Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.
Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka. Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka. "Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu. "Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini." Desya tertawa sinis. "Jasmine? Kamu masih bela dia? Setelah semua yang dia lakukan, Zion? kamu tidak mengerti perasaanku. Aku kehilangan anakku juga suamiku, aku kehilangan segalanya." "Kak Desya, aku tahu kamu sakit hati. Tapi Jasmine tidak salah, Kita harus bisa hidup berdampingan. Kamu tidak bisa terus-terusan membenci dia," Zion mencoba menjelaskan, suaranya terdengar tegang. Jasmine menahan napas di luar pintu. Ia merasa seperti orang asing yang tak sengaja mendengarkan percakapan yang bukan untuknya. Namun ia tak bisa mengabaikan rasa sakit yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Aku tidak peduli! Kamu tidak tahu rasanya kehilangan segalanya. Jasmine punya kamu, punya hidup yang sempurna, sementara aku... aku hanya punya rasa sakit," Desya berteriak, suaranya pecah. Zion mendesah panjang. "Kak Desya, aku di sini buat kamu. Tapi kamu harus berhenti menyalahkan Jasmine," ucap Zion memeluk Desya. Jasmine memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak lagi, karena setiap kata yang keluar dari mulut Zion dan Desya seperti belati yang menghujam jantungnya. Zion membuka pintu, terkejut melihat Jasmine di ambang pintu. "Jasmine... apa yang kamu lakukan di sini?" Jasmine tersenyum tipis, mencoba menahan tangis yang mengancam pecah. "Aku hanya ingin mengantar susu buat kak Desya," katanya pelan. Ia melangkah masuk, meletakkan nampan di atas meja samping tempat tidur. Desya menatap Jasmine dengan penuh kebencian. "Kenapa kamu ada di sini? Aku tidak butuh apapun darimu!" Desya bangkit dari tempat tidur, lalu dengan cepat meraih gelas susu di atas nampan. Sebelum Jasmine bisa berkata apa-apa, Desya menyiramkan isi gelas itu ke tubuh Jasmine. Cairan susu hangat membasahi pakaian Jasmine, menetes ke lantai, tapi Jasmine tidak bergerak. "Kak Desya! Apa yang kamu lakukan?" Zion terkejut melihat tindakan Desya. Desya hanya mendengus. "Dia pantas mendapatkannya, Zion. Jangan berpura-pura peduli padanya." Jasmine berdiri kaku di tempatnya, matanya berkedip menahan air mata. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Desya. Namun rasa sakit yang ia rasakan begitu kuat, seolah menghancurkan pertahanan terakhirnya. "Kak Desya, kamu harus tenang. Ini tidak akan menyelesaikan apa-apa," Zion, bukannya membela Jasmine, malah berusaha menenangkan Desya. Jasmine menatap Zion, berharap setidaknya sekali saja suaminya akan membelanya. Namun, harapannya sirna ketika Zion tetap fokus pada Desya. "Jasmine, biarkan aku urus ini," kata Zion, suaranya pelan tapi tegas. Dengan hati yang hancur, Jasmine hanya mengangguk. Ia mengambil kain pel dari sudut kamar, lalu dengan tenang mulai membersihkan lantai yang basah. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Zion melirik Jasmine, seakan merasa bersalah. Namun ia tak berani mengatakan apa pun. Ia tahu di dalam hatinya, Jasmine tak pantas diperlakukan seperti itu. Tapi Desya... Desya terlalu rapuh. "Zion, kamu selalu pilih dia, Selalu dia, bukan aku. Padahal aku yang telah kehilangan segalanya," kata Desya dengan suara bergetar, masih menangis. "Kak Desya, aku ada di sini buat kamu, aku tidak akan meninggalkan kamu. Tapi kamu harus berhenti menyalahkan Jasmine. Ini bukan salahnya," Zion berbisik, memeluk Desya erat-erat. "Aku tidak terima... " Desya menangis semakin keras, tubuhnya bergetar dalam pelukan Zion. Jasmine yang masih berjongkok di lantai mengelap tumpahan susu, merasa hatinya hancur. Zion tidak pernah memeluknya seperti itu lagi. Pelukan yang dulu begitu ia rindukan, kini hanya milik Desya. Setelah selesai membersihkan lantai, Jasmine berdiri, lalu melangkah pelan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia sempat menoleh ke arah Zion dan Desya yang masih berada dalam pelukan satu sama lain. "Zion, aku akan tidur di kamar lain malam ini," kata Jasmine, suaranya lirih namun tegas. Jasmine tak bisa lagi berada di ruangan itu, melihat suaminya memberikan perhatian penuh pada wanita lain, sementara dirinya terus diabaikan. Zion menatap Jasmine, wajahnya tampak bingung. "Jasmine, aku..." "Sudahlah," potong Jasmine, suaranya bergetar. Zion tidak berkata apa-apa lagi. Jasmine menghela napas, lalu keluar dari kamar dengan hati yang penuh luka. Tangannya gemetar saat menutup pintu di belakangnya, seolah menutup pintu bagi harapan yang semakin lama semakin memudar. Jasmine masih terbaring di kamar tamu, sementara Zion terus memandangi wajahnya yang damai dalam tidur. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Ponsel Zion bergetar di sakunya. Ia menatap layar sejenak, dan alisnya mengernyit melihat nama yang muncul di sana panggilan dari salah satu rekan bisnisnya. “Ya, halo?” Zion menjawab panggilan itu dengan suara rendah, berusaha tidak membangunkan Jasmine. “Pak Zion, ada masalah besar. Salah satu investor utama kita, Pak Hadi, baru saja mengajukan permintaan untuk menarik seluruh modalnya,” suara di ujung telepon terdengar tegang. Zion terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. “Apa? Tunggu... Kenapa tiba-tiba?” “Kami belum tahu pasti alasannya. Tapi dia bilang ingin mengalihkan investasi ke tempat lain. Ke kompetitor kita.” “Kompetitor? Ini tidak mungkin. Berapa besar yang dia tarik?” Mata Zion melebar, dan seketika seluruh perhatiannya teralihkan dari Jasmine. “Hampir setengah dari total nilai proyek yang sedang berjalan.” Zion langsung berdiri dari kursinya, tubuhnya tegang. “Aku akan ke ruang kerja. Tunggu sebentar.” Zion menatap Jasmine yang masih tertidur sejenak, merasa ragu apakah harus meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Namun masalah di perusahaannya terlalu besar untuk diabaikan. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan kamar tamu dan menuju ruang kerjanya. Sesampainya di sana, Zion segera menekan nomor telepon Pak Hadi, investor yang dimaksud. Setelah beberapa detik menunggu, suara Pak Hadi terdengar di ujung sana. “Pak Hadi, ini saya Zion. Saya dengar Anda ingin menarik investasi Anda dari perusahaan kami. Ada apa sebenarnya? Apakah ada masalah?” “Zion, keputusan ini sudah saya pertimbangkan matang-matang. Bisnis itu soal peluang, dan sekarang, kompetitor Anda menawarkan sesuatu yang lebih menarik. Saya harus menjaga investasi saya agar tetap menguntungkan," Pak Hadi terdengar tenang namun tegas. “Tunggu, Pak Hadi. Mari kita bicarakan ini. Jika soal keuntungan, saya yakin kita bisa melakukan negosiasi ulang. Saya bisa menawarkan persentase yang lebih besar, atau kita bisa buat kesepakatan baru. Tapi jangan buru-buru menarik modal," Zion menahan napas, lalu berusaha menenangkan diri. Pak Hadi menghela napas panjang. “Zion, semua ini bukan cuma soal persentase. Kompetitor Anda memiliki strategi yang lebih jelas untuk masa depan, terutama dalam hal ekspansi. Mereka lebih agresif dan berani mengambil risiko. Saya butuh sesuatu yang lebih dari sekedar peningkatan persentase," jelas Pak Hadi. Zion mengusap wajahnya dengan tangan, merasa frustasi. “Kami juga punya rencana ekspansi. Ini hanya soal waktu, Pak Hadi. Beri saya kesempatan untuk membuktikan bahwa keputusan ini bisa menguntungkan Anda lebih dari yang kompetitor tawarkan," Zion melakukan penawaran dan berharap Pak Hadi untuk tetap berada di pihaknya. Pak Hadi terdiam sejenak, tapi kemudian berkata dengan nada mantap. “Saya sudah mengambil keputusan, Zion. Saya menghargai usaha Anda, tapi ini adalah keputusan bisnis. Saya tidak bisa berubah pikiran hanya karena tawaran baru di menit-menit terakhir," tegas Pak Hadi dengan lantang. Zion merasa seperti ditampar. Semua upaya yang ia lakukan untuk mempertahankan bisnisnya seakan terhempas begitu saja. “Jadi... ini final?” “Ya. Saya akan segera mengurus proses penarikan modal. Saya minta maaf jika ini mengecewakan anda, tapi saya harus memikirkan investasi saya untuk ke depannya.” Setelah itu, telepon terputus, meninggalkan Zion dalam keheningan yang menghimpit. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. "argh Sial…” desisnya pelan, memukul meja dengan kepalan tangannya. Dengan perasaan tertekan, Zion bersandar di kursi, memijat pelipisnya. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang bagaimana ia akan menutupi kekosongan besar yang ditinggalkan oleh penarikan modal ini. Investor sekelas Pak Hadi bukan seseorang yang mudah didapatkan, dan sekarang, bisnisnya terancam mengalami guncangan besar. Saat itu juga, pintu ruang kerja terbuka perlahan. Jasmine berdiri di sana, dengan mata yang masih sembab karena menangis. “Zion, apa yang terjadi?” Jasmine bertanya dengan suara pelan, memperhatikan ekspresi tegang suaminya. Zion menoleh, sedikit terkejut melihat Jasmine di sana. “Aku… maaf kalau aku mengganggu istirahatmu, Jasmine,” ucap Zion, berusaha menyembunyikan kekesalan yang baru saja ia alami. Jasmine menggeleng. “Aku dengar kamu bicara di telepon. Ada masalah besar, ya?” Zion menghela napas berat, lalu mengangguk. “Salah satu investor terbesar kita baru saja mencabut investasinya. Ini bisa menghancurkan proyek-proyek yang sedang berjalan.” “Investor itu… apakah tidak ada cara lain untuk meyakinkan dia kembali?” tanya Jasmine, mendekat. “Aku sudah coba, aku tawarkan persentase lebih besar, tapi dia tetap pindah ke kompetitor kita. Dia bilang mereka punya strategi yang lebih agresif," Zion berkata dengan frustrasi. Jasmine terdiam, mencoba mencerna situasinya. “Zion, mungkin kamu bisa coba mencari investor lain? Atau menawarkan kerjasama baru yang lebih menguntungkan?” Zion tertawa kecil, tapi bukan karena merasa lucu. “Kedengarannya mudah jika diucapkan, Jasmine. Tapi ini lebih rumit dari itu. Aku tidak bisa asal mencari investor baru tanpa risiko memperburuk situasi.” “Ya, baiklah, Zion, aku tahu kamu bisa melewati ini. Kamu pernah menghadapi masalah yang lebih buruk dari ini sebelumnya. Kamu hanya perlu fokus dan mencari solusi.” Zion menatap Jasmine, merasa sedikit tenang. Meski hubungan mereka sedang dalam keadaan yang rapuh, Jasmine tetap memberikan dukungan. Itu membuat Zion merasa sedikit bersalah atas sikapnya selama ini. “Terima kasih, Jasmine, Aku... aku tahu aku belum jadi suami yang baik akhir-akhir ini," Zion berkata pelan, matanya menatap dalam-dalam ke arah Jasmine. Jasmine menunduk, ada luka yang masih terasa, tapi ia berusaha menutupi.Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha
Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Jasmine dan Zion baru saja menikah dalam sebuah pernikahan yang megah dan dihadiri oleh banyak tamu penting. Pesta itu diwarnai dengan canda dan tawa, sukacita, dan harapan baru untuk masa depan mereka. Setelah acara selesai, Zion menggandeng tangan Jasmine dan membawanya pulang ke rumah mewah keluarganya.“Sayang, aku tidak sabar untuk memulai hidup baru kita,” kata Zion dengan senyuman lebar.“Aku juga, Zion! Semoga semua berjalan dengan lancar,” jawab Jasmine penuh semangat.Setibanya di rumah, Jasmine disambut hangat oleh keluarga Zion. Mama dan papanya menerima Jasmine dengan penuh kasih sayang.“Selamat datang di keluarga kami, Nak Jasmine. Kami sangat senang kamu ada di sini,” ucap Mamanya Zion.“Terima kasih, Ma. Saya akan berusaha menjadi menantu yang baik,” balas Jasmine dengan senyum manis.Namun, tidak semua orang senang dengan kehadiran Jasmine. Desya, kakak ipar Zion, memperlihatkan sikap yang dingin. Ketika Jasmine menyapanya, Desya hanya mengangguk tanpa berbicara, bah
Kematian Owen mengubah segalanya. Jasmine dan Zion merasakan kekosongan yang dalam. Sebagai adik, Zion merasa terpanggil untuk menjaga Desya, seperti janji yang pernah ia buat kepada Owen. Namun, Jasmine, istri Zion, mulai merasakan sesuatu yang lain di antara hubungan suaminya dengan Desya.Suatu sore, Zion pulang dari kantor dan mendengar suara isakan lirih dari kamar Desya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Zion ragu sejenak, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mendekat dan mengintip. Di dalam kamar, Desya duduk di tepi tempat tidur, memandang bingkai foto Owen. Matanya sembab dan air mata mengalir deras di pipinya.Zion merasa tersentuh."Kasihan sekali Kak Desya, dia benar-benar kehilangan Kak Owen, bagaimana bisa aku telah berkata yang buruk tentangnya," gumamnya dalam hati.Tanpa disadari, Desya sebenarnya memang tahu Zion sedang mengintip, dan semua ini hanya akting belaka. Desya ingin Zion merasa iba dan tergerak hatinya."Kak Desya...," Zion memanggil lembut dari pi
Jasmine duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sudah berhari-hari ia merasakan Zion semakin menjauh. Suaminya yang dulu penuh perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Jasmine tahu ada sesuatu yang salah, namun setiap kali ia mencoba mendekat, Zion malah makin menjauh."Zion, apa kamu mau makan malam di rumah, malam ini?" tanya Jasmine dengan suara pelan, mencoba terdengar ceria.Zion yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, hanya mengangguk tanpa menatapnya."Sepertinya tidak. Mungkin aku ada urusan di luar," jawab Zion tanpa nada.Jasmine menelan ludah, merasa hampa."Aku merasa kita jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Kamu sibuk sekali. Bisakah, kamu meluangkan waktu sebentar saja untukku, kita perlu bicara?""Aku punya banyak pekerjaan, Jasmine. Jika kamu mau sesuatu, to the point saja," Zion mendengus pelan. Jasmine mendekat, mencoba mengambil tangan Zion."Bukan soal hal yang lain, Zion. Kamu... kamu seperti me
"Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan."Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar.Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat."Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!"Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya."Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba.Zion tertawa sin