desya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Setelah Jasmine pergi dari rumah, Zion termenung di kamarnya, mengingat perkataan Jasmine. Bayangan wajah istrinya yang kini terluka dalam hati tak bisa dihapuskan. Mungkinkah dia yang salah? Apakah Desya, kakak iparnya, benar-benar memfitnah Jasmine seperti yang dituduhkan? Zion menghela napas panjang."Jasmine mungkin hanya mencari alasan... tapi kenapa semua terasa begitu nyata?" gumamnya.Sementara itu, di ruangan lain, Desya tersenyum tipis, merasakan kepuasan dalam hatinya. Dia merasa telah memenangkan permainan ini.Tok tok tok Terdengar suara pintu. Zion menoleh dan melihat Desya masuk ke kamarnya tanpa izin."Zion, kamu kelihatan kusut sekali," ucap Desya dengan nada yang dibuat-buat lembut.Ia melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Zion."Aku hanya sedang berpikir, kak Desya. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sedikit merasa frustasi," Zion mengernyit, sedikit tak nyaman, namun ia tetap
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des
Hari-hari di kampung, terasa lebih lama bagi Jasmine, meskipun udara segar dan pemandangan sawah yang luas memberi ketenangan yang ia butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun tubuhnya kini sudah mulai pulih. Terkadang ia berjalan pelan, ditemani ibunya yang selalu sabar menemani setiap langkahnya.Pagi itu, seperti biasa, Jasmine berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke sawah. Kali ini, tidak bersama ibunya. Namun, langkahnya kali ini terhenti saat melihat sosok yang sudah beberapa kali muncul dalam hidupnya, namanya Kevin. Kevin yang selalu datang dengan senyum, mencoba membangkitkan semangatnya yang kian meredup.“Pagi, Jasmine,” sapa Kevin, dengan suara yang ramah.Jasmine hanya mengangguk, tidak terlalu bersemangat.“Pagi, Kevin.” Ia melanjutkan langkahnya, mencoba tidak terlalu memperhatikan pria yang tampaknya ingin lebih dekat dengannya.Kevin mengikutinya perlahan, tetap dengan senyuman yang tidak p
Desya menatap pintu kamarnya dengan kesal. Ia baru saja pulang ke rumah keluarganya, rumah yang sudah lama ia tinggalkan sejak menikah dengan Owen. Namun kini, setelah kepergian Owen, hidupnya berantakan. Zion, pria yang sempat menjadi penyelamat hidupnya, justru memulangkannya tanpa penjelasan apa pun.“Kenapa dia tega?” gumam Desya, sambil memukul-mukul bantalnya. Ia mencoba menelepon Zion untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja, nomor itu tidak bisa dihubungi.Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Ibunya, masuk dengan wajah masam.Ceklek.“Kamu sih! Kenapa bisa sampai balik ke sini?! Dulu aku setuju kamu tinggal dan menikah dengan Owen karena aku tahu dia kaya. Tapi sekarang kamu malah pulang dengan tangan kosong?!” bentak Lila.“Bu, aku juga tidak mau pulang ke sini! Kalau Zion tidak mengusir aku, aku masih di sana!” Desya menatap ibunya dengan tatapan tajam.“Zion ngusir kamu?! Astaga, dia pikir siapa yang sudah memberi hidup enak ke kamu? Itu kan hak kamu, Desya! Owen itu sua
Mall siang itu cukup ramai. Desya sedang sibuk memilih-milih pakaian di salah satu butik terkenal. Dia mengangkat sebuah dress berwarna lembut, tapi perhatiannya segera teralihkan ketika melihat sosok yang sangat familiar di ujung toko.Malvin dan istrinya, Laura, tampak berbelanja bersama. Desya hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya. Melihat Malvin tersenyum dan berbicara lembut pada Laura membuat hatinya remuk.Malvin, yang merasa ada tatapan, menoleh sejenak dan mendapati Desya menatap mereka. Wajahnya seketika berubah kaku, dan begitu juga Laura. Mereka berdua saling bertukar pandang, sama-sama tak menyangka akan bertemu dengan Desya di tempat itu.“Aku rasa lebih baik kita lanjut ke toko lain saja, firasaku tidak enak,” bisik Laura sambil menggenggam lengan Malvin erat.“Ya, lebih baik begitu, aku juga merasa tidak nyaman," Malvin mengangguk.Sementara Desya hanya mengerutkan alis, mena
Di lorong yang gelap, Desya berusaha menenangkan napasnya yang tersengal. Tubuhnya gemetar, namun hatinya bersyukur luar biasa. Zion datang tepat waktu, menyelamatkannya dari para laki-laki yang hendak mencelakainya. Keberaniannya muncul hanya karena satu hal, Zion, lelaki yang sejak dulu sudah tinggal serumah dengannya, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.Setelah berhasil membawa Desya pergi, Zion menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi."Apa yang terjadi, Desya? Kenapa mereka bisa mengejarmu seperti itu? Dan kenapa juga mereka bisa hendak berbuat hal tak senonoh pada dirimu?" Tanya Zion dengan wajah cemasnya, tetapi suaranya tetap tenang saat bertanya. Desya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui."Zion, aku… butuh perlindungan darimu. Mereka… mereka semua orang-orangnya Malvin."Zion menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut."Malvin? Malvin yang mana? Malvin yang waktu itu menikah dengan Laura sahabatmu?"
Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des