Apa yang salah denganku, dengan hidupku? Mengapa hidup orang lain terlihat begitu mudah. Bisa menikah diusia muda, bisa dengan mudah mendapatkan anak, kehidupan yang bahagia dengan anak dan pasangan. Kenapa tidak denganku?Aku rasa aku pantas mendapatkan kebahagiaan, aku rasa aku pantas mendapatkan itu. Namun rasanya sulit sekali. Sepertinya kebahagiaan itu tidak pernah betah berlama-lama denganku.Apa sebenarnya ada yang salah padaku? Apa aku terlalu berangan mengharapkan kebahagiaan tanpa menyisakan ruang kecewa terhadap realita yang akan terjadi?Untuk mendapatkan pasangan yang baik saja, banyak hal dan proses yang aku lewati, sakit hati dan perih aku telan sendiri. Apa aku terlalu menuntut kesempurnaan dalam hidupku? Terlalu berlebihankah yang aku inginkan?Seraya menunggu Mas Anggara menjelaskan semuanya, otakku dipusingkan dengan hal-hal yang mungkin tidak seharusnya aku lakukan. Terlalu berangan memang membuka peluang banyak untuk merasakan kekecewaan. Rasanya baru saja kemarin
Setelah malam itu terlewat beberapa hari, hubunganku dengan Mas Anggara rasanya seolah berjarak. Ya, aku sendiri memang yang menjaga jarak meskipun itu hanya dihadapan ayah dan ibu sambungnya. Untunglah Evelyn sudah lama pulang lagi ke rumahnya sehingga tidak terlalu membuat aku pusing dengan tingkah dan perkataannya.Mas Anggara memang tidak tinggal diam. Dia selalu berusaha untuk membuat aku kembali bersikap baik seperti biasanya. Hanya permasalahannya ada padaku, aku belum bisa untuk benar-benar ikhlas dengan apa yang terjadi. Aku masih diam dan tidak mengambil keputusan apa-apa.Ingin berpisah, tetapi apa yang terjadi itu bahkan sebelum bertemu denganku. Dan hal yang terjadi dimasa lalu, tidak akan bisa dirubah. Apalagi selama hidup denganku, Mas Anggara benar-benar baik, baik sebagai suami juga baik sebagai ayah dari anak-anak.Enam tahun bersama, tidak pernah ada masalah yang besar. Namun masalah muncul ketika aku tahu semuanya.Harus tetap bertahan, tetapi aku tahu dia tidak me
"Mami sama Papi mau liburan kok gak ajak kita?" tanya El dengan raut sedih karena aku dan Mas Anggara akan berangkat ke villa keluarga sesuai dengan saran dari Papa mertuaku."Tidak akan lama, Sayang.""Al sama El kan harus tetap sekolah. Terus kalian juga mau tinggal di rumah Kakek di sini, jadi izinkan Papi dan Mami untuk berduaan sebentar."Mas Anggara membantuku memberi pengertian pada si kembar yang masih mengeluhkan mengapa mereka berdua tidak turut serta kami ajak, terutama El yang dari awal bahkan menangis tidak ingin ditinggalkan. "Ya sudahlah kalau begitu, pulangnya belikan mainan, ya."Akhir dari kesepakatan yang sudah bisa aku prediksi. Meski awalnya berat untuk meninggalkan anak-anak, apalagi baby Za yang masih kuberikan ASI, ditambah aku yang tidak pernah mempekerjakan pengasuh, tentu sangat sulit, berat hati rasanya. Namun semua juga untuk keberlangsungan hubungan rumah tanggaku, masa depan anak-anak. Rumit memang, jika tidak mengalaminya mungkin orang bisa dengan mu
Aku terus diam sambil merenungkan apa yang dikatakan oleh Mas Anggara. Apakah benar aku seperti itu? Apakah sesudah adanya anak, tidurku menjadi tidak pernah nyenyak? Apakah mempunyai anak ternyata berpengaruh besar atas perubahan hidupku. Fisik sudah jelas itu adalah hal pertama yang berubah dalam hidupku, lalu dalam keseharian pun rupanya begitu.Namun aku sama sekali tidak menyadari itu. Enam tahun aku jalani semuanya tanpa mengeluh karena ada bantuan Mas Anggara juga Bibi untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena fokus yang aku berikan hanya untuk anak. Aku sama sekali tidak merasa lelah. Anak adalah penantian yang aku inginkan bertahun-tahun, sehingga aku menikmati peran itu selama ini."Tidak, tidurku selalu nyenyak selama ini meskipun ada anak-anak. Tidak masalah, itu memang tugas aku saat menjadi seorang ibu. Karena itu yang aku mau."Mas Anggara meraih tanganku dan menuntunku, kami berjalan menuju halaman belakang. Di mana matahari senja terbenam akan terlihat dengan jelas di
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan