Pria tinggi yang di dampingi oleh wanita yang mungkin sekitaran umur 50-an masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Meski aku belum mengenal mereka, tetapi aku sudah bisa menebak jika itu adalah Ayah dan Ibu tiri Pak Anggara. Jelas sekali jika Pak Anggara memang mirip dengan ayahnya.Meskipun aku sudah memberitahu Pak Hans tentang kejadian Pak Anggara dihari dimana itu terjadi untuk diberitahukan kepada keluarga Pak Anggara, tetapi mereka datang baru beberapa hari setelahnya. Entah mungkin sibuk atau ada alasan lain, aku tidak ingin berpikiran negatif. Yang terpenting mereka datang untuk melihat keadaan anaknya.Aku bangkit dari tempat dudukku untuk menyapa mereka."Betul, saya Tiana.""Apa yang sudah terjadi?" tanya Ayah Pak Anggara yang belum aku ketahui siapa namanya."Evelyn yang melakukan semuanya, Pak.""Ceritakan yang lebih detail lagi. Karena rasanya mustahil Evelyn melakukan itu pada Anggara. Secara dia sangat menyukai anak saya, meskipun pertunangan mereka dibatalkan sepihak oleh
"Mungkin lebih cepat akan lebih baik untuk saya bisa pergi. Karena ..., karena jika Anggara sudah siuman, mungkin saja saya akan merasa berat untuk pergi menjauh darinya. Maaf sekali, Pak. Maaf karena semua yang terjadi karena saya.""Kalau begitu temani anak saya sampai dia sembuh. Atau bila perlu temani dia sampai kalian menua bersama."Aku tak sadar sampai menganga karena mendengarnya. Rasanya seperti mimpi dan tidak mungkin jika aku mendengar itu di dunia nyata."Mau kamu temani anak saya sampai kalian menua bersama?""Ma--maksudnya?""Saya sedang melamar kamu untuk anak saya. Pertemuan untuk makan malam bersama, memang dimaksudkan untuk melamar dan menentukan tanggal pernikahan kalian."Aku masih saja tidak bisa berkata-kata karena pemikiranku tadi yang sudah terlanjur menyangka jika orang tua Pak Anggara menginginkan kita berpisah dan aku segera pergi. Namun nyatanya malah melamarku.Meskipun tidak dalam waktu yang tepat karena kondisi yang tidak mendukung, tetapi aku sangat men
Beberapa bulan berlalu ....Setelah semua badai terlewati, setelah semua masalah teratasi, akhirnya aku dan Pak Anggara, ah salah, aku dengan Anggara melangsungkan pernikahan. Meski ini bukanlah pernikahan pertamaku, tetap saja aku merasa gugup disaat bersanding dengannya.Berbulan-bulan yang lalu, kami menyiapkan pernikahan kami berdua, benar-benar dengan apa yang kami inginkan sebagai wujud bahwa pernikahan ini adalah realisasi dari wedding dream sekali seumur hidup bagi Anggara, dan pernikahan terakhir bagiku.Aku senang saat melihat semua orang yang turut hadir ikut bersukacita dengan perasaan bahagia yang aku dan Anggara rasakan."Terimakasih sudah menjadi istriku," bisik Anggara ditengah acara.Aku tersenyum. "Aku berterimakasih karena kamu sudah hadir dalam hidupku. Semua yang sudah terjadi dalam hidupku setelah ada kamu, itu jauh lebih berarti.""Aku tidak sabar ingin segera acara ini berakhir."Aku melirik dengan tatapan tajam, seolah aku sudah bisa melihat dengan jelas bagai
Percayalah dengan peribahasa tabur tuai, apa yang kita tanam maka itulah yang akan kita tuai.Tidak rugi rasanya menjadi orang baik, meski terkadang banyak godaan dan cobaan yang mencoba untuk membelokkan keyakinan untuk mencoba hal yang salah.Tidak apa, asal harus siap dengan segala resikonya, harus berani menanggungnya.Banyak hal yang terjadi dalam hidupku, yang tentu tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Namun aku selalu ingat jika Tuhan yang lebih tahu apa yang aku butuhkan.Aku sangat bahagia saat mendengar kabar jika Yoga dan Ryo sudah hidup bahagia dan memulai semuanya dari nol di kota lain. Meninggalkan segala hal buruk yang pernah terjadi di kota ini. Yoga memutuskan untuk tidak menikah lagi dan fokus pada Ryo, anak satu-satunya. Ia bekerja hanya untuk mempersiapkan masa depan Ryo.Mungkin bisa dikatakan jika Yoga mengalami trauma dengan perempuan dan juga pernikahan. Dia awal menikah dengan Mbak Dyan karena menjadi selingkuhan karena sebuah cerita sedih yang Mbak Dya
Kehidupan setelah menikah bagiku memang tidak begitu mengejutkan karena sebelumnya aku pernah menikah. Aku hanya mengkhawatirkan bagaimana dengan Mas Anggara, aku takut semua tak sesuai ekspektasinya saat memutuskan untuk menikahiku yang seorang janda meskipun belum memiliki keturunan dari pernikahanku yang pertama.Namun kekhwatiran aku itu nyatanya tidak terjadi. Selama enam tahun kami berumah tangga, dia selalu baik padaku sebagai suami dan bertanggungjawab mengasihi anak kembar kami.Sekarang kedua buah hati kami sudah mulai masuk sekolah. Tadinya aku ingin skip pendidikan Taman Kanak-kanak untuk kedua anakku itu, aku memilih les dan home schooling agar aku bisa mengawasi mereka secara langsung di rumah, sebab aku juga sekarang sudah hamil memasuki usia tua. Badanku semakin membesar, aku sudah mudah capai dan lelah. Tidak sanggup rasanya jika harus mengantarkan mereka ke sekolah setiap paginya.Lain hal dengan Mas Anggara, dia ingin kedua anak kami sekolah pada umumnya agar bisa b
Jika Mas Anggara sudah pergi bekerja, lalu anak-anak sudah ke sekolah, rasanya sepi sekali rumah ini. Sambil menunggu anak-anak di jemput sopir untuk pulang, aku mencari hiburanku sendiri. Niatnya aku ingin yoga untuk ibu hamil sambil melihat tutorialnya di televisi. Namun lagi-lagi rasa malas tidak bisa aku jauhkan dari diriku. Kehamilan kedua ini membuat aku malas melakukan apapun, lain halnya saat aku mengandung si kembar.Mungkin juga karena itu kehamilan pertama yang sudah lama aku nantikan, sehingga aku masih sangat berantusias untuk melakukan segala hal yang terbaik untuk menstimulasi otak anak semasa masih ada dalam kandunganku.Bahkan meski hamil anak kembar di usia kehamilan tua, aku masih sempat melayani suamiku. Namun sekarang benar-benar berbeda. Mungkin sudah satu bulan aku tidak memberikan jatah pada Mas Anggara. Untung saja suamiku sangat pengertian."Anak-anak sudah tidur, Sayang?" tanyaku saat Mas Anggara baru saja masuk ke kamar setelah membacakan dongeng untuk si k
Air shower sudah tidak terdengar lagi, itu artinya Mas Anggara sudah selesai mandi. Aku sudah duduk diatas ranjang, memberanikan diri untuk bertanya karena aku sudah tidak tahan dengan pemikiran-pemikiran liarku yang membuat hatiku sakit saat tanpa sengaja memikirkannya.Setelah lampu utama di kamar dimatikan, Mas Anggara langsung naik keatas tempat tidur dan berbaring di sampingku."Anak-anak sudah tidur dari tadi, kan?""Sudah, Sayang.""Ya sudah kalau begitu, kita juga harus tidur. Aku capek sekali hari ini. Sudah lama tidak bermain golf, membuat tangan terasa kaku.""Mau aku pijitin dulu?" tanyaku sekalian nanti aku bisa berbasa-basi untuk mengajak ngobrol dia agar terkesan mengalir saja."Nggak, Sayang. Kita langsung tidur saja."Karena kasihan dan tidak tega melihat Mas Anggara yang kelelahan, akhirnya aku mengurungkan diri untuk bertanya di malam itu. Aku akan mencari waktu yang tepat saja.Semenjak aku hamil pertama dulu, ia memang sudah jarang bahkan hampir tidak pernah berma
"Kak Gara tidak berubah sama sekali setelah lama kalian menikah?"Pertanyaan terakhir dari Evelyn sebelum aku pergi, membuat aku malah kepikiran. Entah itu hanya sekedar bertanya, atau sebuah sarkas untuk memastikan jika pria pasti akan berubah seiring lamanya usia pernikahan. Aku ingin segera bertemu dengan Mas Anggara untuk memberitahukan jika Evelyn bekerja di yayasan dimana tempat Al dan El sekolah. Jujur saja aku merasa was-was dan takut terjadi hal buruk pada anak-anakku.Evelyn yang sangat sulit ditebak, membuat aku tidak boleh gegabah dan tidak boleh langsung percaya begitu saja.Brugh!!"Aaa ...."Terdengar tangisan El yang terjatuh di dekat meja makan. Karena pemikiran aku yang kusut, aku jadi lengah saat memperhatikan kedua anakku bermain sambil menunggu Mas Anggara pulang."Astaga, El. Kenapa bisa jatuh, Sayang?" Dengan perut yang sudah berat, aku membangunkan El dan terlihat jika keningnya merah akibat benturan."Kak Al, nakut-nakutin aku, Mi. Aku mau ambil minum jadin