Share

2. Tanggung Jawab Yang Berat

Kematian Owen mengubah segalanya. Jasmine dan Zion merasakan kekosongan yang dalam. Sebagai adik, Zion merasa terpanggil untuk menjaga Desya, seperti janji yang pernah ia buat kepada Owen. Namun, Jasmine, istri Zion, mulai merasakan sesuatu yang lain di antara hubungan suaminya dengan Desya.

Suatu sore, Zion pulang dari kantor dan mendengar suara isakan lirih dari kamar Desya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Zion ragu sejenak, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mendekat dan mengintip. Di dalam kamar, Desya duduk di tepi tempat tidur, memandang bingkai foto Owen. Matanya sembab dan air mata mengalir deras di pipinya.

Zion merasa tersentuh.

"Kasihan sekali Kak Desya, dia benar-benar kehilangan Kak Owen, bagaimana bisa aku telah berkata yang buruk tentangnya," gumamnya dalam hati.

Tanpa disadari, Desya sebenarnya memang tahu Zion sedang mengintip, dan semua ini hanya akting belaka. Desya ingin Zion merasa iba dan tergerak hatinya.

"Kak Desya...," Zion memanggil lembut dari pintu.

Desya terkejut atau setidaknya berpura-pura terkejut.

"Zion... Kamu di sini?" suaranya serak, seakan menahan tangis yang mendalam.

Zion masuk perlahan dan mendekat.

"Aku dengar kamu menangis... Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu."

Desya menggeleng, lalu kembali menatap foto Owen.

"Aku cuma... kangen sama Owen. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Zion. Semuanya terasa kosong sejak dia pergi. Aku benar-benar kehilangan dirinya, aku bahkan tidak bisa melampiaskan rasa rinduku padanya," Tangannya meraih tisu, pura-pura menghapus air mata yang tak pernah benar-benar ada.

Zion duduk di sampingnya, menatap Desya penuh simpati.

"Aku mengerti, Kak Desya. Owen... dia kakak yang luar biasa, dan aku tahu dia sangat mencintaimu."

Desya terisak lagi.

"Tapi dia sudah tidak ada di sini, Zion. Aku merasa kehilangan... Kehilangan perhatiannya, kasih sayangnya. Aku benar-benar merasa sendirian sekarang."

Zion diam sejenak, merasa hatinya berat mendengar keluhan Desya.

"Kamu tidak sendirian, Kak Desya. Aku ada di sini. Owen telah memberikan amanat dirimu dan anak yang kamu kandung padaku. Aku pasti akan menjagamu, seperti yang dia minta."

"Benarkah? Aku harap kamu tidak lupa akan semua janji itu, Zion.

"Tidak sama sekali, aku pastikan kau mendapatkan semua yang akan kamu butuhkan."

Desya menatap Zion, dan senyuman kecil mulai muncul di sudut bibirnya. Dia tahu bahwa usahanya mulai membuahkan hasil.

"Terima kasih, Zion. Kamu telah baik padaku. Aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu yang mendukungku."

Zion tersenyum tipis, meski hatinya berdebar.

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada."

Setelah beberapa saat, Desya menghela napas panjang dan berbisik pelan.

"Besok aku ada jadwal cek kandungan. Kamu bisa menemaniku?"

Zion terdiam. Ada rasa canggung yang langsung muncul. Ini bukan tugasnya sebagai adik ipar, melainkan tugas seorang suami. Tapi, dengan Owen yang sudah tiada, siapa lagi yang bisa Desya andalkan? Ingatan tentang amanat Owen menghantui pikirannya.

"Aku... seharusnya Jasmine yang menemani, mungkin," Zion mencoba memberi tawaran alternatif lain.

Namun, Desya cepat-cepat menolak.

"Aku lebih merasa nyaman dan aman kalau kamu yang menemaniku, Zion. Aku tidak mau merepotkan Jasmine, dia sudah cukup membantu kita semua di rumah ini. Lagipula, kamu kan yang tahu lebih banyak tentang Owen dan aku." Nada suara Desya penuh kelembutan yang disengaja.

Zion menghela napas.

"Baiklah. Aku yang akan menemanimu."

Desya tersenyum puas.

"Terima kasih, Zion. Kamu benar-benar seperti Owen. Selalu ada untukku."

Malam harinya, Zion mencoba menceritakan hal ini kepada Jasmine. Di ruang tamu, setelah semua penghuni rumah mereka sudah tidur, Zion duduk di sebelah Jasmine yang sedang membaca buku.

"Sayang," Zion memulai dengan suara ragu.

Jasmine menoleh.

"Besok aku harus menemani Kak Desya untuk cek kandungan."

Jasmine menurunkan bukunya dan menatap suaminya dengan ekspresi tenang.

"Menemani Kak Desya? Kenapa tidak aku saja yang menemani dia?"

"Kak Desya minta aku yang menemani. Dia bilang... dia merasa lebih nyaman dan aman denganku," Zion mencoba mencari kata-kata yang tepat.

Jasmine terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.

"Aku mengerti, Zion. Kamu merasa bertanggung jawab, kan?"

Zion mengangguk.

"Iya, Jasmine. Ini semua karena janji yang aku buat dengan Kak Owen. Aku tidak bisa membiarkan Desya merasa sendirian. Dia terlihat sangat menyedihkan akhir-akhir ini, dia merasa seorang diri."

Jasmine tersenyum tipis, meski ada perasaan aneh di dalam hatinya.

"Aku paham, Zion. Aku tidak akan menghalangi. Jika kamu merasa harus melakukannya, aku akan mendukungmu," ucap Jasmine.

"Terima kasih, sayang. Aku janji, aku akan tetap selalu memperhatikanmu, sayang," Zion merasa lega.

Jasmine hanya mengangguk, meski di dalam hatinya ada perasaan cemburu yang mulai tumbuh. Namun, ia menepisnya dengan berpikir bahwa Zion hanya menjalankan amanat kakaknya.

Keesokan harinya, Zion dan Desya pergi ke dokter kandungan. Di dalam perjalanan, suasana canggung terasa. Zion mencoba fokus pada jalan, sementara Desya beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.

"Terima kasih, Zion. Kamu benar-benar mengerti aku, kamu memang hebat dan sangat baik sekali," ucap Desya tiba-tiba, memecah keheningan.

"Tentu saja, Kak Desya. Aku tahu ini berat buat kamu," Zion tersenyum kecil sambil fokus mengemudi.

"Kamu baik sekali. Rasanya seperti Owen masih ada di sini lewat dirimu," Desya menatap Zion dengan mata berkaca-kaca.

Zion terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Dia hanya mengangguk pelan.

Sesampainya di sana, pemeriksaan berjalan lancar. Desya dan bayinya sehat. Saat mereka keluar dari rumah sakit, tiba-tiba Desya menggandeng tangan Zion.

Zion terkejut, tapi ia tak langsung menarik tangannya. Ingatan tentang Owen kembali menguasai pikirannya.

“Ini bukan apa-apa,” pikirnya dalam hati.

"Zion, bisa tolong antarkan aku ke supermarket? Aku mau membeli sesuatu untuk bayiku," pinta Desya.

"Ya, baiklah."

Saat sampai di rumah, Jasmine menyambut mereka dengan senyum hangat, meski di dalam hatinya ada perasaan tidak nyaman. Hatinya mencelos, melihat tangan suaminya digandeng oleh Desya. Tapi ia berusaha tenang, meski ada rasa khawatir yang tak bisa disangkal.

"Bagaimana hasil pemeriksaannya? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Jasmine dengan suara lembut.

"Ya, tentu saja semuanya baik. Kak Desya dan bayinya sangat sehat," jawab Zion.

"Terima kasih sudah mengerti, Jasmine. Zion sangat membantu hari ini. Dan dokter juga bilang, aku tidak boleh stress dan keadaanku harus baik-baik saja, tolong kamu pahami ya," Desya menatap Jasmine dan tersenyum manis.

"Tentu saja, Kak Desya. Zion memang orang yang sangat perhatian, dan aku juga mengerti itu untuk kebaikan janinmu," Jasmine hanya tersenyum kecil.

Setelah itu, Desya kembali ke kamarnya, sementara Zion dan Jasmine duduk di ruang tamu. Suasana antara mereka hening sejenak.

"Aku tahu kamu merasa harus menjaga Kak Desya. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melupakan kita. Kamu sudah punya istri, dan istrimu ada di sini," kata Jasmine pelan, memecah keheningan.

"Maksudmu?" Zion terkejut mendengar kata-kata Jasmine.

"Aku percaya kamu, Zion. Tapi aku harap kamu juga bisa menjaga perasaanku. Jangan sampai hubungan kita terganggu karena... tanggung jawab ini," Jasmine tersenyum, tapi matanya terlihat sayu.

Zion terdiam. Dia merasa bersalah, meski ia tak tahu kenapa.

"Maafkan aku, sayang. Aku tidak pernah berniat membuat kamu merasa seperti ini."

Jasmine mengangguk.

"Aku tahu. Tapi aku juga ingin kamu ingat, bahwa kita juga penting. Aku dan pernikahan kita."

Zion menggenggam tangan Jasmine.

"Aku janji, aku akan selalu ada untuk kamu. Dan tidak ada yang akan mengubah itu."

"Terima kasih, Zion. Itu saja yang aku minta," Jasmine tersenyum lembut.

Namun, jauh di dalam hati Jasmine, perasaan cemburu dan khawatir tak bisa sepenuhnya hilang. Ia tahu bahwa tanggung jawab Zion kepada Desya adalah hal yang serius, tapi ia berharap perasaan Zion tak berubah seiring waktu.

Esoknya di dapur, Zion dengan penuh perhatian mempersiapkan susu dan roti bakar seperti yang diminta oleh Desya. Jasmine, yang baru saja selesai membereskan kamar mereka, melihat Zion sibuk dan mendekat ke dapur. Hatinya sedikit terusik saat melihat Desya duduk santai di meja dapur, sementara Zion sibuk memenuhi permintaannya.

“Zion, kamu butuh bantuan tidak? Aku bisa bantu bikin rotinya,” tanya Jasmine sambil mendekat.

Desya cepat-cepat menolak dengan suara lembut tapi tegas.

“Oh, tidak perlu, Jasmine. Ini ngidam dari bayinya, jadi yang harus buat itu Zion. Bayi ini maunya papa Zion yang buat, bukan orang lain,” kata Desya sambil tersenyum kecil, tangannya mengelus perutnya dengan manja.

"Papa?" Tanya Jasmine terkejut.

"Oh,iya. Papa Zion, karena anak ini nantinya akan memanggil Zion dengan sebutan, Papa. Anak ini akan terlahir menjadi anaknya Zion juga, dia anak yatim, Jasmine," jawab Desya penuh penekanan.

Jasmine terdiam sejenak, menatap Desya yang tampak begitu puas dengan situasinya. Kemudian Jasmine beralih melihat Zion.

"Tapi Zion juga tidak terbiasa membuat roti bakar. Kamu tahu dia jarang masak, kak Desya."

Desya tidak kehilangan senyumannya.

"Tidak masalah, Zion kan bisa lihat caranya di YouTube. Sekarang kan zaman sudah sangat modern. Lagi pula, aku yakin Zion pasti bisa belajar dengan cepat,” katanya dengan nada tenang, tapi jelas sekali kalau ia ingin Jasmine tidak terlibat.

Zion merasa suasana sedikit tegang, lalu mencoba melerai.

"Tenang saja, sayang. Aku sambil belajar juga kok, ini tidak terlalu sulit. Lagipula, tidak ada salahnya aku membuat roti bakar sekali-sekali,” katanya sambil tersenyum, berusaha menenangkan istrinya.

“Iya, benar kan, Jasmine? Zion juga harus punya pengalaman baru, seperti belajar masak. Aku yakin nanti Zion akan jago buat roti bakar,” Desya tersenyum lebar mendengar Zion.

"Tapi Zion biasanya tidak memasak. Aku hanya khawatir kalau hasilnya tidak sesuai harapanmu, Kak Desya," Jasmine menarik napas dalam, menahan perasaannya yang mulai memanas.

Desya tertawa kecil, seolah tidak terganggu sama sekali.

“Jangan khawatir, Jasmine. Aku tidak pilih-pilih. Selama yang membuat itu Zion, pasti enak. Ngidam itu tidak boleh ditolak, loh.”

Zion mengangguk setuju, walau mulai merasakan ketegangan di antara kedua wanita itu.

“Ini, rotinya sudah hampir selesai,” katanya, mencoba mengalihkan perhatian mereka dari percakapan yang semakin tidak nyaman.

“Wah, aku tidak sabar deh mau coba hasil buatan papa Zion.” Desya segera bertepuk tangan dengan gembira.

Jasmine hanya diam, memperhatikan bagaimana Desya terlihat begitu senang dengan perhatian Zion. Dalam hatinya, ia mulai merasa tersisih. Namun, ia tidak ingin membuat suasana semakin tidak nyaman, jadi ia hanya tersenyum tipis dan mengalah.

“Baiklah, jika kamu suka, Kak Desya. Yang penting kamu dan bayinya sehat.”

Zion meletakkan piring berisi roti bakar di depan Desya, yang langsung menatapnya dengan penuh antusias.

“Ini dia, roti bakar spesial dari papa Zion,” katanya, bercanda sambil menyiapkan gelas susu.

Desya mengambil sepotong roti dan mencicipinya.

“Hmm, ini enak sekali, Zion! Terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat, calon papa yang baik untuk masa depan,” katanya dengan nada manis.

Jasmine memaksakan senyum, merasa semakin tersisih, tapi tetap berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman itu.

“Kalau begitu, aku tinggal kalian di sini, ya. Zion, jika sudah selesai, jangan lupa istirahat. Kamu pasti capek setelah seharian bekerja.”

Zion menoleh ke Jasmine, merasa sedikit bersalah karena tahu istrinya mulai merasa tidak nyaman.

"Iya, sayang, aku tidak akan lama. Setelah ini langsung beres.”

Desya hanya tersenyum sambil menikmati roti bakarnya, seolah tidak menyadari perasaan Jasmine yang mulai terluka.

“Zion, kamu harus sering-sering buat makanan seperti ini. Aku jadi ketagihan.”

Jasmine berjalan meninggalkan dapur, menahan perasaan cemburu yang makin menumpuk. Zion memang hanya menjalankan tanggung jawabnya pada Desya dan anak Owen, tapi situasi ini perlahan-lahan membuat Jasmine merasa seperti orang luar di rumahnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status