"Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.
Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan. "Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar. Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat. "Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!" Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya. "Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba. Zion tertawa sinis. "Perasaan kamu? Kamu itu egois, Jasmine. Kamu tidak pernah berpikir tentang orang lain selain dirimu sendiri. Kak Desya telah kehilangan suaminya dan sekarang dia hamil. Kalau kamu sedikit saja punya hati, kamu mungkin akan mengerti posisinya," Zion membelakangi Jasmine karena muak. "Aku istrimu, Zion! Aku berhak mendapatkan perhatian lebih dari suamiku sendiri. Aku sudah cukup lama mengalah selama ini. Tapi kamu terus saja berpihak pada kak Desya, seolah aku ini tidak ada!" Jasmine memekik, tak lagi bisa menahan emosinya. Zion mendekat, wajahnya penuh amarah. "Kamu memang tidak tahu diri, Jasmine. Aku sudah lelah terus-terusan mendengar setiap keluhan kamu. Kalau kamu tidak bisa terima keadaan ini, aku pastikan kamu akan menyesal!" Jasmine tercekat. Kata-kata Zion seperti tamparan keras yang membuat dadanya sesak. "Maksud kamu? Kamu serius ingin membuat aku merasa menyesal? Kamu lebih memilih berbaik hati pada Kak Desya daripada aku, istrimu?" "Kak Desya butuh aku. Dia hamil, Jasmine! Kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan seorang ibu yang tengah mengandung. Hormon dia sedang tidak stabil. Wajar jika dia lebih emosional!" Zion membela Desya mati-matian. Jasmine menggeleng tak percaya. "Hormon? Kamu serius, Zion? Kamu pikir semua ini hanya soal hormon? Kak Desya sengaja menghancurkan pernikahan kita! Dia terus-terusan memprovokasi kamu agar kamu menjauh dari aku!" "Kamu jangan fitnah, Jasmine! Kak Desya tidak mungkin melakukan semua itu," Zion menatapnya tajam. "Aku tidak fitnah! Aku tahu apa yang dia lakukan. Dia selalu cari-cari alasan untuk kamu agar meninggalkan aku!" Jasmine berusaha mempertahankan argumennya, tapi suaranya semakin lemah. Ia tahu Zion tak akan pernah percaya. Zion melangkah mundur, melipat tangannya di depan dada. "Kamu tuh cemburu buta, Jasmine. Kak Desya tidak sejahat yang kamu pikir. Semua ini hanya karena isi di kepala kamu." Jasmine menggeleng, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku cemburu karena kamu selalu berpihak padanya. Kamu tidak pernah melihat aku, Zion. Kamu tidak pernah mendengar aku." "Terserah kamu mau bilang apa, aku sudah tidak peduli!" Zion menjawab dengan dingin." Hari demi hari, hubungan Jasmine dan Zion semakin renggang. Jasmine berusaha keras mempertahankan rumah tangga mereka, tapi setiap usahanya selalu kandas di hadapan Desya. Perempuan itu semakin berani menampakkan wajah aslinya. Ia terang-terangan mempengaruhi Zion, membuat suaminya itu semakin jauh dari Jasmine. Puncaknya, suatu sore ketika mereka sedang berada di rumah, Desya yang biasanya penuh senyum, kini tampak berbeda. Tatapan matanya tajam, penuh kebencian. Jasmine yang sedang duduk di teras belakang menyadari kehadiran Desya yang berdiri tak jauh dari kolam renang. Ada sesuatu yang ganjil dalam cara Desya menatapnya. “Kamu puas, Jasmine? Kamu puas melihat aku begini?” suara Desya rendah, tapi tajam seperti pisau. Jasmine mengernyitkan alisnya. “Apa maksudmu, kak Desya?” "Kamu selalu cari perhatian Zion, membuat agar dia jauh dari aku. Kamu tahu tidak, aku lebih butuh dia daripada kamu sekarang? Suamiku meninggal dunia juga karena kamu!" Desya melangkah mendekat, tubuhnya gemetar. "Apa yang kamu bicarakan, kak Desya? Aku tidak pernah bermaksud menjauhkan Zion dari siapa pun. Dia suamiku!" Jasmine mencoba menjelaskan. Desya mendengus marah. "Suamimu? Kamu pikir dia masih peduli sama kamu? Aku lebih penting sekarang baginya, Jasmine! Kamu harusnya mengalah, bukannya terus-terusan merecoki hubungan aku dengan Zion!" “Kak Desya, kamu keterlaluan! Aku hanya ingin Zion kembali jadi suami yang adil. Kamu tidak bisa seenaknya merebut suamiku dan menghancurkan rumah tangga orang lain!” Desya mendekat lebih dekat ke kolam renang. “Rumah tangga? Rumah tangga kamu sudah hancur, Jasmine! Zion sudah tidak cinta lagi dengan kamu. Dia mulai cinta sama aku!” Jasmine tercekat mendengar pernyataan itu. Sebelum ia sempat merespon, Desya melangkah ke tepi kolam, menatap Jasmine dengan sorot mata penuh kebencian. "Aku akan terus membuat hidup kamu lebih menderita, Jasmine. Kamu tidak akan pernah bisa merebut Zion dari aku!" Tiba-tiba, Desya terpeleset. Dalam sekejap, tubuhnya terjatuh ke dalam kolam renang dengan keras. Jasmine terkejut, berlari mendekati tepi kolam. "Kak Desya!" Desya yang sedang hamil besar tampak kesulitan berenang. Ia meronta-ronta, mencoba keluar dari air, tapi tubuhnya terlalu berat. Jasmine berusaha memanggil bantuan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Zion yang mendengar keributan segera datang. "Kak Desya!" Zion berteriak, melompat ke dalam kolam, menarik tubuh Desya yang sudah hampir tenggelam. Setelah berhasil menariknya ke pinggir kolam, Desya mulai menangis histeris. “Anakku! Anakku!” ia memegangi perutnya, wajahnya pucat pasi. Darah segar mengalir dari tubuh Desya, dan mereka semua tau bahwa, Desya mengalami keguguran. Jasmine berdiri di samping, hatinya ikut hancur. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apapun, Desya tiba-tiba menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Ini semua salah kamu, Jasmine! Kamu yang bikin aku terpeleset! Kamu yang telah membunuh anakku!" Jasmine terbelalak. "Apa? Kak Desya, aku tidak..." "Tutup mulut kamu! Aku pastikan pastikan kamu membayar atas semua ini! Kamu pembunuh! Zion, ini semua gara-gara dia!"" Desya berteriak, suaranya parau. Zion yang baru saja membantu Desya, berdiri, menatap Jasmine dengan tatapan yang tajam. "Apa yang kamu lakukan, Jasmine?” "Zion, aku tidak... Aku tidak melakukan apapun. Aku tidak meminta dia ke tepi kolam," Jasmine mencoba menjelaskan, tapi Zion memotongnya. “Kamu selalu jadi masalah! kak Desya hamil, dan sekarang dia keguguran. Ini semua salah kamu, Jasmine! Aku tidak akan memaafkan kamu!” Zion menghardik. “Zion, tolong... Dengarkan aku dulu. Aku tidak bersalah,” suara Jasmine pecah, air mata mengalir deras di pipinya. “Kamu pikir aku peduli dengan semua alasan kamu? Kamu sudah membuat kak Desya kehilangan suaminya, sekarang anaknya. Mulai sekarang, jangan pernah harap aku akan lihat kamu dengan cara yang sama lagi," Zion menggeleng dengan marah. Jasmine merasa seperti ditampar oleh kenyataan. Hatinya remuk, namun ia tak bisa membela diri. Jasmine terus menangis, dan Zion tampak semakin muak dengannya. Beberapa hari setelah kejadian itu, Desya mencoba melaporkan Jasmine ke polisi, menuduhnya sebagai penyebab kegugurannya. Namun, karena tidak ada bukti yang kuat, laporan itu ditolak mentah-mentah. Desya semakin murka. "Aku akan pastikan kamu tidak akan hidup tenang, Jasmine!" Desya bersumpah dengan murka di hadapan Jasmine. Zion yang ada di samping Desya, untuk pertama kalinya tampak ragu. Meski kemarahan masih menghantui, dia mulai mempertanyakan apakah benar Jasmine seburuk yang Desya katakan. Tapi di balik itu, bayangan pernikahan mereka yang dulu bahagia, kini tampak begitu jauh. Sementara Jasmine, hanya bisa duduk dalam diam, memandangi sisa-sisa rumah tangganya yang mulai hancur di depan matanya. Malam itu, Jasmine duduk di ruang tamu. Bayang-bayang percakapan terakhir dengan Zion dan Desya masih terus menghantui pikirannya. Ketika pintu rumah terbuka, langkah kaki Zion terdengar mendekat. Jasmine tahu ini akan menjadi percakapan yang berat. “Zion, Kita perlu bicara,” Jasmine memanggil dengan suara lemah. Zion mendengus, melempar jaketnya ke kursi. "Apa lagi, Jasmine? Tidak cukup dengan semua ini?" Jasmine menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak. “Kamu tidak bisa terus begini. Kamu tidak bisa terus menyalahkan aku atas semua yang terjadi.” “Apa yang harus aku lakukan? Kak Desya telah kehilangan anaknya, Jasmine. Kamu yang ada di sana waktu itu. Kamu yang telah membuat dia terpeleset!” Zion melipat tangan di dada, wajahnya dingin. "Aku tidak tau, Zion! Dia sendiri yang terpeleset. Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya," suara Jasmine bergetar, berharap Zion akan mengerti. Zion tertawa pendek, sinis. “Tidak tau? Selalu alasan yang sama. Kamu selalu coba bikin dirimu jadi korban.” “Aku korban di sini, Zion! Sejak kak Desya masuk ke dalam hidup kita, aku terus dikalahkan. Setiap kali ada masalah, aku yang disalahkan. Kamu bahkan tidak pernah dengar dari sisi ceritaku," Jasmine membalas. Zion menggelengkan kepalanya, matanya tajam. “Kak Desya butuh aku. Dia kehilangan anaknya, dan kamu tetap tidak bisa melihat betapa hancurnya dia? Kamu hanya berpikir tentang dirimu sendiri.” “Bukan begitu!” Jasmine membantah dengan suara yang semakin lirih. Zion sudah benar-benar malas mendengarnya. "Aku hanya ingin kamu sadar bahwa kak Desya sengaja membuat semua ini berantakan. Dia tidak sekadar korban, Zion. Dia manipulatif, dia sengaja membuatmu berpaling dariku.” Zion menatap Jasmine dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata dengan dingin. "Aku sudah tidak peduli lagi, Jasmine. Apa pun yang kamu katakan, tidak ada yang bisa mengubah apapun yang sudah terjadi." "Zion, tolong... Aku masih istrimu. Kita bisa memperbaiki semua ini. Aku masih sayang sama kamu," Jasmine memohon dengan mata yang memerah, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Zion menoleh ke arah jendela, menghindari tatapan Jasmine. "Kamu selalu bilang sayang, tapi kamu terus jadi masalah buat aku. Aku capek, Jasmine. Semua ini membuat aku benar-benar muak.” Jasmine terdiam, menyadari bahwa Zion sudah tak lagi berusaha mendengarkannya. “Jadi, kamu lebih memilih kak Desya daripada aku?” Setelah beberapa saat, Jasmine berkata pelan. Zion menghela napas panjang, lalu menatap Jasmine dengan tatapan lelah. “Ini bukan soal memilih, Jasmine. Aku sudah bilang, kak Desya membutuhkan aku. Jika kamu tidak bisa terima itu, aku tidak tahu lagi apa yang bisa kita bicarakan.” Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang sudah tak tertahankan. “Dan aku? Kamu pikir aku tidak butuh kamu? Kamu pikir aku tidak terluka selama ini?” Zion menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku capek, Jasmine. Sudah tidak ada lagi yang bisa diperbaiki di antara kita," kalimat itu menghujam hati Jasmine, lebih dalam dari apa pun yang pernah Zion katakan. "Kamu benar-benar tidak peduli lagi sama aku?" Zion tak menjawab, hanya mengambil jaketnya kembali dan berjalan menuju pintu. “Aku tidak bisa di sini, malam ini.” "Zion!" Jasmine memanggilnya, tapi Zion sudah melangkah keluar, meninggalkan Jasmine di kamarnya yang dulunya penuh cinta dan kebahagiaan. Kini, hanya tersisa kesunyian dan rasa sakit yang menyesakkan dada. Jasmine terisak pelan, menutupi wajahnya dengan tangan. Dalam kegelapan, ia bertanya-tanya apakah cinta mereka benar-benar sudah mati.Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka.Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka."Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu."Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini."Desya tertawa sinis."Jasmine? Kamu masi
Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha
Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Jasmine dan Zion baru saja menikah dalam sebuah pernikahan yang megah dan dihadiri oleh banyak tamu penting. Pesta itu diwarnai dengan canda dan tawa, sukacita, dan harapan baru untuk masa depan mereka. Setelah acara selesai, Zion menggandeng tangan Jasmine dan membawanya pulang ke rumah mewah keluarganya.“Sayang, aku tidak sabar untuk memulai hidup baru kita,” kata Zion dengan senyuman lebar.“Aku juga, Zion! Semoga semua berjalan dengan lancar,” jawab Jasmine penuh semangat.Setibanya di rumah, Jasmine disambut hangat oleh keluarga Zion. Mama dan papanya menerima Jasmine dengan penuh kasih sayang.“Selamat datang di keluarga kami, Nak Jasmine. Kami sangat senang kamu ada di sini,” ucap Mamanya Zion.“Terima kasih, Ma. Saya akan berusaha menjadi menantu yang baik,” balas Jasmine dengan senyum manis.Namun, tidak semua orang senang dengan kehadiran Jasmine. Desya, kakak ipar Zion, memperlihatkan sikap yang dingin. Ketika Jasmine menyapanya, Desya hanya mengangguk tanpa berbicara, bah
Kematian Owen mengubah segalanya. Jasmine dan Zion merasakan kekosongan yang dalam. Sebagai adik, Zion merasa terpanggil untuk menjaga Desya, seperti janji yang pernah ia buat kepada Owen. Namun, Jasmine, istri Zion, mulai merasakan sesuatu yang lain di antara hubungan suaminya dengan Desya.Suatu sore, Zion pulang dari kantor dan mendengar suara isakan lirih dari kamar Desya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Zion ragu sejenak, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mendekat dan mengintip. Di dalam kamar, Desya duduk di tepi tempat tidur, memandang bingkai foto Owen. Matanya sembab dan air mata mengalir deras di pipinya.Zion merasa tersentuh."Kasihan sekali Kak Desya, dia benar-benar kehilangan Kak Owen, bagaimana bisa aku telah berkata yang buruk tentangnya," gumamnya dalam hati.Tanpa disadari, Desya sebenarnya memang tahu Zion sedang mengintip, dan semua ini hanya akting belaka. Desya ingin Zion merasa iba dan tergerak hatinya."Kak Desya...," Zion memanggil lembut dari pi
Jasmine duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sudah berhari-hari ia merasakan Zion semakin menjauh. Suaminya yang dulu penuh perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Jasmine tahu ada sesuatu yang salah, namun setiap kali ia mencoba mendekat, Zion malah makin menjauh."Zion, apa kamu mau makan malam di rumah, malam ini?" tanya Jasmine dengan suara pelan, mencoba terdengar ceria.Zion yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, hanya mengangguk tanpa menatapnya."Sepertinya tidak. Mungkin aku ada urusan di luar," jawab Zion tanpa nada.Jasmine menelan ludah, merasa hampa."Aku merasa kita jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Kamu sibuk sekali. Bisakah, kamu meluangkan waktu sebentar saja untukku, kita perlu bicara?""Aku punya banyak pekerjaan, Jasmine. Jika kamu mau sesuatu, to the point saja," Zion mendengus pelan. Jasmine mendekat, mencoba mengambil tangan Zion."Bukan soal hal yang lain, Zion. Kamu... kamu seperti me