Aku ikut merasa terkejut saat Mas Anggara mendapatkan telepon yang dugaanku sepertinya ia mendapatkan kabar buruk dari keluarganya."Siapa yang sakit, Mas?""Keluarga Evelyn kecelakaan, Sayang. Dan orang tuanya meninggal di tempat kejadian. Sekarang sudah dievakuasi ke rumah sakit.""Itu Evelyn yang telepon kamu?" tanyaku penasaran kapan mereka saling menyimpan nomor telepon masing-masing, padahal setahuku Mas Anggara tidak menyimpan kontak Evelyn sebab itu yang selalu dia katakan."Iya. Aku harus ke rumah sakit. Tidak apa-apa?"Jelas apa-apa bagiku, apalagi disaat aku melihat kepanikan tergambar jelas di wajah Mas Anggara. Sampai aku bertanya-tanya kenapa bisa Evelyn menghubungi Mas Anggara. Ya, kenapa harus menghubungi suamiku?"Kenapa harus kamu, Mas? Keluarganya yang lain apa gak bisa datang buat dia? Kamu kan bukan siapa-siapa Evelyn."Bukannya aku melarang suamiku untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi kenapa harus menghubungi suamiku? Kenapa harus memberitahu suamiku lebih dahulu
"Aku menolak kamu ada di sini. Tolong pergi selagi aku masih bersikap baik. Kesabaran aku juga ada batasnya.""Sebegitu takutnya aku akan merebut Kak Gara dari kamu, Tiana? Padahal dulu kamu begitu percaya diri. Kenapa kepercayaan diri kamu hilang?""Sulit menjelaskan suatu hal pada orang yang belum mengalaminya. Aku sudah menikah dan mempunyai anak, keturunan Mas Anggara. Jelas pemikiran kita akan berbeda. Dan kamu harus ingat juga, aku pernah gagal dalam berumah tangga karena aku lalai dan terlalu baik membiarkan masa lalu mantan suamiku kembali ke kehidupan kami. Hal itu sudah aku jadikan sebagai pelajaran. Jadi, aku akan menjaga rumah tanggaku, saat ini!""Kamu tau suami kamu berselingkuh dengan masa lalunya, tapi yang kamu lakukan bukan segera membongkarnya, kan? Malah mencari pembelaan diri untuk melakukan hal yang sama dengan alasan agar kamu tidak merasa sakit hati terus-menerus. Memang kamu pikir, perbuatan kamu membalas suami kamu dulu itu akan berakhir begitu saja? Perbuata
"Kalian bertiga harus saling melindungi dan menyayangi satu sama lain. Kalian bersaudara, kalian permata hati Mami yang harus selalu bahagia. Mami tidak tau sampai kapan Mami akan terus bersama kalian, Mami juga pasti bisa sakit dan tidak bisa mengurus kalian.""Memangnya Mami mau ke mana?" tanya Al dengan serius."Mami gak akan ke mana-mana. Mami akan selalu ada buat kalian.""Kalau begitu Mami jangan bicara kaya gitu. Aku gak bisa kalau gak ada Mami." El langsung menangis memelukku. Padahal aku tidak mengharapkan mereka menangis, aku tidak bermaksud untuk membuat air mata keluar dari anakku. Aku hanya ingin kebahagiaan lah yang akan selalu mereka rasakan. Hanya itu saja permintaan sederhanaku sekaligus sebagai doa yang terbaik untuk anak-anak.***Selang berlalu, Mas Anggara sudah pulang tepat pada waktunya. Karena keputusanku sudah bulat tidak ingin menerima Evelyn menginap, kami tidak lagi membahas hal itu. Aku tenang karena Mas Anggara tidak memperpanjang masalah itu hanya karen
"Nggak kok, aku sama El gak nakal. Tapi Mami yang tiba-tiba menangis.""Iya, Pi. Mami tiba-tiba nangis."Mas Anggara langsung melihat ke arahku tanpa bertanya apa-apa tetapi tatapannya seolah bertanya-tanya tentang kebenaran dari ucapan anak-anak yang jelas tidak akan berbohong."Kalau begitu artinya kalian harus nurut sama apa yang Mami katakan sama kalian. Kalian tidak akan selamanya kecil, tidak akan selamanya bergantung pada Mami atau Papi, kalian akan besar dan melakukan banyak hal sendiri. Tidak ada yang salah dari apa yang Mami kalian bilang.""Tapi kenapa harus menangis, Pi? Kita kan gak nakal," ucap Al."Kalau Mami nangis, kalian harus usap air matanya. Sama kaya apa yang Mami lakuin kalau kalian sedang menangis.""Gitu ya, Pi?""Iya begitu, El. Sekarang bereskan dulu alat-alat gambarnya, terus kita tidur."Al dan El pun segera membereskan alat-alat gambarnya mereka."Sayang, kamu tunggu di kamar. Jangan tidur dulu karena ada yang ingin aku bicarakan."Setelah aku ada di kama
"Iya, Ma. Kami jarang berkunjung karena memang sibuk mengurus si kembar di tambah bayi ketiga kami sudah lahir. Kami malah menunggu Papa dan Mama di rumah," ucapku sambil tersenyum. Aku bukan Mas Anggara yang hanya diam jika orang lain bertindak tidak mengenakan."Makanya dari awal kan Mama bilang cari pengasuh bayi. Jangan terlalu pelit, masa buat bayar pengasuh saja tidak bisa. Apa perlu Mama yang bayarkan? Perusahaan Papa sudah jauh lebih maju saat dipimpin sama Leon. Ya anggaplah hadiah dari Mama."Aku melirik Mas Anggara sekadar ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar saudara tirinya yang malah memimpin perusahaan sang ayah, sementara anak kandung sendiri jatuh bangun untuk membangun bisnis sendiri, malah dengan bantuan orang lain.Terkadang memang, orang terdekat akan terasa asing. Sedangkan orang asing itu sendiri bisa menjadi yang paling dekat, paling membantu dan paling mengerti."Tidak perlu. Saya masih sanggup memberikan semua yang terbaik untuk keluarga saya," uc
Aku melihat Al dan El begitu seru dan terlihat bahagia dengan permainan baru yang dibuatkan oleh kakek satu-satunya untuk mereka. Ada kebahagiaan juga keharuan tersendiri yang aku rasakan melihat anak-anakku begitu disayang oleh Papa mertuaku. Padahal awalnya aku menyangka jika seorang sepertiku yang bukan siapa-siapa tidak akan diterima dengan baik oleh keluarga dari suamiku, ternyata aku hanya terlalu terpengaruh dengan pemikiran buruk yang pada kenyataannya tidak seperti itu sama sekali.Tak jauh dari anak-anak yang sedang asyik bermain, aku juga melihat Mas Anggara sedang duduk dan mengobrol dengan ayahnya. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi aku merasa bersyukur. Momen langka seperti ini jarang terjadi, sehingga aku mengabadikan momen itu dari lantai atas.Aku hanya berharap, hubungan Mas Anggara dengan ayahnya akan terus semakin baik dan semakin dekat lagi. Mengingat Papa mertua yang sudah tidak lagi muda, perihal umum tidak ada yang tahu, setidaknya Mas Anggara harus kembali
"Iya, wanita gila harta, ya kamu.""Kenapa Mama berbicara seperti itu? Memang apa yang aku lakukan dan salah dimata Mama? Yang aku katakan sedari tadi itu tidak ada yang salah. Kenapa Mama seolah terkesan bahwa kedatangan kami ini adalah ancaman? Bukannya Mama menikahi Papa itu untuk menjadi ibu sambung bagi Mas Anggara? Berarti kita ini satu keluarga, tetapi Mama membuatnya seolah kita semua sedang berkompetisi.""Pandai berbicara sekali kamu, ya. Sudah lima belas tahun Anggara pergi meninggalkan rumah ini, dia memilih untuk bebas dengan pilihannya sendiri. Jadi, sekarang jangan pernah berpikir untuk kembali dan memiliki semua yang sudah dilepaskan oleh Gara hanya karena ketamakan kamu yang ingin menguasai semua harta Gara dan ayahnya."Semakin Mama mertuaku berbicara akan ketakutannya dengan kedatanganku dan Mas Anggara, aku jadi semakin yakin jika dia memang hanya mengejar harta Papa saja.Ini memang bukan urusan aku, toh apa yang aku dapatkan dari Mas Anggara saja sudah lebih dari
Pada akhirnya, Papa mertuaku tentu saja mengizinkan kami untuk menginap apalagi saat anak-anak yang meminta izin langsung dengan semangat karena itu adalah kali pertama mereka bisa menginap di rumah sang kakek. Meskipun tidak sering bertemu dan berinteraksi, anak-anak sangat dekat dengan Papa mertua. Mungkin mereka bisa merasakan ketulusannya, sehingga mereka nyaman saat bersama kakeknya walaupun sangatlah jarang."Kamu yakin anak-anak tidak akan bangun tengah malah untuk meminta pulang?" tanya Mas Anggara saat kami sudah bersiap untuk tidur pula. Aku dan Mas Anggara juga baby Za tidur dalam satu kamar di kamar lama Mas Anggara saat tinggal di rumah ini.Sementara Al dan juga El, mereka tidur di kamar sebelah yang sudah di siapkan oleh Bibi tadi. Dan mereka ingin ditemani tidur oleh kakeknya."Nggak bakal, Mas. Percaya saja sama aku, anak-anak sangat senang bisa menginap di sini, jadi tidak mungkin mereka tiba-tiba mau pulang.""Aku tidak berekspektasi kamu meminta untuk menginap di