Hari yang sibuk dan melelahkan. Datang barang dan hari ini sang leader minta hasil penjualan selama sebulan untuk pencairan bonus. Serta merta semua harus selesai hari ini. Belum lagi pengunjung yang ramai di awal bulan.
Kesibukan ini membuat Sri tak sempat makan siang meski lapar mendera. Tapi semua tak dirasa karena omset hari ini sungguh luar biasa. Sudah mengisi sepertiga dari target sebulan. Sebelum pulang, ia langsung mengisi form permintaan barang.
“Kita makan dulu yuk!” ajaknya saat menemui Ali yang menunggu. “Dari siang belum makan.”
“Kok belum makan?” tanya Ali perhatian.
“Tadi datang barang dan rame pengunjung. Jadi deh ga sempet makan.”
“Ga boleh githu dong, Sayang.” Ali mulai membelai mesra rambut kekasihnya. “Meski sibuk kerja tapi harus disempetin makan. Takut kamu maag.”
“Makasih, ya!” ucap Sri langsung bergegas menuju restoran ayam cepat saji.
“Kamu mau apa?” tanya Sri saat antrian di depannya tingga satu orang.
“Terserah kamu.”
“Mbak, Paket Attack dua ya!” pesannya setelah dapat giliran.“Berapa harganya?” bisik Ali.
“Satu porsi sepuluh ribu.”
Tak berapa lama Ali mengulurkan uang pas sepuluh ribu. Bibir Sri mengatup serta tenggorokannya tercekat. Ini artinya makan bareng sama pacar tapi bayar sendiri-sendiri.
Mendadak perasaan Sri jadi ilfill sama kekasihnya. Mulai tak respek saat Ali bercerita dan bermanja-manja. Sri asyik saja makan tanpa bersuara.
“Ini nasinya buat kamu.” Ali meletakkan nasi di wadah Sri. “Takut kamu ga kenyang. Aku makan ayamnya saja. Tadi siang sudah makan banyak.”
Sri tak menggubris kalimat sang pacar. Ia asyik saja makan hingga tandas. Nasi pemberian Ali tak disentuh sama sekali. Sekali teguk, minuman soda yang tinggal setengah itu habis sudah.
“Pulang yuk!” ajak Sri tak ingin basa-basi.
“Kok pulang?” keluh Ali. “Ngobrol-ngobrol dulu yuk!”
“Aku capek. Ingin cepat mandi dan istirahat.” Sri beralasan.
Tanpa menunggu Ali mengiyakan, ia sudah bangkit dan ke luar dari tempat makan itu. Sepanjang jalan ia tak menghiraukan Ali yang terus bicara ini itu.
Ali mengambil helm. “Yang, aku ga punya receh. Uangku seratus ribuan semua,” ucapnya.
“Tolong bayarin parkir ya!” pintanya tanpa malu.Sri tidak menjawab ataupun tersenyum. Namun tangannya langsung merogoh saku celana dan menyiapkan uang receh.
Ali selalu mengendarai motornya super pelan jika bersama Sri. Ia ingin waktu berjalan lama jika sedang dengan kekasihnya itu. Bercerita ini itu tanpa tentu arah. Juga tentang masa depan hubungan mereka yang ia yakin akan menuju ke jenjang pernikahan.
“Nganternya sampai sini saja ya!” titah Sri yang langsung turun dari motor.
“Kok cuma sampai di sini?” protes Ali. “Aku kan masih mau ngobrol ma kamu, Sayang.”
“Kapan-kapan saja ngobrolnya!” bantah Sri.
“Badanku capek banget, mau istirahat.”“Mau aku pijitin!” tawar Ali dengan senang hati.
“Ga usah,” jawab Sri cepat.
Bisa urusannya melebar kemana-mana kalau Ali mijitin dia.
“Temen-temenku kalau masuk angin atau capek saling kerokan atau mijit di kosan,” ceritanya berharap Sri tertarik.
“Nanti minum obat terus tidur juga sembuh,” sahutnya sama sekali tak tertarik dengan kelakuan teman-teman Ali. “Udah ya!” pamitnya langsung melangkah masuk ke kosan.
Selesai mandi dan rapi, Sri membuka kamar kosan. Rencananya sebentar lagi ia akan cari makan di luar. Namun belum sempat niat itu terlaksana, Nur sudah masuk ke kamarnya dengan membawa Donut Jaco dan coffe latte dingin.
“Wulan belum pulang ya Sri?” tanyanya saat tak menemui sosok sahabatnya itu.
“Ngapain nyariin aku?” tanpa diduga Wulan datang.
“Mau ngajakin ngopi,” jawab Nur sambil membuka donat dan membagi minuman pada Sri dan Wulan. “Ayo, Sri!” tawarnya menyodorkan kotak donat.
“Makan bakso dulu nih!” sergah Wulan sambil mengeluarkan tiga kantong bakso dari kantong plastik. “Sri, mangkok di mana?”
Sri beranjak dan mengambil tiga perangkat alat makan. Mereka menuang bakso yang masih panas itu dan menaburinya dengan sambal dan saos.
“Bakso mana ini?” tanya Sri.
“Biasa, bakso depan apotik Cempaka Putih. Yang langganan para artis,” jawab Wulan.
“Wah, mantap ini!” Nur makin menggebu.
“Iya tadi Bang Somad buru-buru ga bisa nemenin aku makan. Ya sudah dibungkusin tiga untuk makan rame-rame,” jawab Wulan.“Wah, pacarmu royal sama teman-temanmu juga ya,” puji Nur.
“Ya bersyukur banget tiap punya pacar ga pernah ada yang pelit,” jawab Wulan.
“Sama, Bang Rohmad juga royal,” puji Nur. “Masih dibeliin kue padahal tadi kami habis nonton lho.
Cerita kedua sahabatnya membuat Sri menelan saliva. Nyesek dengan kisah cintanya dengan cowok pelit.
Membandingkan Ali dengan Somad dan Rohmad tentu bagaikan langit dan bumi. Ingatan makan paket hemat sepuluh ribu sore tadi membuatnya ngenes. Sepuluh ribu, bayar sendiri-sendiri.
“Kalau Ali, gimana Sri?” tanya Nur membuat cewek Solo itu tersedak. “Royal juga kan seperti pacar kita-kita? Secara mereka kan sama-sama asli Betawi.”
“Biasa saja,” jawab Sri sesudah meneguk es kopinya.
“Syukur kalau juga royal. Meski ada juga yang pelit ya orang sini.” Wulan menimpali.
“Jangan sampailah kita pacaran sama cowok pelit. Bisa-bisa makan ati mlulu kerjaannya.” Nur menambahkan.
Sri melanjutkan makannya. Bakso pedas itu lebih menggoda daripada sekedar menceritakan kisah cintanya yang ngenes dengan Ali. Belum lagi donut Jaco, si pencuci mulut, yang tentu lebih membuatnya berselera daripada membicarakan seorang Ali yang pelit.
Andai teman-temannya tahu jika kisah cintanya tak seindah mereka, tentu akan jadi bahan tertawaan. Baru pertama kali pacaran, eh dapet cowok pelit bin medit.
***************
Dengan setia Ali menunggu Sri di depan kos. Revonya langsung meluncur pelan ke tempat kerja. Sesampainya di parkiran, Sri langsung turun dan beranjak masuk. Namun langkahnya terhenti saat Ali menahan tangannya.
“Libur, kita ke Dufan yuk!” ajaknya. “ Lagi ada diskon lima puluh persen lho!”
“Boleh.” Sri mengiyakan ajakan pacarnya.
Sudah lama ia ga jalan-jalan. Hanya fokus tempat kerja, kosan dan omset penjualan susu serta mengejar bonus. Ga ada salahnya merefresh otak yang hampir penuh karena kerjaan. Apalagi jalannya bareng pacar. Tentu akan lebih berwarna dan romantis."Asyik, nanti di sana kita bisa puas-puasin pacaran ya, Sayang," ujar Ali sambil senyum-senyum membayangkan romantisme yang akan tercipta di Dufan nanti.
Sri mengernyitkan dahi. Angan-angan pacarnya harus membuatnya waspada. Ia tak boleh lengah. Jangan sampai laki-laki yang baru beberapa bulan jadi pacarnya itu macam-macam.
"Naik wahana berduaan itu pasti asyik," lanjut Ali.
Sri tak sabar menunggu hari libur tiba. Bayangan naik semua wahana di Dufan terbayang di depan mata. Ingin mencoba semuanya mulai dari Kora-Kora, Arum Jeram hingga Tornado. Pasti seru dan menantang adrenalin.
🌹🌹🌹🌹🌹
Hari yang dinanti tiba. Dari pagi Sri sudah siap berkemas. Membawa bekal untuk dibawa. Tepat jam sepuluh pagi Ali menjemput. Dengan suka cita dua sejoli itu melaju ke tempat wisata ibukota.Meski bukan weekend namun antrian panjang bak ular. Mungkin karena sedang diskon, banyak antusias dari warga untuk berkunjung. Setelah sekian lama menunggu, antrian Ali dan Sri tinggal satu orang.“Yang, mana uangnya?” Ali menadahkan tangan kanan sementara tangan kiri memegang uang seratus ribuan.Wajah Sri langsung cemberut kesal. Dikiranya Ali akan mentraktirnya masuk ke Dufan. Nyatanya seperti biasa, bayar sendiri-sendiri.Tiket sudah dicap di tangan. Sri langsung bahagia memasuki arena bermain. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mencoba berbagai wahana. Dari yang kalem sampai memacu adrenalin.Karena kesal Sri sengaja naik ini itu sesuka hatinya tanpa minta persetujuan dulu pada Ali. Alhasil Ali mau tak mau ikut dengan kekasihn
Hari ini Sri dapat durian nomplok. Kakak lelakinya yang punya usaha bakso di Solo mengiriminya uang tanpa diminta. Uang itu, dia rencanakan untuk membeli tas. Maklum tas yang ia pakai sehari-hari sudah ketinggalan model.Hari libur yang cerah, Sri meminta Ali untuk mengantarnya ke Mall Arion karena jarah Sunter ke Rawamangun lumayan menguras tenaga jika naik angkutan umum. Harus tiga kali naik angkot.“Mau ngapain Yang, ke Arion?” tanya Ali saat di perjalanan.“Mau beli tas,” jawab Sri singkat.“Kenapa ga beli di Sunter Mall saja?”“Sekali-kali shoping yang jauh.”Satu jam kemudian mereka sampai.Sebenarnya jarak tempuh bisa dicapai empat puluh menitan memakai motor jika jalan motornya dengan kecepatan standart. Namun karena Ali hobi naik motor seperti keong, satu jam sudah sampai itu alhamdulillah.Ali memarkir motor dan menggandeng mesra Sri layaknya kekasih ya
Merantau seorang diri di Jakarta itu harus membuat Sri pinter-pinter ngatur keuangan. Karena jika nanti ia kehabisan uang tak ada yang bisa diandalkan kecuali kalau ia berani ngutang ke teman kerja atau teman kos.Makanya setiap gajian sudah cair, Sri selalu belanja bulanan untuk menghindari belanja ketengan di warung. Karena menurutnya belanja ketengan jauh mahal dan menguras kantong.“Aku mau belanja bulanan dulu,” ucap Sri saat menemui Ali yang sedang menunggu.“Ya udah, aku temenin ya!” sahut Ali langsung menggandeng kekasihnya masuk ke sawalayan di Sunter Mall.Denga sigap Sri mengambil keperluannya selama sebulan. Lalu membeli beberapa cemilan untuk teman nonton TV di kosan.Antrian kasir lumayan panjang. Maklum, mungkin efek tanggal muda, jadi banyak orang belanja.“Seratus lima puluh ribu,” ucap mbak kasir.Sri bersiap mengeluarkan dompet dari tas.“Ada uangnya?&
Meski tak hobi nonton namun Sri kadang kala menyambangi bioskop yang biasa terletak di lantai atas mall-mall. Kebetulan kali ini ada film yang diangkat dari novel laris sedang happening. Dia bergegas mengunci pintu kamar kosan. Liburan kali ini rencananya akan dia habiskan sendirian. Malas liburan bareng Ali jika hanya bikin bete.“Mau pergi, Yang?” tanya Ali yang tiba-tiba sudah muncul di depan gerbang.Sri menggigit bibir dengan dahi berkerut. Berbagai macam pertanyaan muncul kok Ali bisa di sini? Bukannya ia harus kerja.“Kamu ga kerja?” selidiknya.“Bagas minta tukeran off. Aku iyain aja karena aku ingat hari ini kamu libur,” jawab Ali tak lepas dari senyum. “Mau ke mana? Kok sudah cantik aja?” Ali menatap pacarnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Mau nonton,” jawab Sri langsung tak berselera.“Ikut ya!” sahutnya langsung membuat Sri down. Perasaan
Swalayan masih sepi di pagi hari. Selesai beres-beres barang, nyetok dan menulis orderan, Sri ikut bergabung dengan beberapa SPG yang asyik ngobrol dengan satpam swalayan.“Eh Sri, gimana hubunganmu dengan Ali? Masih lanjut?” tanya Opik yang merupakan tetangga Ali.“Baik-baik saja,” jawab Sri bertanya-tanya. Kok tetangga Ali bertanya seperti itu. “Emang kenapa, Bang?” tanyanya sedikit penasaran.“Betah saja kamu pacaran sama cowok pelit,” celetuk Opik membuat Sri terkejut. Wajahnya memerah karena teman teman SPG langsung menatapnya.“Beneran Sri, Ali pelit?” tanya Hani.“Malas banget pacaran sama orang pelit,” tukas Dewi.“Makan ati mlulu tuh,” cibir Ratna sambil tertawa.Reaksi teman-temannya membuat Sri mati kutu. Bingung mau jawab apa karena yang diucapkan tema-temannya benar semua.“Pelit kan sama orang lain. Tapi sama pa
Hari berlanjut. Hubungan Sri dan Ali adem ayem saja. Sri yang santai dan tak pernah membahas apapun. Sedang Ali yang selalu menceritakan impiannya untuk menikah dan punya anak banyak dari Sri membuat hubungan mereka hambar bagi Sri. Namun tidak bagi Ali. Pemuda hitam manis itu betul-betul sudah jatuh hati.“Yang, main ke rumahku yuk!” ajak Ali sepulang kerja. “Ibu pingin ketemu dengan calon mantu,” godanya ditanggapi Sri dengan seulas senyum.Ketemu ibunya Ali? Kenapa takut? Toh ia juga ingin membuktikan ucapan Opik jika pacarmya itu satu keluarga memang pelit. Gadis itu juga penasaran dengan kontrakan yang selama ini digembar-gemborkan oleh pacarnya.“Boleh.” Sri mengiyakan.Keesokan harinya, selepas dzuhur Sri dijemput Ali dan menyambangi rumah Ali di kawasan Warakas. Gang sempit dan pemukiman padat merayap. Sebuah rumah besar dan indah memukau Sri. Pasalnya, Ali begitu pelan mengendarai motor saat di de
Pagi yang cerah. Hari ini Srikandi berencana akan mengunjungi teman masa sekolahnya yang baru saja married dan ikut tinggal bersama suami di Cikarang. Maklum, sang suami adalah buruh pabrik.Jam sepuluh Sri sudah rapi. Namun Ali belum juga menampakan hidungnya. Di bawah pohon rindang, gadis Solo itu celingak-celinguk menanti sang pacar. Tak berapa lama sang pacar datang dengan naik ojek.“Makasih ya, Bang,” ujar Ali sebelum ojek berlalu.“Kok naik ojek? Motor kamu mana?” tanya Sri bingung.“Di rumah,” jawab Ali enteng.“Lho, kita kan mau ke Cikarang?”“Tahu,” jawab Ali lagi.” Ke Cikarangnya kita naik bus saja.”“Lha, bukannya lebih cepat kalau naik motor?” seru Sri membuat cowoknya garuk-garuk kepala.“Aku ga tahu jalan, Sayang. Takut nyasar nanti,” aku Ali membuat Sri menepuk jidatnya.'Hari gini, laki-laki ga t
Ali bin Sabeni. Pemuda kelahiran Jakarta, dua puluh tiga tahun silam. Lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Dan menjadi anak laki satu-satunya dari pasangan Sabeni dan Romlah. Tamatan SMA Negeri dan sekarang bekerja sebagai karyawan di Departemen Store.Sabeni adalah juragan kontrakan dan tanah. Ia jago sebagai makelar tanah, jadi tak heran jika tanahnya ada di mana-mana. Namun semua harta yang dikumpulkan dari hasil makelar kini tinggal kenangan. Habis untuk berobat saat ia divonis menderita diabetes hingga meninggal dunia.Rumah besar yang dulu mereka sekeluarga tinggalipun harus terjual. Tersisa rumah dan kontrakan yang sudah dibagi adil kepada ketiga anaknya. Belum lagi beberapa tanah yang dijual paksa oleh kedua mantu Romlah yang memang ternyata pengangguran.Kini hanya tersisa rumah yang bisa dibilang kontrakan petak dan sepuluh kontrakan yang hanya terisi lima kamar. Semua itu menjadi hak milik Ali alias Al dengan syarat dia dan is
Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas
“Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb
Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.“Nasi padang,” sahut Romlah.“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn
Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&
Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j
Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,
“Bang, besok kan Enyak kontrol dan terapi,” ucap Munaroh di depan meja hias.“Iya,” sahut Ali datar. “Aku besok juga ambil off kok biar bisa ngantein Enyak.”“Besok, biaya rumah sakitnya pakai uang Enyak sendiri ya!” ucapan Munaroh membuat mata suaminya terbeliak.“Kok githu?”“Ya kan setahun ini semua pakai uang Munaroh dari makan, listrik, terapi Enyak dan biaya operasi,” beber Munaroh. “Dan semua itu banyak keluar uang.”“Tapi kalau nanti Enyak suruh bayar sendiri takutnya Enyak marah dan tekanan darahnya tinggi, masuk ke rumah sakit, bagaimana?” Ali mengurai ketakutannya.“Ya, kalau gini terus ya berat di aku dong, Bang!” keluh Munaroh. Palagi semua gaji dan uang kontrakan diminta Enyak.”“Kok kamu itung-itungan sih sama, Enyak!” hardik Ali kesal. “Durhaka tahu.”“Ada
Uang makin menipis, sedang hubungannya dengan Munaroh makin memanas membuat kepala Romlah cenat cenut tak karuan. Belum lagi dirasa badan sedang tak bersahabat.“Urut enak kali ya?” ucapnya sambil memijit-mijit kakinya yang kesemutan. “Duh, mules lagi.”Panggilan alam membuat Romlah bangkit ke kamar mandi. Dengan santai ia masuk ke dalam yang tak ia sadari jika lantai kamar mandi licin. Tak ayal ia langsung terpelet.“Auww!” pekiknya keras membuat Ali dan Munaroh tergopoh-gopoh menghampirinya.“Enyak!” teriak histeris Ali yang langsung membantu Romlah bangkit.“Sakit Al!” teriak Romlah saat kakinya tak bisa digerakkan.“Bang, langsung bawa ke rumah sakit saja!” titah Munaroh yang diiyakan suaminya.Romlah tampak kesakitan sepanjang jalan ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Ali menghubungi kedua saudaranya jika Romlah jatuh di kamar mandi dan dilarik
“Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld