"Gigi berangkat dulu, ya Bu?"
"Iya, Gi. Hati-hati di jalan, dan ...." Ucapan ibu terhenti dan aku menunggu dia meneruskannya."BBM naik," ucapnya ragu, " Ongkos ojeg dan angkot ikut naik.""Siap, Bu. Habis gajian Gigi kirim ibu dua kali lipat." Mata ibu berbinar, aku tahu pasti tujuan dari ucapan itu. Sungguh, tidak nampak kesedihan di matanya selain uang. Pantas saja sifat Mas Abas seperti itu. Duh, amit-amit saja jika turun ke Farel."Kamu tenang saja, uang jatah Farel nanti ibu tambah. Ibu akan beli ayam setiap hari buat makannya." Tangan keriputnya menepuk-nepuk pundakku. Bahagia sekali ibu melepas kepergianku untuk merantau ke kota.Sama saja dengan Mas Abas, berkali-kali dia mencuri-curi senyum dariku. Mengirim aku untuk bertarung dengan peluh dan mereka menikmatinya tanpa beban apalagi merasa bersalah.Aku berangkat dengan motor legenda milik Mas Abas menuju terminal. Farel sengaja kusuruh sekolah, dan aku mengutarakan niatku untuk menjemputnya nanti.Aku hanya menyalami tangan Mas Abas dan dia mencium keningku sebagai tanda perpisahan. Itu saja, tidak ada adegan menangis dan semacamnya. Mas Abas langsung memutar kemudi motor saat aku naik ke dalam Bus."Nggak jadi berangkat, Neng?""Naik Bus berikutnya, Pak."Aku kembali turun menarik koperku, dan menaiki taksi menuju Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan cerai.Waktu masih cukup pagi, kantor baru saja buka, aku langsung dilayani dan diberi beberapa pertanyaan serta mengisi formulir."Ditunggu surat panggilan persidangannya, Neng?""Apakah bisa memakai jasa pengacara, Pak?""Bisa. Tapi, baiknya Neng Gigi juga ikut."Aku hanya membariskan gigi, setelah hari ini tidak bisa kubayangkan bagaimana sikap Mas Abas kepadaku. Apalagi aku berani membohongi dan menggugat cerai dirinya.Hampir pukul 09.00 pagi aku pergi ke sekolah Farel dan mengutarakan niatku untuk membawanya pindah. Pihak sekolah tidak bisa melarang, surat pemindahannya akan segera diurus dan dikirimkan melalui paket. Itu adalah jalan yang terbaik agar aku tidak bolak balik ke kampung ini lagi."Kita akan pindah ke mana, Ma?""Ke kota sayang, ke tempat Mama kerja. Kamarnya cukup kok jika Mama tidur bersama Farel."Farel mengangguk. Dia tidak banyak bertanya atau pun menolak, cukup penurut dan tidak pernah berbuat ulah, Mas Abas dan ibu saja yang keterlaluan.Saat aku menaiki taksi, kulihat sebuah mobil pick up melewati kami. Barang-barang yang diangkutnya sangat kukenali. Ternyata barang-barang itu sudah diangkat dari rumah. Itu berarti Mas Abas sudah tahu kalau ini adalah kerjaanku. Padahal aku minta untuk diangkat besok, pemilik toko bekas itu tidak bisa dipercaya, sudah menawar cukup murah tidak menepati janjinya pula.[Pak, saya kan sudah minta agar barangnya diambil besok saja.][Ternyata tidak bisa, Bu. Saya dapat informasi dari teman kalau barang-barang yang sudah ibu jual, mau langsung dipindahkan lagi ke rumah yang lain. Saya tidak mau ambil resiko.]Aku tidak bisa menyalahkanya kalau begini, memang keterlaluan itu perempuan! Maruk sekali dia sama harta.Panggilan dari Mas Abas langsung masuk membuat ponselku berdering nyaring. His! Tidak ada jalan lain selain menghadapinya.[Gigi! Di mana kamu?!][Di mobil Mas, kenapa?][Apa kamu yang menjual semua barang-barang di rumah?][Iya, Mas. Gigi mau beli yang baru setelah renovasi rumah selesai. Kan sayang juga nanti kotor.][Tapi, kenapa tidak bilang dulu, Ma?] Suara Mas Abas melemah.Aku masih belum ketahuan, kuelus dada sembari menghirup udara.[Nanti Mama belikan yang lebih bagus dari kota, Mas. Langsung dikirim ke rumah.][Benar nih?][Iya, Mas.]Selanjutnya aku berpura-pura kehabisan baterai dan kehilanga sinyal.Malas sekali berbicara dengan Mas Abas yang lebih mementingkan wanita itu dan anaknya dari pada aku dan Farel.Dia sampai membentakku seperti itu pasti karena ulah wanita itu. Ah! Jadi ingin melihat bagaimana perempuan itu meronta-ronta kehilangan isi rumahnya.Ah, kenapa tidak? Aku bisa menonton secara langsung adegan itu. Serasa mendapat ide baru, aku langsung menghubungi Rina dan memintanya ke rumah Tia untuk melakukan video call."Apa-apa ini, Mas? Kamu bilang hanya pinjam beberapa hari saat istrimu ada di rumah. Sekarang setelah dia tidak ada barang-barangnya malah dijual!""Dia akan menukarnya dengan yang lebih bagus Tia! Langsung dari kota. Nanti kamu juga yang senang.""Ah, itu hanya alasanmu dan dia saja, Mas.""Kamu harus tenang Tia! Orang-orang melihat kita.""Aku tidak peduli, aku mau semua barang-barang dari rumah ini kembali!""Tia! Apa kamu bisa tenang?!""Tidak Mas. Wanita itu telah mengambil milikku dan Rian!""Sadarlah Tia! Kamu dan Rian itu cuma numpang makan, semua yang kamu nikmati adalah miliknya!""Oh. Kalau begitu berikan juga wajan ini, sendok dan semua piring ini."Tia masuk ke dalam rumah, lalu melemparkan semua barang-barang itu ke halaman."Katakan pada istrimu agar mengambil semua itu juga, Mas!""Tia hentikan!"Wanita itu terlihat masuk ke dalam rumahnya lagi."Ini juga Mas. Berikan celana dalam ini. Ini semua dibeli memamakai uangnya!" Semua celana dalam yang ia bawa dikoyaknya hingga robek.Plak! Satu tamparan mendarat."Kamu pun tak lebih menumpang hidup pada dia, Mas. Bukan saja aku dan Rian!"Plak!Plak!Aw! Aku mengaduh saat menyaksikan pertunjukan itu, pasti sangat sakit dan panas.Wanita itu hanya bisa bungkam sembari memegangi pipinya.Kamu terlalu kasar padanya, Mas. Padahal kamu telah berhasil menipu dan memerasku untuk berkhianat dengan wanita itu. Gumamku pelan."Jaga mulutmu! Kalau tidak, aku akan memasung dan menjahit mulutmu itu!"Brank!Pintu ditutup keras dari luar.Layar ponsel bergetar, aku bisa mendengar Rina berlari, lalu kini layarnya menujukkan pohon mangga yang baru saja berbunga. Sepertinya Rina sedang bersembunyi di sana.[Bagaimana, seru nggak siaran langsungnya?] seloroh Rina mengejekku.[Menegangkan yo?][Hahahaha, najis gue punya laki kaya si Abas, dah numpang hidup ke istri main gampar pula.][Dia masih laki gue!][Hahahaha .... Sebentar lagi kan jadi mantan.]Aku menggeleng, sudah segitunya, padahal wanita itu hanya baru kehilangan furniture rumah, apa kabarnya nanti jika dia tahu rumahnya dipakai jaminan ke rentenir.His!his! Tak bisa kubayangkan bunganya membengkak saat tidak disetori, bisa jadi wanita itu diusir dari rumahnya sendiri. Opss!Aku memeluk Farel, mengelusnya perlahan. Dia tertidur, perjalanan kami cukup jauh, aku sudah menaiki Bus menuju rumah tempat kerjaku. Untung sekali Mas Abas tidak pernah tahu, jelasnya tidak ingin tahu, di mana, kerja apa, lelah atau tidak. Dia menutup mata untuk itu.Aku masih ingat pertanyaan apa yang dilontarkannya saat pertama dia menelpon setelah aku bekerja."Berapa gajinya, Ma?"Ah, sungguh menyakitkan mengingat itu, padahal saat itu aku terus menangis karena selalu di marahi oleh Non Laras.Hampir tengah malam aku sampai ke rumah Bapak, rumah besar di hadapan kami saa ini membuat mata Farel melebar."Kita aka tinggal di sini, Ma?"Aku mengangguk dan menciuminya.Pintu terbuka, Minah keluar dan langsung menghamburku."Bukankah ini si tampan Farel?"Farel mengangguk dengan semangat, ia senang karena orang baru yang dikenalnya sangat ramah, Farel belum tahu saja kalau di rumah ini ada macan betinanya juga."Bagaimana keadaan, Bapak?"Minah menggeleng, "Ada apa?""Sekarang jika bukan waktu makan dan mandi, tidak ada yang boleh mengganggu!""Siapa yang mengatakan itu?""Non Laraslah, siapa lagi?" seloroh Minah menjatuhkan dirinya di kursi."Eh, kamu mau kemana?""Aku mau lihat Bapak, apa makan malamnya sudah ia habiskan atau belum?""Nanti Non Laras marah, Gi." Minah menarik lenganku. Aku melihat jam dinding, sudah pukul 11.00 malam Non Laras pasti sudah tidur."Tidak apa-apa." Aku melerai pegangan Minah dan berjalan masuk ke dalam kamar.Tidak ada yang aku khawatirkan selain Bapak selama tinggal di kampung, memastikannya baik-baik saja akan membuat tidurku malam ini nyenyak.Perlahan aku membuka pintu, mata melotot karena tidak melihat Bapak di kasurnya."Pak?" Aku berlari mencari.Astagfirullah."Minaaaaah toloooooong!"Tubuh Bapak tergeletak dilantai, mulutnya dipenuhi busa. Apa yang sudah terjadi?Bersambung ...."Ada apa, Gi?""Tolong Minah, cepat!" Minah yang sempat berdiri di depan pintu berlari menghampiri."Astagfiurllah, Bapak!" "Bantu aku mengangkat Bapak, Nah!" Tangan Minah bergetar, tapi tetap berusaha membantu mengangkat tubuh Bapak ke atas kasur."Bangunkan Den Aaraf!"Tubuh Minah terpaku dan semakin bergetar, ada apa dengan anak ini? "Minah Cepeeet!""A-a-aku.""Nanti saja Minah, selamatkan dulu Bapak. Cepet bangunkan Den Aaraf!" Perintahku sembari meraih gagang telepon. Menghubungi nomor panggilan darurat.Minah menurut dan berlari ke luar.[Hallo, ada yang bisa kami bantu?][Saya butuh ambulans, Mas.][Siap Bu. Saya kirim ke alamat mana?]Alamat? Aku tidak tahu alamat pasti rumah ini.Mataku memutar, memaksa otak untuk berpikir. Membuka laci dan mencari dompet Bapak. Biasanya selalu ada kartu nama di sana.Ah, untunglah. Aku membacakan alamat lengkap rumah yang tertera dalam kartu.[Cepat ya Mas. Ini darurat, pasien sudah tidak sadarkan diri.][Bagaimana kronologinya, Bu?] [S
"Waktunya sarapan, Pak."Seorang suster mendorong troli makanan ke dalam ruangan. Aku menghampirinya dan mengambil alih."Biar saya saja, Sus."Bapak sudah bangun, namun belum sepatah kata pun terdengar ucapan dari mulutnya.Aku mencicipi semua makanan yang akan diberikan kepada Bapak, memastikan tidak ada hal serupa terjadi."Urusanmu sudah selesai?""Aku mengambil semua yang menjadi hakku, dan menggugat cerai Mas Abas. Tapi, sampai saat ini dia belum tahu. Bahkan Farel yang ikut denganku saja, dia belum tahu dan tidak peduli."Kunaikan ranjang Bapak lebih tinggi, membuatnya dalam posisi duduk."Bawa anakmu kemari.""Makanlah dulu, dan habiskan semua ini. Lihatlah, leher Bapak lebih tirus dari sebelumnya."Bapak mengunyah setiap makanan yang aku suapi. Meski pelan tetapi tetap ditelannya."Pulanglah, sebelum Minah ditangkap polisi.""Bagaimana kalau Minah benar-benar lalai?"Bapak menolak untuk disuapi lagi. Aku meraih air minum dan membantunya meneguk."Lakukan saja apa yang kukatak
[Berani sekali kamu, Gigi! Kamu kira bisa lepas dariku begitu saja! Akan kucari kamu sampai dapat! Jangan harap kepalamu masih utuh saat aku menemukanmu!]"Ada apa?"Aku menangkap ponsel yang hampir jatuh, hati lumayan syok saat membaca pesan dari Mas Abas."Tidak ada apa-apa, Pak."Aku menyimpan ponsel ke dalam saku celana, mengambil air hangat beserta handuk kecilnya. Pekerjaan rutin yang kulakukan setiap sore, membersihan tubuh Bapak yang terbuka."Katakan saja, Gigi."Bapak tahu paras wajahku terlihat layu, bagaimana pun aku sedikit takut kalu ini, apalagi jika ingat pada Farel."Mas Abas mengancam, Pak."Bapak menadahkan tangan, aku mengerutkan dahi tak paham."Ponselmu." Jemarinya bergerak-gerak cepat. Beliau memang tidak suka dengan hal yang lambat."Oh, ya."Bapak mengotak atik ponselku sebentar, lalu memberikannya lagi."Bawakan ponselku!"Aku membuka nakas di samping ranjangnya, bapak terlihat menghubungi seseorang.[Aku sudah mengirimkan pesan padamu. Urus dia!]"Pak."Aku
Pagi sekali, waktunya jam kerja Den Aaraf datang sendirian. Ia tidak menyapa bapak seperti sebelumnya, hanya absen kehadiran dan duduk di sofa tunggu.Aku dan Farel yang menginap di Rumah Sakit tidak pulang setelah prepare pakaian, jadi kami hanya menunggu Bapak sepanjang hari."Namaku Farel." Setelah satu jam Den Aaraf terduduk sembari bermain ponsel, Farel mendekatinya."Aku melihat Anda kemarin, tapi tidak sempat menyapa." Ia menganggukkan kepala di depan Den Aaraf. Aku sedikit kagum karena benar kata Bapak, Farel berani dan menurutku cukup sopan.Den Aaraf hanya diam tanpa ingin meladeni coletehan Farel, mungkin ia masih kesal dengan ucapan Bapak kemarin."Pria di sana." Farel menunjuk ke arah Bapak. "Sangat kesepian, Anda sudah dewasa dan sama-sama pria, mungkin bisa nyambung kalau berbicara."Mataku melebar seketika, ish! ini anak bukan lagi berani, tapi terlalu ikut campur urusan orang tua."Farel ke sini, Nak."Aku mengajak Farel untuk keluar, awalnya ia menolak tapi setelah d
Aku sempat ke toko ini saat bapak masih sehat, hari itu tentu saja aku hanya asisten yang membantunya membawa plastik belanjaan. Tapi, hari ini aku adalah konsumen emas buat mereka.Kutarik napas dalam, jujur suasana hati sedikit kacau, jika dilihat dari sendal dan pakaian yang kukenakan saat ini jelas masih terlihat perempuan rumahan daripada pekerja kantoran."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?""Saya membutuhkan beberapa baju yang cocok untuk mulai bekerja besok," ucapku gugup."Oh ya, silahkan. Sebelah sini."Aku mulai memilih baju yang tergantung di dalam rak, cukup sopan, bahan bagus dan modelnya aku suka."Maaf Mbak, pakaian ini tidak bisa dipegang sembarang tangan. Silahkan pilih yang sebelah sini saja. Harganya lebih terjangkau."Aku mengernyitkan dahi, dan menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Mengikuti pegawai itu pada rak yang lain.Bajunya lumayan bagus, bahannya terasa lebih kasar. Tapi, kurang suka dengan warna dan motifnya.Aku kembali ke tempat rak sebelumnya, pegawai
Demam panggungkah?Sedikit pun aku tida bisa memejamkan mata, detik jarum jam terdengar begitu jelas ditelinga.Apa aku harus mulai menghitung agar bisa tidur? satu domba, dua domba, tiga domba.Trang! Trang!Refleks tubuh langsung terbangun, menengok jarum jam pukul 01.00 malam, tidak mungkin itu adalah suara tikus seperti di rumahku yang dulu. Jangan-jangan .... maling?Aku keluar dari kamar sembari mengendal-endap, sesosok tubuh berdiri di samping meja makan . Diperhatikan dari atas hingga bawah, jelas itu bukan maling."Tumben belum tidur, Den?"Den Aaraf menengok sembari meneguk segelas air."Aku haus." Ia kembali menyimpan gelas yang sudah kosong, aku duduk di kursi memperhatikannya."Apa Den Aaraf tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan besok hari di kantor?"Tumben ia pun ikut duduk, biasanya tidak pernah punya waktu meski hanya sekedar berbicang dengan orang rumah. Bahkan, napas beratnya kali ini sangat kentara dan bisa kurasakan."Papa sudah tidak mempercayaiku memegang peru
Hoam! Lelah sekali hari ini. Berkali-kali aku menguap di dalam mobil. Kaki terasa kesemutan. Bola balik dari satu ruangan ke ruangan lain. Aku kira kerja dikantoran itu cuma duduk santai di depan komputer, ternyata tidak seenak itu. Nggak bisa rebahan lagi. Ah, pinggangku pegal. Aku bersandar lemas pada sandaran kursi. Melirik pak supir yang mengemudi, lalu melihat sepasang mata sedang memelototi.Astagfirullah. Aku langsung bangun dan kembali duduk tegap, merapihkan pakaian yang sebelumnya ketarik. Sejak kapan bapak memperhatikanku seperti itu? Kulirik sekali lagi, mata itu masih terlihat melotot tajam dari kaca spion."Minah, jangan pegang-pegang!"Aku menautkan dua alis, sedang apa mereka berkumpul di halaman? Mobil yang kami tumpangi baru saja masuk ke dalam gerbang saat ada beberapa orang berdiri di sana."Hanya megang saja, Non. Mulus benar ini bokong mobil.""Hus! Sana jauh-jauh! Mending kamu fotoin aku saja. Nih!"Minah mengkerucutkan bibirnya sembari mengambil berbagai pose N
"Kamu 'kan yang mengambil uangku? Ayo ngaku! Jangan pura-pura polos anak kampung! Kamu pasti kekurangan uang karena ibumu yang pembantu itu belum gajian 'kan? Ngaku aja, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar keributan di luar aku meminta ijin pada bapak untuk melihatnya.Farel sedang berdiri di depan Non Laras dengan wajah menunduk. Si singa betina bahkan menggunkan gagang sapu untuk menunjuk dada Farel."Ada apa ini, Non?""Noh, tanya pada anakmu!" Dia membuang wajah sembari melipat tangan di dada.Aku segera mendekati Farel dan melihat matanya yang sudah sembab."Farel menemukan uang itu di tangga, Ma. Farel mengambilnya kerena ....""Bagus kamu ngaku!" Non Laras beralih tempat dan duduk di atas sofa."Mana uang itu?" Pintaku.Farel memasukkan tangannya ke saku celana, ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah. Aku menghela napas, ternyata uang itu benar-benar ada di tangannya."Ini, Non." Aku menyimpannya di atas meja."Kamu pikir aku miskin dan mempermasalahkan uang
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu
"Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte
"Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny
Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka