"Papa tau pasti kamu yang ingin menginap di sini walaupun Anggara menolak dengan keras. Dari dulu dia tidak pernah ingin berlama-lama menginjakan kaki di rumah ini setelah memutuskan untuk pergi. Dan setelah belasan tahun berlalu, sekarang adalah kali pertama Anggara menginap lagi di sini, bersama kamu dan cucu-cucu Papa. Rasanya rumah ini kembali hidup."Aku menatap Papa mertuaku yang penuh haru kebahagiaan melihat Al dan El bermain. "Anak-anak aku dan Mas Anggara hanya memiliki Kakek dan Nenek satu, karena orang tuaku sudah tidak ada, Pah. Aku ingin mereka dekat dengan Papa. Dan yang paling aku inginkan ..., aku hanya ingin hubungan Papa dengan Mas Anggara baik-baik saja, kembali dekat. Aku sedang berusaha untuk itu."Papa mertua melihat ke arahku, lalu ia memberikan senyuman dengan mata yang tidak bisa berbohong jika ia memang benar-benar bahagia."Kamu mau membuat hubungan Papa dengan Anggara dekat? Benarkah?""Papa mau, kan?""Tentu saja. Papa menantikan itu dari tahun ke tahun
Ditengah obrolan aku dengan Papa, Mama mertuaku datang masih memakai baju tidurnya yang cukup mini, ya mungkin bisa dibilang lebih ke baju dinas malam untuk suami karena aku juga memilikinya di rumah."Boleh dong Mama bergabung sama kalian, ngobrolin apa, sih?""Banyak hal, Mah.""Oh begitu. Anggara belum bangun? Ternyata bangunnya siang juga, ya. Leon saja sedari tadi sudah bangun, malah sudah olahraga di ruang gym.""Leon kan masih single, Mah. Belum menjadi ayah seperti Mas Anggara. Aku sebagai istrinya gak apa-apa kok kalau Mas Anggara mau bangun siang apalagi di hari libur. Sekalian jagain baby yang bangunnya pasti siang juga."Aku tidak menanggapi pancingan dari Mama mertuaku dengan emosi. Rasanya aku sudah terbiasa berhadapan dengan orang yang sifatnya tidak jauh berbeda. Kadang aku juga heran mengapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sudah pernah berurusan denganku.Mendiang mantan ibu mertuaku terdahulu, Mbak Dyan yang
Setelah berbagai bujukan entah dari anak-anak juga dari aku tentunya, Mas Anggara akhirnya setuju untuk meminta izin pada Papa bahwa kami sekeluarga akan tinggal di rumah Papa dengan waktu yang tidak sebentar karena niat kami memang bukan hanya sekedar untuk menginap saja kali ini.Akhir pekan ini, kami semua mengemas barang yang akan dibawa ke rumah Papa. Tentu yang kami bawa adalah baju, dan yang terpenting adalah perlengkapan sekolah anak-anak juga barang yang berhubungan dengan kerjaan Mas Anggara.Packing-nya memang tidak terlalu banyak, karena kami akan sesekali pulang ke rumah ini apalagi jika ada barang yang akan kami pakai. Sehingga Bibi dan penjaga rumah tetap aku pekerjakan di rumah ini."Mas, kamu gak terpaksa kan tinggal di rumah Papa?""Memang kalau aku bilang terpaksa, kita gak jadi pindah ke rumah Papa?""Ya nggak juga sih, Mas. Kita tetap jadi pindah, semuanya juga sudah di packing, anak-anak sudah senang sekali mau tinggal bareng sama kakek mereka."Aku sudah yakin s
"Ini maksudnya bagaimana? Kenapa Evelyn tinggal di rumah ini? Tidak bisa seperti itu, Mah. Rumah ini bukanlah penampungan. Evelyn punya rumah sendiri."Kali ini Papa yang buka suara dengan raut wajah yang heran mengapa Evelyn akan ikut tinggal di rumahnya. Sekarang aku benar-benar merasa ada dua orang pria yang memasang badan untuk melindungiku. Aku sudah tidak melindungiku sendiri seperti yang aku lakukan dulu."Apa bedanya dengan Gara dan Tiana? Mereka juga sudah memiliki rumah sendiri tapi masih mau tinggal di rumah ini bersama kita. Evelyn ini sudah tidak memiliki siapa-siapa, jadi Mama ajak untuk tinggal di sini. Toh dulu orang tua Evelyn juga pernah membantu Gara, kan? Bukankah ini waktu yang tepat untuk balas budi?"Setelah mengatakan itu, semua orang diam. Termasuk aku juga Mas Anggara. Aku tahu Mas Anggara adalah orang yang sangat kenal dengan balas budi, jadi tidak mungkin jika dia akan membalas omongan Mamanya tentang keluarga Evelyn yang sudah sangat berjasa untuk Mas Angg
"Tidak ada," jawabnya sambil menggelengkan kepala.Sudah bisa aku tebak jawabannya pasti akan seperti itu. Sedangkan pikiranku terus terganggu dengan apa yang dikatakan oleh Leon."Oh ya sudah kalau begitu. Aku mau lihat Al dan El dulu ke bawah. Mas tolong jagain baby Za dulu."***Beberapa hari berlalu, anak-anak sudah kembali masuk sekolah begitu juga Mas Anggara yang kembali bekerja. Setelah tinggal di rumah Papa, jujur saja pekerjaanku menjadi lebih ringan. Al dan El selalu ingin diantar dan dijemput oleh kakeknya, sehingga aku bisa lebih santai karena hanya mengurus baby Za. Namun aku dan Mama masih asing satu sama lain. Dan aku pikir tak apa selagi dia tidak berbuat yang buruk pada anak-anak."Bi, Bibi kan sudah dari lama kerja di sini. Berarti Bibi sudah tau bagaimana Mas Anggara dari dulu. Aku yakin ada perubahan sikap padanya, entah itu karena ibunya meninggal, atau karena ayahnya menikah lagi atau mungkin ada hal lain."Tidak ada cara lain selain aku mulai mencari informasi
Evelyn diam dan menatapku dengan penuh keseriusan, sampai aku berpikir kembali tentang apa yang aku katakan barusan. Aku hanya takut salah dalam pemilihan kata yang mungkin bisa membuatnya salah mengartikan, yang akhirnya pasti akan terasa mencurigakan."Jujur saja, kamu mencurigakan sekali. Sebenarnya apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu tau dariku?"Sudah aku duga, Evelyn memang bukalah orang yang mudah aku kecoh untuk ambil hatinya agar bisa dengan tanpa sadar menceritakan apa yang aku harapkan."Rencana? Aku tidak punya rencana apa-apa.""Jangan berbohong! Aku tidak sebodoh itu.""Dengan kamu begitu, malah membuat aku bertanya-tanya kenapa? Padahal aku tidak merencakan apa-apa, selain rencana mendekatkan suamiku dengan keluarganya lagi, dengan Papanya setelah selama ini hubungan mereka merenggang. Kamu yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba ingin tinggal di sini juga. Aku masih bermurah hati tidak langsung mengajak Mas Anggara untuk kembali pulang, padahal dia sudah men
"Kalau begitu, Mas jawab dulu pertanyaanku. Apa alasan Mas mau menikahiku? Dari awal kita bertemu tidak sengaja saat di supermarket itu. Lalu, kamu merencanakan pekerjaan untukku, katanya Mas ingin dekat denganku, kan? Padahal dari awal Mas sudah tau aku ini sudah menjadi istri orang. Aku tau ini sudah sangat terlambat, karena kita juga sudah punya tiga orang anak. Bahkan aku juga sudah hampir melupakan rasa ingin tahuku akan alasan itu, tapi kemunculan Evelyn membuat aku ingin tau lagi."Aku terdiam sejenak, melihat Mas Anggara masih menyimak ucapanku dengan baik."Sebenarnya aku ingin bertanya ini dari beberapa waktu lalu, tapi aku masih terus menimbang apakah baik atau tidaknya aku membahas hal ini lagi. Mengingat kita berdua benar-benar lupa untuk membahas hal itu karena aku juga langsung hamil si kembar setelah belum lama menikah. Dan sekarang sepertinya waktu yang pas buat kita obrolkan ini. Rasanya aku sudah siap dengan jawaban yang bahkan mungkin tidak sesuai dengan harapanku.
Sebelumnya aku teringatkan sesuatu tentang Kania disaat dia memasuki masa SMA. Perusahaan ayahnya bangkrut, kedua orang tuanya bercerai karena ibunya tidak ingin terus mendampingi suami yang sudah terpuruk itu. Kania mau tidak mau harus ikut dengan ibunya demi kehidupan yang layak karena sang ibu menikah dengan duda kaya raya. Kania mulai terpuruk, mungkin selama satu tahun dia sulit untuk aku temui. Jika dipikir, aku sama seperti Kania. Mendapatkan hal terburuk disaat kami menginjak usia akhir remaja. Usia yang memang harusnya lebih banyak perhatian dari orang tua karena pergaulan kami tentu semakin meluas dan bebas karena kami akan beranjak dewasa. Namun aku dan Kania mendapatkan keterpurukan. Sebagai balas budi karena dulu dia selalu ada untukku, aku pun begitu meski aku sedang sibuk-sibuknya menghadapi masa-masa akhir kuliahku. Setelah satu tahun berlalu, Kania mulai ceria kembali. Dia sudah bisa menerima kenyataan. Meski padahal aku tahu dia menyembunyikan kesedihannya dar
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak