Jasmine duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sudah berhari-hari ia merasakan Zion semakin menjauh. Suaminya yang dulu penuh perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Jasmine tahu ada sesuatu yang salah, namun setiap kali ia mencoba mendekat, Zion malah makin menjauh.
"Zion, apa kamu mau makan malam di rumah, malam ini?" tanya Jasmine dengan suara pelan, mencoba terdengar ceria. Zion yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, hanya mengangguk tanpa menatapnya. "Sepertinya tidak. Mungkin aku ada urusan di luar," jawab Zion tanpa nada. Jasmine menelan ludah, merasa hampa. "Aku merasa kita jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Kamu sibuk sekali. Bisakah, kamu meluangkan waktu sebentar saja untukku, kita perlu bicara?" "Aku punya banyak pekerjaan, Jasmine. Jika kamu mau sesuatu, to the point saja," Zion mendengus pelan. Jasmine mendekat, mencoba mengambil tangan Zion. "Bukan soal hal yang lain, Zion. Kamu... kamu seperti menjauh dariku. Apa aku punya salah? Apa yang terjadi? Kamu seolah melupakan tentang kita." Zion menarik tangannya dan meletakkan ponsel di meja. "Kamu terlalu dramatisir, Jasmine. Aku tidak pernah berubah. Kamu saja yang terlalu banyak berpikir buruk terlalu jauh. Aku hanya tengah sibuk dengan semua urusanku," Zion menatap Jasmine, kali ini dengan sorot mata yang penuh kelelahan dan sedikit ketidakpedulian. "Sibuk dengan semua urusan tentang, Kak Desya?" tanya Jasmine lirih. "Lagi-lagi karena soal kak Desya yang kamu pikirkan, Jasmine? berapa kali aku harus bilang padamu, kak Desya itu kakak iparku. Dia adalah amanat dari Owen, kakakku. Aku harus menjaga dia dan calon anaknya. Kamu seharusnya bisa mengerti," Zion mendesah. "Tapi... Zion, kamu lebih sering menghabiskan waktu bersamanya daripada denganku. Aku merasa mulai diabaikan olehmu," suara Jasmine hampir pecah. "Kamu hanya cemburu berlebihan, seperti anak kecil. Ini bukan soal kita lagi. Ini soal tanggung jawabku dan aku tidak bisa berlaku egois. Owen meninggal dan aku harus menjaga amanatnya. Kamu yang seharusnya mendukungku, bukan malah cemburu buta seperti ini!" Zion mendelik, kesal. "Aku hanya merasa kehilangan kamu, kamu menjalankan amanat kakakmu dengan baik, tapi sementara kamu lupa dengan janjimu selama ini padaku, aku rasa tidak ada lagi keadilan untukku," Jasmine tertunduk, air matanya menggenang di pelupuk mata. "Aku di sini, Jasmine. Hentikan semua drama ini. Aku muak mendengarnya." Pagi berikutnya, Jasmine mencoba memulai harinya dengan senyuman. Ia ingin memperbaiki hubungan dengan Zion. Ia memutuskan untuk membuat sarapan spesial, berharap Zion akan melihat upayanya. Namun, saat ia membawa sarapan ke meja, Desya sudah ada di sana, duduk santai sambil bermain dengan perutnya yang semakin membesar. "Selamat pagi, Jasmine," sapa Desya dengan senyuman yang terkesan dibuat-buat. "Pagi, kak Desya," jawab Jasmine datar. Ia mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa cemburu yang semakin menggerogoti hatinya. Desya menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kamu tahu, Zion itu pria yang sangat luar biasa. Dia benar-benar tahu bagaimana menjaga tanggung jawabnya dengan baik. Aku sangat bersyukur dia ada untukku, dan aku sangat senang juga menikmati setiap perlakuan manisnya padaku." "Tentu saja, suamiku memang suami yang baik," Jasmine berusaha menahan emosinya. "Kamu tahu, Jasmine... Zion akan selalu memilih tanggung jawabnya seumur hidupnya, yakni aku dan calon bayiku. Kamu sebaiknya berpikir untuk pergi saja dari hidupnya mulai sekarang. Percuma kamu terus berada di sini, karena kamu sudah tidak berguna lagi untuknya," Desya tertawa kecil. Jasmine mengepalkan tangannya, merasa darahnya mulai mendidih. "Kak Desya, aku tidak akan membiarkan kamu menghancurkan rumah tanggaku." "Cih, Zion lebih butuh aku daripada kamu. Kita seperti terlihat keluarga yang lengkap dan harmonis. Lihat saja, pada akhirnya, dia akan lebih peduli pada amanat Owen daripada pada perasaanmu," Desya menatapnya dengan sorot mata tajam. "Aku tidak akan menyerah begitu saja, kak Desya," Jasmine merasa dadanya semakin sesak. "Kita lihat saja nanti," Desya tersenyum sinis. Siang itu, Jasmine dan Desya bertemu lagi di ruang tamu. Suasananya tegang sejak percakapan pagi tadi. Desya, yang biasanya santai, tiba-tiba mendekati Jasmine dengan ekspresi penuh kemenangan, bahkan semakin mengejek. "Kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan aku, Jasmine. Zion ada di pihakku, dan kamu? Hanya orang yang cemburu buta bahkan tidak dipedulikan sama sekali," sindir Desya. Jasmine, yang merasa semakin terpojok, akhirnya tidak bisa lagi menahan amarahnya. "Kak Desya, cukup! kamu sudah sangat keterlaluan! Jangan coba kamu berpikir bahwa aku akan tinggal diam dan membiarkan kamu menghancurkan hidupku, juga rumah tanggaku! Kamu tau, Tuhan maha melihat dan hukum karma itu ada, dengan niat burukmu!" Desya tiba-tiba memasang ekspresi terkejut dan tanpa diduga, ia sengaja menjatuhkan dirinya ke lantai dengan keras, sambil berteriak. "Tolong! Jasmine mendorongku!" Teriak Desya dengan sengaja. Zion yang baru saja masuk ke rumah, segera berlari mendengar suara Desya. "Kak Desya! Apa yang terjadi?!" "Jasmine... dia tidak bisa terima kamu lebih perhatian padaku. Dia mendorongku, Zion, dia sangat iri padaku dan dia sangat tidak terima akan semua itu," Desya berpura-pura menangis. Zion menatap Jasmine dengan mata yang menyala penuh amarah. "Jasmine! Bagaimana bisa kamu melakukan ini?!" Bentak Zion dengan marah. "Zion, aku tidak melakukannya sama sekali! Dia berbohong! Kak Desya hanya ingin membuatmu marah padaku! Tolong percaya padaku, Zion!" Jasmine tertegun. "Sudah cukup!" bentak Zion lagi. Zion segera membantu Desya berdiri dan merapikan keadaan Desya. "Kak Desya, pergi ke kamarmu. Istirahat. Aku akan menyelesaikan ini dengan Jasmine," pinta Zion. Desya berdiri dengan susah payah, berpura-pura lemah, dan berjalan ke kamar dengan langkah perlahan, menyempatkan diri menatap Jasmine dengan tatapan mengejek. Begitu Desya pergi, Zion langsung menarik tangan Jasmine dengan kasar dan membawanya ke kamar mereka. Pintu kamar dibanting dengan keras, menggetarkan dinding. Bbruuukk! "Jasmine, aku tidak percaya kamu bisa sekejam itu! Apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu bisa begitu keterlaluan dengan kak Desya?!" Zion berteriak, wajahnya memerah penuh amarah. "Zion, aku tidak mendorongnya sama sekali. Dia hanya tengah berpura-pura untuk membuatmu percaya padanya. Kamu mengapa tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi!" Jasmine, yang merasa hancur, berusaha menahan air matanya. "Aku tahu apa yang kulihat, Jasmine! Kamu berubah menjadi seseorang yang jahat, iri dengki, penuh kecemburuan dan kebencian. Ini semua karena kamu tidak bisa menerima kenyataan bahwa kak Desya ada di sini! Dan kamu selalu merasa bahwa aku salah dalam hal ini!" "Zion, aku hanya ingin kamu percaya padaku! Aku istrimu!" Jasmine memohon, air matanya akhirnya mengalir tanpa henti. "Tapi kamu malah bertindak seperti ini! Kamu tidak bisa menerima bahwa kak Desya membutuhkan bantuanku! Kamu yang membuat masalah, Jasmine!" Zion menuding dengan penuh emosi. "Zion, tolong dengarkan aku! Ini semua bohong! kak Desya tidak seperti yang kamu pikirkan! Selama ini dia berniat buruk untuk pernikahan kita!" Jasmine berusaha meraih tangan Zion, tapi Zion segera menepisnya. "Kamu sudah membuat masalah yang cukup besar, Jasmine. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darimu. Mulai sekarang, kamu harus bisa menjaga sikapmu pada Kak Desya!" kata Zion dingin. Zion keluar dari kamar, meninggalkan Jasmine yang terisak sendirian di dalam kamar. Jasmine terduduk di lantai, menangis dalam diam, hatinya hancur melihat Zion yang kini lebih percaya pada kebohongan Desya ketimbang pada dirinya. Zion segera berjalan cepat menuju kamar Desya, masih dengan amarah yang membara terhadap Jasmine. Di balik pintu, Desya terbaring di tempat tidur dengan tangan memegang perutnya, berpura-pura meringis kesakitan. "Kak Desya, bagaimana keadaanmu?" Zion bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, mendekat ke sisi tempat tidur. "Aku... aku baik-baik saja, Zion. Jangan terlalu khawatir," Desya mengerang pelan, memainkan perannya dengan sempurna. "Tidak, kamu tidak bisa mengabaikan ini! Kamu baru saja terjatuh, dan kita tidak bisa mengambil risiko. Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang. Kita harus memastikan kondisi janinmu," Zion terdengar tegas. Desya segera menggenggam tangan Zion, menatapnya dengan tatapan penuh kepalsuan. "Zion, aku tidak kuat melakukan perjalanan jauh sekarang. Tolong... aku tidak mau ke rumah sakit." "Tapi kak Desya, ini bukan hal yang bisa diabaikan. Kamu hamil, kita harus memeriksa keadaan kamu," Zion menatap Desya dengan kebingungan. Desya menggeleng, memegang perutnya dengan lembut. "Perutku baik-baik saja, Zion. Rasa sakitnya sudah hilang. Aku hanya perlu istirahat." "Kalau begitu, aku akan panggil dokter ke rumah. Ini tidak bisa dianggap sepele," Zion menghela napas panjang, jelas masih belum puas dengan jawaban itu. "Tidak perlu," Desya segera menolak dengan cepat. Desya sangat terkejut. "Aku tidak mau merepotkanmu. Kau sudah cukup banyak mengurusku. Ini hanya karena aku terlalu kaget tadi. Aku benar-benar merasa lebih baik sekarang." "Aku tidak suka jika kamu mengabaikan kesehatanmu dan calon bayimu. Kau tahu betapa pentingnya ini, anak yang berada di dalam kandunganmu adalah satu-satunya harta yang tak ternilai dari, kakakku," Zion terdiam sejenak, menatap Desya dengan alis berkerut. "Aku tahu, Zion, Tapi sungguh, rasa sakitnya sudah hilang. Aku akan baik-baik saja. Hanya perlu istirahat sebentar," Desya membalas dengan senyum lembut. "Baiklah. Tapi kalau ada sedikit saja keluhan, aku akan langsung memanggil dokter. Jangan bermain-main dengan kesehatanmu, kak Desya," Zion terlihat ragu, tetapi akhirnya ia mengalah. Desya mengangguk pelan, lalu mengangkat wajahnya untuk menatap Zion lebih dalam. "Zion, kamu benar-benar perhatian. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu. Kamu selalu ada untukku... untuk kami," ucapnya sambil mengusap perutnya, seakan ingin menegaskan posisinya di hidup Zion. Zion tersenyum tipis, meskipun sorot matanya masih dipenuhi kekhawatiran. "Aku hanya menjalankan amanat kak Owen. Kamu tidak perlu berterima kasih." "Tetapi tetap saja, kamu sudah melakukan banyak hal. Aku tidak ingin menjadi beban untukmu, Zion," Desya mendesah pelan. "Kak Desya, kamu bukan beban," Zion berkata tegas. Tetapi di dalam hatinya, perasaan bersalah mulai membayangi. Ia tahu tanggung jawabnya pada Desya besar, namun ada sesuatu yang mulai berjalan tidak adil. Sesuatu yang menyakitkan bagi Jasmine. Tapi Zion menepis pikiran itu, dia kembali fokus pada Desya."Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan."Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar.Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat."Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!"Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya."Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba.Zion tertawa sin
Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka.Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka."Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu."Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini."Desya tertawa sinis."Jasmine? Kamu masi
Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha
Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Zion duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya berat oleh banyak pikiran yang berlomba-lomba menuntut perhatian. Ia tidak bisa melupakan tuduhan yang dilemparkan Desya kepada Jasmine, tuduhan yang sepertinya tak masuk akal namun terus berputar di benaknya. Jasmine istrinya selalu bersikeras bahwa semuanya adalah fitnah, upaya kejam untuk menjatuhkannya.Malam itu, pikirannya mulai mengembara kembali ke saat di mana pengacara Jasmine mengungkapkan bukti rahasia dalam persidangan. Bukti itu tampaknya mengganggu Desya, membuat wanita itu gelisah di ruang sidang."Apakah mungkin kak Desya yang telah melakukan semua ini?" gumam Zion pelan, hampir tidak percaya pada kata-katanya sendiri."Tapi bagaimana mungkin? Secara, dia sangat kehilangan orang-orang yang sangat dia harapkan untuk kedepannya. Apakah Jasmine yang mengada-ada?" Zion tampak frustasi dengan segenap pikirannya.Di tengah kebingungannya, suara Desya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Setelah Jasmine pergi dari rumah, Zion termenung di kamarnya, mengingat perkataan Jasmine. Bayangan wajah istrinya yang kini terluka dalam hati tak bisa dihapuskan. Mungkinkah dia yang salah? Apakah Desya, kakak iparnya, benar-benar memfitnah Jasmine seperti yang dituduhkan? Zion menghela napas panjang."Jasmine mungkin hanya mencari alasan... tapi kenapa semua terasa begitu nyata?" gumamnya.Sementara itu, di ruangan lain, Desya tersenyum tipis, merasakan kepuasan dalam hatinya. Dia merasa telah memenangkan permainan ini.Tok tok tok Terdengar suara pintu. Zion menoleh dan melihat Desya masuk ke kamarnya tanpa izin."Zion, kamu kelihatan kusut sekali," ucap Desya dengan nada yang dibuat-buat lembut.Ia melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Zion."Aku hanya sedang berpikir, kak Desya. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sedikit merasa frustasi," Zion mengernyit, sedikit tak nyaman, namun ia tetap
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Hari-hari di kampung, terasa lebih lama bagi Jasmine, meskipun udara segar dan pemandangan sawah yang luas memberi ketenangan yang ia butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun tubuhnya kini sudah mulai pulih. Terkadang ia berjalan pelan, ditemani ibunya yang selalu sabar menemani setiap langkahnya.Pagi itu, seperti biasa, Jasmine berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke sawah. Kali ini, tidak bersama ibunya. Namun, langkahnya kali ini terhenti saat melihat sosok yang sudah beberapa kali muncul dalam hidupnya, namanya Kevin. Kevin yang selalu datang dengan senyum, mencoba membangkitkan semangatnya yang kian meredup.“Pagi, Jasmine,” sapa Kevin, dengan suara yang ramah.Jasmine hanya mengangguk, tidak terlalu bersemangat.“Pagi, Kevin.” Ia melanjutkan langkahnya, mencoba tidak terlalu memperhatikan pria yang tampaknya ingin lebih dekat dengannya.Kevin mengikutinya perlahan, tetap dengan senyuman yang tidak p
Desya menatap pintu kamarnya dengan kesal. Ia baru saja pulang ke rumah keluarganya, rumah yang sudah lama ia tinggalkan sejak menikah dengan Owen. Namun kini, setelah kepergian Owen, hidupnya berantakan. Zion, pria yang sempat menjadi penyelamat hidupnya, justru memulangkannya tanpa penjelasan apa pun.“Kenapa dia tega?” gumam Desya, sambil memukul-mukul bantalnya. Ia mencoba menelepon Zion untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja, nomor itu tidak bisa dihubungi.Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Ibunya, masuk dengan wajah masam.Ceklek.“Kamu sih! Kenapa bisa sampai balik ke sini?! Dulu aku setuju kamu tinggal dan menikah dengan Owen karena aku tahu dia kaya. Tapi sekarang kamu malah pulang dengan tangan kosong?!” bentak Lila.“Bu, aku juga tidak mau pulang ke sini! Kalau Zion tidak mengusir aku, aku masih di sana!” Desya menatap ibunya dengan tatapan tajam.“Zion ngusir kamu?! Astaga, dia pikir siapa yang sudah memberi hidup enak ke kamu? Itu kan hak kamu, Desya! Owen itu sua
Mall siang itu cukup ramai. Desya sedang sibuk memilih-milih pakaian di salah satu butik terkenal. Dia mengangkat sebuah dress berwarna lembut, tapi perhatiannya segera teralihkan ketika melihat sosok yang sangat familiar di ujung toko.Malvin dan istrinya, Laura, tampak berbelanja bersama. Desya hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya. Melihat Malvin tersenyum dan berbicara lembut pada Laura membuat hatinya remuk.Malvin, yang merasa ada tatapan, menoleh sejenak dan mendapati Desya menatap mereka. Wajahnya seketika berubah kaku, dan begitu juga Laura. Mereka berdua saling bertukar pandang, sama-sama tak menyangka akan bertemu dengan Desya di tempat itu.“Aku rasa lebih baik kita lanjut ke toko lain saja, firasaku tidak enak,” bisik Laura sambil menggenggam lengan Malvin erat.“Ya, lebih baik begitu, aku juga merasa tidak nyaman," Malvin mengangguk.Sementara Desya hanya mengerutkan alis, mena
Di lorong yang gelap, Desya berusaha menenangkan napasnya yang tersengal. Tubuhnya gemetar, namun hatinya bersyukur luar biasa. Zion datang tepat waktu, menyelamatkannya dari para laki-laki yang hendak mencelakainya. Keberaniannya muncul hanya karena satu hal, Zion, lelaki yang sejak dulu sudah tinggal serumah dengannya, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.Setelah berhasil membawa Desya pergi, Zion menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi."Apa yang terjadi, Desya? Kenapa mereka bisa mengejarmu seperti itu? Dan kenapa juga mereka bisa hendak berbuat hal tak senonoh pada dirimu?" Tanya Zion dengan wajah cemasnya, tetapi suaranya tetap tenang saat bertanya. Desya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui."Zion, aku… butuh perlindungan darimu. Mereka… mereka semua orang-orangnya Malvin."Zion menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut."Malvin? Malvin yang mana? Malvin yang waktu itu menikah dengan Laura sahabatmu?"
Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des