Karena pendarahan hebat akibat kecelakaan itu, Kania harus berjuang dalam operasi dan melewati masa-masa kritisnya. Dan sekarang dia belum sadar setelah beberapa hari.Tidak ada satu hari pun aku lewatkan untuk tidak mengunjunginya di rumah sakit meskipun belum ada tanda-tanda dia membaik dan akan segera sadar.Dan hal yang tidak aku duga ternyata ibunya seperti peduli tidak peduli pada keadaan Kania. Dia lebih memilih untuk terus mengekor suaminya yang sibuk diluar kota. Sehingga memang benar, jika Kania hanya mempunyai aku saja meski dari segi materi dia tidak kekurangan karena Ayah tirinya tidak perhitungan soal uang. Hanya ibunya saja yang malah berubah seperti terkesan diperbudak oleh kekayaan saja.Dihari ke tujuh aku menunggunya, aku merasakan pergerakan jari-jarinya yang tidak pernah lepas untuk aku genggam. Rasa bersalah selalu menghantui sehingga aku tidak bisa menjalani aktivitas dengan biasanya. Hal itu yang membuat aku memutuskan untuk terus bersama Kania sampai dia siuma
Entah apa yang harus aku katakan, jawaban seperti apa yang harus aku berikan. Haruskah aku jujur jika aku sudah mengambil mahkota anaknya? Bahkan kecelakaan terjadi pun salah satu alasannya adalah karena diriku sendiri. Aku lah penyebab utama kecelakaan yang menimpa Kania. "Gara? Kamu kenapa diam? Apa kamu gak tau juga gimana kronologi awalnya?""Jadi ...."Brugh!!Tiba-tiba terdengar suara yang cukup nyaring dan sesaat setelah itu terdengar juga suara-suara histeris orang berteriak dan berlari menuju ke arah sumber suara."Ada apa ribut-ribut?"Sontak aku dan Ibu Kania juga berjalan menuju orang-orang berkerumun. Dan ternyata itu adalah orang yang jatuh dari gedung rumah sakit. Darah mengalir deras, penjaga keamanan rumah sakit langsung menjaga orang-orang yang berkerumun agar bisa memberikan ruang lebih dan tidak terlalu dekat karena akan dilakukan proses evakuasi sembari menunggu tim medis datang.Hal yang membuat aku lebih terkejut itu saat aku melihat orang yang jatuh dengan wa
Setelah membaca buku diary milik Kania, kemarin aku memutuskan untuk tidak ikut ke pemakaman, aku memilih untuk langsung pulang karena perasaanku juga tidak karuan. Rasanya tidak ingin bertemu dengan orang karena aku sudah tidak bisa menyembunyikan perasaan sedih dan bersalah dibalik wajahku.Berhari-hari aku tidak keluar dari apartemen. Rasanya benar-benar hampa dan kosong. Aku kehilangan sesuatu yang jelas tidak akan bisa aku dapatkan lagi. Rasanya masih sama ketika aku kehilangan ibuku dulu. Bahkan sekarang terasa lebih sesak karena perasaan bersalah yang aku sadar jika kematian itu penyebabnya adalah diriku sendiri.Waktu terus berjalan, tetapi hidup rasanya sudah berhenti disaat aku kehilangan Kania. Namun aku sadar, aku tidak bisa terus dalam kesedihan selamanya. Karena pada kenyataannya aku masih hidup dan harus melanjutkan kehidupanku kembali.Meski berat, hari ke harinya bisa aku lewati sampai aku tetap melanjutkan apa yang sudah aku rencanakan untuk masa depanku.***POV Tia
Apa yang salah denganku, dengan hidupku? Mengapa hidup orang lain terlihat begitu mudah. Bisa menikah diusia muda, bisa dengan mudah mendapatkan anak, kehidupan yang bahagia dengan anak dan pasangan. Kenapa tidak denganku?Aku rasa aku pantas mendapatkan kebahagiaan, aku rasa aku pantas mendapatkan itu. Namun rasanya sulit sekali. Sepertinya kebahagiaan itu tidak pernah betah berlama-lama denganku.Apa sebenarnya ada yang salah padaku? Apa aku terlalu berangan mengharapkan kebahagiaan tanpa menyisakan ruang kecewa terhadap realita yang akan terjadi?Untuk mendapatkan pasangan yang baik saja, banyak hal dan proses yang aku lewati, sakit hati dan perih aku telan sendiri. Apa aku terlalu menuntut kesempurnaan dalam hidupku? Terlalu berlebihankah yang aku inginkan?Seraya menunggu Mas Anggara menjelaskan semuanya, otakku dipusingkan dengan hal-hal yang mungkin tidak seharusnya aku lakukan. Terlalu berangan memang membuka peluang banyak untuk merasakan kekecewaan. Rasanya baru saja kemarin
Setelah malam itu terlewat beberapa hari, hubunganku dengan Mas Anggara rasanya seolah berjarak. Ya, aku sendiri memang yang menjaga jarak meskipun itu hanya dihadapan ayah dan ibu sambungnya. Untunglah Evelyn sudah lama pulang lagi ke rumahnya sehingga tidak terlalu membuat aku pusing dengan tingkah dan perkataannya.Mas Anggara memang tidak tinggal diam. Dia selalu berusaha untuk membuat aku kembali bersikap baik seperti biasanya. Hanya permasalahannya ada padaku, aku belum bisa untuk benar-benar ikhlas dengan apa yang terjadi. Aku masih diam dan tidak mengambil keputusan apa-apa.Ingin berpisah, tetapi apa yang terjadi itu bahkan sebelum bertemu denganku. Dan hal yang terjadi dimasa lalu, tidak akan bisa dirubah. Apalagi selama hidup denganku, Mas Anggara benar-benar baik, baik sebagai suami juga baik sebagai ayah dari anak-anak.Enam tahun bersama, tidak pernah ada masalah yang besar. Namun masalah muncul ketika aku tahu semuanya.Harus tetap bertahan, tetapi aku tahu dia tidak me
"Mami sama Papi mau liburan kok gak ajak kita?" tanya El dengan raut sedih karena aku dan Mas Anggara akan berangkat ke villa keluarga sesuai dengan saran dari Papa mertuaku."Tidak akan lama, Sayang.""Al sama El kan harus tetap sekolah. Terus kalian juga mau tinggal di rumah Kakek di sini, jadi izinkan Papi dan Mami untuk berduaan sebentar."Mas Anggara membantuku memberi pengertian pada si kembar yang masih mengeluhkan mengapa mereka berdua tidak turut serta kami ajak, terutama El yang dari awal bahkan menangis tidak ingin ditinggalkan. "Ya sudahlah kalau begitu, pulangnya belikan mainan, ya."Akhir dari kesepakatan yang sudah bisa aku prediksi. Meski awalnya berat untuk meninggalkan anak-anak, apalagi baby Za yang masih kuberikan ASI, ditambah aku yang tidak pernah mempekerjakan pengasuh, tentu sangat sulit, berat hati rasanya. Namun semua juga untuk keberlangsungan hubungan rumah tanggaku, masa depan anak-anak. Rumit memang, jika tidak mengalaminya mungkin orang bisa dengan mu
Aku terus diam sambil merenungkan apa yang dikatakan oleh Mas Anggara. Apakah benar aku seperti itu? Apakah sesudah adanya anak, tidurku menjadi tidak pernah nyenyak? Apakah mempunyai anak ternyata berpengaruh besar atas perubahan hidupku. Fisik sudah jelas itu adalah hal pertama yang berubah dalam hidupku, lalu dalam keseharian pun rupanya begitu.Namun aku sama sekali tidak menyadari itu. Enam tahun aku jalani semuanya tanpa mengeluh karena ada bantuan Mas Anggara juga Bibi untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena fokus yang aku berikan hanya untuk anak. Aku sama sekali tidak merasa lelah. Anak adalah penantian yang aku inginkan bertahun-tahun, sehingga aku menikmati peran itu selama ini."Tidak, tidurku selalu nyenyak selama ini meskipun ada anak-anak. Tidak masalah, itu memang tugas aku saat menjadi seorang ibu. Karena itu yang aku mau."Mas Anggara meraih tanganku dan menuntunku, kami berjalan menuju halaman belakang. Di mana matahari senja terbenam akan terlihat dengan jelas di
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak