"Mbak, Mbak ....""Ya.""Sudah siap?"Aku hanya membariskan gigi. Memperlihatkan si ginsul kesayangan. Lagi-lagi otak ngelag dengan sendirinya. Fisik dan pikiran yang lelah tidak menjamin aku bisa fokus saat ini."Saya akan memperkenalkan instrumen mobil ini terlebih dahulu, supaya Mbak Gigi mengingatnya." Bastian mulai memberikan arahan."Ini pedal gas, rem, dan kopling. Fungsi gas untuk melaju, rem untuk memperlambat laju mobil atau berhenti, kalau kopling untuk berhenti tanpa mematikan mesin, biasanya digunakan saat dilampu merah, atau macet. Jangan sampai ketuker ya, Mbak." Selanjutnya Bastian menunjuk bagian bawah mobil.Aku mengangguk berat, rasanya memang tidak singkron antara pikiran dan perasaan."Kalau ini rem tangan. Digunakan untuk menghentikan mobil saat parkir, terutama pada jalan yang tidak mendatar.Sekarang kita coba menghidupkanya ya, Mbak. Mbak Gigi duduk di sini." Tubuhku benar-benar bergetar sekarang, selain semua ini asing, ada perasaan takut yang berlebih, terut
Pikiranku tidak bisa lepas dari memikirkan Bastian, bagaimana bisa karena ulahku satu orang telah kehilangan pekerjaannya? Lalu, aku ingat pada kertas administrasi yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit. Kebetulan sekali ada nama Bastian dan nomor telepon yang bisa dihubungi sebagai penanggung jawab dari pasien.[Hallo, ini Bastian?][Ya. Saya bicara dengan siapa?][Ini, Gigi. Yang Mas ajari mobil kemarin.][Oh ya, Mbak Gigi, gimana kabarnya? Saya kembali ke Rumah Sakit lagi, tapi Mbak Giginya sudah pulang.][Saya sudah baikan kok, Mas.][Syukurlah kalau begitu.][Mas, dipecat ya dari pekerjaannya?][Ah, iya.] Aku mendengar ia seperti tertawa kecil. Mungkin untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Siapa sih orang yang akan baik-baik saja setelah dipecat begitu saja dari perusahaan karena berbuat kesalahan? Aku rasa tidak ada.[Saya akan mencoba berbicara dengan Pak Giantara agar meminta perusahaan mempekerjakan Mas Bastian lagi.][Tidak apa-apa Mbak, saya baik-baik saja.][Saya sungguh
"Ayo berangkat!""Kemana, Pak?""Bukannya kepalamu sakit?"Mataku memutar, celaka! tadi aku hanya ngomong sekenanya saja. Lupa kalau bapak orangnya seriusan."Lain kali saja, Pak. Gigi bisa sendiri. Sakitnya sudah hilang kok. Hari ini karyawan yang masuk hanya sedikit, kita tidak bisa meninggalkan kantor."Bapak terlihat berpikir, "Kalau sakit lagi, jangan tunda untuk periksa!""Siap, Pak." Aku menarik garis senyum untuk meyakinkannya.Bapak kembali ke kursinya, beliau mulai terlihat sibuk dan sangat serius. Sedangkan, aku? Tidak ada pekerjaan yang bisa kulakukan sekarang, hanya duduk terpaku memandangnya. Menunggu instruksi yang beliau berikan, selain itu aku tidak bisa melakukan apa-apa tanpa perintah.Usiaku mungkin tidak jauh berbeda dengan Den Aaraf, itu artinya aku lebih pantas jadi anaknya dari pada istri beliau. Ih! Kenapa juga aku berpikir sejauh itu. Bapak mungkin akan menikah lagi, tapi bukan berarti denganku. Ini semua gara-gara Minah! "Sadar-sadar Gigi, jangan ikutan gil
Bapak memintaku untuk menunggu sampai Non Laras keluar dari ruangan dokter. Kami sedikit melipir sembari menunggunya. Cukup lama, hampir 45 menit aku dan bapak menunggu, Non Laras keluar bersama seorang suster, wajahnya terlihat lebih pucat dengan tubuh yang lemas."Non .... " Aku sempat memanggilnya sebelum bapak menarik tanganku. Beliau menggeleng, bukankah kami menunggu untuk bertemu dengannya, kenapa bapak malah mencegahku?"Aku ingin menemui dokternya," ucap bapak membelokkan kursi roda. Lalu, menggelinding cepat ke arah sana. Aku setengah berlari mengejarnya. Ternyata selama menunggu, apa yang ada dalam pikiran kami berbeda."Selamat siang dokter.""Ya." Dokter itu berdiri saat kami datang. Bapak menghampirinya dengan cepat."Saya Giantara, ayah mertua dari wanita yang baru saja keluar dari ruangan ini." Bapak menjabat tangannya, sang dokter mempersilahkan kami untuk duduk."Apa yang Bapak maksud adalah Laras?""Ya, benar dokter.""Saya kira Laras tidak menikah." Dokter cantik i
Bapak berbaring di tempat tidur dengan tangan bersedekap, matanya terpejam tapi jemari tangannya masih bergetar. Jelas terlihat ia hanya pura-pura tidur.Aku, Minah dan Mbok Darmi sibuk membersihkan kamarnya, pecahan beling dan kaca di mana-mana. Hampir semua benda di kamar ini tergeletak di lantai, jarang yang selamat , semua hancur berkeping, ada pun yang masih bisa diselematkan, pasti memiliki retakan atau pecahan."Terimakasih, Mbok."Mbok Darmi mengangguk. Mengelus lenganku. Ia menengok bapak sebentar sebelum meninggalkan kamar yang berhasil kami bersihkan setelah 1 jam bekerjasama saling membantu dengan hati-hati.Aku menutup kaki bapak yang terbuka, sedikit noda darah bahkan terlihat di sana. Seperti ada pecahan benda yang mengenainya. Bergegas aku mengambil obatk P3K, mengolesnya dengan alkohol, dan memberinya plester."Pergi dan bantulah Aaraf!" ucap bapak tanpa membuka mata.Aku mengerti dan langsung menemuinya, Den Aaraf masih menunduk di atas kursi. Satu jam lebih dia dala
Aku seperti menyaksikan dua patung yang saling berhadapan, dekat tapi sibuk dengan perasaan masing-masing.Bapak duduk bersandar pada sandaran kasur, Den Aaraf masih berdiri menunduk di sampingnya.Aku menepuk kasur di samping bapak setelah membantunya. Meminta Den Aaraf untuk duduk di sini agar lebih dekat. Pria itu menurut, ia duduk dengan wajah yang semakin menunduk."Maaf, Pa. Aaraf belum bisa memberi Papa cucu," ucapnya parau, menahan tangis yang sepertinya kembali ingin tumpah.Bapak merangkul tubuh anaknya. Tangis itu pun pecah, bapak mengusap punggung Den Aaraf dengan lembut. Air mataku berlinang penuh haru. Keluarga akan tetap menjadi tempat kembali meski beribu kali dijauhkan oleh kepentingan duniawi."Jadilah pria yang kuat!" Bapak menepuk-nepuk pundak anak lelakinya. Den Aaraf mengangguk pelan dan melerai pelukan."Aaraf sudah menghubungi orang tua Laras agar menjemputnya pulang. Bagaimana pun dia harus merenungkan kesalahannya.""Papa rasa ini adalah permulaan, kamu akan
Apa arti dari ucapan bapak? Apakah maksud beliau ingin aku temani sampai habis usia? Menjadi istrinya? Aih! Hatiku melambung tinggi, berbunga-bunga penuh warna.Enggak-enggak! Sadarlah Gigi! Bagaimana kalau bukan itu tujuannya? Jika aku salah menangkap maksud ucapan bapak, bunga mekar pun akan layu dan berguguran, terdampar, dan akhirnya jadi santapan cacing tanah. Ngenes banget kan? Ngeles ajalah, cari aman. Kalau pun iya, perempuan kan harus jual mahal."Tentu saja, Pak. Selama bapak mempekerjakan saya. Saya akan tetap setia.""Aku rasa ada yang berbeda antara ucapan dan pikiranmu saat ini?" Jangan-jangan bapak cenayang? Mataku menyipit untuk menyelidik. Ah! Mana mungkin. Pasti hanya kebetulan."Aku bukan cenayang, tapi gelagatmu mudah terbaca. Ngeles cuma buat nutup malu dan pura-pura jual mahal."Bagaimana bisa bapak adalah cenayang?! Apakah selama ini beliau selalu membaca semua pikiranku?"Heum!" Bapak menggeleng , lalu mengambil alih piring yang ada di tanganku."Menunggu kamu
"Eheum!"Den Aaraf dan Farel tertunduk pada sarapan mereka. Tidak ada yang berani berbicara satu kata pun setelah kami datang, tepatnya setelah bapak duduk di kursinya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanya bapak kepada dua anak yang ada di depannya.Keduanya menoleh, menggeleng, lalu menunduk lagi. Tangan mereka sibuk memasukkan makanan tanpa memilah."Kurasa kalian tadi membicarakanku dengan senangnya."Kedua pria muda itu kompak menoleh lagi, menggeleng dan kembali menghabiskan sisa-sisa makanan yang masih tersisa."Selesai!" ucap Farel langsung kabur."Aku pun selesai!" Den Aaraf tak kalah bergegas dan siap meninggalkan meja."Eh, duduk!""Aku?""Siapa lagi?" Den Aaraf melirik pada Farel yang ternyata bersembunyi dan tersenyum mengolok. Ia terpaksa kembali duduk dan mencoba memandang bapak yang ternyata sudah fokus menatapnya."Apa aku memang terlihat setua itu di matamu?"Den Aaraf yang terlihat sedikit heran dengan pertanyaan itu tetap mencoba menjawab."Sedikit." Ia menautka
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu
"Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte
"Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny
Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka