Sebuah mobil truk parkir di depan teras, aku melonjak senang melihat semua barang-barang yang dibeli dengan uangku sebelumnya sudah berada di depan mata.
Mas Abas loncat dari mobil dengan senyum yang begitu lebar."Turunin semua, Bang," selorohnya. Menggandeng bahuku untuk masuk."Mau disimpan di mana saja, sayang?"Aku melihat keadaan rumah sebentar, meski dimasuki furniture yang bagus, dalam rumah sudah ancur begini mana bisa terlihat bagus, tetep saja jelek."Sofa di sini, lemari tv di sini, kulkas di sini, mesin cuci di sini, dan kipas angin di sini." Aku menunjuk sembarang tempat untuk dimasuki barang-barang, sementara saja sebelum kulelang semua barang itu agar menjadi lembaran uang.Terlihat sangat jelas semua barang-barang ini sudah dipakai, tapi aku menunjukkan wajah kegirangan hingga dianggap lupa menanyakan itu semua pada Mas Abas. Untuk apa ditanyakan? aku sudah kenyang makan bualannnya."Kamu sedang nyari apa, Ma?""Ini loh Mas. Kok Mama nggak lihat sepeda Farel yang harga 2 juta itu? Apa mungkin masih di tokonya juga?""Hah!" Mas Abas garuk-garuk kepala."Kalau Farel sudah bisa naik sepeda, nanti Mama mau beliin motor buat dia, Mas.""Motor?" Hijau langsung mata Mas Abas."Iya, Mas. Makanya Mama mau mastiin dulu, Farel bisa pake sepeda apa enggak?.""Bisa-bisa, pasti bisa kok, Ma.""Iya sih, harusnya bisa, makanya Mama mau lihat sendiri ""Oh begitu.""Di mana ya, Mas? Kok di rumah nggak ada.""Iya Ma, masih di tempat penjualnya, kemarin ada yang kurang apanya gitu, jadi Mas balikin lagi. Sekarang mau ditanyakan dulu. Mama duduk aja. Masakan Ibu kayanya sudah matang.""Bu," teriak Mas Abas."Iya, Bas?""Makanannya sudah matang?""Sebentar lagi.""Mama duduk dulu aja, nikmati sofa sama siaran tv barunya. Nanti makan masakan ibu. Mas ngambil dulu sepeda."Mas Abas menepuk-nepuk pundakku, wajahnya terlihat bingung. Jelas saja, sepeda yang dibelinya adalah sepeda anak balita umur 2 tahun, mana muat dipake Farel. Aku nggak mau tahu, Mas. Sepeda itu harus ada!Aku berselonjor kaki di atas sofa, menikmati siaran tv sembari mengunyah makanan yang sempat dibeli, untung saja aku tidak lupa membelinya, membayangkan tidak ada apapun yang bisa dimakan di rumah ini, bisa-bisa pulang ke rumah Bapak, badanku kurus kering."Hahahaha". Sesekali aku tertawa, berlaga bak ratu di rumah ini, ibu masih sibuk di dapur, malas sekali menghampirinya. Dia pasti membual telah melakukan banyak hal untuk Farel."Gigi, makanannya sudah siap."Ibu menghampiriku di ruang tamu, ruangan bersantai satu-satunya di rumah ini."Gigi sudah kenyang, Bu. Nanti malam saja."Ibu melirik pada kantong kosong yang berserakan di meja, menelan ludah dengan cepat."Bawa dari kota, Gi?""Iya, Bu. Tadi kebetulan mampir Mall. Gigi beli makanan seperlunya saja. Bekal Gigi selama di rumah, takutnya makanan di sini sudah tidak cocok di lidah.""Oh begitu." Ibu meraih salah satu kantong kemasan, wangi aroma pandannya masih tercium."Yang begini masih ada, Gi?""Masih, Bu. Tapi hanya cukup buat Gigi saja. Gigi malah lupa beli makanan untuk ibu."Tubuh ibu langsung beranjak dari duduk, Bibirnya sudah menyeng ke kanan-kiri. Mengumpatku dalam hati, kentara sekali dari bibirnya yang mulai kedutan.Farel keluar dari kamar, "Sayang kemarilah. Heum bau acem." Aku memeluk Farel, tubuhnya yang jarang tersentuh sabun dan tidak terurus sangat jelas terlihat."Ibu, air panas untuk Farel sudah siap?""Untuk apa pakai ....Oh iya. Tunggu sebentar."Hampir saja dia lupa pada ucapannya sendiri, memasakan air hangat setiap pagi, memandikannya tiap sore. Halah! orang buta aja bisa cium kalau Farel jarang mandi."Ma, kok Nenek jadi baik sih kalau ada Mama di rumah?"Aku mengangkat tubuh kecil itu di atas pangkuan, ringan dan melayang. Kasihan sekali kamu, Nak. Batinku meratap perih."Farel sayang, air nya sudah matang, mau dimandiin Nenek, apa sendirian aja?"Duh, manis sekali bahasa ibu. Andai dia benar-benar memperlakukan anakku seperti itu."Biar Gigi saja yang mandikan, Bu."Aku masuk ke dalam kamar mandi. Atap sebelah kiri sudah turun dan bolong, sekali hujan besar banjirlah WC ini.Wajar saja, aku dan Mas Abas membeli rumah ini dengan harga yang sangat murah. Mas Abas terus mendorongku untuk bekerja di kota agar bisa memperbaiki rumah, dan membiayai bengkel motornya. Eh, pas uangnya sudah ada malah dipake renovasi rumah wanita lain. Memang keterlaluan itu laki! Dipikir cari duit gampang? Biar kuajari dia bagaimana sulitnya jadi kuli dan wajah yang selalu ada di depan telunjuk orang.'Kring! Kring! Kring!'Farel yang sudah rapi dengan pakaian baru melonjak-lonjak senang saat melihat sepeda baru yang dibawa ayahnya. Masih mulus dan berbungkus, entah dari mana laki-laki itu mendapatkan lagi uangnya."Mama, Farel mau keliling kampung pake sepeda baru," teriak Farel melambaikan tangan dari kejauhan. Hatiku begitu bahagia melihat pemandangan itu. Sungguh, harusnya itu dia dapatkan lebih dulu tanpa harus kepanasan dan lelah mendorong sepeda rongsokan."Bagus kan Ma, sepedanya?""Bagus banget, Mas. Farel pun terlihat sangat bahagia.""Jadi, kapan Mama berencana membelikannya motor?""Secepatnya, Mas. Nanti Mama kirim uangnya ya." Kucubit lagi pipinya yang lebih besar dari sebelumnya. Dia makan enak sendirian, sedangkan Farel hanya tinggal tulang. Sungguh tidak pantas kamu menjadi ayah, Mas!Baru saja aku kembali ke dalam rumah, suara tangisan seorang anak terdengar begitu nyaring. Aku menengok istri muda Mas Abas dan anaknya datang menyusul."Mas, kamu bawa kemana sepeda, Rian?""Hus! Kenapa kamu datang ke sini!?"Mas Abas menarik kasar istrinya ke samping rumah."Diamkan anakmu!" sentaknya."Bagaimana dia bisa diam, Mas. Dari tadi nyari sepedanya. Farel malah datang ke rumah pamer sepeda baru. Ya jelas tangis Rian tambah kejer.""Sudah pulang saja, dulu. Nanti kalau Gigi sudah berangkat lagi. Akan kubelikan sepeda yang lebih bagus.""Jangan bilang kalau sepeda Rian dituker sama sepeda Farel, Mas?""Iyalah gimana lagi. Mana masih nombok uang lagi.""Mas kamu tega banget sama anak sendiri! Sudah semua barang di rumah kamu angkut ke sini, sepeda Rian pun masih kamu bawa.""Kecilin suaramu, Tia! Gigi bisa dengar.""Biarkan saja, sekalian dia dengar! Gayanya sudah kaya ratu, semua hal harus dituruti! Dia cuma pembantu, Mas. Di mana-mana pun tetep akan jadi pembantu, nggak lebih!""Diam kamu, Tia! Lupa kamu, kalau rumah bagus dan furniture itu semua milik Gigi?! Dia cuma mau menikmatinya saat pulang saja. Sebentar lagi aku akan menyuruhnya kembali ke kota. Dia akan mengirimi kita uang lebih banyak, akan membelikan Mas motor baru. Jadi, sebaiknya kamu pulang dan jangan ganggu aku untuk beberapa hari ke depan. Paham!"Aku masih mengintip di balik jendela, Mas Abas mendorong kasar istrinya yang bernama Tia.Tia masih melotot ke arah rumah, segera kututup gorden sebelum dia melihatnya. Amarah Tia masih menggelora, sepertinya ia sangat ingin memaki saat ini.Benar-benar wanita tak tahu malu! Udah makan dari hasil keringatku, waktunya begini merasa terdzolimi. Tak mengerti aku. Kugeleng-gelengkan kepala melihat air matanya yang berurai, namun terus didorong kasar oleh Mas Abas.Sudah kukatakan, tidak akan kusisakan apapun yang dibeli dengan keringatku! Meski cuma sepotong sendok.Bersambung ...."Ma, tambah mulus aja sih?" "Iya dong. Mas tidak akan menemukan perempuan lain semulus aku," selorohku sembari bangun dari tidur.Tidak disentuh oleh Mas Abas selama 3 tahun harusnya menjadi momen istimewa malam ini, tapi mengingat pengkhianatannya diatas jerih payahku. Enggan sekali aku disentuh olehnya lagi."Mas rindu banget, Ma." Tangan Mas Abas sudah main perosotan di bagian lenganku yag lenjang. Lemak sudah kabur dari awal pertama kerja di rumah Bapak. Setiap hari makan omelan Non Laras mana tahan itu lemak lama-lama bersemayam dalam tubuh."Sama sih Mas. Tapi, nggak bisa.""Kenapa?""Mama lagi dapet." Aku berdiri dan mengelus tubuh bagian belakang."Ya ampuuun!" pekikku kaget."Ada apa, Ma?""Tembus segala lagi." Kutunjukkan tangan merah di hadapan Mas Abas. "Ih, jorok banget sih, Ma.""Iya ih, Pah. Bau banget lagi." Aku mencium tanganku sendiri. "Mau cium nggak, Mas?""Malas banget lah. Bersihin sana! Bau banget!" Mas Abas menutup hidung dan hampir muntah, aku menggigit bibi
"Gigi berangkat dulu, ya Bu?""Iya, Gi. Hati-hati di jalan, dan ...." Ucapan ibu terhenti dan aku menunggu dia meneruskannya."BBM naik," ucapnya ragu, " Ongkos ojeg dan angkot ikut naik.""Siap, Bu. Habis gajian Gigi kirim ibu dua kali lipat." Mata ibu berbinar, aku tahu pasti tujuan dari ucapan itu. Sungguh, tidak nampak kesedihan di matanya selain uang. Pantas saja sifat Mas Abas seperti itu. Duh, amit-amit saja jika turun ke Farel."Kamu tenang saja, uang jatah Farel nanti ibu tambah. Ibu akan beli ayam setiap hari buat makannya." Tangan keriputnya menepuk-nepuk pundakku. Bahagia sekali ibu melepas kepergianku untuk merantau ke kota.Sama saja dengan Mas Abas, berkali-kali dia mencuri-curi senyum dariku. Mengirim aku untuk bertarung dengan peluh dan mereka menikmatinya tanpa beban apalagi merasa bersalah.Aku berangkat dengan motor legenda milik Mas Abas menuju terminal. Farel sengaja kusuruh sekolah, dan aku mengutarakan niatku untuk menjemputnya nanti.Aku hanya menyalami tangan
"Ada apa, Gi?""Tolong Minah, cepat!" Minah yang sempat berdiri di depan pintu berlari menghampiri."Astagfiurllah, Bapak!" "Bantu aku mengangkat Bapak, Nah!" Tangan Minah bergetar, tapi tetap berusaha membantu mengangkat tubuh Bapak ke atas kasur."Bangunkan Den Aaraf!"Tubuh Minah terpaku dan semakin bergetar, ada apa dengan anak ini? "Minah Cepeeet!""A-a-aku.""Nanti saja Minah, selamatkan dulu Bapak. Cepet bangunkan Den Aaraf!" Perintahku sembari meraih gagang telepon. Menghubungi nomor panggilan darurat.Minah menurut dan berlari ke luar.[Hallo, ada yang bisa kami bantu?][Saya butuh ambulans, Mas.][Siap Bu. Saya kirim ke alamat mana?]Alamat? Aku tidak tahu alamat pasti rumah ini.Mataku memutar, memaksa otak untuk berpikir. Membuka laci dan mencari dompet Bapak. Biasanya selalu ada kartu nama di sana.Ah, untunglah. Aku membacakan alamat lengkap rumah yang tertera dalam kartu.[Cepat ya Mas. Ini darurat, pasien sudah tidak sadarkan diri.][Bagaimana kronologinya, Bu?] [S
"Waktunya sarapan, Pak."Seorang suster mendorong troli makanan ke dalam ruangan. Aku menghampirinya dan mengambil alih."Biar saya saja, Sus."Bapak sudah bangun, namun belum sepatah kata pun terdengar ucapan dari mulutnya.Aku mencicipi semua makanan yang akan diberikan kepada Bapak, memastikan tidak ada hal serupa terjadi."Urusanmu sudah selesai?""Aku mengambil semua yang menjadi hakku, dan menggugat cerai Mas Abas. Tapi, sampai saat ini dia belum tahu. Bahkan Farel yang ikut denganku saja, dia belum tahu dan tidak peduli."Kunaikan ranjang Bapak lebih tinggi, membuatnya dalam posisi duduk."Bawa anakmu kemari.""Makanlah dulu, dan habiskan semua ini. Lihatlah, leher Bapak lebih tirus dari sebelumnya."Bapak mengunyah setiap makanan yang aku suapi. Meski pelan tetapi tetap ditelannya."Pulanglah, sebelum Minah ditangkap polisi.""Bagaimana kalau Minah benar-benar lalai?"Bapak menolak untuk disuapi lagi. Aku meraih air minum dan membantunya meneguk."Lakukan saja apa yang kukatak
[Berani sekali kamu, Gigi! Kamu kira bisa lepas dariku begitu saja! Akan kucari kamu sampai dapat! Jangan harap kepalamu masih utuh saat aku menemukanmu!]"Ada apa?"Aku menangkap ponsel yang hampir jatuh, hati lumayan syok saat membaca pesan dari Mas Abas."Tidak ada apa-apa, Pak."Aku menyimpan ponsel ke dalam saku celana, mengambil air hangat beserta handuk kecilnya. Pekerjaan rutin yang kulakukan setiap sore, membersihan tubuh Bapak yang terbuka."Katakan saja, Gigi."Bapak tahu paras wajahku terlihat layu, bagaimana pun aku sedikit takut kalu ini, apalagi jika ingat pada Farel."Mas Abas mengancam, Pak."Bapak menadahkan tangan, aku mengerutkan dahi tak paham."Ponselmu." Jemarinya bergerak-gerak cepat. Beliau memang tidak suka dengan hal yang lambat."Oh, ya."Bapak mengotak atik ponselku sebentar, lalu memberikannya lagi."Bawakan ponselku!"Aku membuka nakas di samping ranjangnya, bapak terlihat menghubungi seseorang.[Aku sudah mengirimkan pesan padamu. Urus dia!]"Pak."Aku
Pagi sekali, waktunya jam kerja Den Aaraf datang sendirian. Ia tidak menyapa bapak seperti sebelumnya, hanya absen kehadiran dan duduk di sofa tunggu.Aku dan Farel yang menginap di Rumah Sakit tidak pulang setelah prepare pakaian, jadi kami hanya menunggu Bapak sepanjang hari."Namaku Farel." Setelah satu jam Den Aaraf terduduk sembari bermain ponsel, Farel mendekatinya."Aku melihat Anda kemarin, tapi tidak sempat menyapa." Ia menganggukkan kepala di depan Den Aaraf. Aku sedikit kagum karena benar kata Bapak, Farel berani dan menurutku cukup sopan.Den Aaraf hanya diam tanpa ingin meladeni coletehan Farel, mungkin ia masih kesal dengan ucapan Bapak kemarin."Pria di sana." Farel menunjuk ke arah Bapak. "Sangat kesepian, Anda sudah dewasa dan sama-sama pria, mungkin bisa nyambung kalau berbicara."Mataku melebar seketika, ish! ini anak bukan lagi berani, tapi terlalu ikut campur urusan orang tua."Farel ke sini, Nak."Aku mengajak Farel untuk keluar, awalnya ia menolak tapi setelah d
Aku sempat ke toko ini saat bapak masih sehat, hari itu tentu saja aku hanya asisten yang membantunya membawa plastik belanjaan. Tapi, hari ini aku adalah konsumen emas buat mereka.Kutarik napas dalam, jujur suasana hati sedikit kacau, jika dilihat dari sendal dan pakaian yang kukenakan saat ini jelas masih terlihat perempuan rumahan daripada pekerja kantoran."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?""Saya membutuhkan beberapa baju yang cocok untuk mulai bekerja besok," ucapku gugup."Oh ya, silahkan. Sebelah sini."Aku mulai memilih baju yang tergantung di dalam rak, cukup sopan, bahan bagus dan modelnya aku suka."Maaf Mbak, pakaian ini tidak bisa dipegang sembarang tangan. Silahkan pilih yang sebelah sini saja. Harganya lebih terjangkau."Aku mengernyitkan dahi, dan menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Mengikuti pegawai itu pada rak yang lain.Bajunya lumayan bagus, bahannya terasa lebih kasar. Tapi, kurang suka dengan warna dan motifnya.Aku kembali ke tempat rak sebelumnya, pegawai
Demam panggungkah?Sedikit pun aku tida bisa memejamkan mata, detik jarum jam terdengar begitu jelas ditelinga.Apa aku harus mulai menghitung agar bisa tidur? satu domba, dua domba, tiga domba.Trang! Trang!Refleks tubuh langsung terbangun, menengok jarum jam pukul 01.00 malam, tidak mungkin itu adalah suara tikus seperti di rumahku yang dulu. Jangan-jangan .... maling?Aku keluar dari kamar sembari mengendal-endap, sesosok tubuh berdiri di samping meja makan . Diperhatikan dari atas hingga bawah, jelas itu bukan maling."Tumben belum tidur, Den?"Den Aaraf menengok sembari meneguk segelas air."Aku haus." Ia kembali menyimpan gelas yang sudah kosong, aku duduk di kursi memperhatikannya."Apa Den Aaraf tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan besok hari di kantor?"Tumben ia pun ikut duduk, biasanya tidak pernah punya waktu meski hanya sekedar berbicang dengan orang rumah. Bahkan, napas beratnya kali ini sangat kentara dan bisa kurasakan."Papa sudah tidak mempercayaiku memegang peru
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu
"Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte
"Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny
Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka