Evelyn diam dan menatapku dengan penuh keseriusan, sampai aku berpikir kembali tentang apa yang aku katakan barusan. Aku hanya takut salah dalam pemilihan kata yang mungkin bisa membuatnya salah mengartikan, yang akhirnya pasti akan terasa mencurigakan."Jujur saja, kamu mencurigakan sekali. Sebenarnya apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu tau dariku?"Sudah aku duga, Evelyn memang bukalah orang yang mudah aku kecoh untuk ambil hatinya agar bisa dengan tanpa sadar menceritakan apa yang aku harapkan."Rencana? Aku tidak punya rencana apa-apa.""Jangan berbohong! Aku tidak sebodoh itu.""Dengan kamu begitu, malah membuat aku bertanya-tanya kenapa? Padahal aku tidak merencakan apa-apa, selain rencana mendekatkan suamiku dengan keluarganya lagi, dengan Papanya setelah selama ini hubungan mereka merenggang. Kamu yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba ingin tinggal di sini juga. Aku masih bermurah hati tidak langsung mengajak Mas Anggara untuk kembali pulang, padahal dia sudah men
"Kalau begitu, Mas jawab dulu pertanyaanku. Apa alasan Mas mau menikahiku? Dari awal kita bertemu tidak sengaja saat di supermarket itu. Lalu, kamu merencanakan pekerjaan untukku, katanya Mas ingin dekat denganku, kan? Padahal dari awal Mas sudah tau aku ini sudah menjadi istri orang. Aku tau ini sudah sangat terlambat, karena kita juga sudah punya tiga orang anak. Bahkan aku juga sudah hampir melupakan rasa ingin tahuku akan alasan itu, tapi kemunculan Evelyn membuat aku ingin tau lagi."Aku terdiam sejenak, melihat Mas Anggara masih menyimak ucapanku dengan baik."Sebenarnya aku ingin bertanya ini dari beberapa waktu lalu, tapi aku masih terus menimbang apakah baik atau tidaknya aku membahas hal ini lagi. Mengingat kita berdua benar-benar lupa untuk membahas hal itu karena aku juga langsung hamil si kembar setelah belum lama menikah. Dan sekarang sepertinya waktu yang pas buat kita obrolkan ini. Rasanya aku sudah siap dengan jawaban yang bahkan mungkin tidak sesuai dengan harapanku.
Sebelumnya aku teringatkan sesuatu tentang Kania disaat dia memasuki masa SMA. Perusahaan ayahnya bangkrut, kedua orang tuanya bercerai karena ibunya tidak ingin terus mendampingi suami yang sudah terpuruk itu. Kania mau tidak mau harus ikut dengan ibunya demi kehidupan yang layak karena sang ibu menikah dengan duda kaya raya. Kania mulai terpuruk, mungkin selama satu tahun dia sulit untuk aku temui. Jika dipikir, aku sama seperti Kania. Mendapatkan hal terburuk disaat kami menginjak usia akhir remaja. Usia yang memang harusnya lebih banyak perhatian dari orang tua karena pergaulan kami tentu semakin meluas dan bebas karena kami akan beranjak dewasa. Namun aku dan Kania mendapatkan keterpurukan. Sebagai balas budi karena dulu dia selalu ada untukku, aku pun begitu meski aku sedang sibuk-sibuknya menghadapi masa-masa akhir kuliahku. Setelah satu tahun berlalu, Kania mulai ceria kembali. Dia sudah bisa menerima kenyataan. Meski padahal aku tahu dia menyembunyikan kesedihannya dar
"Kamu yakin gak mau pulang? Lebih baik Kakak antar kamu pulang saja."Setelah pesta ulang tahun selesai, tentu aku menunggu sampai semuanya pulang untuk memastikan Kania baik-baik saja karena aku tahu jika dia tadi ditinggalkan oleh keluarganya. Dan sekarang dia meminta untuk pergi ke apartemenku, alih-alih ingin pulang."Kakak tadi lihat sendiri bagaimana aku diperlakukan. Aku tidak ingin pulang dulu. Toh belum ada yang menelpon bertanya aku di mana padahal pestanya sudah selesai satu jam yang lalu."Aku menghembuskan nafas kasar, lalu beranjak masuk ke kamar berniat untuk mengambilkan baju ganti. Karena pesta kebun tadi dengan baju yang terbuka sudah dipastikan dia menahan dingin sedari sore tadi sampai sekarang sudah lewat tengah malam.Namun siapa sangka, Kania malah mengikutiku masuk ke dalam."Kalau aku menginap di sini, aku tidurnya di mana, Kak? Kamarnya cuman satu sih. Tidur berdua? Jadi inget dulu waktu suka main kemah-kemahan, kita kan selalu satu tenda berdua karena Leon m
Aku menatap kedua bola mata Kania, terlihat memang ada kesungguhan tanpa kepura-puraan dan keterpaksaan. Namun aku harus meluruskan niatku yang salah diawal."Aku yakin. Sudah dari lama aku menyukai Kakak. Tapi aku tidak berani mengungkapkannya karena aku tau kalau Evelyn menyukai Kakak. Aku tidak ingin persahabatan kita dari kecil menjadi hancur. Ternyata memang benar, kalau wanita dan pria itu tidak bisa berteman. Sebab ..., perasaan yang bahkan tidak diundang bisa hadir dan tumbuh dengan sendirinya tanpa disadari. Sekarang, aku bukan anak-anak lagi. Aku merasa hidupku sudah bebas ada pada pilihanku sendiri ditambah dengan ketidakpedulian dari Mama. Aku hanya punya Kak Gara, orang yang paling aku percaya. Aku sayang ...."Lagi dan lagi aku merasa jika aku bukanlah seorang pria, aku hanya pandai memendam perasaan tanpa tidak tahu kapan waktunya untuk mengungkapkan. Bahkan dengan Kania saja, aku sudah kalah."Kakak sayang sama Kania, dan kamu juga sayang sama Kakak. Tapi bukan berarti
Beberapa hari berlalu setelah kejadian malam itu, aku semakin memberikan perhatian penuh pada Kania. Karena aku sendiri sudah kenal dengan Ibunya, otomatis untuk memantau Kania disetiap harinya bukan hal yang sulit bagiku.Setiap hari aku selalu menjemput Kania untuk mengantarkan pergi ke sekolah, dan sesekali menjemputnya dari sekolah jika aku tidak ada kelas sore. Semua berjalan baik-baik saja sebelum hal yang tidak aku inginkan dan aku khawatirkan malah benar-benar terjadi."Bagaimana keadaan di rumah?""Masih kurang nyaman, Kak.""Bersabarlah. Satu tahun lagi kamu akan lulus sekolah dan Kakak akan bawa kamu keluar dari rumah itu.""Iya, Kak. Oh ya, hubungan Kakak dengan Papa gimana? Apa mobil ini dari Papa buat Kakak?"Uang taruhan dari David sudah aku terima dua hari yang lalu. Hal pertama yang aku lakukan adalah membeli mobil baru karena salah satu tujuanku ingin mengantar jemput Kania dengan nyaman. Prioritas yang aku utamakan adalah Kania dari mulai saat kejadian itu."Mmm, iy
Karena pendarahan hebat akibat kecelakaan itu, Kania harus berjuang dalam operasi dan melewati masa-masa kritisnya. Dan sekarang dia belum sadar setelah beberapa hari.Tidak ada satu hari pun aku lewatkan untuk tidak mengunjunginya di rumah sakit meskipun belum ada tanda-tanda dia membaik dan akan segera sadar.Dan hal yang tidak aku duga ternyata ibunya seperti peduli tidak peduli pada keadaan Kania. Dia lebih memilih untuk terus mengekor suaminya yang sibuk diluar kota. Sehingga memang benar, jika Kania hanya mempunyai aku saja meski dari segi materi dia tidak kekurangan karena Ayah tirinya tidak perhitungan soal uang. Hanya ibunya saja yang malah berubah seperti terkesan diperbudak oleh kekayaan saja.Dihari ke tujuh aku menunggunya, aku merasakan pergerakan jari-jarinya yang tidak pernah lepas untuk aku genggam. Rasa bersalah selalu menghantui sehingga aku tidak bisa menjalani aktivitas dengan biasanya. Hal itu yang membuat aku memutuskan untuk terus bersama Kania sampai dia siuma
Entah apa yang harus aku katakan, jawaban seperti apa yang harus aku berikan. Haruskah aku jujur jika aku sudah mengambil mahkota anaknya? Bahkan kecelakaan terjadi pun salah satu alasannya adalah karena diriku sendiri. Aku lah penyebab utama kecelakaan yang menimpa Kania. "Gara? Kamu kenapa diam? Apa kamu gak tau juga gimana kronologi awalnya?""Jadi ...."Brugh!!Tiba-tiba terdengar suara yang cukup nyaring dan sesaat setelah itu terdengar juga suara-suara histeris orang berteriak dan berlari menuju ke arah sumber suara."Ada apa ribut-ribut?"Sontak aku dan Ibu Kania juga berjalan menuju orang-orang berkerumun. Dan ternyata itu adalah orang yang jatuh dari gedung rumah sakit. Darah mengalir deras, penjaga keamanan rumah sakit langsung menjaga orang-orang yang berkerumun agar bisa memberikan ruang lebih dan tidak terlalu dekat karena akan dilakukan proses evakuasi sembari menunggu tim medis datang.Hal yang membuat aku lebih terkejut itu saat aku melihat orang yang jatuh dengan wa