Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian.
"Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi. "Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang melihatmu di garasi sebelum suamiku Owen, pergi? Bahkan melihat kau sebelumnya yang menggunting kabel rem mobil suamiku," Desya tersenyum tipis, kemenangan tergambar jelas di wajahnya. "Siapa saksi itu? Aku tidak pernah ke garasi, kak Desya! Aku bahkan tidak tahu bentuk kabel rem itu seperti apa!" Jasmine menantang, matanya penuh kesedihan. Desya tidak menghiraukannya. "Kau bisa terus berbohong, Jasmine, tapi Zion tahu bahwa aku tidak akan pernah berbohong padanya. Zion, kau tahu aku hanya ingin melindungimu dan keluargamu. Kau tidak bisa membiarkan dia merusak semuanya," Desya berbalik ke arah Zion dan dengan lembut memegang lengannya. Jasmine merasa sesak. Dia berusaha menenangkan dirinya, tapi sulit melawan emosi yang membuncah. "Zion, dengarkan aku. Aku tidak melakukan apapun yang kak Desya tuduhkan. Aku menyayangi kak Owen layaknya kakakku sendiri, dan kau tahu itu bukan!" "Jangan sebut-sebut nama Owen! Owen sudah tiada karena kecelakaan itu, Jasmine. Dan sekarang semua bukti menunjukkan bahwa kau terlibat akan hal tersebut!" Zion meledak, nadanya keras dan penuh amarah. Air mata mulai mengalir di pipi Jasmine. "Kecelakaan itu bukan salahku... Zion, aku tidak pernah ingin menyakiti kak Owen, apalagi kamu. Kamu harus percaya padaku." Desya semakin mendekatkan diri ke Zion, seolah memperkuat posisinya. "Dia hanya berusaha memanipulasimu, Zion. Dia bahkan sebenarnya sangat ingin menguasai kekayaan keluargamu. Semua ini adalah bagian dari rencananya." Jasmine merasa seperti diserang dari segala arah. "Kekayaan? Apa kau serius? Aku tidak pernah peduli tentang hal itu!" "Lalu apa yang kau pedulikan, Jasmine? Cinta? Kepercayaan? Semua yang kau katakan tidak masuk akal sekarang, setelah Desya menunjukkan semua bukti itu," Zion memalingkan wajahnya. Jasmine merasa dunia seolah runtuh di sekitarnya. Semua yang dia miliki, semua hubungannya dengan Zion, kini hancur berkeping-keping di depan matanya. Dia harus membela diri, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu terasa tak berarti di telinga Zion. "Aku sudah tahu sejak awal kau bukanlah orang yang tulus, Jasmine. Kau hanya mendekati keluarga Zion karena harta dan kekayaan. Semua orang tahu itu. Dan kau bahkan rela membahayakan nyawa Owen dan bayi yang dikandunganku, demi ambisimu!" Desya melanjutkan serangannya dengan kata-kata yang lebih kejam. Jasmine berdiri, tubuhnya goyah karena rasa sakit dan ketidakadilan. "Aku tidak akan pernah melakukan itu! Zion, aku mencintaimu, aku juga menyayangi semua keluargamu, seperti keluargaku sendiri... Apa kau tidak bisa melihat bahwa ini semua fitnah? Kak Desya hanya ingin memisahkan kita!" "Fitnah? Kau kira semua ini bisa diselesaikan hanya dengan kata-katamu? Kau pikir aku tidak tahu seberapa dalam keterlibatanmu?" Zion menatap Jasmine dengan tatapan dingin. Jasmine merasa semua usahanya sia-sia. Zion benar-benar percaya pada Desya, dan itu membuat hatinya terasa remuk. Dia tahu, Desya cemburu karena Zion lebih dekat dengannya. Tapi Jasmine tidak pernah membayangkan bahwa Desya akan sejauh ini memfitnahnya. "Zion, Aku tidak tahu apa yang telah kak Desya katakan padamu, tapi aku memohon padamu untuk melihat kebenarannya. Kau mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Aku tidak akan pernah menyakiti kak Owen, apalagi kau," ucap Jasmine dengan lirih, air matanya jatuh semakin deras. "Zion, jangan buang waktumu lagi untuk mendengarkan lelucon dia. Segera bawa masalah ini ke polisi. Biarkan hukum yang berbicara," Desya tertawa kecil, suara yang terdengar begitu penuh ejekan. "Polisi?" Dia berbisik, tak percaya. Jasmine kemudian menatap Zion dan berharap padanya. "Zion, kau tidak akan melaporku, kan? Kau tahu aku tidak bersalah," Jasmine merasa seolah ada tombak yang menancap di dadanya. Zion menggenggam rahangnya dengan tegang, kemudian berbicara dengan nada yang tajam. "Jasmine, kak Desya sudah menunjukkan semua bukti. Dia punya saksi, dan semua yang dia katakan masuk akal. Kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan." Kata-kata itu menghantam Jasmine seperti pukulan berat. Zion benar-benar mempercayai Desya. Tidak peduli seberapa keras Jasmine mencoba menjelaskan, semua sudah diputuskan. Desya melangkah maju dan memegang tangan Zion dengan lembut, tatapan matanya dipenuhi kepuasan. "Kau telah melakukan hal yang benar, Zion. Kita harus memastikan orang seperti dia tidak lagi berada di sekitar kita. Dia terlalu berbahaya." Jasmine menatap mereka berdua, merasa seperti hidupnya benar-benar di ujung tanduk. Semua yang dia coba perjuangkan hancur dalam sekejap, karena fitnah dan kebohongan yang disebarkan Desya. "Aku tidak akan pernah melakukan itu, Zion, Tapi jika kamu lebih memilih untuk mempercayai kebohongan ini daripada melihat kenyataan, aku tidak bisa memaksa," Ulang Jasmine, suaranya bergetar dengan emosi. Zion tidak menjawab, hanya berbalik dan pergi meninggalkan Jasmine di tengah ruang tamu yang kini terasa begitu dingin. Desya mengikuti di belakangnya, dengan senyuman puas terpampang di wajahnya. Jasmine berdiri di sana, hancur dan tak berdaya, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Fitnah itu telah membakar habis semua yang dia miliki, dan kini dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, kebenaran akan terungkap. Tapi hari itu seolah terasa jauh dari genggamannya. Zion melangkah dengan cepat, hampir berlari, menyusuri trotoar yang basah setelah hujan. Pikirannya berkecamuk, setiap langkahnya terasa berat, tetapi dia tahu, tidak ada jalan lain. Kantor polisi terlihat dari kejauhan, dan dada Zion terasa sesak. Bagaimana mungkin Jasmine, wanita yang dia cintai, menjadi penyebab kematian kakak kandungnya, Owen? Setibanya di depan meja resepsionis kantor polisi, Zion menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas resepsionis, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan serius. “Saya... saya ingin melaporkan sebuah kejahatan,” jawab Zion dengan suara yang bergetar. Petugas tersebut meliriknya sejenak, mencatat sesuatu di kertas, lalu mengangguk. “Silakan, jelaskan lebih lanjut.” Zion menelan ludahnya. “Ini tentang istri saya. Jasmine... Dia yang bertanggung jawab atas kecelakaan kakak kandung saya, Owen.” Petugas itu terdiam sejenak, kaget mendengar pengakuan Zion, namun segera bangkit dari kursinya. “Tolong tunggu sebentar. Saya akan memanggil penyidik untuk menangani kasus ini.” Di tempat lain, Desya tersenyum penuh kemenangan saat ponselnya berbunyi. Dia melirik layar dan langsung mengangkatnya. "Sudah beres?" tanya Desya dengan nada rendah namun terdengar puas. "Ya, sudah, Jasmine sekarang sepenuhnya terjebak. Semua bukti yang kita tanam akan mengarah padanya," jawab suara di ujung telepon. Desya mengangguk, puas. “Bagus. Segera ke rumahku, aku akan melakukan hal yang sudah kita sepakati, aku akan mentransfer pembayaran yang dijanjikan.” "Baik, Bu Desya. Senang bekerja sama dengan Anda," Suara di ujung telepon terdengar penuh antusiasme sebelum panggilan itu terputus. Desya menatap ponselnya dengan senyum licik di wajahnya. Dia berhasil memfitnah Jasmine. Segalanya berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang tahu permainan kotor di balik kematian Owen, selain dirinya sendiri. Karena sebenarnya, dialah yang telah membunuh suaminya sendiri, memotong rem mobil tersebut agar Owen meninggal tragis. Karena dia sangat mencintai adik iparnya sendiri, Zion. Akhirnya Jasmine duduk di sudut sel penjara yang dingin. Wajahnya lelah, matanya kosong. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tuduhan yang dilayangkan kepadanya begitu berat pembunuhan Owen, kakak iparnya sendiri. Dia ditahan sementara di sel khusus, sampai hari pengadilan tiba. "Jasmine, Ada pengunjung untukmu," Seorang sipir mendekat. Jasmine mendongak dengan tatapan hampa. Dia tidak berharap ada siapa pun yang akan datang menemuinya. Namun, langkahnya tetap dia paksakan untuk mengikuti sipir menuju ruang kunjungan. Di sana, di balik kaca pembatas, Zion duduk, menunggunya dengan tatapan yang tidak bisa dia tafsirkan. Jasmine duduk perlahan di kursi yang tersedia, telepon kecil di samping kaca adalah satu-satunya alat komunikasi mereka. “Zion, kenapa kamu di sini?” suara Jasmine bergetar. Zion mengambil telepon itu dengan tangan yang bergetar. "Kenapa kamu lakukan itu, Jasmine? Kenapa kamu hancurkan segalanya?” “Apa maksudmu? Aku tidak pernah… Zion, kamu harus percaya padaku, aku tidak membunuh kak Owen! Aku tidak pernah menginginkan kematiannya!” Jasmine hampir menangis, air mata menggenang di matanya. “Aku sudah tahu semuanya, Kamu tidak bisa mengelak lagi. Bukti-buktinya semua mengarah padamu. Aku tidak pernah menyangka bahwa kamu ternyata sekejam ini," potong Zion dingin. “Aku dijebak! Zion, ini tidak benar! Aku... aku tidak pernah menyentuh kak Owen! Kamu harus percaya padaku!” Jasmine menangis terisak-isak. Namun Zion hanya menatapnya dengan dingin, hatinya sudah dipenuhi oleh kebencian dan kekecewaan. "Cukup Jasmine! Aku sangat kecewa padamu. Kamu bukan lagi wanita yang dulu aku kenal.” Jasmine hanya bisa terdiam. Dunia seolah runtuh di hadapannya, dan harapan terakhirnya lenyap bersama langkah Zion yang meninggalkannya sendirian di ruang itu.Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Zion duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya berat oleh banyak pikiran yang berlomba-lomba menuntut perhatian. Ia tidak bisa melupakan tuduhan yang dilemparkan Desya kepada Jasmine, tuduhan yang sepertinya tak masuk akal namun terus berputar di benaknya. Jasmine istrinya selalu bersikeras bahwa semuanya adalah fitnah, upaya kejam untuk menjatuhkannya.Malam itu, pikirannya mulai mengembara kembali ke saat di mana pengacara Jasmine mengungkapkan bukti rahasia dalam persidangan. Bukti itu tampaknya mengganggu Desya, membuat wanita itu gelisah di ruang sidang."Apakah mungkin kak Desya yang telah melakukan semua ini?" gumam Zion pelan, hampir tidak percaya pada kata-katanya sendiri."Tapi bagaimana mungkin? Secara, dia sangat kehilangan orang-orang yang sangat dia harapkan untuk kedepannya. Apakah Jasmine yang mengada-ada?" Zion tampak frustasi dengan segenap pikirannya.Di tengah kebingungannya, suara Desya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Setelah Jasmine pergi dari rumah, Zion termenung di kamarnya, mengingat perkataan Jasmine. Bayangan wajah istrinya yang kini terluka dalam hati tak bisa dihapuskan. Mungkinkah dia yang salah? Apakah Desya, kakak iparnya, benar-benar memfitnah Jasmine seperti yang dituduhkan? Zion menghela napas panjang."Jasmine mungkin hanya mencari alasan... tapi kenapa semua terasa begitu nyata?" gumamnya.Sementara itu, di ruangan lain, Desya tersenyum tipis, merasakan kepuasan dalam hatinya. Dia merasa telah memenangkan permainan ini.Tok tok tok Terdengar suara pintu. Zion menoleh dan melihat Desya masuk ke kamarnya tanpa izin."Zion, kamu kelihatan kusut sekali," ucap Desya dengan nada yang dibuat-buat lembut.Ia melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Zion."Aku hanya sedang berpikir, kak Desya. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sedikit merasa frustasi," Zion mengernyit, sedikit tak nyaman, namun ia tetap
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen
Hari-hari di kampung, terasa lebih lama bagi Jasmine, meskipun udara segar dan pemandangan sawah yang luas memberi ketenangan yang ia butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun tubuhnya kini sudah mulai pulih. Terkadang ia berjalan pelan, ditemani ibunya yang selalu sabar menemani setiap langkahnya.Pagi itu, seperti biasa, Jasmine berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke sawah. Kali ini, tidak bersama ibunya. Namun, langkahnya kali ini terhenti saat melihat sosok yang sudah beberapa kali muncul dalam hidupnya, namanya Kevin. Kevin yang selalu datang dengan senyum, mencoba membangkitkan semangatnya yang kian meredup.“Pagi, Jasmine,” sapa Kevin, dengan suara yang ramah.Jasmine hanya mengangguk, tidak terlalu bersemangat.“Pagi, Kevin.” Ia melanjutkan langkahnya, mencoba tidak terlalu memperhatikan pria yang tampaknya ingin lebih dekat dengannya.Kevin mengikutinya perlahan, tetap dengan senyuman yang tidak p
Desya menatap pintu kamarnya dengan kesal. Ia baru saja pulang ke rumah keluarganya, rumah yang sudah lama ia tinggalkan sejak menikah dengan Owen. Namun kini, setelah kepergian Owen, hidupnya berantakan. Zion, pria yang sempat menjadi penyelamat hidupnya, justru memulangkannya tanpa penjelasan apa pun.“Kenapa dia tega?” gumam Desya, sambil memukul-mukul bantalnya. Ia mencoba menelepon Zion untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja, nomor itu tidak bisa dihubungi.Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Ibunya, masuk dengan wajah masam.Ceklek.“Kamu sih! Kenapa bisa sampai balik ke sini?! Dulu aku setuju kamu tinggal dan menikah dengan Owen karena aku tahu dia kaya. Tapi sekarang kamu malah pulang dengan tangan kosong?!” bentak Lila.“Bu, aku juga tidak mau pulang ke sini! Kalau Zion tidak mengusir aku, aku masih di sana!” Desya menatap ibunya dengan tatapan tajam.“Zion ngusir kamu?! Astaga, dia pikir siapa yang sudah memberi hidup enak ke kamu? Itu kan hak kamu, Desya! Owen itu sua
Mall siang itu cukup ramai. Desya sedang sibuk memilih-milih pakaian di salah satu butik terkenal. Dia mengangkat sebuah dress berwarna lembut, tapi perhatiannya segera teralihkan ketika melihat sosok yang sangat familiar di ujung toko.Malvin dan istrinya, Laura, tampak berbelanja bersama. Desya hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya. Melihat Malvin tersenyum dan berbicara lembut pada Laura membuat hatinya remuk.Malvin, yang merasa ada tatapan, menoleh sejenak dan mendapati Desya menatap mereka. Wajahnya seketika berubah kaku, dan begitu juga Laura. Mereka berdua saling bertukar pandang, sama-sama tak menyangka akan bertemu dengan Desya di tempat itu.“Aku rasa lebih baik kita lanjut ke toko lain saja, firasaku tidak enak,” bisik Laura sambil menggenggam lengan Malvin erat.“Ya, lebih baik begitu, aku juga merasa tidak nyaman," Malvin mengangguk.Sementara Desya hanya mengerutkan alis, mena
Di lorong yang gelap, Desya berusaha menenangkan napasnya yang tersengal. Tubuhnya gemetar, namun hatinya bersyukur luar biasa. Zion datang tepat waktu, menyelamatkannya dari para laki-laki yang hendak mencelakainya. Keberaniannya muncul hanya karena satu hal, Zion, lelaki yang sejak dulu sudah tinggal serumah dengannya, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.Setelah berhasil membawa Desya pergi, Zion menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi."Apa yang terjadi, Desya? Kenapa mereka bisa mengejarmu seperti itu? Dan kenapa juga mereka bisa hendak berbuat hal tak senonoh pada dirimu?" Tanya Zion dengan wajah cemasnya, tetapi suaranya tetap tenang saat bertanya. Desya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui."Zion, aku… butuh perlindungan darimu. Mereka… mereka semua orang-orangnya Malvin."Zion menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut."Malvin? Malvin yang mana? Malvin yang waktu itu menikah dengan Laura sahabatmu?"
Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des