"Bagaimana?""Kita harus mencari pengasuh ..., untuk baby Za.""Kita kan sudah sepakat buat membesarkan baby Za sama seperti saat membesarkan Al dan El. Dulu kita berdua bisa mengurus si kembar sama-sama. Masa sekarang harus cari pengasuh untuk baby Za.""Masalahnya kan bukan saat kita bisa mengasuh si kembar dan bayi ketiga kita sekarang ini. Beda keadaannya. Al belum siap kasih sayang orang tuanya terbagi lagi. Kita harus memberikan pengertian untuk menjelaskan secara perlahan, agar rasa tolerannya tumbuh lalu dia bisa menyayangi baby Za sama seperti El."Sesulit ini kah menjadi orang tua?Setelah sakit hati karena dianggap tidak bisa berlaku adil oleh anakku sendiri, sekarang aku harus mengalah atas apa yang sudah aku inginkan dulu agar bisa merawat tumbuh kembang anakku sedari mereka masih bayi.Sesulit ini kah untuk meyakinkan anak-anak bahwa aku menyayangi mereka tanpa ada yang dibedakan. Prioritasku sekarang memang baby Za karena dia masih bayi, baru satu minggu dia terlahir di
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Evelyn. Aku sibuk dengan keluargaku.""Kamu boleh merasa tenang karena sudah resmi berstatus istri. Tapi ingatlah, masih banyak wanita yang menginginkan di posisi kamu untuk menjadi istri seorang CEO. Jadi, berpakaian lah selayaknya kamu menjadi istri yang pantas bersanding dengan CEO. Penampilan kamu sebagai istri, cerminan suksesnya seorang laki-laki sebagai suami. Dengan penampilan kamu yang sekarang, tidak hanya kamu yang dibicarakan, tetapi Kak Gara juga. Kasihan jika Kak Gara dianggap tidak bisa membahagiakan istinya sedangkan yang terjadi kamu tidak peduli dengan penampilan sendiri."Aku mengepalkan tanganku menahan emosi setelah mendengar ocehan Evelyn yang tampak meremehkanku. Aku bukan orang yang anti akan kritikan, tetapi tidak jika itu dilakukan di depan umum. Sama saja dengan aku sedang dipermalukan dihadapan banyak orang."Menikahlah, agar kamu bisa tau rasanya menjadi seorang istri dan ibu dari tiga anak. Dan jangan lupa untuk
"Awal pernikahan aku dengan Mas Anggara, aku masih sering komunikasi lewat video call sama Ryo. Empat tahun ini udah gak pernah lagi. Aku juga gak coba hubungin mereka karena sibuk sama si kembar. Ditambah sekarang aku punya anak ketiga.""Ah begitu. Apa kabar ya mereka sekarang? Ryo juga pasti sudah besar. Apa mungkin Yoga sudah menikah lagi, ya?""Bisa jadi, Mbak."Meski padahal aku tahu saat dulu Yoga berkata tidak akan pernah menikah lagi agar bisa fokus pada Ryo. Namun aku tidak ingin berterus-terang dengan apa yang aku ketahui, karena bisa saja Yoga berubah pikiran dan memutuskan untuk menikah lagi. Apalagi sudah lama aku tidak komunikasi dengan dia."Tidak enak hidup dalam penyesalan, Tiana. Setiap malam aku hanya overthinking akan masa depanku yang sama sekali tidak aku bayangkan akan seperti apa. Benar-benar suram bahkan mungkin gelap. Aku tidak punya bahu untuk bersandar. Aku tidak punya seseorang untuk bergantung. Kakiku rasanya tidak menapak dengan kuat tiap kali aku berja
Aku ikut merasa terkejut saat Mas Anggara mendapatkan telepon yang dugaanku sepertinya ia mendapatkan kabar buruk dari keluarganya."Siapa yang sakit, Mas?""Keluarga Evelyn kecelakaan, Sayang. Dan orang tuanya meninggal di tempat kejadian. Sekarang sudah dievakuasi ke rumah sakit.""Itu Evelyn yang telepon kamu?" tanyaku penasaran kapan mereka saling menyimpan nomor telepon masing-masing, padahal setahuku Mas Anggara tidak menyimpan kontak Evelyn sebab itu yang selalu dia katakan."Iya. Aku harus ke rumah sakit. Tidak apa-apa?"Jelas apa-apa bagiku, apalagi disaat aku melihat kepanikan tergambar jelas di wajah Mas Anggara. Sampai aku bertanya-tanya kenapa bisa Evelyn menghubungi Mas Anggara. Ya, kenapa harus menghubungi suamiku?"Kenapa harus kamu, Mas? Keluarganya yang lain apa gak bisa datang buat dia? Kamu kan bukan siapa-siapa Evelyn."Bukannya aku melarang suamiku untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi kenapa harus menghubungi suamiku? Kenapa harus memberitahu suamiku lebih dahulu
"Aku menolak kamu ada di sini. Tolong pergi selagi aku masih bersikap baik. Kesabaran aku juga ada batasnya.""Sebegitu takutnya aku akan merebut Kak Gara dari kamu, Tiana? Padahal dulu kamu begitu percaya diri. Kenapa kepercayaan diri kamu hilang?""Sulit menjelaskan suatu hal pada orang yang belum mengalaminya. Aku sudah menikah dan mempunyai anak, keturunan Mas Anggara. Jelas pemikiran kita akan berbeda. Dan kamu harus ingat juga, aku pernah gagal dalam berumah tangga karena aku lalai dan terlalu baik membiarkan masa lalu mantan suamiku kembali ke kehidupan kami. Hal itu sudah aku jadikan sebagai pelajaran. Jadi, aku akan menjaga rumah tanggaku, saat ini!""Kamu tau suami kamu berselingkuh dengan masa lalunya, tapi yang kamu lakukan bukan segera membongkarnya, kan? Malah mencari pembelaan diri untuk melakukan hal yang sama dengan alasan agar kamu tidak merasa sakit hati terus-menerus. Memang kamu pikir, perbuatan kamu membalas suami kamu dulu itu akan berakhir begitu saja? Perbuata
"Kalian bertiga harus saling melindungi dan menyayangi satu sama lain. Kalian bersaudara, kalian permata hati Mami yang harus selalu bahagia. Mami tidak tau sampai kapan Mami akan terus bersama kalian, Mami juga pasti bisa sakit dan tidak bisa mengurus kalian.""Memangnya Mami mau ke mana?" tanya Al dengan serius."Mami gak akan ke mana-mana. Mami akan selalu ada buat kalian.""Kalau begitu Mami jangan bicara kaya gitu. Aku gak bisa kalau gak ada Mami." El langsung menangis memelukku. Padahal aku tidak mengharapkan mereka menangis, aku tidak bermaksud untuk membuat air mata keluar dari anakku. Aku hanya ingin kebahagiaan lah yang akan selalu mereka rasakan. Hanya itu saja permintaan sederhanaku sekaligus sebagai doa yang terbaik untuk anak-anak.***Selang berlalu, Mas Anggara sudah pulang tepat pada waktunya. Karena keputusanku sudah bulat tidak ingin menerima Evelyn menginap, kami tidak lagi membahas hal itu. Aku tenang karena Mas Anggara tidak memperpanjang masalah itu hanya karen
"Nggak kok, aku sama El gak nakal. Tapi Mami yang tiba-tiba menangis.""Iya, Pi. Mami tiba-tiba nangis."Mas Anggara langsung melihat ke arahku tanpa bertanya apa-apa tetapi tatapannya seolah bertanya-tanya tentang kebenaran dari ucapan anak-anak yang jelas tidak akan berbohong."Kalau begitu artinya kalian harus nurut sama apa yang Mami katakan sama kalian. Kalian tidak akan selamanya kecil, tidak akan selamanya bergantung pada Mami atau Papi, kalian akan besar dan melakukan banyak hal sendiri. Tidak ada yang salah dari apa yang Mami kalian bilang.""Tapi kenapa harus menangis, Pi? Kita kan gak nakal," ucap Al."Kalau Mami nangis, kalian harus usap air matanya. Sama kaya apa yang Mami lakuin kalau kalian sedang menangis.""Gitu ya, Pi?""Iya begitu, El. Sekarang bereskan dulu alat-alat gambarnya, terus kita tidur."Al dan El pun segera membereskan alat-alat gambarnya mereka."Sayang, kamu tunggu di kamar. Jangan tidur dulu karena ada yang ingin aku bicarakan."Setelah aku ada di kama
"Iya, Ma. Kami jarang berkunjung karena memang sibuk mengurus si kembar di tambah bayi ketiga kami sudah lahir. Kami malah menunggu Papa dan Mama di rumah," ucapku sambil tersenyum. Aku bukan Mas Anggara yang hanya diam jika orang lain bertindak tidak mengenakan."Makanya dari awal kan Mama bilang cari pengasuh bayi. Jangan terlalu pelit, masa buat bayar pengasuh saja tidak bisa. Apa perlu Mama yang bayarkan? Perusahaan Papa sudah jauh lebih maju saat dipimpin sama Leon. Ya anggaplah hadiah dari Mama."Aku melirik Mas Anggara sekadar ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar saudara tirinya yang malah memimpin perusahaan sang ayah, sementara anak kandung sendiri jatuh bangun untuk membangun bisnis sendiri, malah dengan bantuan orang lain.Terkadang memang, orang terdekat akan terasa asing. Sedangkan orang asing itu sendiri bisa menjadi yang paling dekat, paling membantu dan paling mengerti."Tidak perlu. Saya masih sanggup memberikan semua yang terbaik untuk keluarga saya," uc