Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian.
"Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi. "Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang melihatmu di garasi sebelum suamiku Owen, pergi? Bahkan melihat kau sebelumnya yang menggunting kabel rem mobil suamiku," Desya tersenyum tipis, kemenangan tergambar jelas di wajahnya. "Siapa saksi itu? Aku tidak pernah ke garasi, kak Desya! Aku bahkan tidak tahu bentuk kabel rem itu seperti apa!" Jasmine menantang, matanya penuh kesedihan. Desya tidak menghiraukannya. "Kau bisa terus berbohong, Jasmine, tapi Zion tahu bahwa aku tidak akan pernah berbohong padanya. Zion, kau tahu aku hanya ingin melindungimu dan keluargamu. Kau tidak bisa membiarkan dia merusak semuanya," Desya berbalik ke arah Zion dan dengan lembut memegang lengannya. Jasmine merasa sesak. Dia berusaha menenangkan dirinya, tapi sulit melawan emosi yang membuncah. "Zion, dengarkan aku. Aku tidak melakukan apapun yang kak Desya tuduhkan. Aku menyayangi kak Owen layaknya kakakku sendiri, dan kau tahu itu bukan!" "Jangan sebut-sebut nama Owen! Owen sudah tiada karena kecelakaan itu, Jasmine. Dan sekarang semua bukti menunjukkan bahwa kau terlibat akan hal tersebut!" Zion meledak, nadanya keras dan penuh amarah. Air mata mulai mengalir di pipi Jasmine. "Kecelakaan itu bukan salahku... Zion, aku tidak pernah ingin menyakiti kak Owen, apalagi kamu. Kamu harus percaya padaku." Desya semakin mendekatkan diri ke Zion, seolah memperkuat posisinya. "Dia hanya berusaha memanipulasimu, Zion. Dia bahkan sebenarnya sangat ingin menguasai kekayaan keluargamu. Semua ini adalah bagian dari rencananya." Jasmine merasa seperti diserang dari segala arah. "Kekayaan? Apa kau serius? Aku tidak pernah peduli tentang hal itu!" "Lalu apa yang kau pedulikan, Jasmine? Cinta? Kepercayaan? Semua yang kau katakan tidak masuk akal sekarang, setelah Desya menunjukkan semua bukti itu," Zion memalingkan wajahnya. Jasmine merasa dunia seolah runtuh di sekitarnya. Semua yang dia miliki, semua hubungannya dengan Zion, kini hancur berkeping-keping di depan matanya. Dia harus membela diri, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu terasa tak berarti di telinga Zion. "Aku sudah tahu sejak awal kau bukanlah orang yang tulus, Jasmine. Kau hanya mendekati keluarga Zion karena harta dan kekayaan. Semua orang tahu itu. Dan kau bahkan rela membahayakan nyawa Owen dan bayi yang dikandunganku, demi ambisimu!" Desya melanjutkan serangannya dengan kata-kata yang lebih kejam. Jasmine berdiri, tubuhnya goyah karena rasa sakit dan ketidakadilan. "Aku tidak akan pernah melakukan itu! Zion, aku mencintaimu, aku juga menyayangi semua keluargamu, seperti keluargaku sendiri... Apa kau tidak bisa melihat bahwa ini semua fitnah? Kak Desya hanya ingin memisahkan kita!" "Fitnah? Kau kira semua ini bisa diselesaikan hanya dengan kata-katamu? Kau pikir aku tidak tahu seberapa dalam keterlibatanmu?" Zion menatap Jasmine dengan tatapan dingin. Jasmine merasa semua usahanya sia-sia. Zion benar-benar percaya pada Desya, dan itu membuat hatinya terasa remuk. Dia tahu, Desya cemburu karena Zion lebih dekat dengannya. Tapi Jasmine tidak pernah membayangkan bahwa Desya akan sejauh ini memfitnahnya. "Zion, Aku tidak tahu apa yang telah kak Desya katakan padamu, tapi aku memohon padamu untuk melihat kebenarannya. Kau mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Aku tidak akan pernah menyakiti kak Owen, apalagi kau," ucap Jasmine dengan lirih, air matanya jatuh semakin deras. "Zion, jangan buang waktumu lagi untuk mendengarkan lelucon dia. Segera bawa masalah ini ke polisi. Biarkan hukum yang berbicara," Desya tertawa kecil, suara yang terdengar begitu penuh ejekan. "Polisi?" Dia berbisik, tak percaya. Jasmine kemudian menatap Zion dan berharap padanya. "Zion, kau tidak akan melaporku, kan? Kau tahu aku tidak bersalah," Jasmine merasa seolah ada tombak yang menancap di dadanya. Zion menggenggam rahangnya dengan tegang, kemudian berbicara dengan nada yang tajam. "Jasmine, kak Desya sudah menunjukkan semua bukti. Dia punya saksi, dan semua yang dia katakan masuk akal. Kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan." Kata-kata itu menghantam Jasmine seperti pukulan berat. Zion benar-benar mempercayai Desya. Tidak peduli seberapa keras Jasmine mencoba menjelaskan, semua sudah diputuskan. Desya melangkah maju dan memegang tangan Zion dengan lembut, tatapan matanya dipenuhi kepuasan. "Kau telah melakukan hal yang benar, Zion. Kita harus memastikan orang seperti dia tidak lagi berada di sekitar kita. Dia terlalu berbahaya." Jasmine menatap mereka berdua, merasa seperti hidupnya benar-benar di ujung tanduk. Semua yang dia coba perjuangkan hancur dalam sekejap, karena fitnah dan kebohongan yang disebarkan Desya. "Aku tidak akan pernah melakukan itu, Zion, Tapi jika kamu lebih memilih untuk mempercayai kebohongan ini daripada melihat kenyataan, aku tidak bisa memaksa," Ulang Jasmine, suaranya bergetar dengan emosi. Zion tidak menjawab, hanya berbalik dan pergi meninggalkan Jasmine di tengah ruang tamu yang kini terasa begitu dingin. Desya mengikuti di belakangnya, dengan senyuman puas terpampang di wajahnya. Jasmine berdiri di sana, hancur dan tak berdaya, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Fitnah itu telah membakar habis semua yang dia miliki, dan kini dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, kebenaran akan terungkap. Tapi hari itu seolah terasa jauh dari genggamannya. Zion melangkah dengan cepat, hampir berlari, menyusuri trotoar yang basah setelah hujan. Pikirannya berkecamuk, setiap langkahnya terasa berat, tetapi dia tahu, tidak ada jalan lain. Kantor polisi terlihat dari kejauhan, dan dada Zion terasa sesak. Bagaimana mungkin Jasmine, wanita yang dia cintai, menjadi penyebab kematian kakak kandungnya, Owen? Setibanya di depan meja resepsionis kantor polisi, Zion menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas resepsionis, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan serius. “Saya... saya ingin melaporkan sebuah kejahatan,” jawab Zion dengan suara yang bergetar. Petugas tersebut meliriknya sejenak, mencatat sesuatu di kertas, lalu mengangguk. “Silakan, jelaskan lebih lanjut.” Zion menelan ludahnya. “Ini tentang istri saya. Jasmine... Dia yang bertanggung jawab atas kecelakaan kakak kandung saya, Owen.” Petugas itu terdiam sejenak, kaget mendengar pengakuan Zion, namun segera bangkit dari kursinya. “Tolong tunggu sebentar. Saya akan memanggil penyidik untuk menangani kasus ini.” Di tempat lain, Desya tersenyum penuh kemenangan saat ponselnya berbunyi. Dia melirik layar dan langsung mengangkatnya. "Sudah beres?" tanya Desya dengan nada rendah namun terdengar puas. "Ya, sudah, Jasmine sekarang sepenuhnya terjebak. Semua bukti yang kita tanam akan mengarah padanya," jawab suara di ujung telepon. Desya mengangguk, puas. “Bagus. Segera ke rumahku, aku akan melakukan hal yang sudah kita sepakati, aku akan mentransfer pembayaran yang dijanjikan.” "Baik, Bu Desya. Senang bekerja sama dengan Anda," Suara di ujung telepon terdengar penuh antusiasme sebelum panggilan itu terputus. Desya menatap ponselnya dengan senyum licik di wajahnya. Dia berhasil memfitnah Jasmine. Segalanya berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang tahu permainan kotor di balik kematian Owen, selain dirinya sendiri. Karena sebenarnya, dialah yang telah membunuh suaminya sendiri, memotong rem mobil tersebut agar Owen meninggal tragis. Karena dia sangat mencintai adik iparnya sendiri, Zion. Akhirnya Jasmine duduk di sudut sel penjara yang dingin. Wajahnya lelah, matanya kosong. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tuduhan yang dilayangkan kepadanya begitu berat pembunuhan Owen, kakak iparnya sendiri. Dia ditahan sementara di sel khusus, sampai hari pengadilan tiba. "Jasmine, Ada pengunjung untukmu," Seorang sipir mendekat. Jasmine mendongak dengan tatapan hampa. Dia tidak berharap ada siapa pun yang akan datang menemuinya. Namun, langkahnya tetap dia paksakan untuk mengikuti sipir menuju ruang kunjungan. Di sana, di balik kaca pembatas, Zion duduk, menunggunya dengan tatapan yang tidak bisa dia tafsirkan. Jasmine duduk perlahan di kursi yang tersedia, telepon kecil di samping kaca adalah satu-satunya alat komunikasi mereka. “Zion, kenapa kamu di sini?” suara Jasmine bergetar. Zion mengambil telepon itu dengan tangan yang bergetar. "Kenapa kamu lakukan itu, Jasmine? Kenapa kamu hancurkan segalanya?” “Apa maksudmu? Aku tidak pernah… Zion, kamu harus percaya padaku, aku tidak membunuh kak Owen! Aku tidak pernah menginginkan kematiannya!” Jasmine hampir menangis, air mata menggenang di matanya. “Aku sudah tahu semuanya, Kamu tidak bisa mengelak lagi. Bukti-buktinya semua mengarah padamu. Aku tidak pernah menyangka bahwa kamu ternyata sekejam ini," potong Zion dingin. “Aku dijebak! Zion, ini tidak benar! Aku... aku tidak pernah menyentuh kak Owen! Kamu harus percaya padaku!” Jasmine menangis terisak-isak. Namun Zion hanya menatapnya dengan dingin, hatinya sudah dipenuhi oleh kebencian dan kekecewaan. "Cukup Jasmine! Aku sangat kecewa padamu. Kamu bukan lagi wanita yang dulu aku kenal.” Jasmine hanya bisa terdiam. Dunia seolah runtuh di hadapannya, dan harapan terakhirnya lenyap bersama langkah Zion yang meninggalkannya sendirian di ruang itu.Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Jasmine dan Zion baru saja menikah dalam sebuah pernikahan yang megah dan dihadiri oleh banyak tamu penting. Pesta itu diwarnai dengan canda dan tawa, sukacita, dan harapan baru untuk masa depan mereka. Setelah acara selesai, Zion menggandeng tangan Jasmine dan membawanya pulang ke rumah mewah keluarganya.“Sayang, aku tidak sabar untuk memulai hidup baru kita,” kata Zion dengan senyuman lebar.“Aku juga, Zion! Semoga semua berjalan dengan lancar,” jawab Jasmine penuh semangat.Setibanya di rumah, Jasmine disambut hangat oleh keluarga Zion. Mama dan papanya menerima Jasmine dengan penuh kasih sayang.“Selamat datang di keluarga kami, Nak Jasmine. Kami sangat senang kamu ada di sini,” ucap Mamanya Zion.“Terima kasih, Ma. Saya akan berusaha menjadi menantu yang baik,” balas Jasmine dengan senyum manis.Namun, tidak semua orang senang dengan kehadiran Jasmine. Desya, kakak ipar Zion, memperlihatkan sikap yang dingin. Ketika Jasmine menyapanya, Desya hanya mengangguk tanpa berbicara, bah
Kematian Owen mengubah segalanya. Jasmine dan Zion merasakan kekosongan yang dalam. Sebagai adik, Zion merasa terpanggil untuk menjaga Desya, seperti janji yang pernah ia buat kepada Owen. Namun, Jasmine, istri Zion, mulai merasakan sesuatu yang lain di antara hubungan suaminya dengan Desya.Suatu sore, Zion pulang dari kantor dan mendengar suara isakan lirih dari kamar Desya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Zion ragu sejenak, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mendekat dan mengintip. Di dalam kamar, Desya duduk di tepi tempat tidur, memandang bingkai foto Owen. Matanya sembab dan air mata mengalir deras di pipinya.Zion merasa tersentuh."Kasihan sekali Kak Desya, dia benar-benar kehilangan Kak Owen, bagaimana bisa aku telah berkata yang buruk tentangnya," gumamnya dalam hati.Tanpa disadari, Desya sebenarnya memang tahu Zion sedang mengintip, dan semua ini hanya akting belaka. Desya ingin Zion merasa iba dan tergerak hatinya."Kak Desya...," Zion memanggil lembut dari pi
Jasmine duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sudah berhari-hari ia merasakan Zion semakin menjauh. Suaminya yang dulu penuh perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Jasmine tahu ada sesuatu yang salah, namun setiap kali ia mencoba mendekat, Zion malah makin menjauh."Zion, apa kamu mau makan malam di rumah, malam ini?" tanya Jasmine dengan suara pelan, mencoba terdengar ceria.Zion yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, hanya mengangguk tanpa menatapnya."Sepertinya tidak. Mungkin aku ada urusan di luar," jawab Zion tanpa nada.Jasmine menelan ludah, merasa hampa."Aku merasa kita jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Kamu sibuk sekali. Bisakah, kamu meluangkan waktu sebentar saja untukku, kita perlu bicara?""Aku punya banyak pekerjaan, Jasmine. Jika kamu mau sesuatu, to the point saja," Zion mendengus pelan. Jasmine mendekat, mencoba mengambil tangan Zion."Bukan soal hal yang lain, Zion. Kamu... kamu seperti me
"Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan."Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar.Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat."Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!"Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya."Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba.Zion tertawa sin
Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka.Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka."Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu."Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini."Desya tertawa sinis."Jasmine? Kamu masi