[Aku ingin berbicara dengan Farel, Mas.]Setelah menguasai emosi aku kembali menghubungi Mas Abas, rasa ingin memeluk Farel dan mendengar suaranya begitu besar.[Anakmu terlalu senang mendapat sepeda baru, mana ada jam segini sudah pulang.]Rasanya ingin sekali aku memaki pria tidak tahu diri itu saat ini, namun kutahan untuk waktu yang lebih tepat.[Ini sudah mau Magrib, Mas. Masa Farel belum pulang, kamu tidak mencarinya?][Iya, sebentar lagi Mas cari. Dia lupa waktu, bagaimana tidak? Sepeda yang Mas belikan adalah sepeda paling mahal di tokonya.] Lagi, dia membual dan membuatku ingin menerkamnya hidup-hidup. "Abas!""Ya."Seseorang terdengar memanggil namanya. Panggilan masih tersambung sedangkan Mas Abas sudah pergi meninggalkan ponselnya. Gagal lagi untuk berbicara dengan Farel. Selalu seperti itu jika aku ingin mencoba berbicara dengannya. Bodohnya aku menganggap semua baik-baik saja. Hatiku meratap, betapa sedihnya membayangkan Farel yang diperlakukan seperti itu oleh ayahnya
"Saya simpan di sini lagi, ya Pak." Aku kembali menyimpan ATM milik Pak Gian. Orangnya nampak termenung menatap langit-langit kamar."Saya sudah memberitahu jadwal makan dan mandi Bapak pada Minah, dan juga makanan kesukaan serta pantangan makanan yang harus Bapak jauhi. Habisin ya Pak. Jangan disisa-sisa makannya."Wajah Bapak masih sama, tidak ada reaksi apapun yang yang tersirat dari wajah itu. Meski sudah berusia 55 tahun, Bapak masih jauh terlihat muda menurutku dibandingkan dengan pria seusianya saat ini. Apalagi jika ia sehat seperti dulu, gagahnya masih tiada tanding, berani ngadu sama Den Aaraf yang masih berusia 30-an."Sekalian Gigi pamit dulu, Pak." Sesak rasanya harus meninggalkan Bapak dalam keadaan seperti ini. Apalagi selama ia sakit setahun ini, hanya aku yang menemaninya. Dan menolak untuk diurus oleh pembatu lain. Padahal ada tiga orang di sini, aku, Minah dan Mbok Darmi.Masih tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Bapak meskipun kakiku sudah diambang pint
Hampir jam 21.00 malam aku sampai di terminal kotaku bebeberapa tahun ini. Tepatnya 9 tahun, saat Mas Abas membawaku ke kota kelahirannya.Aku masih harus menaiki angkutan kota untuk bisa sampai ke halaman rumah kami, rumah tembok sederhana yang sebelumnya sudah banyak retakan dan kebanjiran saat hujan. Karena itulah salah satu alasan aku pergi menjadi pembantu di kota orang, bertaruh nasib pada orang yang sama sekali tidak dikenal.Rintik hujan kebetulan turun malam ini, tanganku yang penuh barang bawaan dibantu kondektur bus untuk bernaung di salah satu toko yang sudah tutup. Sengaja aku tidak memberitahu Mas Abas, dan menjemputku di sini. Kami masih punya motor legenda kesayangannya untuk bepergian, tapi kuurangkan. Aku ingin tahu situasi kampung ini setelah 3 tahun ditinggalkan. Jadi, aku minta tolong Rina untuk meminjam kendaraan orang lain dan menjemputku di sini.Tiiiid!"Woy!" Reflek aku berteriak. Orang yang ada di dalam helm tertawa terbahak."Kenapa nggak bilang dari awal,
Aku menghambur pada Farel, memeluknya dengan erat. Tidak kugubris ucapannya yang mengundang air mata. Tangannya terus memberontak, aku tidak peduli, semakin dia memberontak semakin erat tanganku mendekapnya dalam pelukan, rasa rindu yang menyesakkan ini ingin sekali terobati."Lepaskan aku!" Kali ini ia benar-benar memberontak dan mendorongku kuat. Napasnya tersenggal-senggal, keringat bahkan bercucuran dari pelipis matanya, ia menahan amarah yang besar. Menatap dengan tajam, lalu berlari dengan kencang.Tubuhku yag terdorong ke tanah, dibantu bangun oleh Rina. Ia bahkan menepuk-nepuk tanah dan rurumputan kering yang ikut menempel pada pakaian."Kuatkan hatimu, Farel masih anak-anak. Dia butuh adaptasi, kamu sudah meninggalkannya cukup lama." Aku menatap kosong pada tubuhnya yang semakin menjauh, berlari tanpa menoleh. Farel benar-benar memendam kemarahan padaku selama ini."Kita bawa dulu barang-barangmu, kuantar kau pulang." Lagi, Rina menarik tangan. Tubuhku masih bergeming, menden
Sebuah mobil truk parkir di depan teras, aku melonjak senang melihat semua barang-barang yang dibeli dengan uangku sebelumnya sudah berada di depan mata.Mas Abas loncat dari mobil dengan senyum yang begitu lebar."Turunin semua, Bang," selorohnya. Menggandeng bahuku untuk masuk."Mau disimpan di mana saja, sayang?"Aku melihat keadaan rumah sebentar, meski dimasuki furniture yang bagus, dalam rumah sudah ancur begini mana bisa terlihat bagus, tetep saja jelek. "Sofa di sini, lemari tv di sini, kulkas di sini, mesin cuci di sini, dan kipas angin di sini." Aku menunjuk sembarang tempat untuk dimasuki barang-barang, sementara saja sebelum kulelang semua barang itu agar menjadi lembaran uang.Terlihat sangat jelas semua barang-barang ini sudah dipakai, tapi aku menunjukkan wajah kegirangan hingga dianggap lupa menanyakan itu semua pada Mas Abas. Untuk apa ditanyakan? aku sudah kenyang makan bualannnya."Kamu sedang nyari apa, Ma?""Ini loh Mas. Kok Mama nggak lihat sepeda Farel yang har
"Ma, tambah mulus aja sih?" "Iya dong. Mas tidak akan menemukan perempuan lain semulus aku," selorohku sembari bangun dari tidur.Tidak disentuh oleh Mas Abas selama 3 tahun harusnya menjadi momen istimewa malam ini, tapi mengingat pengkhianatannya diatas jerih payahku. Enggan sekali aku disentuh olehnya lagi."Mas rindu banget, Ma." Tangan Mas Abas sudah main perosotan di bagian lenganku yag lenjang. Lemak sudah kabur dari awal pertama kerja di rumah Bapak. Setiap hari makan omelan Non Laras mana tahan itu lemak lama-lama bersemayam dalam tubuh."Sama sih Mas. Tapi, nggak bisa.""Kenapa?""Mama lagi dapet." Aku berdiri dan mengelus tubuh bagian belakang."Ya ampuuun!" pekikku kaget."Ada apa, Ma?""Tembus segala lagi." Kutunjukkan tangan merah di hadapan Mas Abas. "Ih, jorok banget sih, Ma.""Iya ih, Pah. Bau banget lagi." Aku mencium tanganku sendiri. "Mau cium nggak, Mas?""Malas banget lah. Bersihin sana! Bau banget!" Mas Abas menutup hidung dan hampir muntah, aku menggigit bibi
"Gigi berangkat dulu, ya Bu?""Iya, Gi. Hati-hati di jalan, dan ...." Ucapan ibu terhenti dan aku menunggu dia meneruskannya."BBM naik," ucapnya ragu, " Ongkos ojeg dan angkot ikut naik.""Siap, Bu. Habis gajian Gigi kirim ibu dua kali lipat." Mata ibu berbinar, aku tahu pasti tujuan dari ucapan itu. Sungguh, tidak nampak kesedihan di matanya selain uang. Pantas saja sifat Mas Abas seperti itu. Duh, amit-amit saja jika turun ke Farel."Kamu tenang saja, uang jatah Farel nanti ibu tambah. Ibu akan beli ayam setiap hari buat makannya." Tangan keriputnya menepuk-nepuk pundakku. Bahagia sekali ibu melepas kepergianku untuk merantau ke kota.Sama saja dengan Mas Abas, berkali-kali dia mencuri-curi senyum dariku. Mengirim aku untuk bertarung dengan peluh dan mereka menikmatinya tanpa beban apalagi merasa bersalah.Aku berangkat dengan motor legenda milik Mas Abas menuju terminal. Farel sengaja kusuruh sekolah, dan aku mengutarakan niatku untuk menjemputnya nanti.Aku hanya menyalami tangan
"Ada apa, Gi?""Tolong Minah, cepat!" Minah yang sempat berdiri di depan pintu berlari menghampiri."Astagfiurllah, Bapak!" "Bantu aku mengangkat Bapak, Nah!" Tangan Minah bergetar, tapi tetap berusaha membantu mengangkat tubuh Bapak ke atas kasur."Bangunkan Den Aaraf!"Tubuh Minah terpaku dan semakin bergetar, ada apa dengan anak ini? "Minah Cepeeet!""A-a-aku.""Nanti saja Minah, selamatkan dulu Bapak. Cepet bangunkan Den Aaraf!" Perintahku sembari meraih gagang telepon. Menghubungi nomor panggilan darurat.Minah menurut dan berlari ke luar.[Hallo, ada yang bisa kami bantu?][Saya butuh ambulans, Mas.][Siap Bu. Saya kirim ke alamat mana?]Alamat? Aku tidak tahu alamat pasti rumah ini.Mataku memutar, memaksa otak untuk berpikir. Membuka laci dan mencari dompet Bapak. Biasanya selalu ada kartu nama di sana.Ah, untunglah. Aku membacakan alamat lengkap rumah yang tertera dalam kartu.[Cepat ya Mas. Ini darurat, pasien sudah tidak sadarkan diri.][Bagaimana kronologinya, Bu?] [S
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu
"Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte
"Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny
Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka