Share

4. Pertentangan

Penulis: Sirius Pen
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-09 18:12:14

"Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.

Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan.

"Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar.

Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat.

"Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!"

Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya.

"Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba.

Zion tertawa sinis.

"Perasaan kamu? Kamu itu egois, Jasmine. Kamu tidak pernah berpikir tentang orang lain selain dirimu sendiri. Kak Desya telah kehilangan suaminya dan sekarang dia hamil. Kalau kamu sedikit saja punya hati, kamu mungkin akan mengerti posisinya," Zion membelakangi Jasmine karena muak.

"Aku istrimu, Zion! Aku berhak mendapatkan perhatian lebih dari suamiku sendiri. Aku sudah cukup lama mengalah selama ini. Tapi kamu terus saja berpihak pada kak Desya, seolah aku ini tidak ada!" Jasmine memekik, tak lagi bisa menahan emosinya.

Zion mendekat, wajahnya penuh amarah.

"Kamu memang tidak tahu diri, Jasmine. Aku sudah lelah terus-terusan mendengar setiap keluhan kamu. Kalau kamu tidak bisa terima keadaan ini, aku pastikan kamu akan menyesal!"

Jasmine tercekat. Kata-kata Zion seperti tamparan keras yang membuat dadanya sesak.

"Maksud kamu? Kamu serius ingin membuat aku merasa menyesal? Kamu lebih memilih berbaik hati pada Kak Desya daripada aku, istrimu?"

"Kak Desya butuh aku. Dia hamil, Jasmine! Kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan seorang ibu yang tengah mengandung. Hormon dia sedang tidak stabil. Wajar jika dia lebih emosional!" Zion membela Desya mati-matian.

Jasmine menggeleng tak percaya.

"Hormon? Kamu serius, Zion? Kamu pikir semua ini hanya soal hormon? Kak Desya sengaja menghancurkan pernikahan kita! Dia terus-terusan memprovokasi kamu agar kamu menjauh dari aku!"

"Kamu jangan fitnah, Jasmine! Kak Desya tidak mungkin melakukan semua itu," Zion menatapnya tajam.

"Aku tidak fitnah! Aku tahu apa yang dia lakukan. Dia selalu cari-cari alasan untuk kamu agar meninggalkan aku!" Jasmine berusaha mempertahankan argumennya, tapi suaranya semakin lemah. Ia tahu Zion tak akan pernah percaya.

Zion melangkah mundur, melipat tangannya di depan dada.

"Kamu tuh cemburu buta, Jasmine. Kak Desya tidak sejahat yang kamu pikir. Semua ini hanya karena isi di kepala kamu."

Jasmine menggeleng, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Aku cemburu karena kamu selalu berpihak padanya. Kamu tidak pernah melihat aku, Zion. Kamu tidak pernah mendengar aku."

"Terserah kamu mau bilang apa, aku sudah tidak peduli!" Zion menjawab dengan dingin."

Hari demi hari, hubungan Jasmine dan Zion semakin renggang. Jasmine berusaha keras mempertahankan rumah tangga mereka, tapi setiap usahanya selalu kandas di hadapan Desya. Perempuan itu semakin berani menampakkan wajah aslinya. Ia terang-terangan mempengaruhi Zion, membuat suaminya itu semakin jauh dari Jasmine.

Puncaknya, suatu sore ketika mereka sedang berada di rumah, Desya yang biasanya penuh senyum, kini tampak berbeda. Tatapan matanya tajam, penuh kebencian. Jasmine yang sedang duduk di teras belakang menyadari kehadiran Desya yang berdiri tak jauh dari kolam renang. Ada sesuatu yang ganjil dalam cara Desya menatapnya.

“Kamu puas, Jasmine? Kamu puas melihat aku begini?” suara Desya rendah, tapi tajam seperti pisau.

Jasmine mengernyitkan alisnya.

“Apa maksudmu, kak Desya?”

"Kamu selalu cari perhatian Zion, membuat agar dia jauh dari aku. Kamu tahu tidak, aku lebih butuh dia daripada kamu sekarang? Suamiku meninggal dunia juga karena kamu!" Desya melangkah mendekat, tubuhnya gemetar.

"Apa yang kamu bicarakan, kak Desya? Aku tidak pernah bermaksud menjauhkan Zion dari siapa pun. Dia suamiku!" Jasmine mencoba menjelaskan.

Desya mendengus marah.

"Suamimu? Kamu pikir dia masih peduli sama kamu? Aku lebih penting sekarang baginya, Jasmine! Kamu harusnya mengalah, bukannya terus-terusan merecoki hubungan aku dengan Zion!"

“Kak Desya, kamu keterlaluan! Aku hanya ingin Zion kembali jadi suami yang adil. Kamu tidak bisa seenaknya merebut suamiku dan menghancurkan rumah tangga orang lain!”

Desya mendekat lebih dekat ke kolam renang.

“Rumah tangga? Rumah tangga kamu sudah hancur, Jasmine! Zion sudah tidak cinta lagi dengan kamu. Dia mulai cinta sama aku!”

Jasmine tercekat mendengar pernyataan itu. Sebelum ia sempat merespon, Desya melangkah ke tepi kolam, menatap Jasmine dengan sorot mata penuh kebencian.

"Aku akan terus membuat hidup kamu lebih menderita, Jasmine. Kamu tidak akan pernah bisa merebut Zion dari aku!"

Tiba-tiba, Desya terpeleset. Dalam sekejap, tubuhnya terjatuh ke dalam kolam renang dengan keras. Jasmine terkejut, berlari mendekati tepi kolam.

"Kak Desya!"

Desya yang sedang hamil besar tampak kesulitan berenang. Ia meronta-ronta, mencoba keluar dari air, tapi tubuhnya terlalu berat. Jasmine berusaha memanggil bantuan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Zion yang mendengar keributan segera datang.

"Kak Desya!" Zion berteriak, melompat ke dalam kolam, menarik tubuh Desya yang sudah hampir tenggelam.

Setelah berhasil menariknya ke pinggir kolam, Desya mulai menangis histeris.

“Anakku! Anakku!” ia memegangi perutnya, wajahnya pucat pasi.

Darah segar mengalir dari tubuh Desya, dan mereka semua tau bahwa, Desya mengalami keguguran. Jasmine berdiri di samping, hatinya ikut hancur. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apapun, Desya tiba-tiba menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

"Ini semua salah kamu, Jasmine! Kamu yang bikin aku terpeleset! Kamu yang telah membunuh anakku!"

Jasmine terbelalak.

"Apa? Kak Desya, aku tidak..."

"Tutup mulut kamu! Aku pastikan pastikan kamu membayar atas semua ini! Kamu pembunuh! Zion, ini semua gara-gara dia!"" Desya berteriak, suaranya parau.

Zion yang baru saja membantu Desya, berdiri, menatap Jasmine dengan tatapan yang tajam.

"Apa yang kamu lakukan, Jasmine?”

"Zion, aku tidak... Aku tidak melakukan apapun. Aku tidak meminta dia ke tepi kolam," Jasmine mencoba menjelaskan, tapi Zion memotongnya.

“Kamu selalu jadi masalah! kak Desya hamil, dan sekarang dia keguguran. Ini semua salah kamu, Jasmine! Aku tidak akan memaafkan kamu!” Zion menghardik.

“Zion, tolong... Dengarkan aku dulu. Aku tidak bersalah,” suara Jasmine pecah, air mata mengalir deras di pipinya.

“Kamu pikir aku peduli dengan semua alasan kamu? Kamu sudah membuat kak Desya kehilangan suaminya, sekarang anaknya. Mulai sekarang, jangan pernah harap aku akan lihat kamu dengan cara yang sama lagi," Zion menggeleng dengan marah.

Jasmine merasa seperti ditampar oleh kenyataan. Hatinya remuk, namun ia tak bisa membela diri. Jasmine terus menangis, dan Zion tampak semakin muak dengannya.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Desya mencoba melaporkan Jasmine ke polisi, menuduhnya sebagai penyebab kegugurannya. Namun, karena tidak ada bukti yang kuat, laporan itu ditolak mentah-mentah. Desya semakin murka.

"Aku akan pastikan kamu tidak akan hidup tenang, Jasmine!" Desya bersumpah dengan murka di hadapan Jasmine.

Zion yang ada di samping Desya, untuk pertama kalinya tampak ragu. Meski kemarahan masih menghantui, dia mulai mempertanyakan apakah benar Jasmine seburuk yang Desya katakan. Tapi di balik itu, bayangan pernikahan mereka yang dulu bahagia, kini tampak begitu jauh.

Sementara Jasmine, hanya bisa duduk dalam diam, memandangi sisa-sisa rumah tangganya yang mulai hancur di depan matanya.

Malam itu, Jasmine duduk di ruang tamu. Bayang-bayang percakapan terakhir dengan Zion dan Desya masih terus menghantui pikirannya. Ketika pintu rumah terbuka, langkah kaki Zion terdengar mendekat. Jasmine tahu ini akan menjadi percakapan yang berat.

“Zion, Kita perlu bicara,” Jasmine memanggil dengan suara lemah.

Zion mendengus, melempar jaketnya ke kursi.

"Apa lagi, Jasmine? Tidak cukup dengan semua ini?"

Jasmine menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak.

“Kamu tidak bisa terus begini. Kamu tidak bisa terus menyalahkan aku atas semua yang terjadi.”

“Apa yang harus aku lakukan? Kak Desya telah kehilangan anaknya, Jasmine. Kamu yang ada di sana waktu itu. Kamu yang telah membuat dia terpeleset!” Zion melipat tangan di dada, wajahnya dingin.

"Aku tidak tau, Zion! Dia sendiri yang terpeleset. Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya," suara Jasmine bergetar, berharap Zion akan mengerti.

Zion tertawa pendek, sinis.

“Tidak tau? Selalu alasan yang sama. Kamu selalu coba bikin dirimu jadi korban.”

“Aku korban di sini, Zion! Sejak kak Desya masuk ke dalam hidup kita, aku terus dikalahkan. Setiap kali ada masalah, aku yang disalahkan. Kamu bahkan tidak pernah dengar dari sisi ceritaku," Jasmine membalas.

Zion menggelengkan kepalanya, matanya tajam.

“Kak Desya butuh aku. Dia kehilangan anaknya, dan kamu tetap tidak bisa melihat betapa hancurnya dia? Kamu hanya berpikir tentang dirimu sendiri.”

“Bukan begitu!” Jasmine membantah dengan suara yang semakin lirih.

Zion sudah benar-benar malas mendengarnya.

"Aku hanya ingin kamu sadar bahwa kak Desya sengaja membuat semua ini berantakan. Dia tidak sekadar korban, Zion. Dia manipulatif, dia sengaja membuatmu berpaling dariku.”

Zion menatap Jasmine dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata dengan dingin.

"Aku sudah tidak peduli lagi, Jasmine. Apa pun yang kamu katakan, tidak ada yang bisa mengubah apapun yang sudah terjadi."

"Zion, tolong... Aku masih istrimu. Kita bisa memperbaiki semua ini. Aku masih sayang sama kamu," Jasmine memohon dengan mata yang memerah, air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Zion menoleh ke arah jendela, menghindari tatapan Jasmine.

"Kamu selalu bilang sayang, tapi kamu terus jadi masalah buat aku. Aku capek, Jasmine. Semua ini membuat aku benar-benar muak.”

Jasmine terdiam, menyadari bahwa Zion sudah tak lagi berusaha mendengarkannya.

“Jadi, kamu lebih memilih kak Desya daripada aku?” Setelah beberapa saat, Jasmine berkata pelan.

Zion menghela napas panjang, lalu menatap Jasmine dengan tatapan lelah.

“Ini bukan soal memilih, Jasmine. Aku sudah bilang, kak Desya membutuhkan aku. Jika kamu tidak bisa terima itu, aku tidak tahu lagi apa yang bisa kita bicarakan.”

Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang sudah tak tertahankan.

“Dan aku? Kamu pikir aku tidak butuh kamu? Kamu pikir aku tidak terluka selama ini?”

Zion menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan.

“Aku capek, Jasmine. Sudah tidak ada lagi yang bisa diperbaiki di antara kita," kalimat itu menghujam hati Jasmine, lebih dalam dari apa pun yang pernah Zion katakan.

"Kamu benar-benar tidak peduli lagi sama aku?"

Zion tak menjawab, hanya mengambil jaketnya kembali dan berjalan menuju pintu.

“Aku tidak bisa di sini, malam ini.”

"Zion!" Jasmine memanggilnya, tapi Zion sudah melangkah keluar, meninggalkan Jasmine di kamarnya yang dulunya penuh cinta dan kebahagiaan. Kini, hanya tersisa kesunyian dan rasa sakit yang menyesakkan dada.

Jasmine terisak pelan, menutupi wajahnya dengan tangan. Dalam kegelapan, ia bertanya-tanya apakah cinta mereka benar-benar sudah mati.

Bab terkait

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   5. Mencari Solusi

    Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka.Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka."Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu."Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini."Desya tertawa sinis."Jasmine? Kamu masi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   6. Fitnah

    Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   7. Proses Pengadilan

    Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   8. Kembali Fitnah

    Zion duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya berat oleh banyak pikiran yang berlomba-lomba menuntut perhatian. Ia tidak bisa melupakan tuduhan yang dilemparkan Desya kepada Jasmine, tuduhan yang sepertinya tak masuk akal namun terus berputar di benaknya. Jasmine istrinya selalu bersikeras bahwa semuanya adalah fitnah, upaya kejam untuk menjatuhkannya.Malam itu, pikirannya mulai mengembara kembali ke saat di mana pengacara Jasmine mengungkapkan bukti rahasia dalam persidangan. Bukti itu tampaknya mengganggu Desya, membuat wanita itu gelisah di ruang sidang."Apakah mungkin kak Desya yang telah melakukan semua ini?" gumam Zion pelan, hampir tidak percaya pada kata-katanya sendiri."Tapi bagaimana mungkin? Secara, dia sangat kehilangan orang-orang yang sangat dia harapkan untuk kedepannya. Apakah Jasmine yang mengada-ada?" Zion tampak frustasi dengan segenap pikirannya.Di tengah kebingungannya, suara Desya tiba-tiba muncul di belakangnya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   9. Godaan Desya

    Setelah Jasmine pergi dari rumah, Zion termenung di kamarnya, mengingat perkataan Jasmine. Bayangan wajah istrinya yang kini terluka dalam hati tak bisa dihapuskan. Mungkinkah dia yang salah? Apakah Desya, kakak iparnya, benar-benar memfitnah Jasmine seperti yang dituduhkan? Zion menghela napas panjang."Jasmine mungkin hanya mencari alasan... tapi kenapa semua terasa begitu nyata?" gumamnya.Sementara itu, di ruangan lain, Desya tersenyum tipis, merasakan kepuasan dalam hatinya. Dia merasa telah memenangkan permainan ini.Tok tok tok Terdengar suara pintu. Zion menoleh dan melihat Desya masuk ke kamarnya tanpa izin."Zion, kamu kelihatan kusut sekali," ucap Desya dengan nada yang dibuat-buat lembut.Ia melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Zion."Aku hanya sedang berpikir, kak Desya. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sedikit merasa frustasi," Zion mengernyit, sedikit tak nyaman, namun ia tetap

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   10. Karma Awal Untuk Zion

    Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   11. Mantan

    Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • GARA - GARA KAKAK IPAR   12. Zion Harus Tahu Diri

    Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05

Bab terbaru

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   18. Pendekatan Tak Terduga

    Hari-hari di kampung, terasa lebih lama bagi Jasmine, meskipun udara segar dan pemandangan sawah yang luas memberi ketenangan yang ia butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun tubuhnya kini sudah mulai pulih. Terkadang ia berjalan pelan, ditemani ibunya yang selalu sabar menemani setiap langkahnya.Pagi itu, seperti biasa, Jasmine berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke sawah. Kali ini, tidak bersama ibunya. Namun, langkahnya kali ini terhenti saat melihat sosok yang sudah beberapa kali muncul dalam hidupnya, namanya Kevin. Kevin yang selalu datang dengan senyum, mencoba membangkitkan semangatnya yang kian meredup.“Pagi, Jasmine,” sapa Kevin, dengan suara yang ramah.Jasmine hanya mengangguk, tidak terlalu bersemangat.“Pagi, Kevin.” Ia melanjutkan langkahnya, mencoba tidak terlalu memperhatikan pria yang tampaknya ingin lebih dekat dengannya.Kevin mengikutinya perlahan, tetap dengan senyuman yang tidak p

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   17. Beban

    Desya menatap pintu kamarnya dengan kesal. Ia baru saja pulang ke rumah keluarganya, rumah yang sudah lama ia tinggalkan sejak menikah dengan Owen. Namun kini, setelah kepergian Owen, hidupnya berantakan. Zion, pria yang sempat menjadi penyelamat hidupnya, justru memulangkannya tanpa penjelasan apa pun.“Kenapa dia tega?” gumam Desya, sambil memukul-mukul bantalnya. Ia mencoba menelepon Zion untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja, nomor itu tidak bisa dihubungi.Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Ibunya, masuk dengan wajah masam.Ceklek.“Kamu sih! Kenapa bisa sampai balik ke sini?! Dulu aku setuju kamu tinggal dan menikah dengan Owen karena aku tahu dia kaya. Tapi sekarang kamu malah pulang dengan tangan kosong?!” bentak Lila.“Bu, aku juga tidak mau pulang ke sini! Kalau Zion tidak mengusir aku, aku masih di sana!” Desya menatap ibunya dengan tatapan tajam.“Zion ngusir kamu?! Astaga, dia pikir siapa yang sudah memberi hidup enak ke kamu? Itu kan hak kamu, Desya! Owen itu sua

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   16. Ancaman Untuk Desya

    Mall siang itu cukup ramai. Desya sedang sibuk memilih-milih pakaian di salah satu butik terkenal. Dia mengangkat sebuah dress berwarna lembut, tapi perhatiannya segera teralihkan ketika melihat sosok yang sangat familiar di ujung toko.Malvin dan istrinya, Laura, tampak berbelanja bersama. Desya hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya. Melihat Malvin tersenyum dan berbicara lembut pada Laura membuat hatinya remuk.Malvin, yang merasa ada tatapan, menoleh sejenak dan mendapati Desya menatap mereka. Wajahnya seketika berubah kaku, dan begitu juga Laura. Mereka berdua saling bertukar pandang, sama-sama tak menyangka akan bertemu dengan Desya di tempat itu.“Aku rasa lebih baik kita lanjut ke toko lain saja, firasaku tidak enak,” bisik Laura sambil menggenggam lengan Malvin erat.“Ya, lebih baik begitu, aku juga merasa tidak nyaman," Malvin mengangguk.Sementara Desya hanya mengerutkan alis, mena

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   15. Senjata Desya

    Di lorong yang gelap, Desya berusaha menenangkan napasnya yang tersengal. Tubuhnya gemetar, namun hatinya bersyukur luar biasa. Zion datang tepat waktu, menyelamatkannya dari para laki-laki yang hendak mencelakainya. Keberaniannya muncul hanya karena satu hal, Zion, lelaki yang sejak dulu sudah tinggal serumah dengannya, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.Setelah berhasil membawa Desya pergi, Zion menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi."Apa yang terjadi, Desya? Kenapa mereka bisa mengejarmu seperti itu? Dan kenapa juga mereka bisa hendak berbuat hal tak senonoh pada dirimu?" Tanya Zion dengan wajah cemasnya, tetapi suaranya tetap tenang saat bertanya. Desya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui."Zion, aku… butuh perlindungan darimu. Mereka… mereka semua orang-orangnya Malvin."Zion menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut."Malvin? Malvin yang mana? Malvin yang waktu itu menikah dengan Laura sahabatmu?"

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   14. Jebakan Desya

    Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   13. Pengacau

    Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   12. Zion Harus Tahu Diri

    Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   11. Mantan

    Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada

  • GARA - GARA KAKAK IPAR   10. Karma Awal Untuk Zion

    Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status