Den Aaraf masuk ke dalam ruangan, menatap kami penuh selidik, nampak sekali ia tidak sabar untuk mendapat jawaban."Kita akan bicarakan ini di rumah!"Bapak mematahkan tatapan dan harapan itu."Kenapa?""Karena ini masalah pribadi, kantor hanya tempat untuk orang-orang yang bekerja secara profesional."Aku berpura-pura sibuk sendiri dan tidak mendengar percakapan mereka. Kutangkap selintas Den Aaraf menatapku."Baiklah. Aku hanya datang untuk memberikan ini."Den Aaraf berjalan ke meja bapak dan menyimpan sebuah berkas. Lalu, menatapku lagi dan bergegas menuju pintu."Aku rasa belum saatnya kita memberitahu ini, Pak." Aku sedikit berbisik mengatakan ini, takut Den Aaraf masih ada di luar dan mendengarnya."Dia bukan anak kecil, Gigi. Dia bahkan sudah menikah. Hal seperti ini harusnya bisa diterima. Selain itu, Aaraf bisa melihat gelagatmu yang berbeda."Perasaan tidak ada yang berbeda dariku, bukannya bapak yang bertingkah aneh dua hari ini?"Itu salah satu contoh penyakit barumu, suk
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, aku sangat khawatir karena belum melihat Den Aaraf kembali, di cek ke kamar pun masih kosong tanpa terkunci. Den Aaraf bukan orang yang suka menghabiskan waktu di jalanan, ia adalah anak rumah dan kantoran."Den Aaraf belum kembali, Pak," ucapku sembari memandang tubuh bapak dari belakang, beliau tidur menyamping ke kiri dan memunggungiku saat ini."Dia butuh merenung, tidak apa-apa sesekali membiarkannya sendiri."Aku tahu getar suara itu, bapak sama sekali tidak tenang. Ia pasti sangat khawatir. Aku keluar dan menutup pintu kamarnya pelan. Duduk menunggu di ruang tamu. Jarum jam sudah bergerak ke angka 11, tapi tidak ada tanda-tanda Den Aaraf akan kembali.Aku tidak bisa duduk termenung seperti ini! pekikku dalam hati. Berdiri dan mengambil kunci mobil, berusaha mencari dari pada hanya terpaku menunggu. Jalanan sudah cukup sepi dan gelap. Baru kali ini aku mencoba berkendara di tengah malam. Lajunya benar-benar seperti keong, bahkan berkali-k
"Den, saya ikut!"Farel berlari menyusul Den Aaraf ke luar setelah menyalami kami dengan tergesa."Farel, jangan Nak!""Aku tidak mau telat lagi gara-gara naik mobil keong itu, Ma."Farel berlari kencang, menghentikan mobil Den Aaraf yang hampir melaju. Aku mengintip mereka di balik tirai. Den Aaraf terlihat membuka kaca jendela, keduanya nampak berbicara sebentar sebelum Farel memutar untuk duduk di kursi depan."Biarkan saja mereka sering bersama, kedekatan akan terjalin dengan sendirinya," ucap bapak.Aku berbalik, bapak sudah berada di sampingku saat ini. Beliau menggelindingkan kursi rodanya sendiri. Hari ini adalah jadwal bapak terapi, ada bagusnya Farel ikut Den Aaraf, jadi aku tidak perlu memutar jalan."Mobil keong naik kelas ni," coleteh bapak saat merasakan caraku mengemudi lebih cepat dari biasanya. Aku membusungkan dada, tidak tahu saja bapak kalau semalam aku sudah jadi pembalap jalanan."Di mana kamu menemukan Aaraf semalam?"Aku melirik, lalu menggeleng. Wajah bapak me
"Sakit, Nah?" Kepala Minah berputar, matanya bergerak malas. Ia berjalan seperti wanita tua yang encokan."Puas kamu ngetawain aku? Temen jatuh bukannya ditolongin malah cekikikan sendiri.""Kok kamu tahu? Padahal aku ngumpet-ngumpet loh, pengennya ketawa ngakak. Tapi, takut disemprot Den Aaraf, Nah." Tawaku kembali tergelak, kalau ingat adegan tadi membuat perut ini tiba-tiba merasa digelitik.Bibir Minah yang panjang ditekuk ke dalam, ia masih kesulitan untuk berjalan apalagi menuruni tangga. Pekerjaan kami sudah selesai, pakaian Non Laras sudah rapi di dalam koper, tidak ada sehelai pun yang tertinggal di lemari. Kami memindahkannya sesuai perintah Den Aaraf, ia nampak benar-benar murka dengan sikap No Laras kali ini."Sini, aku tolongin.""Nggak usah!" Minah menepis."Cie yang merajuk, padahal niatnya mau ngajak jalan-jalan pake mobil baru.""Beneran?" Tubuh Minah yang encok langsung sehat bugar."Bener doong.""Aih! Aku ganti baju dulu."Benar saja, Minah langsung berlari ke kam
Bagaimana ini? Hati benar-benar resah, pikiran tidak bisa lepas dari bapak. Takut jika beliau masih terjebak di sana. Tidak!tidak! Bapak pasti sudah di tempat aman sekarang. Aku berusaha mengusir pikiran buruk itu, tidak akan kubiarkan hinggap meski sekejap.Tid!tid!tid! Jalanlah plisss! Tid!tid!tid!Mobil di depanku sama sekali tidak bergerak, apa yang harus kulakukan?"Beri jalan, tolong, beri jalan! Ini darurat! Menyingkirlah! aku mohon!" Aku menengok pada seseorang yang keluar dari kaca mobilnya dan terus berteriak.Itu Den Aaraf!"Den! Den!" "Gigi, kamu di sini?" Ia menoleh dan terus menyalakan klakson mobilnya.Aku segera turun dan menghampiri Den Aaraf. Harus kupastikan keadaan bapak sekarang."Bapak sudah di rumah, Den?""Aku kira dia bersamamu, Gigi?"Aku menggeleng, dan hampir menangis, itu artinya bapak masih ada di kantor."Aku baru bangun saat suara ponsel tidak berhenti berdering. Penjaga keamanan memberitahu kalau kantor kebakaran. Saat ingin memberitahu Papa, tidak a
Tubuhku melesat seperti angin, membuka pintu kamar dan bersandar pada daunya. Mengatur napas yang ngos-ngosan. Sesekali membuka pintu dan menengok lagi. Mungkin saja bapak keluar dari kamar dan memintaku untuk menemaninya sarapan. Aku harus kembali cantik sebelum itu terjadi."Apa yang Mama lakukan?"Farel dan Minah sudah memelototiku sekarang, tubuh mendadak jadi patung. Aku lupa kalau tidak sendiri lagi di kamar ini, mana ada Minah lagi."Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku, Nah?""Harusnya aku bertanya, di mana kamu tidur semalam? Aku sampai menginap di sini buat nemenin Farel."Semalam aku tidur di mana? Mana mungkin kukatakan kalau sebenarnya semalam aku tidur di kamar bapak. Bisa ditampar si Minahlah pipi ini. Meski aku mengatakan itu tidak sengaja dan kami tidak melakukan apapun. Mana mungkin anak itu percaya."Anu ... semalam aku ... tidur di ....""Di mana? kamu kok gugup gitu, Gi.""Di ... di jemuran," jawabku ngasal. Dapat ide darimana coba tidur dijemuran, Minah pasti
"Mbak Gigi, mau pulang nggak?" teriak Lidia di balik pintu mobil.Aku menyadarkan diri, bibir tersenyum sembari mengelus-elus tembok putih besar penyangga bangunan. Lah, apaan ini tembok pake berdiri di sini. Aku memukulnya sebelum naik mobil."Kalau hati lagi berbunga, susah ngebedain Pak Gian sama tembok ya?" celoteh Lidia membuatku cengengesan."Tahu aja, Mbak""Sama-sama putih dan tinggi 'kan?," selorohnya lagi sembari menggeleng. Sepanjang jalan, Lidia membiarkaku menikmati wajah ini di kaca spion, ia bahkan tidak berani mengganggu, hanya sesekali kulihat ekor matanya melirikku dengan senyuman.Kami sampai ke depan rumah setelah langit gelap. Mobil bapak dan Den Aaraf sudah terparkir berurutan."Mampir dulu, Mbak?""Saya sudah ditunggu suami, Mbak Gigi. Salam buat Pak Gian dan Aaraf ya.""Mbak Lidia sudah menikah?"Ia mengangguk cepat. "Bukan hanya sudah menikah, Mbak. Anak saya sudah dua," jawabnya nyengir."Kok bisa?" "Memangnya kenapa, Mbak?""Saya kira masih gadis."Lidia t
Malam sudah beranjak larut, mata belum bisa terpejam. Tidak ada Farel membuatku terus kepikiran. Bagaimana kabarnya sekarang di kamar Den Aaraf? rasa khawatir itu tetap ada.Jam menunjukkan pukul 23.00 malam, aku mengendap setengah melayang menuju lantai dua, pintu kamar Den Aaraf tertutup, tidak ada suara apapun dan sangat sunyi. Sepertinya mereka sudah tidur.Clek! aku membukanya perlahan, memastikan keduanya dalam keadaan bak-baik saja adalah tujuanku kali ini. Den Aaraf masih duduk di mejanya, ia masih bekerja, sedang Farel sudah terlelap di kasur besar itu.Pria itu menggeser kursi, kukira dia pun akan pergi tidur, sesaat tubuhnya berdiri mematung, melihat Farel yang sudah mendengkur halus. Den Aaraf menarik selimut dan menyelimuti Farel hingga atas. Ia pun membaringkan tubuhnya di samping Farel. Mereka berbagi kasur, bantal dan selimut. Ah! syukurlah aku bisa tidur nyenyak sekarang.Aku benar-benar menutupnya dengan hati-hati, tidak ingin menimbulkan keributan di saat sunyi sep
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu
"Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte
"Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny
Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka