Aku mengemudikan mobil, menuju tempat yang dijanjikan Soraya. Masih kulihat motor besar Kahfi terparkir di bagian samping rumah. Ada apa dengannya? Marah, tapi masih saja menuruti keinginanku, untuk tak naik motor dengan setelan jasnya.
"Hai," sapaku, saat sampai di sebuah rumah yang cukup luas. Ada banyak orang di segala area.
"Keyra?" Dia membalas sapaanku dengan sangat ramah.
"Yes, i am. Satya, kan?"
"Ya." Dia mengulurkan tangannya, dan dengan penuh senyum aku menyambutnya.
Soraya sialan! Menjebakku dengan drama konyol seperti ini. Konten youtube? Riset tentang psikologis anak? Kenapa tak langsung saja pada duduk persoalan. Apa harus menunggu Elena mati dulu?
"Terima kasih untuk waktunya. Aku pikir kau setiap hari berada di sini."
"Tidak. Hanya saat senggang saja."
"Kau tidak keberatan aku mengambil gambar di tempat ini? Tidak merasa, bahwa ini ranah pribadi?"
"Tidak apa-apa
Dia masih fokus menyetir, meski aku telah memanggil namanya. Seolah kata demi kata yang tadi dia ucapkan, sudah jelas dan tak terbantah. Begitu dalam, hingga membuatku berpikir, bahwa ia ingin melepaskan aku begitu saja.Dasar sialan! Dia seperti bisa mendengar pikiranku malam tadi. Apa dia cenayang? Bisa membaca pikiran orang? Damn! Membuatku menjadi tidak fokus dengan masalah ini.Aku menyandarkan kepalaku dengan kasar, lalu membuang pandangan ke jendela. Menatap arah jalan yang kami lewati. Aku dan dia, masih terjebak dalam suasana hening.."Belum ada perubahan?" tanyaku, pada Mamanya Elena, begitu kami tiba.Wanita bertubuh mungil itu, masih terlihat pucat. Seperti tak bergerak dari posisinya berdiri, semalam. Tapi tentu saja tidak. Pakaiannya kini sudah berganti. Hanya saja wajahnya terlihat polos, tanpa riasan tipis yang biasa dia pakai.Ia menggeleng. Seperti tak kuasa mengeluarkan suara. L
"Jangan sok perhatian!" ketusku. Lalu melirik kembali ke arah Kahfi yang terdiam dengan ucapan Erik."Kau masih ingin menemani Elena di sini?" Aku kembali mengintimidasinya. "Kau bisa masuk ke ruangan itu, dan tidur seranjang dengan si jalang itu!" umpatku kasar. "Aku bisa pulang sendiri."Aku bangkit, dan langsung berjalan meninggalkan mereka. Aku bahkan tak pamit pada Mamanya Erik.Mengesalkan!Terdengar suara langkah yang mengikutiku dari belakang. Dan itu pasti suamiku, yang mengatur langkah agar tetap berada di belakangku. Kembali pada posisi seperti dulu.Kami saling terdiam, saat kendaraan kembali melaju. Aku bersandar tanpa suara. Merasakan dadaku yang masih terasa panas. Tak adakah yang peduli pada perasaanku? Aku juga butuh perhatian. Bukan hanya Elena.Oh, damn!Aku benci situasi ini. Membuatku kembali membayangkan sesuatu, yang bisa membuatku melupakan semua masalah.
Aku semakin sesenggukan berada dalam dekapannya. Kini aku tahu ia masih Kahfi-ku yang dulu. Aku bisa merasakan itu. Berada dalam pelukannya, terasa begitu menenangkan. Membuatku dadaku yang tadi sesak, menjadi lega. Dan aku tak ingin hal ini berakhir sampai kapan pun."Kau masih percaya padaku kan, Fi?" Aku mendongak, menatap wajahnya. Kuusap rambutnya lurusnya, yang tampak masih rapi."Ya. Apa ada sesuatu yang sedang kau lakukan?" Senyum manis terulas dari bibir seksinya. Membuatku merasa semua permasalahan telah berakhir. Tak ada lagi amarah dari raut wajahnya.Ya. Hanya senyum dan kepercayaan itu yang kubutuhkan saat ini. Aku mengangguk, mengiyakan."Aku hanya tak ingin masalah Elena melibatkan keluarganya, Fi. Aku juga tak ingin berita ini ikut mencoreng nama Papa. Dia bahkan menamparku hanya karena masalah foto. Bagaimana jika video Elena ikut tersebar? Dia mungkin akan mengamuk, atau bahkan mengusir keluarga itu. Papa
"Aku akan lebih mendalami kasus ini," sahutnya, penasaran. "Bisakah aku kau membawanya untuk menemuiku?"Aku menarik sudut bibirku. Jelas laki-laki yang baru kukenal ini, begitu merasa tertantang dengan segala penuturanku tentang Elena. Kuharap dia akan fokus, dan meluangkan lebih banyak waktu untuk masalah ini."Itu yang membuatku semakin merasa cemas, Dokter.""Ada apa?""Dia sedang kritis saat ini," ucapku begitu saja.Dia terlihat begitu terkejut. Lalu aku kembali menceritakan apa yang telah dilakukan gadis bodoh itu, hingga harus berakhir di ruang ICU."Malang sekali nasibnya," lirihnya. Raut wajahnya terlihat merasa begitu prihatin."Ya. Tidakkah bajingan yang membuatnya seperti itu pantas untuk mati?" Aku mulai tersulut emosi, sembari menatap wajahnya..Aku menghempaskan diri di ranjang, begitu pulang ke rumah. Menscroll satu persatu follower Dokter Satya. Mencari tahu, apa saj
Mereka serempak menoleh ke arahku. Gurat keterkejutan terlihat jelas di wajah wanita berbibir pucat itu."Key? Tante...." Dia terlihat ragu meneruskan kata-katanya."Kenapa di sini? Siapa yang menjaga Elena?" ketusku."A_ada Erik dan Papamu di sana." Wanita itu terlihat gugup, kemudian tertunduk diam."Masuk saja. Kenapa menemui pria lain tanpa sepengetahuan Papa? Ingin kembali menjalin hubungan di belakangnya?" Tiba-tiba saja wajah garang Papa melintas di benakku. Membuatku merasa... iba.Ya. Entah mengapa rasa sedih menjalar di hati ini. Teringat saat dulu Mama ketahuan selingkuh, dan Papa hanya terdiam. Tanpa menghiba, dan memaksa Mama tuk kembali. Sikap tegasnya tak sedikit pun mengguratkan kesedihan. Hanya sikap dingin saja yang saat itu ia tunjukkan. Termasuk padaku.Kini aku menyadari, rasa sakit itulah yang membuat Papa menjadi sedingin itu. Tak ada lagi kehangatan, dan perhatian di dalam k
Aku kembali masuk ke dalam mobil. Menelungkupkan wajah ke stang kemudi. Menangisi apa yang baru saja terjadi. Aku bahkan tak dapat lagi membedakan mana yang tulus dan hanya berpura-pura. Oh, no. Aku benar-benar hampir gila. Aku benci dengan mereka semua.Aku mengangkat wajah, dan mengusap air mata, saat kudengar suara ketukan dari kaca jendela. Kulihat Kahfi berdiri, sembari tersenyum dari balik sana. Segera kutekan tombol untuk membuka kunci, lalu membiarkannya masuk."Kau baru sampai?" Dia kini telah duduk di sampingku."Tidak. Sudah dari tadi.""Ibu tak jadi ikut? Kenapa tak masuk?"Aku menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dan hatiku masih saja terasa sakit."Jangan dipikirkan, Key. Biarkan saja mereka.""Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Papa?""Kau mengkhawatirkannya?" Kahfi menatapku penasaran."Kau ingin aku menjawab 'ya'?"Dia tersenyum, lantas mencubit pipiku seperti an
Aku benar-benar tidak menyangka, kalau Papa sudah mengetahui semuanya. Apa yang Papa pikirkan tentang keluarga itu. Seharusnya dia bersikap lebih posesif, dan lebih perhatian.Sikap tak acuhnya selama ini, membuat ia terkesan tak membutuhkan siapapun. Seolah-olah bisa hidup sendiri, tanpa orang lain. Apa pak tua itu tak ingat, kalau usianya sudah tidak muda lagi? Memangnya siapa yang akan mengurusnya jika nanti dia sakit.Aku? No way!.Sudah beberapa hari ini, Elena siuman. keadaannya terus membaik. Wanita itu dengan setia menungguinya setiap hari. Erik sudah bekerja seperti biasa, dan sesekali kami berpapasan. Dia masih masih berusaha menangkap pandangan dari wajahku, sedang aku terus saja bersikap dingin."Bagaimana keadaanmu, Elena?" tanyaku, saat mengunjunginya siang ini.Matanya masih saja terlihat sembab. Mungkin yang dia lakukan hanya menangis sepanjang malam. Apa dia kecewa, karena nyatanya dia masih hidu
Elena lebih banyak diam. Dia bahkan tak menyahuti pertanyaan-pertanyaan Erik. Aku menarik sudut bibir, merasa aneh dengan hubungan mereka yang ternyata begitu kaku. Sejak kapan mereka terlalu menjaga jarak seperti itu?Apa sebenarnya, Elena juga tak suka, Papa menikah dengan Mamanya?."Sudah kubilang, Elena lebih percaya padaku," ucapku, saat kami duduk di koridor. "Biarkan aku yang membereskan semuanya.""Apa yang kau rencanakan, Key?" Dia sedikit menunduk, agar bisa memandangku sejajar."Kau tidak perlu tahu. Sikapmu membuatnya takut.""Sejak kapan kalian akrab? Lagi?"Lagi? Dia mengucapkan kata 'lagi'? Ya. Tentu saja. Meski tak seusia, tapi kami cukup dekat. Sering piknik dan ke taman bermain bersama. Siapa sangka, dua keluarga yang tadinya begitu dekat, kini terpecah belah, hingga tak menyisakan satu kenangan pun."Hentikan ocehanmu, Erik. Kami tak seakrab itu. Aku menolongnya hanya karena... sesama wanit
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik."Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya."Pulanglah! Ada banyak pria di sini."" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti."Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?""Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku.""Aku bilang pulang!" perintahnya lagi."Tidak mau!"Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi."Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya."Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Aku berjalan gontai keluar dari Rumah Sakit. Pembicaraan dengan dokter Satya bagai suatu hal yang tak masuk di akal bagiku. Apa dia sudah tahu selama ini, jika Elena telah mengalami gangguan. Itukah yang ia dapat dari konsultasi mereka beberapa waktu yang lalu?Kupikir semua baik-baik saja, dan berjalan dengan lancar. Tanpa kutahu, Dokter muda itu telah menangkap gelagat aneh dari dirinya. Ditambah lagi dengan pengakuanku yang tak sengaja didengarnya waktu itu.Oh my God, ini benar-benar gila. Si jalang itu benar-benar gila telah berani merayu suami orang, dan tak ingin melepaskannya begitu saja.Bitchi!Aku terduduk lemas begitu sampai di balik kemudi mobil. Menyandarkan punggung demi merenggangkan urat syarafku yang dari tadi menegang. Teringat apa yang dikatakan Dokter Satya di ruangan tadi."Awalnya memang benar ini soal hutang piutang. Papaku menangguhkan pinjaman karena Elena memohon. Papa tak tega melihatnya,
"Yes, Dokter?" jawabku tanpa berbasa-basi."Bisa kita bertemu?" pintanya dari kejauhan.Oh, shit. Kenapa dia harus memanggilku di saat yang tidak tepat. Membuatku merasa dilema, antara mengantarkan makan siang Kahfi atau mengurus Elena.Aku segera mengganti pakaian dan mengambil tasku. Aku harus tahu bagaimana nasib Elena selanjutnya. Jika Dokter itu tak bisa mengatasi bajingan itu, aku sendiri yang akan datang mengancamnya.Baru saja aku hendak keluar menuju teras depan, saat kulihat Kahfi sudah masuk dan kembali menutup pintu. Sudah hampir jam dua. Dan ini terlalu lambat untuk makan siang.Kedua mata kami saling bertemu. Membuatku rindu dan ingin sekali memeluknya. Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia menolak dan mendorongku? Tidakkah hal itu sangat memalukan untuk wanita sepertiku?"Aku keluar sebentar," ucapku memberi tahu. "Hanya sebentar saja.""Bukankah sudah kubilang lakukan sesukamu?" s
"No, Kahfi. Kau tidak bisa bicara seperti itu padaku. Kau sudah berjanji. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini."Dia langsung membuang pandangan. Membuat hatiku terasa begitu perih. Tidak. Ini tidak nyata. Kahfi pasti sedang bercanda."Pulanglah! Aku tak ingin kita saling menyakiti lagi," ucapnya tanpa berbalik."Aku tidak mau. Itu rumahku. Kau tidak punya hak mengusirku," ucapku dengan bibir bergetar.Dia kemudian berbalik dan memandangku. Menatapku dengan tatapan kosong."Jangan lagi bohongi dirimu sendiri, Key. Sandiwara ini tak akan pernah berhasil. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Pulanglah, aku melepasmu.""Tutup mulutmu, sialan! Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kau jahat. Aku membencimu. Kalau kau tak ingin bersamaku lagi, kau saja yang pergi. Aku akan tetap tinggal di rumah itu." Dadaku kembang kempis menahan sesak."Hentikan omong kosongmu, Key. Untuk apa kau
Aku mengangkat pelan tangan ke udara. Bergerak perlahan mendekati kembali untuk mengusap wajahnya."Maaf," ucapku setengah berbisik. Ia mundur selangkah, sebelum tangan ini berhasil menyentuhnya.Aku tertunduk dengan tangis yang tak dapat lagi kutahan. Menjatuhkan kembali tanganku dan mengepalnya dengan kuat. Apa yang telah kulakukan? Bukan hanya hatinya yang kini telah kulukai. Ia berlalu pergi. Meninggalkanku yang kini terduduk lemas menangisi diri..Malam telah larut. Namun mata masih belum dapat terpejam. Aku berbaring di atas karpet, menanti suamiku yang belum juga pulang. Berharap ia mulai tenang, dan melupakan semua kejadian ini. Bahkan aku berharap ini semua bagian dari sebuah mimpi.Kulirik jam analog di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam. Apa yang ia lakukan di luaran sana. Mungkin dia sedang berada di kiosnya. Ini sudah terlalu malam. Aku harus menyusul dan mengajaknya pulang.Baru sa
Aku bergegas menghubunginya kembali. Dan sekarang ponselnya benar-benar tidak aktif sama sekali. Ada apa lagi dengannya? Aku bergegas masuk dan menemui Papa di ruang kerjanya. Ia harus menjelaskan semuanya padaku saat ini juga."Apa yang Papa bicarakan dengan Kahfi?" Aku langsung bertanya begitu melihat Papa bersandar di kursi kerjanya. Tempat dimana aku dan dia baru saja berdamai pagi tadi.Kulirik kunci mobil Kahfi terletak begitu saja di atas meja. Apa ini? Perasaanku benar-benar terasa kacau."Papa hanya menuruti apa yang membuatmu bahagia, Key. Tak akan pernah lagi membuatmu kehilangan orang yang kau cintai.""What?""Ada apa? Apa Papa telah membuat kesalahan lagi?"Oh my God!Tentu saja Papa telah membuat kesalahan besar. Ia sangat berterima kasih pada Kahfi karena telah rela mengorbankan kebebasannya untuk menikahiku.Papa juga menceritakan apa yang diucapkan Erik saat mabuk, dan semua perca
Mereka berdua sesenggukan menahan tangis. Kulihat Tante Winda tertunduk dengan isakan yang juga tertahan. Tak perlu lagi aku bertanya, apakah sikapnya tulus atau tidak. Aku tak butuh jawaban. Aku tak harus tahu. Dan aku sama sekali tak peduli."Jangan ikut campur urusan keluargaku, Key!" Erik kembali berbalik dan menantangku."Mereka juga bagian dari keluargaku," balasku, ikut menantang ucapannya. Dia berdecih."Drama apalagi kali ini? Bukankah seharusnya kau senang? Akhirnya kau bisa bebas dari benalu seperti kami.""Seharusnya memang seperti itu. Tapi sudah terlambat. Kalau ingin menyingkir kenapa tak dari dulu saja? Begitu ada masalah, kau langsung melarikan diri. Kau sama sekali tak pernah berubah. Pengecut. Dasar lemah!" sinisku.Matanya menyipit memandangku. Mungkin merasa terhina karena aku benar-benar telah merendahkannya. Ya, sama seperti waktu itu. Mundur teratur dan melarikan diri dari hubungan kami.