Share

Mengambil Hakku

last update Last Updated: 2022-11-09 09:33:28

"Ma, tambah mulus aja sih?"

"Iya dong. Mas tidak akan menemukan perempuan lain semulus aku," selorohku sembari bangun dari tidur.

Tidak disentuh oleh Mas Abas selama 3 tahun harusnya menjadi momen istimewa malam ini, tapi mengingat pengkhianatannya diatas jerih payahku. Enggan sekali aku disentuh olehnya lagi.

"Mas rindu banget, Ma." Tangan Mas Abas sudah main perosotan di bagian lenganku yag lenjang. Lemak sudah kabur dari awal pertama kerja di rumah Bapak. Setiap hari makan omelan Non Laras mana tahan itu lemak lama-lama bersemayam dalam tubuh.

"Sama sih Mas. Tapi, nggak bisa."

"Kenapa?"

"Mama lagi dapet." Aku berdiri dan mengelus tubuh bagian belakang.

"Ya ampuuun!" pekikku kaget.

"Ada apa, Ma?"

"Tembus segala lagi." Kutunjukkan tangan merah di hadapan Mas Abas.

"Ih, jorok banget sih, Ma."

"Iya ih, Pah. Bau banget lagi." Aku mencium tanganku sendiri. "Mau cium nggak, Mas?"

"Malas banget lah. Bersihin sana! Bau banget!" Mas Abas menutup hidung dan hampir muntah, aku menggigit bibir dan segera berlari ke kamar mandi.

Pewarna merah yang sengaja kubeli di Mall dicampur terasi ibu di dapur, baunya emang beneran bikin mual.

"Lah kok Farel tidur di kamar, Mama?"

"Di suruh ayah, Ma."

"Oooo." Mulutku membulat, saat kembali ke kamar Mas Abas sudah minggat. rencana yang jitu. Bisikku senang.

"Mama kok senyum-senyum sendiri. Mama, nggak gila kan?"

"Hah!" Au kaget dengan ucapan Farel. Di sangka ibunya gila.

"Mana ada sayang, meski Mama disakiti ayahmu, Mama akan jadi wanita kuat." Kutunjukkan otat tangan padanya. "Farel pun sama, harus kuat seperti Mama." Farel menunjukkan lengannya yang tinggal tulang. Ah, tergores lagi hatiku dibuatnya. Mereka benar-benar tega.

Kupeluk Farel dan menangisinya dalam diam, dalam hati berjanji untuk tidak meninggalkannya lagi apapun yang terjadi.

Semalam hujan turun deras, aku bersyukur karena rumah ini masih melindungi kami dari guyuran air yang bocor.

Aku bangun pagi begitu pun ibu, ia menguap dan terlihat tidur dengan nyeyak meski hujan dan angin cukup deras menerjang.

"Haaaaacih!"

Aku dan ibu menoleh, sama-sama terkejut mendengar suara bersin yang begitu keras.

Mas Abas menggigil, seperti habis tidur di luar semalaman. Kutengok kamar Farel, ya ampun air menggenang di bawah lantai, bocor besar di sisi tembok. Selain itu udara masuk cukup dingin dari celah ventilasi yang dibiarkan terbuka, kawat yang melapisinya sudah bolong dan rusak.

Ya Allah, Nak. Ini yang kamu rasakan tiap hujan datang? Ah, segera kuseka tetesan air mata yang lolos begitu saja.

"Kenapa kamu tidur di situ Abas? Sudah tahu bocor."

"Haaaacih!"

Ibu menuju dapur sedangkan Mas Abas menuju sofa dan meringkuk lagi di sana. Tidak lama ibu kembali dan membawakan Mas Abas secangkir kopi.

"Hangatkan tubuhmu, bisa sakit kamu, Bas."

Ibu begitu khawatir pada anaknya sendiri, tapi ia membiarkan cucunya kedinginan sepanjang malam, setiap hari. Apakah ibu lupa kalau darah dan daging Mas Abas ada di tubuh Farel?

Aku memijiti pundak Mas Abas lembut. "Kamu pasti sangat kedinginan kan, Mas?"

"Haaaciiih!"

Dia hanya ngangguk sembari bersin-bersin.

"Dulu kan Mas sudah sempat kirimkan foto saat renovasi rumah? Kok Mama lihat nggak ada bekasnya, Mas?" Lagi, pria sakit itu dibuat berpikir keras. Tidak tahan aku melihatnya nyaman seolah tidak terjadi apa-apa. Dah nipu kok santai-santai saja.

"Oh itu ...." Enta berapa kali dia mengggaruk pelipis matanya, otaknya dipaksa berpikir keras untuk mengelabuiku.

"Apa Mas baru memperlihatkan contohnya saja?"

"Ya benar. Maksud Mas begitu. Apakah Mama mau yang seperti itu atau punya pilihan lain?"

Otak yang sudah stagnan kembali mencair. Layaknya air yang diberi jalan untuk mengalir, kebohongannya kembali beraksi.

Setelah dihitung semalam, jumlah uang yang kukirim untuk renovasi rumah berjumlah hampir 30 juta.

"Ada kok. Masih utuh dengan uang seolah Farel."

"Ah, syukurlah." Aku mengelus dada. Sepertinya uang tabungan Farel masih utuh, uang yang tadinya akan kupakai untuk mengadakan pesta sunatan, tidak tadi digunakan karena Mas Abas tidak setuju. Harus segera kuamankan sebelum dipakai untuk rencana pesta sunatan Rian. Enak aja, ikut buatnya saja kagak kenapa mesti nyumbang buat pesta? Hiih! Amit-amit dah.

"Uang buat renovasi kan hanya 30 juta ya, Mas?"

"Sebanyak itu?"

"Aih, masih sedikit itu Mas. Melihat rumah kita sudah hancur begini butuh dana lebih."

Mas Abas yang menggigil kedinginan mendadak demam. Butiran keringat bahkan sudah muncul di dahinya yang hitam. Bagaimana tidak? uang keringatku itu sudah habis dipakai renovasi rumah istri barunya.

"Mama sedang berpikir Mas. Coba saja ada yang mau meminjamkan uang buat tambahan kita merenovasi rumah." Aku berpura-pura ikut berpikir.

"Ah, apa kita pinjam Bank saja, Mas?

Tapi, nggak ada agunan yang bisa diajukan. Kalau cuma rumah ini mana dapat uang gede." Aku mengaduh, terdiam dan pura-pura terus berpikir.

"Memangnya apa yang Mama rencakan?"

"Begini loh, Mas." Aku sangat bersemangat, akhirnya Mas Abas terpancing juga. Kuperbaiki posisi duduk agar kami bisa berhadapan dan mengutarakan keinginanku.

"Jadi, setelah kita dapat pinjaman, Mama mau langsung berangkat kerja lagi dan menyerahkan urusan renovasi rumah pada Mas Abas, Mama tahunya pas pulang rumah bagus ajalah. Kasian kalau Farel tiap malam kedinginan.

Tapi, darimana dapat pinjaman, nggak ada yang bisa dibuat jaminan." Aku kembali berhenti dan mengaduh lagi.

"Ada!" Mas Abas menemukan semangatnya, soal duit otaknya langsung mencair, ia bahkan menyingkirkan bantal sofa yang sedari tadi dijadikan ganjal kepala.

Aku merengutkan dahi menunggu rencana pria itu selanjutnya.

"Mas punya teman, kita akan pinjam sertifikat rumahnya untuk jadi jaminan ke rentenir."

"Hebat Mas. Kamu memang suami idaman, selalu bisa kuandalkan!" Berkali-kali aku mencubit pipi Mas Abas hingga memerah.

Setelah rencana itu, aku meminta Mas Abas untuk bertindak cepat, sebelum masa cutiku habis. Dengan semangatnya ia segera pergi, dan tidak lama datang kembali membawa sertifikat rumah.

"Kok atas nama perempuan, Mas?"

"Iya tuh teman Mas bego, sertifikat aja pake atas nama istri. Kalau ditendang, dia jadi gelandangan. Hahahaha"

"Hahaha, itu namanya istrinya cerdas, Mas." Aku pun ikut terkekeh menimpali ucapan Mas Abas. Bagaimana bisa dia mengakui kebodohannya sendiri?

Kami tidak ingin membuang waktu, segera mengajukan pinjaman, Mas Abas yang memilih meminjam pada rentenir dan bukannya pada Bank.

"Ribet!" Alasannya begitu.

Mas Abas sangat bersemangat bahkan mengajukan pinjaman cukup besar, aku hanya meminta 30 juta saja, tapi Mas Abas mengajukan 50 juta. Terserahlah, jaminannya pun rumah kalian juga. Sengaja tidak kucegah tindakan Mas Abas. Dia berpikir lurus-lurus saja dengan segala keuntungannya, dan hanya mengandalkanku untuk membayar.

"Mas, uangnya kita masukkan ke rekening, satukan dengan milik Farel. Di rumah takut ada maling."

Aku mengajukan hal itu setelah uangnya kami terima secara langsung. Mas Abas berpikir sejenak. Lalu, ia mengangguk setuju.

"Iya bener, Ma. Di rekening lebih aman."

Entah apa yang dipikirkan Mas Abas, mungkin saja salah satunya dia takut uangnya aku gondol bawa kabur.

Aku mengajukan membuat Brimo pada pihak Bank, Mas Abas yang kurang paham hanya iya-iya saja. Hal ini membuatku semakin mudah mengakses rekening Mas Abas. Bagaimana tidak? akulah yang mendownload aplikasi sampai memasukkan nama dan kata sandi miliknya.

Mas Abas begitu bahagia melihat saldo rekeningnya dibuku tabungan hingga 65 juta.

"Kalau semua sudah selesai begini, Mama harus segera kerja lagi untuk membayar ansuran bulan depan, Mas."

"Kapan Mama berangkat lagi?"

"Besok kayanya, Mas."

"Besok?" Raut wajah Mas Abas terlihat ceria. Namun, segera ia tekuk untuk menutupi busuknya.

"Mas masih kangen sama kamu, Ma."

"Gimana lagi, Mas. Kita kan ingin punya rumah bagus."

"Iya sayang." Mas Abas memeluk dan mengelusku lembut. "Sehat-sehat ya di sana."

Aku mengangguk sedih, memegang punggung tangannya. Ini adalah pelukan perpisahan, semua kenangan kukembalikan padamu, Mas. Aku tidak ingin membawa kenangan apapun, baik atau buruknya saat bersamamu.

Saat malam tiba, aku beraksi, semua furniture termasuk sepeda Farel kulelang pada salah satu toko bekas. Aku pun membuka aplikasi brimo dari g****e, memasukkan email dan pin rekening milik Mas Abas, mentrasfer sejumlah uang yang menjadi hakku dan hanya menyisakan uang Mas Abas.

Besok aku akan mengajukan gugatan perceraian sebelum kembali ke kota. Hidup berdua bersama Farel. Meninggalkan kampung ini dan menata hidup baru.

Semoga saja semua berjalan lancar, sebelum Mas Abas mengamuk. Bagaimana pun dia adalah salah satu orang yang ditakuti di kampung kami, karena itulah salah satu alasan kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang memberitahu kelakuan Mas Abas padaku.

Bersambung ....

Related chapters

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Siaran Langsung

    "Gigi berangkat dulu, ya Bu?""Iya, Gi. Hati-hati di jalan, dan ...." Ucapan ibu terhenti dan aku menunggu dia meneruskannya."BBM naik," ucapnya ragu, " Ongkos ojeg dan angkot ikut naik.""Siap, Bu. Habis gajian Gigi kirim ibu dua kali lipat." Mata ibu berbinar, aku tahu pasti tujuan dari ucapan itu. Sungguh, tidak nampak kesedihan di matanya selain uang. Pantas saja sifat Mas Abas seperti itu. Duh, amit-amit saja jika turun ke Farel."Kamu tenang saja, uang jatah Farel nanti ibu tambah. Ibu akan beli ayam setiap hari buat makannya." Tangan keriputnya menepuk-nepuk pundakku. Bahagia sekali ibu melepas kepergianku untuk merantau ke kota.Sama saja dengan Mas Abas, berkali-kali dia mencuri-curi senyum dariku. Mengirim aku untuk bertarung dengan peluh dan mereka menikmatinya tanpa beban apalagi merasa bersalah.Aku berangkat dengan motor legenda milik Mas Abas menuju terminal. Farel sengaja kusuruh sekolah, dan aku mengutarakan niatku untuk menjemputnya nanti.Aku hanya menyalami tangan

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Siapa yang Melakukannya?

    "Ada apa, Gi?""Tolong Minah, cepat!" Minah yang sempat berdiri di depan pintu berlari menghampiri."Astagfiurllah, Bapak!" "Bantu aku mengangkat Bapak, Nah!" Tangan Minah bergetar, tapi tetap berusaha membantu mengangkat tubuh Bapak ke atas kasur."Bangunkan Den Aaraf!"Tubuh Minah terpaku dan semakin bergetar, ada apa dengan anak ini? "Minah Cepeeet!""A-a-aku.""Nanti saja Minah, selamatkan dulu Bapak. Cepet bangunkan Den Aaraf!" Perintahku sembari meraih gagang telepon. Menghubungi nomor panggilan darurat.Minah menurut dan berlari ke luar.[Hallo, ada yang bisa kami bantu?][Saya butuh ambulans, Mas.][Siap Bu. Saya kirim ke alamat mana?]Alamat? Aku tidak tahu alamat pasti rumah ini.Mataku memutar, memaksa otak untuk berpikir. Membuka laci dan mencari dompet Bapak. Biasanya selalu ada kartu nama di sana.Ah, untunglah. Aku membacakan alamat lengkap rumah yang tertera dalam kartu.[Cepat ya Mas. Ini darurat, pasien sudah tidak sadarkan diri.][Bagaimana kronologinya, Bu?] [S

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Menyelamatkan Minah

    "Waktunya sarapan, Pak."Seorang suster mendorong troli makanan ke dalam ruangan. Aku menghampirinya dan mengambil alih."Biar saya saja, Sus."Bapak sudah bangun, namun belum sepatah kata pun terdengar ucapan dari mulutnya.Aku mencicipi semua makanan yang akan diberikan kepada Bapak, memastikan tidak ada hal serupa terjadi."Urusanmu sudah selesai?""Aku mengambil semua yang menjadi hakku, dan menggugat cerai Mas Abas. Tapi, sampai saat ini dia belum tahu. Bahkan Farel yang ikut denganku saja, dia belum tahu dan tidak peduli."Kunaikan ranjang Bapak lebih tinggi, membuatnya dalam posisi duduk."Bawa anakmu kemari.""Makanlah dulu, dan habiskan semua ini. Lihatlah, leher Bapak lebih tirus dari sebelumnya."Bapak mengunyah setiap makanan yang aku suapi. Meski pelan tetapi tetap ditelannya."Pulanglah, sebelum Minah ditangkap polisi.""Bagaimana kalau Minah benar-benar lalai?"Bapak menolak untuk disuapi lagi. Aku meraih air minum dan membantunya meneguk."Lakukan saja apa yang kukatak

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Penjara untuk Abas

    [Berani sekali kamu, Gigi! Kamu kira bisa lepas dariku begitu saja! Akan kucari kamu sampai dapat! Jangan harap kepalamu masih utuh saat aku menemukanmu!]"Ada apa?"Aku menangkap ponsel yang hampir jatuh, hati lumayan syok saat membaca pesan dari Mas Abas."Tidak ada apa-apa, Pak."Aku menyimpan ponsel ke dalam saku celana, mengambil air hangat beserta handuk kecilnya. Pekerjaan rutin yang kulakukan setiap sore, membersihan tubuh Bapak yang terbuka."Katakan saja, Gigi."Bapak tahu paras wajahku terlihat layu, bagaimana pun aku sedikit takut kalu ini, apalagi jika ingat pada Farel."Mas Abas mengancam, Pak."Bapak menadahkan tangan, aku mengerutkan dahi tak paham."Ponselmu." Jemarinya bergerak-gerak cepat. Beliau memang tidak suka dengan hal yang lambat."Oh, ya."Bapak mengotak atik ponselku sebentar, lalu memberikannya lagi."Bawakan ponselku!"Aku membuka nakas di samping ranjangnya, bapak terlihat menghubungi seseorang.[Aku sudah mengirimkan pesan padamu. Urus dia!]"Pak."Aku

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Asisten Kantoran

    Pagi sekali, waktunya jam kerja Den Aaraf datang sendirian. Ia tidak menyapa bapak seperti sebelumnya, hanya absen kehadiran dan duduk di sofa tunggu.Aku dan Farel yang menginap di Rumah Sakit tidak pulang setelah prepare pakaian, jadi kami hanya menunggu Bapak sepanjang hari."Namaku Farel." Setelah satu jam Den Aaraf terduduk sembari bermain ponsel, Farel mendekatinya."Aku melihat Anda kemarin, tapi tidak sempat menyapa." Ia menganggukkan kepala di depan Den Aaraf. Aku sedikit kagum karena benar kata Bapak, Farel berani dan menurutku cukup sopan.Den Aaraf hanya diam tanpa ingin meladeni coletehan Farel, mungkin ia masih kesal dengan ucapan Bapak kemarin."Pria di sana." Farel menunjuk ke arah Bapak. "Sangat kesepian, Anda sudah dewasa dan sama-sama pria, mungkin bisa nyambung kalau berbicara."Mataku melebar seketika, ish! ini anak bukan lagi berani, tapi terlalu ikut campur urusan orang tua."Farel ke sini, Nak."Aku mengajak Farel untuk keluar, awalnya ia menolak tapi setelah d

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Nyonya Sehari

    Aku sempat ke toko ini saat bapak masih sehat, hari itu tentu saja aku hanya asisten yang membantunya membawa plastik belanjaan. Tapi, hari ini aku adalah konsumen emas buat mereka.Kutarik napas dalam, jujur suasana hati sedikit kacau, jika dilihat dari sendal dan pakaian yang kukenakan saat ini jelas masih terlihat perempuan rumahan daripada pekerja kantoran."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?""Saya membutuhkan beberapa baju yang cocok untuk mulai bekerja besok," ucapku gugup."Oh ya, silahkan. Sebelah sini."Aku mulai memilih baju yang tergantung di dalam rak, cukup sopan, bahan bagus dan modelnya aku suka."Maaf Mbak, pakaian ini tidak bisa dipegang sembarang tangan. Silahkan pilih yang sebelah sini saja. Harganya lebih terjangkau."Aku mengernyitkan dahi, dan menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Mengikuti pegawai itu pada rak yang lain.Bajunya lumayan bagus, bahannya terasa lebih kasar. Tapi, kurang suka dengan warna dan motifnya.Aku kembali ke tempat rak sebelumnya, pegawai

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Tugas Pertama

    Demam panggungkah?Sedikit pun aku tida bisa memejamkan mata, detik jarum jam terdengar begitu jelas ditelinga.Apa aku harus mulai menghitung agar bisa tidur? satu domba, dua domba, tiga domba.Trang! Trang!Refleks tubuh langsung terbangun, menengok jarum jam pukul 01.00 malam, tidak mungkin itu adalah suara tikus seperti di rumahku yang dulu. Jangan-jangan .... maling?Aku keluar dari kamar sembari mengendal-endap, sesosok tubuh berdiri di samping meja makan . Diperhatikan dari atas hingga bawah, jelas itu bukan maling."Tumben belum tidur, Den?"Den Aaraf menengok sembari meneguk segelas air."Aku haus." Ia kembali menyimpan gelas yang sudah kosong, aku duduk di kursi memperhatikannya."Apa Den Aaraf tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan besok hari di kantor?"Tumben ia pun ikut duduk, biasanya tidak pernah punya waktu meski hanya sekedar berbicang dengan orang rumah. Bahkan, napas beratnya kali ini sangat kentara dan bisa kurasakan."Papa sudah tidak mempercayaiku memegang peru

    Last Updated : 2022-11-09
  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Mobil Baru

    Hoam! Lelah sekali hari ini. Berkali-kali aku menguap di dalam mobil. Kaki terasa kesemutan. Bola balik dari satu ruangan ke ruangan lain. Aku kira kerja dikantoran itu cuma duduk santai di depan komputer, ternyata tidak seenak itu. Nggak bisa rebahan lagi. Ah, pinggangku pegal. Aku bersandar lemas pada sandaran kursi. Melirik pak supir yang mengemudi, lalu melihat sepasang mata sedang memelototi.Astagfirullah. Aku langsung bangun dan kembali duduk tegap, merapihkan pakaian yang sebelumnya ketarik. Sejak kapan bapak memperhatikanku seperti itu? Kulirik sekali lagi, mata itu masih terlihat melotot tajam dari kaca spion."Minah, jangan pegang-pegang!"Aku menautkan dua alis, sedang apa mereka berkumpul di halaman? Mobil yang kami tumpangi baru saja masuk ke dalam gerbang saat ada beberapa orang berdiri di sana."Hanya megang saja, Non. Mulus benar ini bokong mobil.""Hus! Sana jauh-jauh! Mending kamu fotoin aku saja. Nih!"Minah mengkerucutkan bibirnya sembari mengambil berbagai pose N

    Last Updated : 2022-11-09

Latest chapter

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   End ~

    "Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 43

    "Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 42

    Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 41

    "Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 40

    "Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 39

    "Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 38

    "Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Bab 37

    "Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny

  • GARA-GARA DIMADU, AKU JADI NYONYA, KAMU JADI BABU.   Mengatur Rencana

    Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status