Hampir jam 21.00 malam aku sampai di terminal kotaku bebeberapa tahun ini. Tepatnya 9 tahun, saat Mas Abas membawaku ke kota kelahirannya.
Aku masih harus menaiki angkutan kota untuk bisa sampai ke halaman rumah kami, rumah tembok sederhana yang sebelumnya sudah banyak retakan dan kebanjiran saat hujan. Karena itulah salah satu alasan aku pergi menjadi pembantu di kota orang, bertaruh nasib pada orang yang sama sekali tidak dikenal.Rintik hujan kebetulan turun malam ini, tanganku yang penuh barang bawaan dibantu kondektur bus untuk bernaung di salah satu toko yang sudah tutup. Sengaja aku tidak memberitahu Mas Abas, dan menjemputku di sini. Kami masih punya motor legenda kesayangannya untuk bepergian, tapi kuurangkan. Aku ingin tahu situasi kampung ini setelah 3 tahun ditinggalkan. Jadi, aku minta tolong Rina untuk meminjam kendaraan orang lain dan menjemputku di sini.Tiiiid!"Woy!" Reflek aku berteriak. Orang yang ada di dalam helm tertawa terbahak."Kenapa nggak bilang dari awal, Gi?" Rina sudah nyerocos di balik helmnya."Bukannya kamu yang nyuruh aku cepet pulang?" Kunaikkan beberapa barang untuk disimpan di depan jok."Bukan malam-malam begini dan diguyur hujan juga kali, Gi."Aku segera naik motor yang dibawa Rina, menembus hujan di kegelapan malam. Malam ini aku berencana menginap di rumahnya. Kebetulan ia hanya tinggal bersama sang nenek. Dan rumahnya cukup jauh dari rumahku bersama Mas Abas."Bayangkan kalau kamu datang seperti ini ke hadapan Abas dan dia sedang bersama istrinya yang bahenol itu, sudah pasti kamu dibuang Abas tanpa mikir." Rina terbahak-bahak menertawakanku yang basah kuyup di terjang hujan, sedangkan ia sendiri memakai jas hujan. Dan tetap kering.Sudah bisa dibayangkan make-up luntur sekarang, memang tidak salah jika Rina menertawakannya."Berhenti tertawa! Kamu bantu temen kok setengah-setengah!""Hahahaha aku pun dapat minjam, Gi. Jas hujannya cuma satu." Lagi, dia menggeleng dan menertawakan aku. Untung saja oleh-oleh buat Farel aman dilapisi beberapa plastik hingga tidak tembus air hujan."Nenekmu, mana?"Aku melihat rumah Rina yang sunyi, belum lagi sekitar rumahnya yang masih dikelilingi pohon bambu, sepoi-sepoi angin membuatnya berderit. Merinding juga lama-lama bulu kudukku."Tidurlah. Tengok tuh jam dinding!"Aku menengok jam, sudah pukul 22.00 malam. Pantas saja sepanjang perjalanan menuju kampung kami terasa sangat sunyi, belum lagi hujan turun cukup deras malam ini.Aku mengeringkan tubuh, berganti pakaian dan menghapus riasan. Memisahkan oleh-oleh untuk Farel, sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya. Ia pasti sangat bahagia melihatku pulang."Tidurlah, besok harus bangun subuh. Bisa dilemparnya kau dengan wajan hitam jika jam 05.00 masih meringkuk di kasur."Rina memberikan satu bantal, sedangkan ia sudah bersiap untuk terpejam dengan menjempit bantal di bawah ketiaknya.Perjalanan bus berjam-jam sangat melelahkan, tidak lama aku pun ikut terpejam.Traaaaaang!Aku dan Rina melonjak kaget. Saling pandang sembari memulihkan ingatan.Tabuhan itu semakin keras terdengar, memekikan telingaku yang baru saja terjaga setelah beristirahat cukup panjang."Suara apaan sih itu? Nggak ada kerjaan amat!"Rina masih mengucek matanya, turun ranjang dengan kesadaran yang belum penuh."Nenek gue ngamuk, Gi!" pekik Rina setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul 06.00 pagi."Cepet bangun! Sebelum diguyur air sabun." Rina melemparkan bantal ke arahku. Lalu, ia berlari ke kamar mandi disusul aku yang ingin ikut masuk. Berdesak-desakan di kamar mandi yang sempit. Melihat wajah neneknya yang benar-benar garang, tidak sanggup jika aku harus menunggu giliran, bisa-bisa bukan lagi diguyur air sabun, tapi, air comberan."Kenapa Nenekmu galak gitu, Rin?""Hahahaha, dia baik kok aslinya. Cuma kalau bangun subuh emang harus cepet."Aku yang bergidik ngeri melihat sikap nenek ditertawakan begitu saja oleh Rina yang mungkin sudah biasa. Kayanya si macan betina alias Non Laras cocok banget jadi cucu si nenek. Coletehku dalam hati, lalu tersenyum geli.Pagi ini aku berdandan cantik, memakai masker untuk menyembunyikan identitas, sementara saja untuk meyakinkan diri bahwa Mas Abas memang benar-benar telah berkhianat.Aku memperhatikan rumah kami, foto renovasi yang selalu dikirimkan oleh Mas Abas, sebelah mana? Rumah ini sekarang bahkan lebih terlihat bokbrok dari sebelum aku berangkat kerja. Itu tandanya belum pernah ada perbaikan pada rumah ini sebelumnya. Lalu, foto rumah siapa yang selalu Mas Abas kirimkan padaku?Pria itu keluar bersama motor kesayangannya, aku dan Rina yang masih meminjam motor temannya mengikuti Mas Abas. Motor tua itu berhenti di sebuah bangunan mirip rumah saat video call dengan Rina kemarin.Dilihat lebih jelas rumahnya terlihat jauh lebih bagus."A-ya-h." Seseorang anak keluar, berjalan dengan tertatih menyerbu pelukan Mas Abas. Berkali-kali Mas Abas menciumi anak itu, terlihat tampan dan segar, sepertinya ia baru saja selesai mandi."Mana ibumu?""Ma-ma. Ma-ma." Ia kembali ke dalam diikuti Mas Abas. Aku semakin mendekat, bersembunyi di sampingnya, rasa penasaran semakin membuncah. Warna cat rumah ini seperti aku kenali, semakin dekat semakin jelas. Ini benar-benar foto rumah yang selalu Mas Abas kirimkan. Jangan-jangan foto furnitur yang selalu dikirimkannya, setelah aku kirimi uang pun ada di dalam rumah ini?Aku meremas kesal, bisa-bisanya mereka menipuku seperti ini. Itu semua adalah keringatku. Tidak akan kusisakan meski hanya sepotong sendok."Mas, aku ingin beli gelang baru." Kudengar rengek manja perempuan di dalamnya. Muak sekali aku membayangkan tangannya membelai Mas Abas."Sabar Sayang. Gigi baru saja mengirimkan uang 2 juta untuk dibelikan sepeda Rian." Tepat dugaanku itu adalah sepeda yang harusnya jadi hak Farel."Tapi, Mas. Dua minggu lagi kita akan mengadakan pesta sunatan Rian, masa Nenden nggak pake perhiasan baru, kan malu. Gelangnya masih itu-itu aja. Sudah setahun loh, Mas.""Mas bingung, mau nipu apalagi sama Gigi. Nanti dia curiga kalau Mas minta-minta terus.""Bilang aja anaknya sakit.""Ah, nanti dia minta video calla terus, ketahuan dong bohongnya.""Ya nggak usah bohong, beneran aja, Mas. Kita suruh orang buat nyerepet anak kucel itu sepulang sekolah.""Nanti parah, uangnya tetep habis buat berobat.""Nggaklah Mas. Serempet dikit aja, tapi kita besar-besarkan pada Gigi. Dijamin dia akan kirim duit berapa pun besarnya. Nyolong-nyolonglah dia uang majikannya, nggak bakalan ketahuan. Orang kaya ini.""Bener juga. Nanti mas hubungi teman dulu buat nyerempet Farel."Astagfirullah, berkali-kali aku beristigfar, dibuat dari apa hati mereka terutama Mas Abas. Farel adalah darah dagingnya, kenapa dia begitu tega melalukan hal semacam itu?"Untung kamu sudah pulang, Gi. Kalau tidak lenyaplah si Farel," bisik Rina.Aku menggeleng cepat. "Ayo Rin. Kita ke sekolah Farel, jangan sampai rencana busuk mereka berhasil. Manusia-manusia berhati hewan!" Sungguh tidak tahan aku mendengar mereka berbicara, emosiku terus meletup-letup.Farel baru duduk di bangku kelas 2 SD, menurut pedagang asongan biasanya mereka akan keluar pukul 11.30 siang. Aku masih harus menunggu sampai Farel pulang sekolah.Baju putih yang sudah kekuningan, celana merah belel dan sepatu NB yang berlubang di bagian depan. Farel melangkah keluar gerbang, mendorong sepeda rongsokannya. Ia mengusap cairan yag keluar dari hidung, mengelapkannya ke pakaian.Hatiku yang teriris hanya mampu mengikutinya dari belakang, jika aku memeluknya di sini akan menjadi sebuah kerumunan besar apalagi dihiasai isak tangis.Satu persatu pensil pendek sepanjang korek api jatuh, disusul penghapus dan uang koin lima ratusan. Tas yang digunakan Farel sudah bolong di sudut bawah. Aku memungutinya dengan tetesan air mata.Farel tidak menaiki sepedanya, saat kulihat ban depannya kempes. Sepeda rongsokan seperti itu memang harus dibuang bukan dipungut dan diberikan kepada anak."Sayang." Dengan suara bergetar aku memanggilnya. Teman-temanya sudah habis pulang, sementara ia masih berusaha mendorong sepedanya diterik panas matahari.Farel berhenti dan menatapku yang sedari tadi tanpa ia sadari berjalan mengikuti."Siapa?" tanyanya mengerjap-ngerjapkan bulu mata."Ini Mama, Farel." Aku berusaha menyeka air mata, membuka masker dan bersiap menerima hamburan pelukannya dengan membuka lebar-lebar kedua tangan.Farel memperhatikanku sebentar sebelum ia kembali berbalik dan mendorong sepedanya lagi."Farel, ini Mama, Nak." Aku berusaha mengejar, mungkin dia terlalu kecil saat itu, hingga tidak bisa mengenaliku. Tidak apa-apa, Nak. Setelah ini kita akan bersama."Untuk apa Mama pulang?" jawabnya datar. Ucapan yang tidak pernah terlintas akan kudengar dari mulut Farel di pertemuan kami."Kamu tidak rindu pada Mama, Nak?""Untuk apa, Mama bahkan tidak mengurus Farel. Meninggalkan Farel begitu saja bersama ayah dan nenek." Terlihat jelas raut wajah kecewa dari anak berusia 8 tahun itu. Ia bahkan tidak ingin bertemu denganku.Situasi apa ini? Apa pengorbananku menjadi pembantu, kurang tidur siang dan malam hanya untuk dicampakkan begini oleh anakku sendiri?Aku bisa tahan jika Mas Abas berkhianat, tapi ibu mana yang kuat saat tidak diinginkan oleh anaknya sendiri?Bersambung ....Aku menghambur pada Farel, memeluknya dengan erat. Tidak kugubris ucapannya yang mengundang air mata. Tangannya terus memberontak, aku tidak peduli, semakin dia memberontak semakin erat tanganku mendekapnya dalam pelukan, rasa rindu yang menyesakkan ini ingin sekali terobati."Lepaskan aku!" Kali ini ia benar-benar memberontak dan mendorongku kuat. Napasnya tersenggal-senggal, keringat bahkan bercucuran dari pelipis matanya, ia menahan amarah yang besar. Menatap dengan tajam, lalu berlari dengan kencang.Tubuhku yag terdorong ke tanah, dibantu bangun oleh Rina. Ia bahkan menepuk-nepuk tanah dan rurumputan kering yang ikut menempel pada pakaian."Kuatkan hatimu, Farel masih anak-anak. Dia butuh adaptasi, kamu sudah meninggalkannya cukup lama." Aku menatap kosong pada tubuhnya yang semakin menjauh, berlari tanpa menoleh. Farel benar-benar memendam kemarahan padaku selama ini."Kita bawa dulu barang-barangmu, kuantar kau pulang." Lagi, Rina menarik tangan. Tubuhku masih bergeming, menden
Sebuah mobil truk parkir di depan teras, aku melonjak senang melihat semua barang-barang yang dibeli dengan uangku sebelumnya sudah berada di depan mata.Mas Abas loncat dari mobil dengan senyum yang begitu lebar."Turunin semua, Bang," selorohnya. Menggandeng bahuku untuk masuk."Mau disimpan di mana saja, sayang?"Aku melihat keadaan rumah sebentar, meski dimasuki furniture yang bagus, dalam rumah sudah ancur begini mana bisa terlihat bagus, tetep saja jelek. "Sofa di sini, lemari tv di sini, kulkas di sini, mesin cuci di sini, dan kipas angin di sini." Aku menunjuk sembarang tempat untuk dimasuki barang-barang, sementara saja sebelum kulelang semua barang itu agar menjadi lembaran uang.Terlihat sangat jelas semua barang-barang ini sudah dipakai, tapi aku menunjukkan wajah kegirangan hingga dianggap lupa menanyakan itu semua pada Mas Abas. Untuk apa ditanyakan? aku sudah kenyang makan bualannnya."Kamu sedang nyari apa, Ma?""Ini loh Mas. Kok Mama nggak lihat sepeda Farel yang har
"Ma, tambah mulus aja sih?" "Iya dong. Mas tidak akan menemukan perempuan lain semulus aku," selorohku sembari bangun dari tidur.Tidak disentuh oleh Mas Abas selama 3 tahun harusnya menjadi momen istimewa malam ini, tapi mengingat pengkhianatannya diatas jerih payahku. Enggan sekali aku disentuh olehnya lagi."Mas rindu banget, Ma." Tangan Mas Abas sudah main perosotan di bagian lenganku yag lenjang. Lemak sudah kabur dari awal pertama kerja di rumah Bapak. Setiap hari makan omelan Non Laras mana tahan itu lemak lama-lama bersemayam dalam tubuh."Sama sih Mas. Tapi, nggak bisa.""Kenapa?""Mama lagi dapet." Aku berdiri dan mengelus tubuh bagian belakang."Ya ampuuun!" pekikku kaget."Ada apa, Ma?""Tembus segala lagi." Kutunjukkan tangan merah di hadapan Mas Abas. "Ih, jorok banget sih, Ma.""Iya ih, Pah. Bau banget lagi." Aku mencium tanganku sendiri. "Mau cium nggak, Mas?""Malas banget lah. Bersihin sana! Bau banget!" Mas Abas menutup hidung dan hampir muntah, aku menggigit bibi
"Gigi berangkat dulu, ya Bu?""Iya, Gi. Hati-hati di jalan, dan ...." Ucapan ibu terhenti dan aku menunggu dia meneruskannya."BBM naik," ucapnya ragu, " Ongkos ojeg dan angkot ikut naik.""Siap, Bu. Habis gajian Gigi kirim ibu dua kali lipat." Mata ibu berbinar, aku tahu pasti tujuan dari ucapan itu. Sungguh, tidak nampak kesedihan di matanya selain uang. Pantas saja sifat Mas Abas seperti itu. Duh, amit-amit saja jika turun ke Farel."Kamu tenang saja, uang jatah Farel nanti ibu tambah. Ibu akan beli ayam setiap hari buat makannya." Tangan keriputnya menepuk-nepuk pundakku. Bahagia sekali ibu melepas kepergianku untuk merantau ke kota.Sama saja dengan Mas Abas, berkali-kali dia mencuri-curi senyum dariku. Mengirim aku untuk bertarung dengan peluh dan mereka menikmatinya tanpa beban apalagi merasa bersalah.Aku berangkat dengan motor legenda milik Mas Abas menuju terminal. Farel sengaja kusuruh sekolah, dan aku mengutarakan niatku untuk menjemputnya nanti.Aku hanya menyalami tangan
"Ada apa, Gi?""Tolong Minah, cepat!" Minah yang sempat berdiri di depan pintu berlari menghampiri."Astagfiurllah, Bapak!" "Bantu aku mengangkat Bapak, Nah!" Tangan Minah bergetar, tapi tetap berusaha membantu mengangkat tubuh Bapak ke atas kasur."Bangunkan Den Aaraf!"Tubuh Minah terpaku dan semakin bergetar, ada apa dengan anak ini? "Minah Cepeeet!""A-a-aku.""Nanti saja Minah, selamatkan dulu Bapak. Cepet bangunkan Den Aaraf!" Perintahku sembari meraih gagang telepon. Menghubungi nomor panggilan darurat.Minah menurut dan berlari ke luar.[Hallo, ada yang bisa kami bantu?][Saya butuh ambulans, Mas.][Siap Bu. Saya kirim ke alamat mana?]Alamat? Aku tidak tahu alamat pasti rumah ini.Mataku memutar, memaksa otak untuk berpikir. Membuka laci dan mencari dompet Bapak. Biasanya selalu ada kartu nama di sana.Ah, untunglah. Aku membacakan alamat lengkap rumah yang tertera dalam kartu.[Cepat ya Mas. Ini darurat, pasien sudah tidak sadarkan diri.][Bagaimana kronologinya, Bu?] [S
"Waktunya sarapan, Pak."Seorang suster mendorong troli makanan ke dalam ruangan. Aku menghampirinya dan mengambil alih."Biar saya saja, Sus."Bapak sudah bangun, namun belum sepatah kata pun terdengar ucapan dari mulutnya.Aku mencicipi semua makanan yang akan diberikan kepada Bapak, memastikan tidak ada hal serupa terjadi."Urusanmu sudah selesai?""Aku mengambil semua yang menjadi hakku, dan menggugat cerai Mas Abas. Tapi, sampai saat ini dia belum tahu. Bahkan Farel yang ikut denganku saja, dia belum tahu dan tidak peduli."Kunaikan ranjang Bapak lebih tinggi, membuatnya dalam posisi duduk."Bawa anakmu kemari.""Makanlah dulu, dan habiskan semua ini. Lihatlah, leher Bapak lebih tirus dari sebelumnya."Bapak mengunyah setiap makanan yang aku suapi. Meski pelan tetapi tetap ditelannya."Pulanglah, sebelum Minah ditangkap polisi.""Bagaimana kalau Minah benar-benar lalai?"Bapak menolak untuk disuapi lagi. Aku meraih air minum dan membantunya meneguk."Lakukan saja apa yang kukatak
[Berani sekali kamu, Gigi! Kamu kira bisa lepas dariku begitu saja! Akan kucari kamu sampai dapat! Jangan harap kepalamu masih utuh saat aku menemukanmu!]"Ada apa?"Aku menangkap ponsel yang hampir jatuh, hati lumayan syok saat membaca pesan dari Mas Abas."Tidak ada apa-apa, Pak."Aku menyimpan ponsel ke dalam saku celana, mengambil air hangat beserta handuk kecilnya. Pekerjaan rutin yang kulakukan setiap sore, membersihan tubuh Bapak yang terbuka."Katakan saja, Gigi."Bapak tahu paras wajahku terlihat layu, bagaimana pun aku sedikit takut kalu ini, apalagi jika ingat pada Farel."Mas Abas mengancam, Pak."Bapak menadahkan tangan, aku mengerutkan dahi tak paham."Ponselmu." Jemarinya bergerak-gerak cepat. Beliau memang tidak suka dengan hal yang lambat."Oh, ya."Bapak mengotak atik ponselku sebentar, lalu memberikannya lagi."Bawakan ponselku!"Aku membuka nakas di samping ranjangnya, bapak terlihat menghubungi seseorang.[Aku sudah mengirimkan pesan padamu. Urus dia!]"Pak."Aku
Pagi sekali, waktunya jam kerja Den Aaraf datang sendirian. Ia tidak menyapa bapak seperti sebelumnya, hanya absen kehadiran dan duduk di sofa tunggu.Aku dan Farel yang menginap di Rumah Sakit tidak pulang setelah prepare pakaian, jadi kami hanya menunggu Bapak sepanjang hari."Namaku Farel." Setelah satu jam Den Aaraf terduduk sembari bermain ponsel, Farel mendekatinya."Aku melihat Anda kemarin, tapi tidak sempat menyapa." Ia menganggukkan kepala di depan Den Aaraf. Aku sedikit kagum karena benar kata Bapak, Farel berani dan menurutku cukup sopan.Den Aaraf hanya diam tanpa ingin meladeni coletehan Farel, mungkin ia masih kesal dengan ucapan Bapak kemarin."Pria di sana." Farel menunjuk ke arah Bapak. "Sangat kesepian, Anda sudah dewasa dan sama-sama pria, mungkin bisa nyambung kalau berbicara."Mataku melebar seketika, ish! ini anak bukan lagi berani, tapi terlalu ikut campur urusan orang tua."Farel ke sini, Nak."Aku mengajak Farel untuk keluar, awalnya ia menolak tapi setelah d
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu
"Pak, bukannya itu Aaraf?" "Kebetulan sekali."Bapak melihat pada arah yang kutunjukkan."Mama ajak ke sini ya, Pak." Aku berangsur menjauh dari bapak dan membiarkannya mengobrol dengan sahabatnya itu.Mataku menyapu sekeliling, Aaraf yang baru saja terlihat berdiri di sini, sekarang sudah tidak ada. Kemana?"Mas, lihat pria yang berdiri di sini barusan?""Pria yah berbaju kotak-kotak?""Ya, itu.""Naik ke lantai dua, Mbak. Tangganya sebelah sana?" Jempol waiters itu menunjukkan sebuah tangga yang terhalang lukisan besar, ia nampak sopan, bahkan merundukkan tubuh saat hendak pergi meninggalkanku.Aku menaiki tangga yang cukup panjang dan berbelok, di lantai dua ternyata lebih luas dan mewah.Mata menangkap pakaian yang dikenakan Aaraf saat kulihat tadi, ia berada di sisi luar. Aku berjalan menghampirinya, sekilas terlihat ia sedang bersama seseorang."Apa kamu tidak lelah terus mengajukan banding?""Hah. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang harusnya menjadi hakku Aaraf."Aku terte
"Ini sih nyonya rasa pembantu," celetuk Minah dari kursi makan."Kamu yang nggak ada sopan-sopannya! Non Gigi kamu biarkan cuci piring, pembatunya malah uncang-uncang kaki. Sana gantiin!" Mbok Darmi yang baru saja akan menjemur pakaian sengaja belok dulu untuk menegur Minah."Nggak apa-apa, Mbok.""Nggak bisa, Non. Keenakan dia, udah kaya di rumah sendiri.""Emang udah kaya rumah sendiri, Mbok. Nyonyanya aja bestie." Minah masih saja ngeyel, Mbok Darmi kesel dan menarik daun telinganya."Aduuk, Mbok, sakiitt!""Bengal sih kalau dibilangin." Mbok Darmi mendorong tubuh Minah hingga mendekat padaku."Biar Minah saja yang nyuci, Nyah.""Nanggunglah sedikit lagi.""Oh, ya sudah." Minah mundur dan hendak duduk lagi di kursi.Aku dapat melihat mata Mbok Darmi langsung mendelik."Nggak apa-apa, Nyonya. Saya saja." Tanpa menunggu setengah detik Minah langsung mengambil alih piring dari tanganku. Tidak ingin membuatnya terus dimarahi Mbok Darmi aku mengalah dan mengeringkan tangan."Mau ikut ny
Aku mengelusik pelan, tidur kali ini rasanya hangat meski angin diluar cukup kencang. Hidung pun mencium wangi yang berbeda, aroma natural seseorang yang kini mendekapku erat. Aku mendongak dan menatapnya sesaat, dagu yang lancip itu seperti telur dibelah dua. Bapak masih begitu tampan dan menawan meski sudah berusia setengah abad lebih.Ini masih pukul 05.00 pagi, aku beringsut pelan agar tidak mengganggunya. Tapi, bapak menarik lenganku dan medekapnya lagi. Sekali lagi aku memindahkan tangannya dan mundur perlahan."Sayang jangan mundur terus nanti kamu jatuh," gumamnya dengan mata terpejam. Seketika aku terdiam. Bukankah bapak sedang tidur? Apa ia sedang menjagaku dalam tidurnya?"Pak, ini sudah pukul 05.00 pagi, Gigi mau mandi," lirihku. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka. Menatapku tanpa berkedip."Aku masih ngantuk.""Tidurlah sebentar lagi, nanti Gigi bangunkan. Mungkin bapak kelelahan." Matanya yang hampir terpejam memicing tajam."Papa masih bisa nambah ronde ka