“Kita putus!” pinta Amoy tegas membuat Ali tersentak.
Pasalnya tak ada hujan tak ada badai, tiba-tiba ucapan menyakitkan itu meluncur dari bibir indah gadis berdarah Cina itu.
“Kamu jangan bercanda, Sayang?” ucap Ali mencoba santai.
“Aku ga bercanda,” jawab Amoy masih dengan dingin.
“Tapi salahku apa? Perasaan hubungan kita baik-baik saja?” Ali mencoba mengingat kesalahan yang dilakukannya.
“Kamu memang ga salah.”
“Terus, kenapa kamu minta putus?” Ali menyelidik ,menghadirkan rasa canggung pada gerak tubuh gadis sosialita itu.
“Aku dijodohkan oleh orang tua,” jelas Amoy membuat mata Ali membeliak. Tak percaya di zaman modern seperti ini masih ada saja tradisi kolot itu.
“Kenapa kamu ga tolak?” tanya cowok cool itu. “Kamu kan pacarku.”
“Aku tak bisa menolak karena lelaki yang akan dijodohkan denganku itu anak rekan bisnis Papa.”
“Aku tak terima kita putus!” tandas Ali marah. “Harusnya kamu memperjuangkanku. Katakan pada papamu jika kamu mencintai laki-laki lain!”
“Aku tak berani.”
“Kamu harus berani!” Ali memberi semangat. “Kita perjuangin cinta kita seperti yang dilakukan pasangan yang tak direstui layaknya di TV-TV,” sambung Ali berapi-api membuat Amoy menepuk dahinya. Ternyata pacarnya ini korban sinetron.
“Kalau perlu kita kawin lari!” ucapan Ali makin tak bisa diterima akal.
“Aku tak bisa,” tolak Amoy dengan tatapan tajam. “Aku tak mau melawan perintah papa.”
“Kamu ini gimana sih?” sentak Ali. “Ga ada pengorbanannya sama sekali dengan cinta kita.”
“Maksud kamu?” Amoy menautkan alis tebalnya.
“Ya, harusnya kamu berkorban dengan menolak lamaran ini demi cinta kita,” paksa Ali.
“Aku tak bisa!” lagi-lagi Amoy menolak. “Kita putus!” tandasnya lalu pergi tanpa mengacuhkan teriakan Ali yang terus memanggilnya sehingga menjadi tontotan gratis di tepi Danau Sunter.
**************
Ali mengingat masa-masa indah bersama Amoy saat memadu kasih. Cewek Cina itu bukan hanya cantik, tapi begitu perhatian dengan Ali. Apa yang diminta Ali semua dituruti. Dari beli baju, sepatu, hingga makan di tempat mahalpun, Amoy yang bayar.
Saat mengunjungi tempat-tempat wisata di ibu kota, Ali tak pernah sekalipun mengeluarkan uang. Semua keluar dari dompet Amoy. Tapi Ali punya cara lain untuk membalas perlakuan royal pacarnya. Ia berusaha bersikap romantis. Mengirimi Amoy pesan baik pagi, siang, sore atau malam. Nelpon di atas jam dua belas malam dengan paket nelpon hemat. Selalu menggandeng tangan Amoy saat berjalan berdua. Membelai, menciumi jemari pacarmya hingga menikmati bibir tipis sang kekasih hati.
Bahkan untuk memberikan rasa hangat ia sering memeluk Amoy. Merangkul mesra untuk memberikan perlindungan pada gadis yang sudah menaklukkan hatinya itu. Bagi Ali, hubungannya dengan Amoy itu sempurna karena saling mengisi kekurangan satu sama lain. Amoy mengisi kekurangan isi dompet Ali. Sedang Ali mengisi ruang kosong di hati Amoy.
Terlalu indah jika momen-momen itu berlalu begitu saja. Banyak kenangan bersama Amoy yang tak bisa terlupa begitu saja. Tak ingin ditinggal nikah saat sayang-sayangnya, Ali nekat menemui orang tua Amoy di kawasan elite Kelapa Gading.
Ruang tamu yang luas itu terasa sempit saat Ali sudah duduk dengan kedua orang tua Amoy dan juga Amoy sendiri. Keringat dingin mulai menyeruak di kepala pemuda asli Jakarta itu.
“Perkenalkan Om, saya Ali, pacar Amoy.” Ali memperkenalkan diri dengan perasaan gugup.
“Ya.” Suara berat milik papanya Amoy terdengar. Laki-laki gagah itu duduk santai menyeder ke sofa. “Terus.”
“Sa_saya dan Amoy saling mencintai” lanjut Ali makin gugup.
“Lalu.”
“Izinkan saya menikahi Amoy,” ucapnya membuat Amoy menyunggingkan senyum sinis.
“Emang Amoy ga bilang kalau dia sudah dijodohkan dengan anak relasi bisnis saya?” tanya ayah Amoy santai.
“Sudah, Om.”
“Lalu kenapa kamu masih nekat melamar anak saya?”
“Karena saya begitu mencintai anak, Om.” Ali berharap kalimat ini bisa meluluhkan hati orang tua Amoy.
“Kamu punya modal berapa untuk menikahi anak saya?”
“Maksudnya?” Ali mendongak, menatap wajah calon papa mertuanya.
“Kamu kan mau menikahi anak saya jadi butuh modal untuk pesta pernikahan nanti,” jelas papa Amoy.
“Memang saya ga bisa menyeleggarakan pesta besar, hanya cukup ke KUA saja,” sahut Ali bijak. “Tapi percayalah Om, saya akan membahagiakan Amoy!”
Janji Ali membuat tawa ayah Amoy pecah. Begitupun dengan mama dan Amoy sendiri yang menutupi senyum mereka dengan tangan. Sedang Ali bingung mengapa dia ditertawakan.
“Al, Al,” ucap ayah Amoy sambil geleng-geleng kepala. “Kirain kamu bawa uang dua ratus juta untuk melamar anak, Om.”
Ali menelan saliva. “Dua ratus juta, Om?”
“Iya, dua ratus juta.” Ayah Amoy menegaskan lagi. “Itu uang yang dibawa calon suami Amoy untuk pesta pernikahan.”
“Kalau uang sebanyak itu saya ga punya, Om,” kilah Ali. “Yang saya punya segudang cinta untuk Amoy.”
“Rumah tangga ga cuma makan cinta Al, tapi butuh duit.” Ayah Amoy berdiri dan diikuti oleh ibunya. “Dan nikah itu butuh modal duit bukan modal dengkul doang.” Mereka berlalu.
“Yang, kamu kok ga bantuin aku?”protes Ali mengalihkan pandangan pada Amoy yang diam saja saat dia sedang memperjuangkan cintanya di hadapan orang tua Amoy.
“Bantuin apa?” tanya Amoy enteng sedang Ali pakai emosi tingkat dewa.
“Bantuin ngomong kalau kamu mau nikah cuma ke KUA aja.”
“Hallo Al,” sahut Amoy dengan nada mencibir. “Aku tuh anak pengusaha, masa iya nikah cuma ke KUA saja?” cibirnya. “Apa kata dunia?”
“Ya sudah kalau kamu mau pernikahan kita pakai pesta besar, kamu modal sendiri,” tukas Ali.
“Terus kamu numpang nampang doang?” sindir Amoy membuat Ali terhenyak.
“Ya, karena aku ga punya duit sebanyak itu,” kilah Ali gelagapan. “Lagian sayang, uang sebanyak itu cuma habis dalam semalam,” lanjutnya. “Mending ditabung.”
“Ya sudahlah, memang kita ga jodoh,” sahut Amoy berdiri. “Buang-buang waktu saja, ngomong sama cowok yang ga mau modal.”
“Apa maksudmu?” Ali tak terima.
“Iya, kamu itu cowok itu ga modal,” tandas Amoy dengan menekan kalimat. “Cowok pelit bin medit.”
“Kamu.” Gigi Ali mengatup. Sedang tangannya mengepal.
“Kenapa? Ga terima?” sindir Amoy. “Emang kamu itu pelit kok,” tandas Amoy lagi.
“O, iya kalau ada waktu datang ya di pernikahanku!” Amoy memberi undangan berwarna coklat keemasan. “Banyak makanan enak dan gratis.” Amoy meninggalkan Ali yang masih terpaku.
Ali hanya bisa memendam amarahnya. Merasa perjuangan dianggap sebelah mata oleh Amoy. Ia yakin jika Amoy mau memperjuangkan cinta mereka tentu yang bersanding di pelaminan itu Amoy dan Ali bukan Amoy dengan laki-laki lain.
Tapi sayang, wanita yang sudah setahun ini jadi pacarnya lebih memilih laki-laki pilihan orang tuanya daripada dengannya.
*************
Duka merundung Ali. Pemuda cool itu hanya memandang sayur asem, sambel terasi dan ikan asin yang dimasak hampir tiap hari oleh ibunya. Romlah, merasa sedih dengan keadaan sang anak yang sedang patah hati.“Kok, ga dimakan, Al?” tanya Romlah saat makanan yang ia masak masih utuh.“Ga selera, Nyak,” jawab Ali malas-malasan.“Kamu masih mikirin Amoy ya?” Pertanyaan Romlah hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh anaknya.“Mungkin kamu dan Amoy memang tidak jodoh,” nasihat Romlah menghibur sang anak. “Nanti juga nemu yang lebih baik dari Amoy.”“Tapi, aku tuh cinta mati ma Amoy, Nyak,” kilah Ali. “Udah orangnya cantik, tajir dan wangi lagi.”Romlah tak menyahuti ucapan sang anak. Ia malah mengambil nasi dan menumpukinya dengan sayur asem, sambel dan ikan asin. Lalu menyantapnya dengan lahap sehimgga membuat air liur Ali menetes.Ali yang awa
Namanya Srikandi tapi biasa dipanggil Sri. Jomblo akut penghuni kamar kos tiga belas. Paras cantik, hidung bangir, tinggi semampai dan berambut panjang bergelombang. Jika dilihat-lihat ia cantik menawan tapi entah sampai usia dua puluh empat tahun, ia belum juga punya seorang kekasih. Padahal sang ibu di kampung sudah menanyakan kapan ia menikah. Maklum dua sahabatnya dari kecil, Wahyuni dan Wati, keduanya sudah menikah dan mempunyai anak.“Sri, kamu malam mingguan di rumah saja?” tanya Wulan, teman satu kos-kosan. Dia menempati kamar tepat di depan kamar milik Sri.“Ya, iya, emang mau ke mana?” Sri melongok ke kamar Wulan.Tampak temannya itu sudah cantik dengan dress pink selutut, bibir merona pink dan juga bando pink menghiasi rambutnya. Teman Sri ini penyuka warna pink sekaligus menggambarkan tentang dirinya yang feminim habis.“Aku pergi dulu ya, Sri!” pamitnya berlalu. Semerbak wangi parfum tercium h
Akhirnya Sri bisa melepas status jomblonya. Di usia yang begitu matang, ia merasakan diperhatikan oleh kekasih. Bentar-bentar masuk pesan dari Ali.[Sudah makan belum?][Jangan lupa solat ya!][Met tidur, mimpiin aku!][Love you Honey.][Kangen nih.]Awalnya Sri berbunga-bunga dapat pesan-pesan gombal itu. Namun memasuki usia pacaran mereka yang ketiga bulan, kok ia mulai merasa risih tiap dapat pesan dari Ali.Belum lagi, pacarnya itu selalu menelponnya tengah malam dengan menggunakan paket nelpon murah. Ngobrol ngalor ngidul ga tentu arah hingga dua jam.Jika besoknya shif dua sih ga masalah. Namun jika ia harus kerja pagi, pastinya ia ngantuk dan mengganggu kerjaan.“Matamu kenapa? Kaya mata panda?” tanya leader Sri pagi itu.“Iya, kurang tidur nih, Mbak,” jawab Sri sambil terus merapikan susu.“Tidur jangan malam-malam!” titah sang leader. “B
Hari yang sibuk dan melelahkan. Datang barang dan hari ini sang leader minta hasil penjualan selama sebulan untuk pencairan bonus. Serta merta semua harus selesai hari ini. Belum lagi pengunjung yang ramai di awal bulan.Kesibukan ini membuat Sri tak sempat makan siang meski lapar mendera. Tapi semua tak dirasa karena omset hari ini sungguh luar biasa. Sudah mengisi sepertiga dari target sebulan. Sebelum pulang, ia langsung mengisi form permintaan barang.“Kita makan dulu yuk!” ajaknya saat menemui Ali yang menunggu. “Dari siang belum makan.”“Kok belum makan?” tanya Ali perhatian.“Tadi datang barang dan rame pengunjung. Jadi deh ga sempet makan.”“Ga boleh githu dong, Sayang.” Ali mulai membelai mesra rambut kekasihnya. “Meski sibuk kerja tapi harus disempetin makan. Takut kamu maag.”“Makasih, ya!” ucap Sri langsung bergegas menuju restoran a
Hari yang dinanti tiba. Dari pagi Sri sudah siap berkemas. Membawa bekal untuk dibawa. Tepat jam sepuluh pagi Ali menjemput. Dengan suka cita dua sejoli itu melaju ke tempat wisata ibukota.Meski bukan weekend namun antrian panjang bak ular. Mungkin karena sedang diskon, banyak antusias dari warga untuk berkunjung. Setelah sekian lama menunggu, antrian Ali dan Sri tinggal satu orang.“Yang, mana uangnya?” Ali menadahkan tangan kanan sementara tangan kiri memegang uang seratus ribuan.Wajah Sri langsung cemberut kesal. Dikiranya Ali akan mentraktirnya masuk ke Dufan. Nyatanya seperti biasa, bayar sendiri-sendiri.Tiket sudah dicap di tangan. Sri langsung bahagia memasuki arena bermain. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mencoba berbagai wahana. Dari yang kalem sampai memacu adrenalin.Karena kesal Sri sengaja naik ini itu sesuka hatinya tanpa minta persetujuan dulu pada Ali. Alhasil Ali mau tak mau ikut dengan kekasihn
Hari ini Sri dapat durian nomplok. Kakak lelakinya yang punya usaha bakso di Solo mengiriminya uang tanpa diminta. Uang itu, dia rencanakan untuk membeli tas. Maklum tas yang ia pakai sehari-hari sudah ketinggalan model.Hari libur yang cerah, Sri meminta Ali untuk mengantarnya ke Mall Arion karena jarah Sunter ke Rawamangun lumayan menguras tenaga jika naik angkutan umum. Harus tiga kali naik angkot.“Mau ngapain Yang, ke Arion?” tanya Ali saat di perjalanan.“Mau beli tas,” jawab Sri singkat.“Kenapa ga beli di Sunter Mall saja?”“Sekali-kali shoping yang jauh.”Satu jam kemudian mereka sampai.Sebenarnya jarak tempuh bisa dicapai empat puluh menitan memakai motor jika jalan motornya dengan kecepatan standart. Namun karena Ali hobi naik motor seperti keong, satu jam sudah sampai itu alhamdulillah.Ali memarkir motor dan menggandeng mesra Sri layaknya kekasih ya
Merantau seorang diri di Jakarta itu harus membuat Sri pinter-pinter ngatur keuangan. Karena jika nanti ia kehabisan uang tak ada yang bisa diandalkan kecuali kalau ia berani ngutang ke teman kerja atau teman kos.Makanya setiap gajian sudah cair, Sri selalu belanja bulanan untuk menghindari belanja ketengan di warung. Karena menurutnya belanja ketengan jauh mahal dan menguras kantong.“Aku mau belanja bulanan dulu,” ucap Sri saat menemui Ali yang sedang menunggu.“Ya udah, aku temenin ya!” sahut Ali langsung menggandeng kekasihnya masuk ke sawalayan di Sunter Mall.Denga sigap Sri mengambil keperluannya selama sebulan. Lalu membeli beberapa cemilan untuk teman nonton TV di kosan.Antrian kasir lumayan panjang. Maklum, mungkin efek tanggal muda, jadi banyak orang belanja.“Seratus lima puluh ribu,” ucap mbak kasir.Sri bersiap mengeluarkan dompet dari tas.“Ada uangnya?&
Meski tak hobi nonton namun Sri kadang kala menyambangi bioskop yang biasa terletak di lantai atas mall-mall. Kebetulan kali ini ada film yang diangkat dari novel laris sedang happening. Dia bergegas mengunci pintu kamar kosan. Liburan kali ini rencananya akan dia habiskan sendirian. Malas liburan bareng Ali jika hanya bikin bete.“Mau pergi, Yang?” tanya Ali yang tiba-tiba sudah muncul di depan gerbang.Sri menggigit bibir dengan dahi berkerut. Berbagai macam pertanyaan muncul kok Ali bisa di sini? Bukannya ia harus kerja.“Kamu ga kerja?” selidiknya.“Bagas minta tukeran off. Aku iyain aja karena aku ingat hari ini kamu libur,” jawab Ali tak lepas dari senyum. “Mau ke mana? Kok sudah cantik aja?” Ali menatap pacarnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Mau nonton,” jawab Sri langsung tak berselera.“Ikut ya!” sahutnya langsung membuat Sri down. Perasaan
Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas
“Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb
Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.“Nasi padang,” sahut Romlah.“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn
Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&
Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j
Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,
“Bang, besok kan Enyak kontrol dan terapi,” ucap Munaroh di depan meja hias.“Iya,” sahut Ali datar. “Aku besok juga ambil off kok biar bisa ngantein Enyak.”“Besok, biaya rumah sakitnya pakai uang Enyak sendiri ya!” ucapan Munaroh membuat mata suaminya terbeliak.“Kok githu?”“Ya kan setahun ini semua pakai uang Munaroh dari makan, listrik, terapi Enyak dan biaya operasi,” beber Munaroh. “Dan semua itu banyak keluar uang.”“Tapi kalau nanti Enyak suruh bayar sendiri takutnya Enyak marah dan tekanan darahnya tinggi, masuk ke rumah sakit, bagaimana?” Ali mengurai ketakutannya.“Ya, kalau gini terus ya berat di aku dong, Bang!” keluh Munaroh. Palagi semua gaji dan uang kontrakan diminta Enyak.”“Kok kamu itung-itungan sih sama, Enyak!” hardik Ali kesal. “Durhaka tahu.”“Ada
Uang makin menipis, sedang hubungannya dengan Munaroh makin memanas membuat kepala Romlah cenat cenut tak karuan. Belum lagi dirasa badan sedang tak bersahabat.“Urut enak kali ya?” ucapnya sambil memijit-mijit kakinya yang kesemutan. “Duh, mules lagi.”Panggilan alam membuat Romlah bangkit ke kamar mandi. Dengan santai ia masuk ke dalam yang tak ia sadari jika lantai kamar mandi licin. Tak ayal ia langsung terpelet.“Auww!” pekiknya keras membuat Ali dan Munaroh tergopoh-gopoh menghampirinya.“Enyak!” teriak histeris Ali yang langsung membantu Romlah bangkit.“Sakit Al!” teriak Romlah saat kakinya tak bisa digerakkan.“Bang, langsung bawa ke rumah sakit saja!” titah Munaroh yang diiyakan suaminya.Romlah tampak kesakitan sepanjang jalan ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Ali menghubungi kedua saudaranya jika Romlah jatuh di kamar mandi dan dilarik
“Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld