"Sayang, sayang, kenapa bicara seperti itu," tanya Mas Rendi yang langsung mendekat padaku seolah merasa bersalah. Entah bersalah karena sedari tadi hanya diam saja, atau merasa bersalah karena diam-diam bermain belakang bersama Mbak Dyan.Rasanya aku sudah sama sekali sulit untuk bisa bersikap manis di depan Mas Rendi. Sikap manja yang selalu aku tunjukkan karena aku bergantung padanya, sepenuhnya telah tiada. Bagiku, Mas Rendi sudah bukan lagi 'rumah' untukku. Dan pada akhirnya, kini aku sudah muak dengan semua yang terjadi. Aku sudah ingin segera mengakhiri semuanya, secepatnya! Entah nanti pada akhirnya aku akan bagaimana, yang terpenting aku selesaikan segala keterikatan aku dengan Mas Rendi."Mas, tau kalau Mas dan Dyan sudah melakukan kesalahan di belakang kamu. Sekarang Mas minta maaf.""Sekarang minta maaf? Karena Mas tau kalau kelakuan Mas ketauan? Kalau aku tidak tau, perselingkuhan kalian di belakang aku tidak akan Mas mengakui dan meminta maaf? Sudah, Mas.""Sudah apa? K
"Berbeda?" tanyaku yang masih bingung karena aku memang sedang tidak fokus."Ya, hubungan renggang karena alasan apapun, lalu menghadirkan orang ketiga karena kerenggangan itu yang membuat jauh dari pasangan sehingga secara alaminya membuat orang ketiga terasa diundang pada hubungan kalian. Atau, kehadiran orang ketiga lah yang menjadi alasan utama hubungan kalian berdua menjadi renggang. Coba kamu pikirkan lagi."Aku terdiam sejenak dan mencoba memikirkan hal yang dikatakan oleh Pak Hans."Saya dan istri saya sama-sama memiliki prinsip, kesalahan apapun akan saling memaafkan kecuali perselingkuhan atau hadirnya orang ketiga. Yang itu artinya jika hubungan baik-baik saja tetapi salah satu diantara kalian malah mengundang orang ketiga, itu sudah tidak termaafkan. Sejatinya selingkuh itu bukanlah kekhilafan, karena butuh effort untuk melakukannya. Salah satunya adalah kebohongan. Menutupi fakta dengan berbohong. Bukankah itu menjadi awal dan akar hubungan yang tidak sehat nantinya jika
Entahlah, entah aku harus percaya atau tidak. Entah harus benar-benar menuruti perkataan Pak Anggara atau tidak. Yang jelas aku merasa bingung dengan semuanya. Hidupku rasanya tidak terarah. Aku terus menapak, sayangnya aku berdiri di atas perahu yang terus bergoyang sehingga aku merasa tidak bisa berdiri dengan stabil.Kepercayaanku untuk orang lain yang sudah aku percayai, malah terus-menerus dibuat kecewa dengan kenyataannya. Bahkan sekarang aku harus memikirkan apa yang menjadi masukan dari Pak Hans tadi siang."Sebaiknya kamu pulang saja dulu. Memang benar jika kita harus mengurusi urusan kita masing-masing. Entah bagaimana ending-nya, yang jelas semoga permasalahan hidup kita bisa selesai.""Tapi kamu mau menungguku?""Kita lihat saja nanti. Aku permisi masuk dulu."Aku berjalan melewati Pak Anggara dengan segenap perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan. Rasa sedih dan kecewa, juga rasa kehilangan harapan terasa sekali mengiris hatiku secara perlahan.Sesulit itu kah menjadi seor
Setelah selesai makan malam bersama memakan katering dari pesta ulang tahun tadi, aku bersyukur tidak memasak tapi padahal aku menginginkan Mbak Dyan yang menyiapkan makan untuk kami semua.Namun sehabis makan tadi, Mbak Dyan belum juga keluar dari kamar. Sedangkan Ibu sudah masuk ke dalam kamarnya setelah minum obat. Jadi tinggallah aku, Mas Rendi dan Ryo di depan televisi."Mas, kok Mbak Dyan gak keluar-keluar dari tadi? Masa iya langsung tidur? Apa takut aku tidur di kamar kali, ya. Makanya dia langsung tidur habis makan.""Mana mungkin begitu. Nanti, Mas liat dulu, ya."Aku mengangguk. Mumpung Mas Rendi sedang ke dalam kamar, aku mencoba pendekatan dan mengakrabkan diri pada Ryo. Sebab aku merasa sikapnya tiba-tiba melunak padaku. Aku hanya takut jika Ryo hanya sedang diperintahkan sesuatu oleh Mbak Dyan. Sebab dia masih terlalu kecil dan sangat penurut pada Ibunya."Ryo, hari Minggu nanti, Tante eh Mama Tia jemput ke sini, ya. Ryo sudah harus siap," ucapku berbasa-basi.Sebenarny
Situasi sekarang ini membuat aku dan Mbak Dyan tentu menjadi saling mencurigai satu sama lain. Jika aku sampai hamil, Mbak Dyan pasti tahu jika itu bukanlah anak dari Mas Rendi. Namun aku yakin dia juga tidak akan bertindak gegabah dengan langsung menuduhku bukan hamil anak Mas Rendi, karena otomatis itu akan mengungkap rahasia yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun dari Mas Rendi dan Ibunya, bahkan mungkin semua orang."Ya karena memang gak mungkin aja, Ren. Kalian kan gak lagi program hamil. Lagipula Tiana kan sudah lama tidak bisa hamil, jadi tidak mudah buat dia tiba-tiba langsung hamil," jawab Mbak Dyan mencoba biasa saja.Padahal aku yakin dia refleks saat langsung keluar dari kamar, tanpa dipikir panjang kalau sikapnya bisa menimbulkan kecurigaan. Namun aku sendiri masih bisa mewajarkan, Mbak Dyan pasti tidak ingin aku hamil, karena jika itu terjadi maka aku akan merebut seluruh perhatian dari Mas Rendi, dan tidak menutup kemungkinan juga Ibu Mertuaku akan sedikit melunak da
"Kok Ibu jadi bandingin aku sama Tiana. Jelas beda dong, Bu. Aku sudah punya anak, anak aku prioritas aku. Itu anak Rendi, cucu Ibu juga, kan? Dan hal yang perlu Ibu ingat itu aku menikah dengan Rendi, ya menjadi istri Rendi. Ngurus suami dan anak, aku tidak berkewajiban untuk ngurus Ibu," ucap Mbak Dyan dengan begitu berani.Pertunjukan seru yang disuguhkan pagi ini, membuat aku tidak menyesal memilih untuk menginap semalam. Ibu dan Mbak Dyan sama-sama memiliki watak keras dan tidak mau kalah, wajar jika sekarang saling beradu tegang tanpa ada yang mau menurunkan Ego untuk mengalah.Padahal sebelumnya, mereka berdua sama-sama kompak untuk membuat aku terlihat buruk di depan Mas Rendi. Namun pada akhirnya mereka berdua lah yang saling menguliti satu sama lain.Memang lawan sepadan untuk Ibu adalah Mbak Dyan. Sedangkan aku masih memiliki rasa belas kasih, meskipun dulu juga aku sering bersitegang tetapi pada akhirnya aku selalu mengalah karena tidak ingin memperpanjang dan memperbesar
Aku berdiri di depan cermin wastafel sambil melihat wajahku yang pucat. Aku tidak merasa sedang sakit, tapi mual yang aku rasakan rasanya semakin sering saja. Aku semakin sensitif pada beberapa makanan. Durian, padahal aku suka durian. Tapi tadi ....Sejenak aku terus berpikir, sampai aku kembali teringat pada Mas Rendi yang mengira aku hamil. Dan aku juga tidak bisa melupakan bahwa aku pernah melakukan tanpa pengaman bersama Pak Anggara. Namun disituasi yang sekarang ini rasanya tidak pas kalau ternyata aku memang hamil. Aku menginginkan hal yang aku tunggu-tunggu, tapi melihat keadaan sekarang aku tidak yakin bisa terus bersuka cita dengan kehamilanku.Aku segera keluar dari toilet karena tidak mau membuat Yoga dan Ryo menunggu aku. Saat aku kembali, mereka sudah selesai dengan makanannya. Sesuai dengan rencana, kami bertiga menuju area ice skating, hanya saja aku menunggu dan melihat dari luar are, aku biarkan mereka berdua bermain bersama untuk melepas rindu.Sebenarnya bukan ha
"Jelas kamu harus aku nikahi, apalagi kalau kamu hamil. Jangan takut dan merasa sendiri, aku tidak akan mengingkari apa yang sudah aku katakan," jawab Pak Anggara dengan percaya diri jika dia bisa mewujudkan apa yang dia katakan itu. Padahal situasinya juga sedang sulit."Lalu sekarang? Kamu bahkan semakin lengket saja bersama Evelyn. Sudah mulai merencanakan pernikahan?""Evelyn sakit, Tiana."Mendengar itu, sontak aku langsung menoleh. "Sakit?""Aku juga baru tau setelah tunangan terjadi. Aku memprotes dan mencoba untuk membatalkan pertunangan itu. Namun orang tuanya bilang, jika Evelyn memang sakit tapi Evelyn sendiri tidak menceritakan itu padaku. Ini saja hanya aku ceritakan sama kamu.""Evelyn sakit keras?""Kanker sumsum tulang belakang."Tiba-tiba saja aku merasa bersalah atas sikapku pada Evelyn. Karena kecemburuanku, aku jadi bersikap kurang baik dan tidak tulus padanya. Padahal dia adalah gadis yang ceria dan baik, aku sendiri yang merasakannya. Dan ternyata, dibalik kebaik
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak