Jasmine dan Zion baru saja menikah dalam sebuah pernikahan yang megah dan dihadiri oleh banyak tamu penting. Pesta itu diwarnai dengan canda dan tawa, sukacita, dan harapan baru untuk masa depan mereka. Setelah acara selesai, Zion menggandeng tangan Jasmine dan membawanya pulang ke rumah mewah keluarganya.
“Sayang, aku tidak sabar untuk memulai hidup baru kita,” kata Zion dengan senyuman lebar. “Aku juga, Zion! Semoga semua berjalan dengan lancar,” jawab Jasmine penuh semangat. Setibanya di rumah, Jasmine disambut hangat oleh keluarga Zion. Mama dan papanya menerima Jasmine dengan penuh kasih sayang. “Selamat datang di keluarga kami, Nak Jasmine. Kami sangat senang kamu ada di sini,” ucap Mamanya Zion. “Terima kasih, Ma. Saya akan berusaha menjadi menantu yang baik,” balas Jasmine dengan senyum manis. Namun, tidak semua orang senang dengan kehadiran Jasmine. Desya, kakak ipar Zion, memperlihatkan sikap yang dingin. Ketika Jasmine menyapanya, Desya hanya mengangguk tanpa berbicara, bahkan terlihat angkuh. “Desya, ini adalah istri dari Zion, Jasmine, dia juga akan tinggal di rumah ini dan memiliki hak yang sama,” kata papanya Zion berusaha memperkenalkan. “Ya, selamat datang,” jawab Desya dengan nada datar, membuat Jasmine merasa tidak nyaman pada kesan pertama. Setelah seminggu tinggal, orang tua Zion memutuskan untuk pindah ke luar negeri. “Kami akan pergi, tapi kami percaya kamu dan Zion akan menjaga rumah ini dengan baik,” kata papanya. “Tenang saja, pa. Kami akan baik-baik saja,” jawab Zion. Jasmine berusaha untuk bersikap baik kepada Desya meskipun sikapnya sering kali membuatnya merasa terintimidasi. Desya selalu mencari cara untuk membuatnya merasa tidak nyaman. “Jasmine, kamu tahu kan, tidak mudah untuk menjadi seorang istri di keluarga ini? Keluarga terhormat dan konglomerat,” kata Desya ketika mereka berada di dapur. “Aku tahu, Kak Desya. Tapi aku akan berusaha yang terbaik untuk menjaga nama baik keluarga ini,” jawab Jasmine dengan tenang. “Baiklah, kita lihat saja nanti. Jangan sampai kamu akan menjadi beban di keluarga ini, bahkan mencoreng nama baik keluarga ini di luar sana,” Desya menantang. “Kak Desya, aku tidak bermaksud untuk mengganggu siapapun, kita akan terus hidup berdampingan seperti ini sampai kedepannya, alangkah baiknya kita hidup dengan damai,” jawab Jasmine. “Jangan berharap terlalu banyak, itu sangat menjijikkan,” Desya membalas dengan senyum sinis. Jasmine merasa tertekan, tetapi ia tidak ingin mempermasalahkan situasi itu dengan Zion. Ia tahu Zion sangat mencintainya. Namun, semakin lama, Desya semakin menunjukkan permusuhan. Suatu hari, ketika Zion dan Owen sedang bekerja, Desya mendekati Jasmine. “Kamu tahu, sebaiknya kamu berhati-hati. Tidak semua orang di sini menyukaimu,” ujarnya dengan nada menakutkan. “Aku tidak ingin dan tidak berniat untuk mencari masalah dengan siapapun, kak Desya. Aku hanya ingin hidup damai di sini,” balas Jasmine. “Damai? Hanya jika kamu tahu tempatmu, tau diri dan sangat tahu betul siapa kamu di sini,” Desya menjawab tajam. Hari-hari segera berlalu, dan Desya semakin menunjukkan kebencian. Suatu ketika, Desya dengan sengaja mendorong Jasmine ketika mereka turun dari tangga. “Jasmine, hati-hati!” Zion berteriak ketika melihat Jasmine hampir jatuh. Ia berlari menghampiri dan menolongnya. “Aku baik-baik saja, Zion,” Jasmine menjawab, meski hatinya berdebar. “Kak Desya, kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu! Kamu sengaja ingin mendorong istriku?!” Zion membentak. "Aku tidak sengaja! Tapi memang sepatutnya dia terjatuh, karena sangat menyebalkan dan kehadirannya mengganggu orang-orang di sini!" Desya menjawab dengan suara tinggi. “Cukup, Kak Desya! Mungkin hanya kau yang kerap merasa terganggu. Ini adalah rumah kita, dan Jasmine adalah bagian dari keluarga ini! Tolong jangan terus mengganggu istriku!” Zion berkata tegas. Jasmine memilih untuk tidak mengatakan apapun, tidak ingin memperkeruh suasana. Namun, di dalam hatinya, rasa takut dan cemas terus membayangi. Beberapa hari kemudian, setelah sarapan pagi, Jasmine merasa sangat sakit perut. Ia segera menghubungi Zion di kantor. "Hallo, sayang?" Tanya Zion diseberang telepon. “Zion, aku merasa tidak enak badan, kamu bisa tolong pulang dan antar aku ke rumah sakit?” ucapnya lemah. "Sayang, maaf. Aku ada klien baru dari luar negeri dan aku tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, kamu bisa meminta bantuan siapapun selain aku di rumah, oke," balas Zion diseberang telepon. Zion, yang sedang menyelesaikan pekerjaannya, segera mengakhiri panggilan. Dengan berat hati, Jasmine menghubungi Owen, kakaknya Zion, yang masih bersiap untuk pergi ke kantor. “Kak Owen, bisa tolong bantu aku? Aku sakit sekali,” ucap Jasmine dengan suara bergetar. “Ada apa, Jasmine? Wajahmu pucat sekali, ayo kita ke rumah sakit,” Owen segera membantunya. Namun, saat mereka dalam perjalanan ke rumah sakit, kecelakaan terjadi. Mobil mereka bertabrakan dengan kendaraan lain. Jasmine terbangun di rumah sakit dan mendapati Owen sudah berada di ruang ICU. “Owen! Apa yang terjadi padanya suster?” Jasmine panik. “Owen mengalami cedera serius. Kita harus menunggu dokter,” jawab perawat. Beberapa saat kemudian, Zion tiba dengan wajah cemas. “Sayang, apa yang terjadi? Bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran. “Aku tidak tahu. Tapi aku sudah baik-baik saja. Aku tadi meminta Kak Owen untuk menolongku karena aku sakit,” jawab Jasmine, air mata mengalir di pipinya. "Sayang, aku minta maaf," ucap Zion memeluk Jasmine dengan rasa menyesal. Beberapa hari kemudian, Owen dinyatakan meninggal dunia. Dalam suasana berduka, saat perpisahan terakhir, Owen sempat berpesan kepada Zion. “Tolong jaga Desya. Dia sedang mengandung anakku. Perlakukan dia baik-baik seperti saudara kandungmu sendiri.” “Jangan khawatir, Kak. Aku berjanji,” jawab Zion sambil menahan tangis. Setelah pemakaman, kehadiran Desya semakin menghantui Jasmine. Desya tampak semakin tidak terima dengan keberadaan Jasmine di rumah itu. “Zion, bagaimana bisa kamu terus membiarkan pembawa sial ini untuk tinggal di rumah kita?” Desya berteriak suatu malam. “Kak Desya, cukup! Ini adalah rumah kami, dan Jasmine adalah istriku!” Zion menjawab marah. “Tapi dia telah menghancurkan semuanya. Jika bukan karena dia, Owen tidak akan pernah mati! Dia masih ada di rumah ini bersamaku dan anakku!” Desya terus berusaha menyerang. Jasmine merasa terpuruk mendengar kata-kata itu. "Kak Desya, aku tidak ingin mempermasalahkan ini. Tapi semua sudah takdir, Kak,” ucapnya lemah. "Tidak ingin mempermasalahkan?Seharusnya kamu sadar diri, Jasmine! Kamu sudah menghilangkan nyawa suamiku!" Desya membalas. "Kak Desya, cukup!" Sahut Zion berusaha sabar sambil melerai. Keesokannya, Jasmine duduk di teras sambil menangis. Zion yang melihatnya langsung menghampiri. “Sayang, kenapa kamu terlihat sedih?” tanyanya dengan lembut. “Kak Desya... Dia terus menggangguku, Zion. Aku tidak tahu harus berbuat apa,” jawab Jasmine dengan suara gemetar. “Sayang, kamu tidak perlu khawatir tentang Kak Desya. Aku akan melindungimu. Kita akan menghadapi semuanya bersama,” Zion menegaskan. Namun, kehadiran Desya semakin mengganggu. Setiap kali Zion tidak ada, Desya selalu muncul dan mencoba membuat hidup Jasmine menjadi sulit. “Jasmine, kamu seharusnya tahu siapa yang lebih penting di rumah ini, saat suamiku sudah tidak bernyawa terlebih karena ulahmu, seharusnya kamu pergi dari rumah ini dan berpisah dengan Zion. Sementara aku, aku tengah mengandung anak dari suamiku, Owen! Dan aku bersama anakku yang seharusnya berkuasa di rumah ini,” Desya berujar sinis ketika Zion tidak ada. Jasmine berusaha untuk bertahan. “Aku tidak akan menyerah, Kak Desya. Aku mencintai Zion, dan aku akan berjuang untuk pernikahan kami. Bahkan orang tuanya Zion juga berkata, bahwa aku memiliki hak yang sama di rumah ini!" Tegas Jasmine. “Oh iya? Kita lihat saja nanti,” Desya hanya tertawa sinis. Jasmine merasa tertekan, tetapi ia terus berusaha untuk bersikap baik. Suatu hari, saat mereka sedang bersih-bersih di rumah, Desya dengan sengaja menjatuhkan barang dan menyudutkan Jasmine. Praannngg! “Jasmine, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan posisiku di sini! Kamu hanya orang miskin dari kampung, Yang hanya beruntung bisa menikah dengan Zion!" Desya berkata penuh kebencian. “Kak Desya, aku tidak ingin memperebutkan tempat siapa pun, di sini. Aku hanya ingin hidup damai,” jawab Jasmine. “Damai? Hanya jika kamu tahu tempatmu,” Desya menantang. Situasi semakin buruk, dan Jasmine merasa terperangkap. Ia tidak ingin menceritakan semua ini kepada Zion, takut akan memperburuk keadaan. Namun, Zion mulai merasakan ada yang tidak beres. “Jasmine, kamu terlihat sangat lelah. Apa ada yang mengganggumu?” tanya Zion suatu malam. “Aku baik-baik saja, sayang. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk beradaptasi,” jawab Jasmine dengan senyum yang dipaksakan. “Kamu tidak perlu menahan semuanya. Jika ada yang mengganggumu, bilang padaku,” Zion menatapnya curiga. “Aku akan baik-baik saja,” balas Jasmine. Di tengah ketegangan ini, Desya terus mencari cara untuk mengganggu Jasmine. Suatu malam, Desya datang ke kamar mereka. “Zion, kamu tidak akan membiarkan orang ini tinggal lebih lama, kan?” Desya berteriak. “Desya, ini rumah kami, dan Jasmine adalah istriku. Tidak ada yang akan menggantikan dia!” Zion menjawab tegas. “Dia bukan orang baik untukmu, Zion! Dia hanya akan membuat hidupmu hancur! Perempuan ini benar-benar sangat menjadi pembawa sial!” Desya berusaha meyakinkan. “Kak Desya, aku hanya ingin hidup baik di sini. Jika kamu tidak menyukaiku, itu tidak masalah, dan itu hakmu. Tapi tolong hargai pernikahanku dengan Zion," Jasmine tidak bisa menahan emosinya lagi. “Cukup! Aku tidak akan membiarkan kamu merusak segalanya lebih jauh! Sebelum kedatanganmu di rumah ini, semua berjalan baik-baik saja, tapi setelah kedatanganmu, nasib sial perlahan menimpa kami!" Desya menjawab penuh kemarahan. Zion berusaha menenangkan. “Kak Desya, cukup! Aku tidak mau mendengar lagi! Jasmine adalah istriku, dan aku mencintainya.” "Tapi dia seharusnya sadar diri, dia telah membunuh suamiku, membuatku menjadi seorang janda! Dia harusnya selalu menghormati diriku di sini! Akulah korban dari kejahatannya dia," balas Desya dengan lantang. "Kak, seharusnya kamu yang tahu diri di sini. Ini adalah rumah warisan dari orang tuaku, suami kamu sudah tiada, dan kamu yang seharusnya bersikap menghormati istriku, karena kamu sudah menjadi orang lain dan tidak punya hak di rumah ini lagi!" Balas Zion dengan bengis. "Tapi aku tengah mengandung anak dari, Owen, kakakmu! Kamu sendiri telah berjanji akan menjalankan amanat dari suamiku. Kamu harus ingat itu, Zion," balas Desya semakin tidak terima. "Sayang, sudah..." Ucap Jasmine pada Zion untuk menenangkan. "Dasar wanita tidak tahu diri," umpat Zion dengan kesal. Desya yang mendengarnya sangat kesal bukan main, ia segera berlalu begitu saja.Kematian Owen mengubah segalanya. Jasmine dan Zion merasakan kekosongan yang dalam. Sebagai adik, Zion merasa terpanggil untuk menjaga Desya, seperti janji yang pernah ia buat kepada Owen. Namun, Jasmine, istri Zion, mulai merasakan sesuatu yang lain di antara hubungan suaminya dengan Desya.Suatu sore, Zion pulang dari kantor dan mendengar suara isakan lirih dari kamar Desya. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Zion ragu sejenak, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mendekat dan mengintip. Di dalam kamar, Desya duduk di tepi tempat tidur, memandang bingkai foto Owen. Matanya sembab dan air mata mengalir deras di pipinya.Zion merasa tersentuh."Kasihan sekali Kak Desya, dia benar-benar kehilangan Kak Owen, bagaimana bisa aku telah berkata yang buruk tentangnya," gumamnya dalam hati.Tanpa disadari, Desya sebenarnya memang tahu Zion sedang mengintip, dan semua ini hanya akting belaka. Desya ingin Zion merasa iba dan tergerak hatinya."Kak Desya...," Zion memanggil lembut dari pi
Jasmine duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Sudah berhari-hari ia merasakan Zion semakin menjauh. Suaminya yang dulu penuh perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Jasmine tahu ada sesuatu yang salah, namun setiap kali ia mencoba mendekat, Zion malah makin menjauh."Zion, apa kamu mau makan malam di rumah, malam ini?" tanya Jasmine dengan suara pelan, mencoba terdengar ceria.Zion yang sedang duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, hanya mengangguk tanpa menatapnya."Sepertinya tidak. Mungkin aku ada urusan di luar," jawab Zion tanpa nada.Jasmine menelan ludah, merasa hampa."Aku merasa kita jarang menghabiskan waktu bersama belakangan ini. Kamu sibuk sekali. Bisakah, kamu meluangkan waktu sebentar saja untukku, kita perlu bicara?""Aku punya banyak pekerjaan, Jasmine. Jika kamu mau sesuatu, to the point saja," Zion mendengus pelan. Jasmine mendekat, mencoba mengambil tangan Zion."Bukan soal hal yang lain, Zion. Kamu... kamu seperti me
"Jasmine! Kamu lagi-lagi buat masalah dengan Kak Desya!" teriakan Zion menggema di ruang tamu. Jasmine berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.Jasmine menatap suaminya dengan mata yang sembab, mencoba menahan air mata yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan."Zion, aku... aku tidak berniat apapun untuk membuat masalah. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik, itu saja," kata Jasmine dengan suara yang hampir tak terdengar.Zion mendengus kasar, menghampiri Jasmine dengan langkah cepat."Bicara? Kamu selalu meminta untuk bicara, tapi setiap kali kita bicara, kamu selalu mengeluh! Aku muak, Jasmine. Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau kak Desya sedang hamil? Dia butuh perhatian lebih!"Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah memuncak di dadanya."Aku tahu kak Desya hamil, Zion. Tapi aku juga istrimu! Apa kamu tidak pernah berpikir sedikit pun tentang aku? Tentang bagaimana perasaan aku selama ini?" Ucap Jasmine berharap Zion iba.Zion tertawa sin
Malam itu semakin larut, namun pikiran Jasmine tak bisa tenang. Setelah apa yang baru saja terjadi, ia tahu ia tak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Di kamar lain, Desya dan Zion sedang bersama, dan ia hanya bisa berdiri di luar, menyaksikan dari kejauhan.Namun, Jasmine berusaha kuat. Ia memutuskan untuk menunggu hingga mereka selesai berbicara. Dengan hati yang hancur, ia mengambil nampan berisi susu hangat untuk Desya, lalu menaiki tangga menuju kamar mereka.Saat tiba di depan pintu, Jasmine bisa mendengar percakapan mereka."Kak Desya, sudah cukup. Kamu tidak bisa terus-terusan begini. Tidak bisa terus menerus berbuat intimidasi pada, Jasmine," suara Zion terdengar dari balik pintu."Kamu bilang cukup, Zion? Setelah semua yang telah terjadi, kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima ini?" Desya menjawab, suaranya penuh kemarahan. "Kamu harus terima kenyataannya, kak Desya. Kamu tidak bisa menyalahkan Jasmine atas semua ini."Desya tertawa sinis."Jasmine? Kamu masi
Hari itu suasana rumah Zion berubah menjadi tegang. Jasmine duduk di ruang tamu dengan napas tertahan, tangannya gemetar saat mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Di depannya, Desya berdiri dengan tatapan penuh kebencian."Jangan pura-pura polos, Jasmine! Aku tahu, kau yang membuat Owen kecelakaan, bahkan hingga kehilangan nyawanya! Semua ini karena ulahmu!" seru Desya, suaranya bergetar penuh emosi."Apa maksudmu? Aku? Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang kau bicarakan!" Jasmine terkejut. Dia mencoba mencerna kata-kata Desya. "Kak Desya punya semua bukti, Jasmine. Jangan berpura-pura lagi. Semua orang tahu kau yang terakhir kali bersama Kakaku, Owen," Zion yang berdiri di dekat mereka, menatap dengan wajah dingin. "Zion, kau tidak bisa percaya padanya begitu saja! Aku tidak pernah menyentuh mobil kak Owen, apalagi melakukan hal seburuk itu padanya," Jasmine memohon, suaranya bergetar. "Kau bilang tidak tahu apa-apa, Jasmine? Tapi bagaimana dengan saksi yang meliha
Keringat dingin membasahi dahi Jasmine, saat ia berdiri di ruang sidang. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dalam kasus hukum. Dengan ketegangan yang meliputi ruangan, suara hakim memecah keheningan. “Hari ini kita akan mendengarkan bukti dari pihak penuntut,” ujar hakim dengan tegas.Desya, duduk di barisan depan dengan senyuman puas di wajahnya. Ia sudah bersiap dengan berbagai cara untuk menjatuhkan Jasmine. Sebuah rencana yang matang sudah disusun, dan ia bertekad untuk melihat Jasmine menderita.“Jasmine tidak layak mendapatkan cinta Zion!” desis Desya pada dirinya sendiri, seraya mengingat semua yang telah dilakukan Jasmine untuk merebut perhatian suaminya.“Yang mulia, saya ingin membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku pembunuhan suami saya, Owen,” kata Desya saat gilirannya berbicara.Keadaan hening.“Dia telah membunuh Owen dan juga telah menyebabkan saya keguguran! Dia harus segera dihukum!” suara Des
Zion duduk di tepi tempat tidurnya, kepalanya berat oleh banyak pikiran yang berlomba-lomba menuntut perhatian. Ia tidak bisa melupakan tuduhan yang dilemparkan Desya kepada Jasmine, tuduhan yang sepertinya tak masuk akal namun terus berputar di benaknya. Jasmine istrinya selalu bersikeras bahwa semuanya adalah fitnah, upaya kejam untuk menjatuhkannya.Malam itu, pikirannya mulai mengembara kembali ke saat di mana pengacara Jasmine mengungkapkan bukti rahasia dalam persidangan. Bukti itu tampaknya mengganggu Desya, membuat wanita itu gelisah di ruang sidang."Apakah mungkin kak Desya yang telah melakukan semua ini?" gumam Zion pelan, hampir tidak percaya pada kata-katanya sendiri."Tapi bagaimana mungkin? Secara, dia sangat kehilangan orang-orang yang sangat dia harapkan untuk kedepannya. Apakah Jasmine yang mengada-ada?" Zion tampak frustasi dengan segenap pikirannya.Di tengah kebingungannya, suara Desya tiba-tiba muncul di belakangnya.
Setelah Jasmine pergi dari rumah, Zion termenung di kamarnya, mengingat perkataan Jasmine. Bayangan wajah istrinya yang kini terluka dalam hati tak bisa dihapuskan. Mungkinkah dia yang salah? Apakah Desya, kakak iparnya, benar-benar memfitnah Jasmine seperti yang dituduhkan? Zion menghela napas panjang."Jasmine mungkin hanya mencari alasan... tapi kenapa semua terasa begitu nyata?" gumamnya.Sementara itu, di ruangan lain, Desya tersenyum tipis, merasakan kepuasan dalam hatinya. Dia merasa telah memenangkan permainan ini.Tok tok tok Terdengar suara pintu. Zion menoleh dan melihat Desya masuk ke kamarnya tanpa izin."Zion, kamu kelihatan kusut sekali," ucap Desya dengan nada yang dibuat-buat lembut.Ia melangkah mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Zion."Aku hanya sedang berpikir, kak Desya. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sedikit merasa frustasi," Zion mengernyit, sedikit tak nyaman, namun ia tetap
Hari-hari di kampung, terasa lebih lama bagi Jasmine, meskipun udara segar dan pemandangan sawah yang luas memberi ketenangan yang ia butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun tubuhnya kini sudah mulai pulih. Terkadang ia berjalan pelan, ditemani ibunya yang selalu sabar menemani setiap langkahnya.Pagi itu, seperti biasa, Jasmine berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke sawah. Kali ini, tidak bersama ibunya. Namun, langkahnya kali ini terhenti saat melihat sosok yang sudah beberapa kali muncul dalam hidupnya, namanya Kevin. Kevin yang selalu datang dengan senyum, mencoba membangkitkan semangatnya yang kian meredup.“Pagi, Jasmine,” sapa Kevin, dengan suara yang ramah.Jasmine hanya mengangguk, tidak terlalu bersemangat.“Pagi, Kevin.” Ia melanjutkan langkahnya, mencoba tidak terlalu memperhatikan pria yang tampaknya ingin lebih dekat dengannya.Kevin mengikutinya perlahan, tetap dengan senyuman yang tidak p
Desya menatap pintu kamarnya dengan kesal. Ia baru saja pulang ke rumah keluarganya, rumah yang sudah lama ia tinggalkan sejak menikah dengan Owen. Namun kini, setelah kepergian Owen, hidupnya berantakan. Zion, pria yang sempat menjadi penyelamat hidupnya, justru memulangkannya tanpa penjelasan apa pun.“Kenapa dia tega?” gumam Desya, sambil memukul-mukul bantalnya. Ia mencoba menelepon Zion untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja, nomor itu tidak bisa dihubungi.Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Ibunya, masuk dengan wajah masam.Ceklek.“Kamu sih! Kenapa bisa sampai balik ke sini?! Dulu aku setuju kamu tinggal dan menikah dengan Owen karena aku tahu dia kaya. Tapi sekarang kamu malah pulang dengan tangan kosong?!” bentak Lila.“Bu, aku juga tidak mau pulang ke sini! Kalau Zion tidak mengusir aku, aku masih di sana!” Desya menatap ibunya dengan tatapan tajam.“Zion ngusir kamu?! Astaga, dia pikir siapa yang sudah memberi hidup enak ke kamu? Itu kan hak kamu, Desya! Owen itu sua
Mall siang itu cukup ramai. Desya sedang sibuk memilih-milih pakaian di salah satu butik terkenal. Dia mengangkat sebuah dress berwarna lembut, tapi perhatiannya segera teralihkan ketika melihat sosok yang sangat familiar di ujung toko.Malvin dan istrinya, Laura, tampak berbelanja bersama. Desya hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya. Melihat Malvin tersenyum dan berbicara lembut pada Laura membuat hatinya remuk.Malvin, yang merasa ada tatapan, menoleh sejenak dan mendapati Desya menatap mereka. Wajahnya seketika berubah kaku, dan begitu juga Laura. Mereka berdua saling bertukar pandang, sama-sama tak menyangka akan bertemu dengan Desya di tempat itu.“Aku rasa lebih baik kita lanjut ke toko lain saja, firasaku tidak enak,” bisik Laura sambil menggenggam lengan Malvin erat.“Ya, lebih baik begitu, aku juga merasa tidak nyaman," Malvin mengangguk.Sementara Desya hanya mengerutkan alis, mena
Di lorong yang gelap, Desya berusaha menenangkan napasnya yang tersengal. Tubuhnya gemetar, namun hatinya bersyukur luar biasa. Zion datang tepat waktu, menyelamatkannya dari para laki-laki yang hendak mencelakainya. Keberaniannya muncul hanya karena satu hal, Zion, lelaki yang sejak dulu sudah tinggal serumah dengannya, bahkan di saat-saat sulit seperti ini.Setelah berhasil membawa Desya pergi, Zion menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi."Apa yang terjadi, Desya? Kenapa mereka bisa mengejarmu seperti itu? Dan kenapa juga mereka bisa hendak berbuat hal tak senonoh pada dirimu?" Tanya Zion dengan wajah cemasnya, tetapi suaranya tetap tenang saat bertanya. Desya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakui."Zion, aku… butuh perlindungan darimu. Mereka… mereka semua orang-orangnya Malvin."Zion menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut."Malvin? Malvin yang mana? Malvin yang waktu itu menikah dengan Laura sahabatmu?"
Di suatu sore di bandara, Laura, istri dari Malvin, terlihat berjalan menghampiri suaminya yang tengah menatap jadwal penerbangan ke Swiss. Rencana bulan madu mereka yang sudah lama dinanti akhirnya tiba."Sayang, perutku mendadak lapar. Boleh kita beli makanan dulu sebelum naik pesawat?" Laura menatap Malvin dengan senyum manis."Tentu saja sayang, kamu duduk saja di sini, biar aku yang beli. Jangan pergi kemana-mana, tunggu sampai aku kembali," Malvin mengangguk. "Baiklah, suamiku," balas Laura dengan senang hati.Namun, dalam hitungan menit, semuanya berubah. Malvin tak pernah kembali. Laura menunggu dan menunggu, hingga waktu keberangkatan mereka hampir habis. Ia mulai panik dan segera mencari Malvin di sekitar bandara, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda suaminya kembali.Laura yang panik, segera mencoba menghubungi nomor Malvin. Tak ada jawaban. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?Semen
Pagi itu, Desya berdiri di seberang jalan, mengamati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya. Matanya terpaku pada gerbang besar yang kini menjadi batas antara dirinya dan sosok yang selalu hadir dalam ingatannya, Malvin. Sudah lama mereka berpisah, tapi bayangan lelaki itu tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Sekarang, ia tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu seperti apa kehidupan Malvin setelah mereka berpisah.Ketika sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah itu, Desya segera sadar. Itu Malvin. Dengan cepat, ia melangkah mendekati gerbang, berharap bisa menyelinap masuk. Tapi langkahnya dihentikan oleh seorang penjaga.“Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” ucap penjaga itu tegas.“Saya hanya ingin bertemu dengan Malvin, tolong beri saya kesempatan," Desya mencoba tersenyum lembut, namun nada suaranya terdengar mendesak."Aku ingin masuk, dan Malvin pasti menginginkan aku untuk masuk. Tolong buka pintunya!" Tegas Desya denga
Zion terduduk di kursi kerjanya di rumah yang megah, namun kini terasa dingin dan hampa. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini di ambang kebangkrutan. Ia sudah berusaha keras, tapi takdir seolah terus mempermainkannya. Ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah meminta bantuan dari ayahnya yang kini tinggal di luar negeri. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon dan menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak lama.Telepon itu berdering beberapa kali, lalu terdengar suara seorang wanita. Zion langsung tahu siapa yang mengangkat panggilan itu."Halo, Bu…" sapanya pelan.“Zion? Kenapa kau menelepon? ada perlu apa?” suara ibunya terdengar sinis.“Bu… aku sangat butuh bantuan. Perusahaanku ini... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh bantuan Ayah, setidaknya untuk menyelamatkan hidupku," Zion berusaha menahan rasa malunya."Zion, aku sudah bilang berkali-kali. Jangan ganggu ayahmu lagi. Kami
Di dalam kamar, Zion menghela napas berat ketika mendengar pintu diketuk. Pikirannya sudah bisa menebak siapa yang akan datang.“Zion, boleh aku masuk?” Desya bertanya dengan suara lembut, mencoba memancing simpati.“Ada apa lagi, Desya? Aku sedang sibuk dengan banyak hal,” Zion menatap pintu kamarnya dengan kesal.Desya membuka pintu perlahan, melangkah masuk dengan pakaian yang sengaja ia pilih lebih terbuka dari biasanya. Dia tersenyum, sambil berharap bisa menarik perhatian Zion.“Aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu,” Desya mencoba mendekat, tetapi Zion menjauh, membuat Desya mengerutkan kening.“Aku tidak suka dengan caramu berpakaian seperti ini. Tolong keluar, Desya,” Zion menggeram, suaranya mengandung ketidaksenangan yang jelas.Desya terkekeh pelan, berpura-pura tak mendengar teguran Zion.“Kamu tidak suka? Aku hanya ingin kamu nyaman sama aku, Zion.”“Tolong keluar,” Zion mengulang dengan nada
Zion duduk di meja kerjanya, meremas rambutnya dengan frustasi. Setiap kali melihat laporan kerugian, rasa amarahnya kembali membara. Di satu sisi, dia ingin segera menegur Desya yang kerap ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun, di sisi lain, perasaan segan itu menahannya.Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Desya muncul dengan senyum tipis, membawa secangkir kopi. Berjalan berlenggak lenggok selayaknya seorang model."Zion, aku bawakan kopi biar kamu sedikit rileks," katanya dengan nada lembut."Terima kasih, kak Desya. Tapi aku... mungkin butuh sedikit waktu sendirian untuk berpikir," Zion menghela napas, menatap Desya sejenak sebelum mengambil cangkir kopi itu. Desya tersenyum tipis, kemudian mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zion."Zion, kamu tidak perlu terlalu stres. Aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini," ucapnya sambil berusaha meyakinkan.Zion sedikit mengernyit, merasa terganggu namun enggan menegur Des