"Kalian bertiga harus saling melindungi dan menyayangi satu sama lain. Kalian bersaudara, kalian permata hati Mami yang harus selalu bahagia. Mami tidak tau sampai kapan Mami akan terus bersama kalian, Mami juga pasti bisa sakit dan tidak bisa mengurus kalian.""Memangnya Mami mau ke mana?" tanya Al dengan serius."Mami gak akan ke mana-mana. Mami akan selalu ada buat kalian.""Kalau begitu Mami jangan bicara kaya gitu. Aku gak bisa kalau gak ada Mami." El langsung menangis memelukku. Padahal aku tidak mengharapkan mereka menangis, aku tidak bermaksud untuk membuat air mata keluar dari anakku. Aku hanya ingin kebahagiaan lah yang akan selalu mereka rasakan. Hanya itu saja permintaan sederhanaku sekaligus sebagai doa yang terbaik untuk anak-anak.***Selang berlalu, Mas Anggara sudah pulang tepat pada waktunya. Karena keputusanku sudah bulat tidak ingin menerima Evelyn menginap, kami tidak lagi membahas hal itu. Aku tenang karena Mas Anggara tidak memperpanjang masalah itu hanya karen
"Nggak kok, aku sama El gak nakal. Tapi Mami yang tiba-tiba menangis.""Iya, Pi. Mami tiba-tiba nangis."Mas Anggara langsung melihat ke arahku tanpa bertanya apa-apa tetapi tatapannya seolah bertanya-tanya tentang kebenaran dari ucapan anak-anak yang jelas tidak akan berbohong."Kalau begitu artinya kalian harus nurut sama apa yang Mami katakan sama kalian. Kalian tidak akan selamanya kecil, tidak akan selamanya bergantung pada Mami atau Papi, kalian akan besar dan melakukan banyak hal sendiri. Tidak ada yang salah dari apa yang Mami kalian bilang.""Tapi kenapa harus menangis, Pi? Kita kan gak nakal," ucap Al."Kalau Mami nangis, kalian harus usap air matanya. Sama kaya apa yang Mami lakuin kalau kalian sedang menangis.""Gitu ya, Pi?""Iya begitu, El. Sekarang bereskan dulu alat-alat gambarnya, terus kita tidur."Al dan El pun segera membereskan alat-alat gambarnya mereka."Sayang, kamu tunggu di kamar. Jangan tidur dulu karena ada yang ingin aku bicarakan."Setelah aku ada di kama
"Iya, Ma. Kami jarang berkunjung karena memang sibuk mengurus si kembar di tambah bayi ketiga kami sudah lahir. Kami malah menunggu Papa dan Mama di rumah," ucapku sambil tersenyum. Aku bukan Mas Anggara yang hanya diam jika orang lain bertindak tidak mengenakan."Makanya dari awal kan Mama bilang cari pengasuh bayi. Jangan terlalu pelit, masa buat bayar pengasuh saja tidak bisa. Apa perlu Mama yang bayarkan? Perusahaan Papa sudah jauh lebih maju saat dipimpin sama Leon. Ya anggaplah hadiah dari Mama."Aku melirik Mas Anggara sekadar ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar saudara tirinya yang malah memimpin perusahaan sang ayah, sementara anak kandung sendiri jatuh bangun untuk membangun bisnis sendiri, malah dengan bantuan orang lain.Terkadang memang, orang terdekat akan terasa asing. Sedangkan orang asing itu sendiri bisa menjadi yang paling dekat, paling membantu dan paling mengerti."Tidak perlu. Saya masih sanggup memberikan semua yang terbaik untuk keluarga saya," uc
Aku melihat Al dan El begitu seru dan terlihat bahagia dengan permainan baru yang dibuatkan oleh kakek satu-satunya untuk mereka. Ada kebahagiaan juga keharuan tersendiri yang aku rasakan melihat anak-anakku begitu disayang oleh Papa mertuaku. Padahal awalnya aku menyangka jika seorang sepertiku yang bukan siapa-siapa tidak akan diterima dengan baik oleh keluarga dari suamiku, ternyata aku hanya terlalu terpengaruh dengan pemikiran buruk yang pada kenyataannya tidak seperti itu sama sekali.Tak jauh dari anak-anak yang sedang asyik bermain, aku juga melihat Mas Anggara sedang duduk dan mengobrol dengan ayahnya. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi aku merasa bersyukur. Momen langka seperti ini jarang terjadi, sehingga aku mengabadikan momen itu dari lantai atas.Aku hanya berharap, hubungan Mas Anggara dengan ayahnya akan terus semakin baik dan semakin dekat lagi. Mengingat Papa mertua yang sudah tidak lagi muda, perihal umum tidak ada yang tahu, setidaknya Mas Anggara harus kembali
"Iya, wanita gila harta, ya kamu.""Kenapa Mama berbicara seperti itu? Memang apa yang aku lakukan dan salah dimata Mama? Yang aku katakan sedari tadi itu tidak ada yang salah. Kenapa Mama seolah terkesan bahwa kedatangan kami ini adalah ancaman? Bukannya Mama menikahi Papa itu untuk menjadi ibu sambung bagi Mas Anggara? Berarti kita ini satu keluarga, tetapi Mama membuatnya seolah kita semua sedang berkompetisi.""Pandai berbicara sekali kamu, ya. Sudah lima belas tahun Anggara pergi meninggalkan rumah ini, dia memilih untuk bebas dengan pilihannya sendiri. Jadi, sekarang jangan pernah berpikir untuk kembali dan memiliki semua yang sudah dilepaskan oleh Gara hanya karena ketamakan kamu yang ingin menguasai semua harta Gara dan ayahnya."Semakin Mama mertuaku berbicara akan ketakutannya dengan kedatanganku dan Mas Anggara, aku jadi semakin yakin jika dia memang hanya mengejar harta Papa saja.Ini memang bukan urusan aku, toh apa yang aku dapatkan dari Mas Anggara saja sudah lebih dari
Pada akhirnya, Papa mertuaku tentu saja mengizinkan kami untuk menginap apalagi saat anak-anak yang meminta izin langsung dengan semangat karena itu adalah kali pertama mereka bisa menginap di rumah sang kakek. Meskipun tidak sering bertemu dan berinteraksi, anak-anak sangat dekat dengan Papa mertua. Mungkin mereka bisa merasakan ketulusannya, sehingga mereka nyaman saat bersama kakeknya walaupun sangatlah jarang."Kamu yakin anak-anak tidak akan bangun tengah malah untuk meminta pulang?" tanya Mas Anggara saat kami sudah bersiap untuk tidur pula. Aku dan Mas Anggara juga baby Za tidur dalam satu kamar di kamar lama Mas Anggara saat tinggal di rumah ini.Sementara Al dan juga El, mereka tidur di kamar sebelah yang sudah di siapkan oleh Bibi tadi. Dan mereka ingin ditemani tidur oleh kakeknya."Nggak bakal, Mas. Percaya saja sama aku, anak-anak sangat senang bisa menginap di sini, jadi tidak mungkin mereka tiba-tiba mau pulang.""Aku tidak berekspektasi kamu meminta untuk menginap di
"Papa tau pasti kamu yang ingin menginap di sini walaupun Anggara menolak dengan keras. Dari dulu dia tidak pernah ingin berlama-lama menginjakan kaki di rumah ini setelah memutuskan untuk pergi. Dan setelah belasan tahun berlalu, sekarang adalah kali pertama Anggara menginap lagi di sini, bersama kamu dan cucu-cucu Papa. Rasanya rumah ini kembali hidup."Aku menatap Papa mertuaku yang penuh haru kebahagiaan melihat Al dan El bermain. "Anak-anak aku dan Mas Anggara hanya memiliki Kakek dan Nenek satu, karena orang tuaku sudah tidak ada, Pah. Aku ingin mereka dekat dengan Papa. Dan yang paling aku inginkan ..., aku hanya ingin hubungan Papa dengan Mas Anggara baik-baik saja, kembali dekat. Aku sedang berusaha untuk itu."Papa mertua melihat ke arahku, lalu ia memberikan senyuman dengan mata yang tidak bisa berbohong jika ia memang benar-benar bahagia."Kamu mau membuat hubungan Papa dengan Anggara dekat? Benarkah?""Papa mau, kan?""Tentu saja. Papa menantikan itu dari tahun ke tahun
Ditengah obrolan aku dengan Papa, Mama mertuaku datang masih memakai baju tidurnya yang cukup mini, ya mungkin bisa dibilang lebih ke baju dinas malam untuk suami karena aku juga memilikinya di rumah."Boleh dong Mama bergabung sama kalian, ngobrolin apa, sih?""Banyak hal, Mah.""Oh begitu. Anggara belum bangun? Ternyata bangunnya siang juga, ya. Leon saja sedari tadi sudah bangun, malah sudah olahraga di ruang gym.""Leon kan masih single, Mah. Belum menjadi ayah seperti Mas Anggara. Aku sebagai istrinya gak apa-apa kok kalau Mas Anggara mau bangun siang apalagi di hari libur. Sekalian jagain baby yang bangunnya pasti siang juga."Aku tidak menanggapi pancingan dari Mama mertuaku dengan emosi. Rasanya aku sudah terbiasa berhadapan dengan orang yang sifatnya tidak jauh berbeda. Kadang aku juga heran mengapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sudah pernah berurusan denganku.Mendiang mantan ibu mertuaku terdahulu, Mbak Dyan yang