Setelah berbagai bujukan entah dari anak-anak juga dari aku tentunya, Mas Anggara akhirnya setuju untuk meminta izin pada Papa bahwa kami sekeluarga akan tinggal di rumah Papa dengan waktu yang tidak sebentar karena niat kami memang bukan hanya sekedar untuk menginap saja kali ini.Akhir pekan ini, kami semua mengemas barang yang akan dibawa ke rumah Papa. Tentu yang kami bawa adalah baju, dan yang terpenting adalah perlengkapan sekolah anak-anak juga barang yang berhubungan dengan kerjaan Mas Anggara.Packing-nya memang tidak terlalu banyak, karena kami akan sesekali pulang ke rumah ini apalagi jika ada barang yang akan kami pakai. Sehingga Bibi dan penjaga rumah tetap aku pekerjakan di rumah ini."Mas, kamu gak terpaksa kan tinggal di rumah Papa?""Memang kalau aku bilang terpaksa, kita gak jadi pindah ke rumah Papa?""Ya nggak juga sih, Mas. Kita tetap jadi pindah, semuanya juga sudah di packing, anak-anak sudah senang sekali mau tinggal bareng sama kakek mereka."Aku sudah yakin s
"Ini maksudnya bagaimana? Kenapa Evelyn tinggal di rumah ini? Tidak bisa seperti itu, Mah. Rumah ini bukanlah penampungan. Evelyn punya rumah sendiri."Kali ini Papa yang buka suara dengan raut wajah yang heran mengapa Evelyn akan ikut tinggal di rumahnya. Sekarang aku benar-benar merasa ada dua orang pria yang memasang badan untuk melindungiku. Aku sudah tidak melindungiku sendiri seperti yang aku lakukan dulu."Apa bedanya dengan Gara dan Tiana? Mereka juga sudah memiliki rumah sendiri tapi masih mau tinggal di rumah ini bersama kita. Evelyn ini sudah tidak memiliki siapa-siapa, jadi Mama ajak untuk tinggal di sini. Toh dulu orang tua Evelyn juga pernah membantu Gara, kan? Bukankah ini waktu yang tepat untuk balas budi?"Setelah mengatakan itu, semua orang diam. Termasuk aku juga Mas Anggara. Aku tahu Mas Anggara adalah orang yang sangat kenal dengan balas budi, jadi tidak mungkin jika dia akan membalas omongan Mamanya tentang keluarga Evelyn yang sudah sangat berjasa untuk Mas Angg
"Tidak ada," jawabnya sambil menggelengkan kepala.Sudah bisa aku tebak jawabannya pasti akan seperti itu. Sedangkan pikiranku terus terganggu dengan apa yang dikatakan oleh Leon."Oh ya sudah kalau begitu. Aku mau lihat Al dan El dulu ke bawah. Mas tolong jagain baby Za dulu."***Beberapa hari berlalu, anak-anak sudah kembali masuk sekolah begitu juga Mas Anggara yang kembali bekerja. Setelah tinggal di rumah Papa, jujur saja pekerjaanku menjadi lebih ringan. Al dan El selalu ingin diantar dan dijemput oleh kakeknya, sehingga aku bisa lebih santai karena hanya mengurus baby Za. Namun aku dan Mama masih asing satu sama lain. Dan aku pikir tak apa selagi dia tidak berbuat yang buruk pada anak-anak."Bi, Bibi kan sudah dari lama kerja di sini. Berarti Bibi sudah tau bagaimana Mas Anggara dari dulu. Aku yakin ada perubahan sikap padanya, entah itu karena ibunya meninggal, atau karena ayahnya menikah lagi atau mungkin ada hal lain."Tidak ada cara lain selain aku mulai mencari informasi
Evelyn diam dan menatapku dengan penuh keseriusan, sampai aku berpikir kembali tentang apa yang aku katakan barusan. Aku hanya takut salah dalam pemilihan kata yang mungkin bisa membuatnya salah mengartikan, yang akhirnya pasti akan terasa mencurigakan."Jujur saja, kamu mencurigakan sekali. Sebenarnya apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu tau dariku?"Sudah aku duga, Evelyn memang bukalah orang yang mudah aku kecoh untuk ambil hatinya agar bisa dengan tanpa sadar menceritakan apa yang aku harapkan."Rencana? Aku tidak punya rencana apa-apa.""Jangan berbohong! Aku tidak sebodoh itu.""Dengan kamu begitu, malah membuat aku bertanya-tanya kenapa? Padahal aku tidak merencakan apa-apa, selain rencana mendekatkan suamiku dengan keluarganya lagi, dengan Papanya setelah selama ini hubungan mereka merenggang. Kamu yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba ingin tinggal di sini juga. Aku masih bermurah hati tidak langsung mengajak Mas Anggara untuk kembali pulang, padahal dia sudah men
"Kalau begitu, Mas jawab dulu pertanyaanku. Apa alasan Mas mau menikahiku? Dari awal kita bertemu tidak sengaja saat di supermarket itu. Lalu, kamu merencanakan pekerjaan untukku, katanya Mas ingin dekat denganku, kan? Padahal dari awal Mas sudah tau aku ini sudah menjadi istri orang. Aku tau ini sudah sangat terlambat, karena kita juga sudah punya tiga orang anak. Bahkan aku juga sudah hampir melupakan rasa ingin tahuku akan alasan itu, tapi kemunculan Evelyn membuat aku ingin tau lagi."Aku terdiam sejenak, melihat Mas Anggara masih menyimak ucapanku dengan baik."Sebenarnya aku ingin bertanya ini dari beberapa waktu lalu, tapi aku masih terus menimbang apakah baik atau tidaknya aku membahas hal ini lagi. Mengingat kita berdua benar-benar lupa untuk membahas hal itu karena aku juga langsung hamil si kembar setelah belum lama menikah. Dan sekarang sepertinya waktu yang pas buat kita obrolkan ini. Rasanya aku sudah siap dengan jawaban yang bahkan mungkin tidak sesuai dengan harapanku.
Sebelumnya aku teringatkan sesuatu tentang Kania disaat dia memasuki masa SMA. Perusahaan ayahnya bangkrut, kedua orang tuanya bercerai karena ibunya tidak ingin terus mendampingi suami yang sudah terpuruk itu. Kania mau tidak mau harus ikut dengan ibunya demi kehidupan yang layak karena sang ibu menikah dengan duda kaya raya. Kania mulai terpuruk, mungkin selama satu tahun dia sulit untuk aku temui. Jika dipikir, aku sama seperti Kania. Mendapatkan hal terburuk disaat kami menginjak usia akhir remaja. Usia yang memang harusnya lebih banyak perhatian dari orang tua karena pergaulan kami tentu semakin meluas dan bebas karena kami akan beranjak dewasa. Namun aku dan Kania mendapatkan keterpurukan. Sebagai balas budi karena dulu dia selalu ada untukku, aku pun begitu meski aku sedang sibuk-sibuknya menghadapi masa-masa akhir kuliahku. Setelah satu tahun berlalu, Kania mulai ceria kembali. Dia sudah bisa menerima kenyataan. Meski padahal aku tahu dia menyembunyikan kesedihannya dar
"Kamu yakin gak mau pulang? Lebih baik Kakak antar kamu pulang saja."Setelah pesta ulang tahun selesai, tentu aku menunggu sampai semuanya pulang untuk memastikan Kania baik-baik saja karena aku tahu jika dia tadi ditinggalkan oleh keluarganya. Dan sekarang dia meminta untuk pergi ke apartemenku, alih-alih ingin pulang."Kakak tadi lihat sendiri bagaimana aku diperlakukan. Aku tidak ingin pulang dulu. Toh belum ada yang menelpon bertanya aku di mana padahal pestanya sudah selesai satu jam yang lalu."Aku menghembuskan nafas kasar, lalu beranjak masuk ke kamar berniat untuk mengambilkan baju ganti. Karena pesta kebun tadi dengan baju yang terbuka sudah dipastikan dia menahan dingin sedari sore tadi sampai sekarang sudah lewat tengah malam.Namun siapa sangka, Kania malah mengikutiku masuk ke dalam."Kalau aku menginap di sini, aku tidurnya di mana, Kak? Kamarnya cuman satu sih. Tidur berdua? Jadi inget dulu waktu suka main kemah-kemahan, kita kan selalu satu tenda berdua karena Leon m
Aku menatap kedua bola mata Kania, terlihat memang ada kesungguhan tanpa kepura-puraan dan keterpaksaan. Namun aku harus meluruskan niatku yang salah diawal."Aku yakin. Sudah dari lama aku menyukai Kakak. Tapi aku tidak berani mengungkapkannya karena aku tau kalau Evelyn menyukai Kakak. Aku tidak ingin persahabatan kita dari kecil menjadi hancur. Ternyata memang benar, kalau wanita dan pria itu tidak bisa berteman. Sebab ..., perasaan yang bahkan tidak diundang bisa hadir dan tumbuh dengan sendirinya tanpa disadari. Sekarang, aku bukan anak-anak lagi. Aku merasa hidupku sudah bebas ada pada pilihanku sendiri ditambah dengan ketidakpedulian dari Mama. Aku hanya punya Kak Gara, orang yang paling aku percaya. Aku sayang ...."Lagi dan lagi aku merasa jika aku bukanlah seorang pria, aku hanya pandai memendam perasaan tanpa tidak tahu kapan waktunya untuk mengungkapkan. Bahkan dengan Kania saja, aku sudah kalah."Kakak sayang sama Kania, dan kamu juga sayang sama Kakak. Tapi bukan berarti