Esok harinya setelah membelikan aku sarapan, Mas Rendi sudah berpamitan untuk pulang karena Ibu sudah menyuruhnya pulang, karena Mas Rendi juga pergi tanpa pamit semalam sudah terlalu larut.Sekarang aku sendirian di rumah yang cukup besar. Aku tengok kanan dan kiri masih kosong sehingga terasa sekali leganya. Padahal jika sudah diisi berbagai furniture pasti akan pas, tidak begitu sempit dan tidak terlalu luas juga untuk aku yang akan lebih sering tinggal sendirian.Sekitar satu jam setelah Mas Rendi pulang, aku mendengar ada suara mobil dari depan, yang jelas itu bukan suara mobil Mas Rendi. Siapa lagi kalau bukan Pak Anggara yang datang bisa kapanpun sesuka hati dia tanpa bisa aku prediksi.Aku segera berlari untuk menutup pintu yang sedikit terbuka. Maklum lah, aku sudah terlalu biasa jika dipagi hari aku biarkan pintu terbuka sebentar agar siklus udara bisa tetap terjaga di dalam rumah."Tiana, buka pintunya. Aku ingin berbicara sama kamu," pinta Pak Anggara yang melihat aku terb
Aku hanya tersenyum, karena tidak mungkin juga aku mengatakan apa yang aku lakukan juga di belakang Mas Rendi. Itu menandakan bahwa aku sama saja dan tidak ada bedanya jika orang lain hanya tahu tanpa mendengar alasanku."Aku tidak pernah menyesal dengan semua yang sudah terjadi. Hanya terkadang menyesalkan saja kenapa semua harus seperti sekarang. Padahal hal-hal seperti ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya akan terjadi. Tapi semua kembali pada takdir. Kita tidak bisa menolaknya.""Aku yakin, kita juga berhak bahagia. Seberapa banyak pun kesulitan yang sudah kita lakukan, selalu ada jalan keluar lain. Aku juga tidak menyesal, hanya jika dipikir ulang kenapa aku sampai mau jadi selingkuhan istri orang. Yang padahal aku juga bisa mendapatkan seorang gadis."Apa?Jika dipikir ulang, posisi Yoga sekarang adalah posisi Pak Anggara. Ia berhubungan dengan istri orang lain bahkan sampai hamil dan diakui sebagai anak dari suami bukan darinya.Dan sekarang Yoga bilang seperti itu. Karena
"Aku sudah periksakan kesehatan aku, kok. Dan baik-baik saja. Mungkin memang belum waktunya. Aku juga masih santai belum terburu-buru ingin mempunyai anak," jawabku dengan halus menolak kebaikan dari Evelyn. Aku tidak ingin memperpanjang urusanku dengannya."Bagaimana dengan suami kamu? Dia juga udah periksa?""Evelyn, maaf sebelumnya. Aku menghargai sekali kebaikan kamu dengan segala perhatian yang kamu berikan. Tapi ini urusan rumah tanggaku, biar aku saja yang tangani.""Ah, ya. Memang betul. Tapi kamu jangan berpikiran yang aneh. Aku memang bukan orang yang suka ikut campur, hanya saja karena kamu dekat dengan tunanganku jadinya aku juga ingin begitu, aku ingin dekat dengan siapapun yang dekat dengan tunanganku."Aku hanya mengangguk. "Ayo keluar. Yang lain pasti nunggu.""Ayo. Oh ya, kamu nyaman kan tidur di kasur itu?""Ha?""I mean, karena kasur ini aku yang pilihkan jadi aku mau tanya pendapat kamu saja.""Kamu yang pilihkan?" Aku mengerutkan keningku. Karena yang aku tahu kas
"Sayang, sayang, kenapa bicara seperti itu," tanya Mas Rendi yang langsung mendekat padaku seolah merasa bersalah. Entah bersalah karena sedari tadi hanya diam saja, atau merasa bersalah karena diam-diam bermain belakang bersama Mbak Dyan.Rasanya aku sudah sama sekali sulit untuk bisa bersikap manis di depan Mas Rendi. Sikap manja yang selalu aku tunjukkan karena aku bergantung padanya, sepenuhnya telah tiada. Bagiku, Mas Rendi sudah bukan lagi 'rumah' untukku. Dan pada akhirnya, kini aku sudah muak dengan semua yang terjadi. Aku sudah ingin segera mengakhiri semuanya, secepatnya! Entah nanti pada akhirnya aku akan bagaimana, yang terpenting aku selesaikan segala keterikatan aku dengan Mas Rendi."Mas, tau kalau Mas dan Dyan sudah melakukan kesalahan di belakang kamu. Sekarang Mas minta maaf.""Sekarang minta maaf? Karena Mas tau kalau kelakuan Mas ketauan? Kalau aku tidak tau, perselingkuhan kalian di belakang aku tidak akan Mas mengakui dan meminta maaf? Sudah, Mas.""Sudah apa? K
"Berbeda?" tanyaku yang masih bingung karena aku memang sedang tidak fokus."Ya, hubungan renggang karena alasan apapun, lalu menghadirkan orang ketiga karena kerenggangan itu yang membuat jauh dari pasangan sehingga secara alaminya membuat orang ketiga terasa diundang pada hubungan kalian. Atau, kehadiran orang ketiga lah yang menjadi alasan utama hubungan kalian berdua menjadi renggang. Coba kamu pikirkan lagi."Aku terdiam sejenak dan mencoba memikirkan hal yang dikatakan oleh Pak Hans."Saya dan istri saya sama-sama memiliki prinsip, kesalahan apapun akan saling memaafkan kecuali perselingkuhan atau hadirnya orang ketiga. Yang itu artinya jika hubungan baik-baik saja tetapi salah satu diantara kalian malah mengundang orang ketiga, itu sudah tidak termaafkan. Sejatinya selingkuh itu bukanlah kekhilafan, karena butuh effort untuk melakukannya. Salah satunya adalah kebohongan. Menutupi fakta dengan berbohong. Bukankah itu menjadi awal dan akar hubungan yang tidak sehat nantinya jika
Entahlah, entah aku harus percaya atau tidak. Entah harus benar-benar menuruti perkataan Pak Anggara atau tidak. Yang jelas aku merasa bingung dengan semuanya. Hidupku rasanya tidak terarah. Aku terus menapak, sayangnya aku berdiri di atas perahu yang terus bergoyang sehingga aku merasa tidak bisa berdiri dengan stabil.Kepercayaanku untuk orang lain yang sudah aku percayai, malah terus-menerus dibuat kecewa dengan kenyataannya. Bahkan sekarang aku harus memikirkan apa yang menjadi masukan dari Pak Hans tadi siang."Sebaiknya kamu pulang saja dulu. Memang benar jika kita harus mengurusi urusan kita masing-masing. Entah bagaimana ending-nya, yang jelas semoga permasalahan hidup kita bisa selesai.""Tapi kamu mau menungguku?""Kita lihat saja nanti. Aku permisi masuk dulu."Aku berjalan melewati Pak Anggara dengan segenap perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan. Rasa sedih dan kecewa, juga rasa kehilangan harapan terasa sekali mengiris hatiku secara perlahan.Sesulit itu kah menjadi seor
Setelah selesai makan malam bersama memakan katering dari pesta ulang tahun tadi, aku bersyukur tidak memasak tapi padahal aku menginginkan Mbak Dyan yang menyiapkan makan untuk kami semua.Namun sehabis makan tadi, Mbak Dyan belum juga keluar dari kamar. Sedangkan Ibu sudah masuk ke dalam kamarnya setelah minum obat. Jadi tinggallah aku, Mas Rendi dan Ryo di depan televisi."Mas, kok Mbak Dyan gak keluar-keluar dari tadi? Masa iya langsung tidur? Apa takut aku tidur di kamar kali, ya. Makanya dia langsung tidur habis makan.""Mana mungkin begitu. Nanti, Mas liat dulu, ya."Aku mengangguk. Mumpung Mas Rendi sedang ke dalam kamar, aku mencoba pendekatan dan mengakrabkan diri pada Ryo. Sebab aku merasa sikapnya tiba-tiba melunak padaku. Aku hanya takut jika Ryo hanya sedang diperintahkan sesuatu oleh Mbak Dyan. Sebab dia masih terlalu kecil dan sangat penurut pada Ibunya."Ryo, hari Minggu nanti, Tante eh Mama Tia jemput ke sini, ya. Ryo sudah harus siap," ucapku berbasa-basi.Sebenarny
Situasi sekarang ini membuat aku dan Mbak Dyan tentu menjadi saling mencurigai satu sama lain. Jika aku sampai hamil, Mbak Dyan pasti tahu jika itu bukanlah anak dari Mas Rendi. Namun aku yakin dia juga tidak akan bertindak gegabah dengan langsung menuduhku bukan hamil anak Mas Rendi, karena otomatis itu akan mengungkap rahasia yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun dari Mas Rendi dan Ibunya, bahkan mungkin semua orang."Ya karena memang gak mungkin aja, Ren. Kalian kan gak lagi program hamil. Lagipula Tiana kan sudah lama tidak bisa hamil, jadi tidak mudah buat dia tiba-tiba langsung hamil," jawab Mbak Dyan mencoba biasa saja.Padahal aku yakin dia refleks saat langsung keluar dari kamar, tanpa dipikir panjang kalau sikapnya bisa menimbulkan kecurigaan. Namun aku sendiri masih bisa mewajarkan, Mbak Dyan pasti tidak ingin aku hamil, karena jika itu terjadi maka aku akan merebut seluruh perhatian dari Mas Rendi, dan tidak menutup kemungkinan juga Ibu Mertuaku akan sedikit melunak da