Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.
Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka. Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka. "Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu. "Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini." Desya tertawa sinis. "Jasmine? Kamu masih bela dia? Setelah semua yang dia lakukan, Zion? kamu tidak mengerti perasaanku. Aku kehilangan anakku juga suamiku, aku kehilangan segalanya." "Kak Desya, aku tahu kamu sakit hati. Tapi Jasmine tidak salah, Kita harus bisa hidup berdampingan. Kamu tidak bisa terus-terusan membenci dia," Zion mencoba menjelaskan, suaranya terdengar tegang. Jasmine menahan napas di luar pintu. Ia merasa seperti orang asing yang tak sengaja mendengarkan percakapan yang bukan untuknya. Namun ia tak bisa mengabaikan rasa sakit yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Aku tidak peduli! Kamu tidak tahu rasanya kehilangan segalanya. Jasmine punya kamu, punya hidup yang sempurna, sementara aku... aku hanya punya rasa sakit," Desya berteriak, suaranya pecah. Zion mendesah panjang. "Kak Desya, aku di sini buat kamu. Tapi kamu harus berhenti menyalahkan Jasmine," ucap Zion memeluk Desya. Jasmine memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak lagi, karena setiap kata yang keluar dari mulut Zion dan Desya seperti belati yang menghujam jantungnya. Zion membuka pintu, terkejut melihat Jasmine di ambang pintu. "Jasmine... apa yang kamu lakukan di sini?" Jasmine tersenyum tipis, mencoba menahan tangis yang mengancam pecah. "Aku hanya ingin mengantar susu buat kak Desya," katanya pelan. Ia melangkah masuk, meletakkan nampan di atas meja samping tempat tidur. Desya menatap Jasmine dengan penuh kebencian. "Kenapa kamu ada di sini? Aku tidak butuh apapun darimu!" Desya bangkit dari tempat tidur, lalu dengan cepat meraih gelas susu di atas nampan. Sebelum Jasmine bisa berkata apa-apa, Desya menyiramkan isi gelas itu ke tubuh Jasmine. Cairan susu hangat membasahi pakaian Jasmine, menetes ke lantai, tapi Jasmine tidak bergerak. "Kak Desya! Apa yang kamu lakukan?" Zion terkejut melihat tindakan Desya. Desya hanya mendengus. "Dia pantas mendapatkannya, Zion. Jangan berpura-pura peduli padanya." Jasmine berdiri kaku di tempatnya, matanya berkedip menahan air mata. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Desya. Namun rasa sakit yang ia rasakan begitu kuat, seolah menghancurkan pertahanan terakhirnya. "Kak Desya, kamu harus tenang. Ini tidak akan menyelesaikan apa-apa," Zion, bukannya membela Jasmine, malah berusaha menenangkan Desya. Jasmine menatap Zion, berharap setidaknya sekali saja suaminya akan membelanya. Namun, harapannya sirna ketika Zion tetap fokus pada Desya. "Jasmine, biarkan aku urus ini," kata Zion, suaranya pelan tapi tegas. Dengan hati yang hancur, Jasmine hanya mengangguk. Ia mengambil kain pel dari sudut kamar, lalu dengan tenang mulai membersihkan lantai yang basah. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Zion melirik Jasmine, seakan merasa bersalah. Namun ia tak berani mengatakan apa pun. Ia tahu di dalam hatinya, Jasmine tak pantas diperlakukan seperti itu. Tapi Desya... Desya terlalu rapuh. "Zion, kamu selalu pilih dia, Selalu dia, bukan aku. Padahal aku yang telah kehilangan segalanya," kata Desya dengan suara bergetar, masih menangis. "Kak Desya, aku ada di sini buat kamu, aku tidak akan meninggalkan kamu. Tapi kamu harus berhenti menyalahkan Jasmine. Ini bukan salahnya," Zion berbisik, memeluk Desya erat-erat. "Aku tidak terima... " Desya menangis semakin keras, tubuhnya bergetar dalam pelukan Zion. Jasmine yang masih berjongkok di lantai mengelap tumpahan susu, merasa hatinya hancur. Zion tidak pernah memeluknya seperti itu lagi. Pelukan yang dulu begitu ia rindukan, kini hanya milik Desya. Setelah selesai membersihkan lantai, Jasmine berdiri, lalu melangkah pelan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia sempat menoleh ke arah Zion dan Desya yang masih berada dalam pelukan satu sama lain. "Zion, aku akan tidur di kamar lain malam ini," kata Jasmine, suaranya lirih namun tegas. Jasmine tak bisa lagi berada di ruangan itu, melihat suaminya memberikan perhatian penuh pada wanita lain, sementara dirinya terus diabaikan. Zion menatap Jasmine, wajahnya tampak bingung. "Jasmine, aku..." "Sudahlah," potong Jasmine, suaranya bergetar. Zion tidak berkata apa-apa lagi. Jasmine menghela napas, lalu keluar dari kamar dengan hati yang penuh luka. Tangannya gemetar saat menutup pintu di belakangnya, seolah menutup pintu bagi harapan yang semakin lama semakin memudar. Jasmine masih terbaring di kamar tamu, sementara Zion terus memandangi wajahnya yang damai dalam tidur. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Ponsel Zion bergetar di sakunya. Ia menatap layar sejenak, dan alisnya mengernyit melihat nama yang muncul di sana panggilan dari salah satu rekan bisnisnya. “Ya, halo?” Zion menjawab panggilan itu dengan suara rendah, berusaha tidak membangunkan Jasmine. “Pak Zion, ada masalah besar. Salah satu investor utama kita, Pak Hadi, baru saja mengajukan permintaan untuk menarik seluruh modalnya,” suara di ujung telepon terdengar tegang. Zion terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. “Apa? Tunggu... Kenapa tiba-tiba?” “Kami belum tahu pasti alasannya. Tapi dia bilang ingin mengalihkan investasi ke tempat lain. Ke kompetitor kita.” “Kompetitor? Ini tidak mungkin. Berapa besar yang dia tarik?” Mata Zion melebar, dan seketika seluruh perhatiannya teralihkan dari Jasmine. “Hampir setengah dari total nilai proyek yang sedang berjalan.” Zion langsung berdiri dari kursinya, tubuhnya tegang. “Aku akan ke ruang kerja. Tunggu sebentar.” Zion menatap Jasmine yang masih tertidur sejenak, merasa ragu apakah harus meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Namun masalah di perusahaannya terlalu besar untuk diabaikan. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan kamar tamu dan menuju ruang kerjanya. Sesampainya di sana, Zion segera menekan nomor telepon Pak Hadi, investor yang dimaksud. Setelah beberapa detik menunggu, suara Pak Hadi terdengar di ujung sana. “Pak Hadi, ini saya Zion. Saya dengar Anda ingin menarik investasi Anda dari perusahaan kami. Ada apa sebenarnya? Apakah ada masalah?” “Zion, keputusan ini sudah saya pertimbangkan matang-matang. Bisnis itu soal peluang, dan sekarang, kompetitor Anda menawarkan sesuatu yang lebih menarik. Saya harus menjaga investasi saya agar tetap menguntungkan," Pak Hadi terdengar tenang namun tegas. “Tunggu, Pak Hadi. Mari kita bicarakan ini. Jika soal keuntungan, saya yakin kita bisa melakukan negosiasi ulang. Saya bisa menawarkan persentase yang lebih besar, atau kita bisa buat kesepakatan baru. Tapi jangan buru-buru menarik modal," Zion menahan napas, lalu berusaha menenangkan diri. Pak Hadi menghela napas panjang. “Zion, semua ini bukan cuma soal persentase. Kompetitor Anda memiliki strategi yang lebih jelas untuk masa depan, terutama dalam hal ekspansi. Mereka lebih agresif dan berani mengambil risiko. Saya butuh sesuatu yang lebih dari sekedar peningkatan persentase," jelas Pak Hadi. Zion mengusap wajahnya dengan tangan, merasa frustasi. “Kami juga punya rencana ekspansi. Ini hanya soal waktu, Pak Hadi. Beri saya kesempatan untuk membuktikan bahwa keputusan ini bisa menguntungkan Anda lebih dari yang kompetitor tawarkan," Zion melakukan penawaran dan berharap Pak Hadi untuk tetap berada di pihaknya. Pak Hadi terdiam sejenak, tapi kemudian berkata dengan nada mantap. “Saya sudah mengambil keputusan, Zion. Saya menghargai usaha Anda, tapi ini adalah keputusan bisnis. Saya tidak bisa berubah pikiran hanya karena tawaran baru di menit-menit terakhir," tegas Pak Hadi dengan lantang. Zion merasa seperti ditampar. Semua upaya yang ia lakukan untuk mempertahankan bisnisnya seakan terhempas begitu saja. “Jadi... ini final?” “Ya. Saya akan segera mengurus proses penarikan modal. Saya minta maaf jika ini mengecewakan anda, tapi saya harus memikirkan investasi saya untuk ke depannya.” Setelah itu, telepon terputus, meninggalkan Zion dalam keheningan yang menghimpit. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. "argh Sial…” desisnya pelan, memukul meja dengan kepalan tangannya. Dengan perasaan tertekan, Zion bersandar di kursi, memijat pelipisnya. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang bagaimana ia akan menutupi kekosongan besar yang ditinggalkan oleh penarikan modal ini. Investor sekelas Pak Hadi bukan seseorang yang mudah didapatkan, dan sekarang, bisnisnya terancam mengalami guncangan besar. Saat itu juga, pintu ruang kerja terbuka perlahan. Jasmine berdiri di sana, dengan mata yang masih sembab karena menangis. “Zion, apa yang terjadi?” Jasmine bertanya dengan suara pelan, memperhatikan ekspresi tegang suaminya. Zion menoleh, sedikit terkejut melihat Jasmine di sana. “Aku… maaf kalau aku mengganggu istirahatmu, Jasmine,” ucap Zion, berusaha menyembunyikan kekesalan yang baru saja ia alami. Jasmine menggeleng. “Aku dengar kamu bicara di telepon. Ada masalah besar, ya?” Zion menghela napas berat, lalu mengangguk. “Salah satu investor terbesar kita baru saja mencabut investasinya. Ini bisa menghancurkan proyek-proyek yang sedang berjalan.” “Investor itu… apakah tidak ada cara lain untuk meyakinkan dia kembali?” tanya Jasmine, mendekat. “Aku sudah coba, aku tawarkan persentase lebih besar, tapi dia tetap pindah ke kompetitor kita. Dia bilang mereka punya strategi yang lebih agresif," Zion berkata dengan frustrasi. Jasmine terdiam, mencoba mencerna situasinya. “Zion, mungkin kamu bisa coba mencari investor lain? Atau menawarkan kerjasama baru yang lebih menguntungkan?” Zion tertawa kecil, tapi bukan karena merasa lucu. “Kedengarannya mudah jika diucapkan, Jasmine. Tapi ini lebih rumit dari itu. Aku tidak bisa asal mencari investor baru tanpa risiko memperburuk situasi.” “Ya, baiklah, Zion, aku tahu kamu bisa melewati ini. Kamu pernah menghadapi masalah yang lebih buruk dari ini sebelumnya. Kamu hanya perlu fokus dan mencari solusi.” Zion menatap Jasmine, merasa sedikit tenang. Meski hubungan mereka sedang dalam keadaan yang rapuh, Jasmine tetap memberikan dukungan. Itu membuat Zion merasa sedikit bersalah atas sikapnya selama ini. “Terima kasih, Jasmine, Aku... aku tahu aku belum jadi suami yang baik akhir-akhir ini," Zion berkata pelan, matanya menatap dalam-dalam ke arah Jasmine. Jasmine menunduk, ada luka yang masih terasa, tapi ia berusaha menutupi.Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha
Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Zion duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya berat oleh banyak pikiran yang berlomba-lomba menuntut perhatian. Ia tidak bisa melupakan tuduhan yang dilemparkan Desya kepada Jasmine, tuduhan yang sepertinya tak masuk akal namun terus berputar di benaknya. Jasmine istrinya selalu bersikeras bahwa semuanya adalah fitnah, upaya kejam untuk menjatuhkannya.Malam itu, pikirannya mulai mengembara kembali ke saat di mana pengacara Jasmine mengungkapkan bukti rahasia dalam persidangan. Bukti itu tampaknya mengganggu Desya, membuat wanita itu gelisah di ruang sidang."Apakah mungkin kak Desya yang telah melakukan semua ini?" gumam Zion pelan, hampir tidak percaya pada kata-katanya sendiri."Tapi bagaimana mungkin? Secara, dia sangat kehilangan orang-orang yang sangat dia harapkan untuk kedepannya. Apakah Jasmine yang mengada-ada?" Zion tampak frustasi dengan segenap pikirannya.Di tengah kebingungannya, suara Desya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Setelah Jasmine pergi dari rumah, Zion termenung di kamarnya, mengingat perkataan Jasmine. Bayangan wajah istrinya yang kini terluka dalam hati tak bisa dihapuskan. Mungkinkah dia yang salah? Apakah Desya, kakak iparnya, benar-benar memfitnah Jasmine seperti yang dituduhkan? Zion menghela napas panjang."Jasmine mungkin hanya mencari alasan... tapi kenapa semua terasa begitu nyata?" gumamnya.Sementara itu, di ruangan lain, Desya tersenyum tipis, merasakan kepuasan dalam hatinya. Dia merasa telah memenangkan permainan ini.Tok tok tok Terdengar suara pintu. Zion menoleh dan melihat Desya masuk ke kamarnya tanpa izin."Zion, kamu kelihatan kusut sekali," ucap Desya dengan nada yang dibuat-buat lembut.Ia melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Zion."Aku hanya sedang berpikir, kak Desya. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sedikit merasa frustasi," Zion mengernyit, sedikit tak nyaman, namun ia tetap
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Hari-hari di kampung, terasa lebih lama bagi Jasmine, meskipun udara segar dan pemandangan sawah yang luas memberi ketenangan yang ia butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun tubuhnya kini sudah mulai pulih. Terkadang ia berjalan pelan, ditemani ibunya yang selalu sabar menemani setiap langkahnya.Pagi itu, seperti biasa, Jasmine berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke sawah. Kali ini, tidak bersama ibunya. Namun, langkahnya kali ini terhenti saat melihat sosok yang sudah beberapa kali muncul dalam hidupnya, namanya Kevin. Kevin yang selalu datang dengan senyum, mencoba membangkitkan semangatnya yang kian meredup.“Pagi, Jasmine,” sapa Kevin, dengan suara yang ramah.Jasmine hanya mengangguk, tidak terlalu bersemangat.“Pagi, Kevin.” Ia melanjutkan langkahnya, mencoba tidak terlalu memperhatikan pria yang tampaknya ingin lebih dekat dengannya.Kevin mengikutinya perlahan, tetap dengan senyuman yang tidak p
Desya menatap pintu kamarnya dengan kesal. Ia baru saja pulang ke rumah keluarganya, rumah yang sudah lama ia tinggalkan sejak menikah dengan Owen. Namun kini, setelah kepergian Owen, hidupnya berantakan. Zion, pria yang sempat menjadi penyelamat hidupnya, justru memulangkannya tanpa penjelasan apa pun.“Kenapa dia tega?” gumam Desya, sambil memukul-mukul bantalnya. Ia mencoba menelepon Zion untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja, nomor itu tidak bisa dihubungi.Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Ibunya, masuk dengan wajah masam.Ceklek.“Kamu sih! Kenapa bisa sampai balik ke sini?! Dulu aku setuju kamu tinggal dan menikah dengan Owen karena aku tahu dia kaya. Tapi sekarang kamu malah pulang dengan tangan kosong?!” bentak Lila.“Bu, aku juga tidak mau pulang ke sini! Kalau Zion tidak mengusir aku, aku masih di sana!” Desya menatap ibunya dengan tatapan tajam.“Zion ngusir kamu?! Astaga, dia pikir siapa yang sudah memberi hidup enak ke kamu? Itu kan hak kamu, Desya! Owen itu sua
Mall siang itu cukup ramai. Desya sedang sibuk memilih-milih pakaian di salah satu butik terkenal. Dia mengangkat sebuah dress berwarna lembut, tapi perhatiannya segera teralihkan ketika melihat sosok yang sangat familiar di ujung toko.Malvin dan istrinya, Laura, tampak berbelanja bersama. Desya hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya. Melihat Malvin tersenyum dan berbicara lembut pada Laura membuat hatinya remuk.Malvin, yang merasa ada tatapan, menoleh sejenak dan mendapati Desya menatap mereka. Wajahnya seketika berubah kaku, dan begitu juga Laura. Mereka berdua saling bertukar pandang, sama-sama tak menyangka akan bertemu dengan Desya di tempat itu.“Aku rasa lebih baik kita lanjut ke toko lain saja, firasaku tidak enak,” bisik Laura sambil menggenggam lengan Malvin erat.“Ya, lebih baik begitu, aku juga merasa tidak nyaman," Malvin mengangguk.Sementara Desya hanya mengerutkan alis, mena
Di lorong yang gelap, Desya berusaha menenangkan napasnya yang tersengal. Tubuhnya gemetar, namun hatinya bersyukur luar biasa. Zion datang tepat waktu, menyelamatkannya dari para laki-laki yang hendak mencelakainya. Keberaniannya muncul hanya karena satu hal, Zion, lelaki yang sejak dulu sudah tinggal serumah dengannya, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.Setelah berhasil membawa Desya pergi, Zion menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi."Apa yang terjadi, Desya? Kenapa mereka bisa mengejarmu seperti itu? Dan kenapa juga mereka bisa hendak berbuat hal tak senonoh pada dirimu?" Tanya Zion dengan wajah cemasnya, tetapi suaranya tetap tenang saat bertanya. Desya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui."Zion, aku… butuh perlindungan darimu. Mereka… mereka semua orang-orangnya Malvin."Zion menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut."Malvin? Malvin yang mana? Malvin yang waktu itu menikah dengan Laura sahabatmu?"
Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des